Wednesday, March 28, 2012

Tagged under: , , , ,

[Review] About Elly (2009)

"A bitter ending is better than an endless bitterness" ~ Ahmad

Sebelum namanya dikenal luas berkat filmnya yang memenangkan Best Foreign Languange Film di Oscar 2012, A Separation, nama Asghar Farhadi terlebih dulu dikenal di negaranya, Iran lewat film keluaran tahun 2009, About Elly, atau yang berjudul asli Darbereye Elly yang juga telah melanglang buana ke festival-festival film dunia serta menjadi official selection Iran bagi Oscar untuk Best Foreign Languange Film. About Elly masih 'menjual' hal yang sama dengan A Separation, yaitu suatu kisah yang sederhana, bahkan kerap terjadi di sekeliling kita, namun pada akhirnya menjadi suatu konflik dan pertentangan yang kompleks.


Berawal dari Sepideh (Golshifteh Faharani) yang sengaja mengajak Elly (Taraneh Alidoosti), guru anak perempuannya untuk ikut liburan sekaligus reuni 3 keluarga sesama alumni fakultas hukum di salah satu universitas. Selain diikuti oleh Sepideh dan Elly, liburan selama 3 hari ke tepi Laut Kaspia in juga diikuti oleh suaminya Amir (Mani Haghighi), Shohreh (Merila Zare'i) serta suaminya Peyman (Peyman Mooadi), juga Naazi (Ra'na Azadivar) dan suaminya Manoochehr (Ahmad Mehranfar), tak ketinggalan juga Ahmad (Shahab Hosseini) yang baru pulang dari Jerman. Sepideh sendiri tentu punya alasan mengapa ia mengajak Elly pergi bersamanya. Sepideh ternyata bermaksud untuk menjodohkan Elly dengan Ahmad.


Hari pertama, liburan berjalan dengan baik dan mengasyikkan. Hari kedua, Elly meminta ingin pulang karena khawatir akan ibunya. Tapi, Sepideh membujuknya agar tetap mengikut liburan tersebut hingga besok.  Elly pun akhirnya menurutinya. Suatu tragedi pun terjadi, saat yang lain sedang asyik bermain bola voli, tiba-tiba saja Morvarid, salah satu anak mereka menangis dan berteriak bahwa Arash, anak Peyman dan Shohreh tenggelam. Sontak saja semuanya panik dan segera mencari Arash di luasnya Laut Kaspia. Beruntung, Arash selamat. Tapi, ada yang janggal, dimana Elly? Tiba-tiba saja, Elly hilang tanpa jejak. 

Awal yang sebenarnya menyenangkan seketika beubah menjadi kekelaman dan kepanikan. Semuanya makin panik. Apakah Elly hilang bersama ombak Laut Kaspia ataukah ia pulang ke Tehran tanpa berpamitan? Tak ada yang tahu dimana Elly berada.


About Elly ini sedikit mengingatkan saya akan A Separation. Hal yang mungkin diawalnya agak sepele, namun menjadi masalah rumit nantinya. Ya, mungkin inilah salah satu kelebihan Asghar, dari suatu yang sebenarnya kerap berada di sekitar kita yang kemudian diolah menjadi sesuatu yang tak terkira. Tentu saja kejadian tak terkira ini melibatkan nurani dan moral manusia. Sebagai salah satu penggerak ketegangan, Asghar  menambahkan dilema, kejujuran, kebohongan, moral, dan nurani manusia itu sendiri. Modal yang cukup sederhana bukan?


Dari segi departemen akting, About Elly ternyata mampu menyajikan jajaran pemain terbaiknya. Seluruh castnya mampu tampil dengan baik, sangat baik malah. Dua acungan jempol juga berhak kita berikan kepada Golshifteh Faharani yang benar-benar menampilkan kualitasnya sebagai seorang aktris. Ia berhasil memberikan ekspresi deprseifnya dengan berperan sebagai Sepideh, orang yang paling merasa bersalah karena hilangnya Elly.

Bukan hanya dari aktor dan aktrisnya, tentu saja ini semua tak lepas dari peran besar Asghar Farhadi, yang berperan sebagai sutradara sekaligus penulis naskah. Dengan penyutradaraan dan naskahnya, ia berhasil membuat sebuah film dengan tema sederhana yang memukau, tak perlu cerita yang terlalu rumit yang mungkin malah membingungkan penonton pada akhirnya.


About Elly berhasil menjadi sebuah tontonan drama sederhana serta tanpa dramatisasi berlebihan yang juga menyinggung tentang perasaan manusia. Semua ceritanya mengalir dengan tenang namun juga tak meninggalkan suasana depresifnya yang pas. Kesederhanaan itu ditambah dengan fakta bahwa selama 119 menit durasinya, tak pernah ada musik yang mengiringi, yang malah bisa dibilang menjadi sebuah nilai plus dalam film ini yang berperan sebagai penambah kesan realistis. Dengan ditutup oleh ending yang juga tak kalah sederhananya, About Elly ternyata telah melebihi ekspektasi saya. Salut untuk Asghar.

8.5/10

Friday, March 23, 2012

Tagged under: , , , ,

[Review] Driving Miss Daisy (1989)

Idella: I'm goin', Miss Daisy. 
Daisy:  Alright Idella, see you tomorrow. 
Hoke: I'm goin' too, Miss Daisy. 
Daisy: Good! 

Driving Miss Daisy merupakan sebuah film drama komedi yang disutradarai oleh Bruce Beresford yang naskahnya ditulis oleh Alfred Uhry. Film ini sendiri diangkat dari drama yang juga ditulis oleh Alfred Uhry. Film berbudget rendah ini juga pernah memenangkan 4 Oscar dari total 9 nominasi Oscar di tahun 1990, yaitu Best Picture dan Best Actress (Jessica Tandy), juga Best Makeup serta Best Adapted Screenplay. 

Yang namanya persahabatan memang tidak lah memandang umur, suku, bangsa, maupun ras. Itu pula lah yang dialami oleh seorang wanita tua Yahudi dengan seorang supir Afro-Amerika. Berlatar belakang dimana saat rasisme masih marak-maraknya, dua manusia beda ras ini malah menjalin persahabatan erat.


Kisah itu berawal dari sebuah kecelakaan kecil, ketika seorang wanita Yahudi tua yang keras kepala, Daisy Werthan (Jessica Tandy) tak sengaja membuat mobil terjerumus ke dalam air (entah itu danau atau bukan). Kejadian ini membuat anaknya, Boolie Werthan (Dan Aykroyd) terpaksa memperkerjakan seorang supir baru, Hoke Colburn (Morgan Freeman), seorang pria Afro-Amerika yang ramah. Dan, kisah pun mulai bergulir. Daisy yang awalnya tak menerima kehadiran Hoke dengan hangat perlahan-lahan mulai menerimanya. Siapa sangka, ternyata ini merupakan awal dari kisah persahabatan yang menyentuh?


Soal akting, jangan ragukan lagi akting dua aktor dan aktris kawakan ini. Jessica Tandy serta Morgan Freeman berhasil menunjukkan kemampuan aktingnya dengan memukau. Oscar pun pernah menyematkan nama Morgan Freeman sebagai salah satu nominator di kategori Best Actor. Sebuah prestasi yang lebih gemilang lagi berada di tangan Jessica Tandy yang memenangkan Oscar untuk Best Actress berkat perannya ini. Jessica Tandy, yang berperan sebagai wanita tua sok tahu, 'tukang tuduh' dan keras kepala. Ada racun, maka pasti juga ada penawarnya. Dalam hal ini, Hoke merupakan penawar Daisy sendiri. Karakternya yang sabar, ramah, jujur, humoris, dan pintar bergaul itu seakan mampu menenenangkan karakter Daisy yang sok tahu itu. Dari semuanya itu, ternyata menghasilkan sebuah chemistry yang begitu 'klop'. 


Karakter Daisy ini memang menarik, bersamaan dengan karakter Hoke, karakternya lah yang mungkin paling sering membuat tawa kecil terukir di wajah penontonnya. Lihat saja bagaimana Daisy yang panik ketika menemukan satu kaleng ikan salmonnya hilang (meski harganya hanya 1 dollar untuk 3 kaleng dan ia masih mempunyai sisa 8 kaleng). Bahkan, ia sampai menelepon anaknya, Boolie untuk datang jauh-jauh ke rumahnya, meninggalkan sarapan dan terlambat datang ke sebuah meeting hanya demi hal sepele ini. Tentu saja, Hoke-lah tersangka utamanya dalam 'kasus' ini. Dan, ketika Hoke datang, ya, memang Hoke-lah yang memakannya saat Daisy sedang keluar, karenanya ia membeli lagi satu kaleng ikan salmon sebagai penggantinya.


Dalam membuat sebuah film, memang tidaklah selalu membutuhkan jalan cerita yang begitu kompleks yang ujungnya mungkin hanya membuat penontonnya kebingungan. Hanya dengan cerita yang simpel, sederhana, ringan, dan mengalir begitu saja sebenarnya sudah dapat membuat sebuah film yang berkualitas. Sama halnya dengan Driving Miss Daisy yang sederhana ini. Berbekal dari chemistry apik Jessica Tandy dengan Morgan Freeman ternyata telah mampu mengubah film ini menjadi begitu menarik.


Jika diperhatikan, film ini agaknya sedikit mengangkat tema rasisme kedalam ceritanya. Bukan hanya dari side story-nya, seperti kasus pemboman sinagoge (tempat ibadah umat Yahudi) dan scene para polisi itu. Jika dicermati, Driving Miss Daisy juga mengangkat rasisme itu juga kedalam persahabatan antara Daisy dan Hoke, yang notabene merupakan dua manusia beda ras. Namun bedanya, hal ini lebih berbentuk sindiran terhadap rasisme itu sendiri.

Sebuah drama yang mampu menjadi sebuah film yang menyentuh sekaligus menghibur dalam satu waktu. Bruce Beresford dan Alfred Uhry berhasil menceritakan sebuah kisah persahabatan dengan cara yang ringan dan menarik untuk diikuti. Pantaslah jika film ini memenangkan Best Picture di Oscar 1990.

8.0/10

Thursday, March 22, 2012

Tagged under: , , ,

[Review] The Tree of Life (2011)

"Help each other. Love everyone. Every leaf. Every ray of light. Forgive." ~ Mrs. O'Brien

Nama Terrence Malick memang tidaklah menggaung seperti Martin Scorsese atau pun Stanley Kubrick. Terang saja, sejak awal karirnya, tahun 1969, hingga saat ini ia baru menghasilkan 6 buah film, belum termasuk 4 proyek film lainnya yang ia sutradarai. Terrence Malick bukan hanya dikenal sebagai sutradara, ia juga dikenal dengan kemampuannya menulis naskah film. Ya, seluruh film yang ia sutradarai memang semua naskah ia tulis sendiri. The Tree of Life merupakan salah satu diantaranya.


The Tree of Life memulai kisahnya dengan narasi-narasi puitis. Oleh Malick, kita disajikan kisah tentang Jack (Sean Penn) yang mengajak kita kembali ke dalam kenangan kecilnya, di sekitar tahun 1950, dimana ada keluarganya yang religius, yang terdiri dari seorang ayah yang keras dan disiplin tinggi (namun kadang juga menunjukkan sifat lembut sebagai seorang ayah), Mr. O'Brien (Brad Pitt) serta ibu yang lembut dan penyayang, Mrs. O'Brien (Jessica Chastain). Selain bersama kedua orang tuanya, ia juga tinggal dengan dua adiknya. Di masa itu, Jack dan kedua adiknya memang hidup dibawah kedisiplinan tinggi yang ditegaskan oleh ayahnya, yang akhirnya menumbuhkan rasa berontak di dalam diri Jack.

The Tree of Life memang film yang gak biasa. Di saat film-film lain bercerita dengan dialog-dialog panjang, Malick malah lebih memilih bercerita lewat dengan visualisasi indah serta narasi puitis dan dialog minim. Seakan, visualisasi dalam film ini sudah cukup berbicara banyak untuk isi filmnya ketimbang lewat dialog-dialog serba panjang. 


Film ini juga bercerita dengan alur maju mundur, tentang kehidupan Jack di masa kecil (sekitar tahun 1950) dan tentang kehidupannya di masa ia dewasa. Ada dua hal sebenarnya yang membuat saya agak bingung tentang film ini. Yang pertama adalah endingnya yang membingungkan. Kedua, mungkin merupakan yang paling aneh dan agak mengingatkan saya dengan film 2001: A Space Odyssey, mengapa ada dinosaurus muncul di tengah-tengah film?

Sperti yang saya bilang tadi, The Tree of Life banyak dihiasi oleh visualisasi-visualisai cantik. Tentu saja, visual-visual indah itu tak akan dapat 'berbicara' jika hanya dengan modal sinematografi asal-asalan. Sinematografi dalam film ini memang indah dan ciamik tapi dengan tetap tidak meninggalkan kesan aneh dan uniknya. Memang seperti film-film sebelumnya yang ia sutradarai, sinematografi indah seakan menjadi 'trademark' milik Terrence Malick. Mau bukti? Sekali kemenangan dan 3 nominasi Oscar untuk Best Cinematography tampaknya telah mampu berbicara banyak.


Film ini memang tak bertujuan untuk memamerkan kualitas akting tiap pemainnya, karena memang lebih fokus ke visualisasi ceritanya. Tapi dengan begitu, bukan berarti setiap aktor atau aktris dalam film ini berakting buruk. Seperti biasa, Brad Pitt kembali menampilkan penampilan terbaiknya, dan menurut saya, (sangat) layak untuk dinominasikan Oscar untuk Best Actor (meski kenyataannya tidak). Akting memukau juga ditampilkan aktris muda Jessica Chastain yang berperan sebagai istri Brad Pitt, meski tak mendapat porsi yang terlalu banyak. Sean Penn, yang juga ikut bermain dalam film ini juga rasanya tak bisa terlalu mengeskplorasi aktingnya karena memang ia hanya kebagian porsi yang sedikit dalam film ini. Tentu saja, saya tak melupakan Hunter McCracken, yang juga menampilkan akting yang begitu memukau.


Film karya Malick ini memang tidak ditujukan untuk semua orang. Bisa dibilang, film ini bukanlah tipe film yang enjoyable. Beberapa orang bilang film ini merupakan sebuah masterpiece, keren, jenius, cerdas, unik, dan kawan-kawannya. Tapi, beberapa orang lainnya juga ada yang bilang film ini aneh, membosankan, gak jelas,  bikin ngantuk (atau bahkan sampai tertidur pulas), dan lain-lain. Tapi, bagi saya film ini memang keduanya. Unik, cerdas, keren, indah, tapi di sisi lain memang (agak) membosankan. Ya, sekitar 30-40 menit awal rasa bosan itu memang ada, tapi entah dari mana datangnya, lama-kelamaan saya mulai menikmati film ini dan berganti ke rasa kagum saya terhadap Terrence Malick. 


The Tree of Life memang bercerita tentang kehidupan, tentang sebuah penerimaan terhadap takdir tuhan, namun dengan kejeniusan Malick, ia menjabarkan semuanya menjadi sebuah visualisasi dan simbolisasi indah. Ya, film yang sarat akan nilai moral memang. Filmnya memang agak membosankan dimenit awalnya, namun biarkanlah Malick mengajak anda menuju sebuah perjalanan kehidupan yang penuh arti dan ikutilah semuanya dengan tenang, setenang alur film ini.

8.5/10


Sunday, March 18, 2012

Tagged under: , , , ,

[Review] Million Dollar Baby (2004)

"Boxing is an unnatural act. Cause everything in it is backwards. You wanna move to the left, you don't step left, you push on the right toe. To move right, you use your left toe. Instead of running from the pain - like a sane person would do, you step into it." ~ Eddie

Million Dollar Baby bukanlah film tentang seorang pemuda India yang memenangkan sebuah kuis televisi dengan tumpukan uang yang siap jatuh ke tangan anda, layaknya Slumdog Millionaire. Bagi saya, Million Dollar Baby menawarkan cerita yang lebih simpel daripada itu, namun hasil akhirnya tidaklah sesimpel itu, Million Dollar Baby malah makin bersinar karena ceritanya itu. Sebuah film drama yang menceritakan tentang sebuah perjuangan untuk meraih sebuah kemenangan dan kehormatan, perjuangan yang juga kerap melibatkan perasaan terdalam manusia. Ya, film yang memenangkan Oscar 2005 untuk Best Picture ini memang bercerita tentang tinju, tapi film ini lebih dari sekedar film tinju biasa yang hanya mengandalkan upper cut, hook, muka memar, hidung patah, bibir sobek, dan segala bentuk yang berhubungan dengan tinju. 


Film ini dibuka dengan narasi yang pastinya sudah tak asing lagi suaranya, Morgan Freeman. Bercerita tentang perjuangan seorang petinju wanita sekaligus pelayan restoran, Maggie Fitzerald (Hillary Swank) yang bercita-cita untuk meraih gelar tinju. Dari awal, kita sudah ditunjukkan wataknya, yaitu keras kepala, berkemauan keras, serta pantang menyerah. Lihat saja bagaimana ia terus meminta Frankie Dunn (Clint Eastwood) agar ingin menjadi pelatihnya, meskipun Frankie telah menjelaskan bahwa ia tidak akan pernah melatih seorang wanita, apalagi yang sudah menginjak kepala tiga. Namun, tampaknya mantra Maggie berhasil, Frankie pun akhirnya menerima Maggie sebagai 'muridnya', meskipun dengan terpaksa. 


Frankie Dunn sendiri adalah seorang pelatih tinju yang hidup sendirian, meski sebenarnya ia mempunyai anak perempuan yang hampir setiap hari namun sampai sekarang tak jelas kabarnya. Bersama dengan Eddie Scrap-Iron Dupris (Morgan Freeman), mantan 'anak asuhnya' ia mendirikan sebuah pusat kebugaran atau gym. Frankie dikenal sebagai pelatih yang overprotective, karena sebuah insiden yang pernah menimpa Eddie Scrap yang menyebabkan satu matanya mengalami kebutaan

Bertahun-tahun kemudian, berkat ajaran Frankie, Maggie menjadi salah satu petinju paling ditakuti. Ia menjadi seorang petinju wanita tangguh dan tak terkalahkan. Tentunya, kesempatan untuk meraih gelar pun semakin lebar terbuka bagi Maggie. Tapi, apakah sepanjang hidupnya Maggie akan terus berjaya dan tak pernah terkalahkan?


Million Dollar Baby memang berbeda. Film ini menginterpretasikan rasa kasih sayang, perasaan terdalam dalam setiap hati manusia dengan cara yang tak biasa, yaitu lewat olahraga tinju. Yup, seperti yang orang-orang pikir, olahraga ini terkesan 'tak punya hati', tak ada rasa kasih sayang di dalamnya, dan olahraga yang mengandalakan kekerasan. "Orang yang terkuatlah yang akhirnya menang", pastilah merupakan kata-kata yang pas digambarkan dalam olahraga tinju ini. Namun, tinju dalam Million Dollar Baby ini beda. Clint Eastwood, selaku sutradara film ini malah memanfaatkan olahraga yang kerap sering dianggap berkonotasi negatif ini sebagi media untuk menginterpetasikan rasa kasih sayang itu.

Soal akting, tak usah diragukan lagi, 3 nominasi Oscar untuk Best Actor (Clint Eastwood), Actress (Hillary Swank), dan Supporting Actor (Morgan Freeman) sudah cukup membuktikan kualitas para jajaran pemainnya, bahkan 2 diantaranya, yaitu Best Actress dan Supporting Actress mampu disabet film ini. Tak usah pula ragukan chemistry yang terbentuk dari Hillary Swank dengan Clint Eastwood. Mereka dapat 'menyatu' dalam film dengan dengan begitu baik, sangat baik malah.


Sekali lagi, Million Dollar Baby merupakan salah satu karya terbaik Clint Eastwood. Million Dollar Baby diawali dengan narasi khas ala Freeman dan ditutup dengan ending mengharukan tanpa tangisan bergalon-galon. Film ini menawarkan sebuah pelajaran yang begitu berharga tentang perasan terdalam manusia dan perjuangan manusia mewujudk. Dengan cerita yang bisa dibilang cukup simpel dan jajaran cast-nya yang maksimal, film ini berhasil memukau saya. Justru karena kesederhanaannya tadi, Million Dollar Baby mampu menjadi drama yang dalam dan menyentuh. Sekali lagi, Million Dollar Baby merupakan salah satu karya terbaik Clint Eastwood.

8.5/10

Saturday, March 17, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] 2001: A Space Odyssey (1968)

"Dave, this conversation can serve no purpose anymore. Goodbye." ~ HAL 9000

Stanley Kubrick. Nama yang mungkin familiar di kalangan pecinta film. Siapa sih yang gak kenal sutradara hebat ini? Meski bukanlah termasuk sutradara yang produktif, sutradara yang telah malang melintang di dunia perfilman sejak tahun 1951 ini memang telah banyak menelurkan karya-karya masterpiece, sebut saja The Shining, Full Metal Jacket, A Clockwork Orange, Lolita, Eyes Wide Shut, Spartacus, dan masih banyak lagi.

Selain yang saya sebutkan tadi, 2001: A Space Odyssey mungkinlah yang paling terkenal dari semuanya. Film yang meraup pendapatan sebesar 190 juta dollar (yang menobatkannya sebagai film Kubrick terlaris) ini mengusung gene sci-fi. Tak hanya yang paling terkenal, 2001: A Space Odyssey mungkin saja menjadi film paling membingungkan milik Kubrick. Yup, salah satu film dengan puzzling plot sekaligus film sci-fi terbaik yang pernah ada.


Film ini dimulai dengan screen hitam selama sekitar 3 menit, entah apa tujuannya. Kemudian, kisah berlanjut ke  berjuta-juta tahun yang lalu, dimana sekolompok kera purbakala yang tinggal di daerah mata air di pada gersang. Namun, mereka diusik pula oleh kelompok kera purbakala lain yang ingin merebut mata air tersebut. Keanehan terjadi, tiba-tiba saja, keesokan harinya sebuah benda hitam alias monolith muncul di tempat tinggal mereka.


Singkat cerita, Stanley membawa kita ke masa depan dimana banyak terdapat satelit bertebaran di angkasa. Saat itu, dikabarkan ada sebuah kasus aneh yang juga berkaitan dengan monolith, namun kali ini di tempat dan waktu yang berbeda, tepatnya di bulan. Seorang ahli astronomi, Dr. Heywood R. Floyd (William Sylvester) kemudian diutus untuk menyelidiki monolith ini.

Menonton film ini rasanya emang campur aduk. Antara bingung, bosan, penasaran, tapi juga takjub. Takjub akan apa? Apa saja. Takjub akan visual-effectnya yang juara, terlebih untuk tahun 1968 (jujur, saya masih penasaran dengan scene berjalan terbailk itu), art-direction yang benar-benar modern, hingga musiknya dengan Blue Danube yang klasik itu. Tapi, yang paling membuat takjub saya adalah kemampuan serta Stanley Kubrick untuk mengarahkan film ini menjadi film yang misterius dengan alur membingungkan sekaligus membuat penasaran semua orang. Film ini memang karya imajinasi Kubrick yang prestisius.


Kubrick memang membiarkan penontonnya menginterpretasikan sendiri apa yang ia sajikan dalam karyanya ini. Tak ada yang tahu secara pasti mengenai alur film ini, apalagi endingnya yang malah membuat interpretasi orang semakin tak tentu arahnya. Bahkan sang sutradara sendiri, Kubrick, sampai akhir hayatnya tak pernah menyampaikan apa yang ia maksud dalam film ini, sesuai yang ia pernah bilang, "you're free to speculate as you wish about the philosophical". Ya, anda bebas untuk menafsirkannnya sendiri.


2001: A Space Odyssey memang karya yang luar biasa, namun tak untuk semua orang. Lihat saja plotnya yang begitu lambat, yang bisa saja menidurkan anda dalam waktu sekejap mata. Kemudian plotnya juga yang abstrak dan susah dimengerti. Kemudian endingnya yang bukannya malah menerangkan seluruh film, malah membuat imajinasi penontonnya makin kesana-kemari. Ada monolith hitam yang misterius, lalu ada visualisasi-visualisasi aneh, serta 'karakter' sebuah komputer jenius bernama HAL 9000 yang tampaknya menyimpan sebuah rahasia besar (yang sedikit mengingatkan kita pada 'karakter' robot bernama GERTY di Moon (2009)). Semuanya memang serba abstrak. Ya, apapun yang ada di film ini memang abstrak dan gak biasa, tapi itulah yang membuat film ini menjadi karya masterpiece.

Sunday, March 11, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Hugo (2011)

"Maybe that's why a broken machine always makes me a little sad, because it isn't able to do what it was meant to do... Maybe it's the same with people. If you lose your purpose... it's like you're broken." ~ Hugo Cabret 

Martin Scorsese kembali lewat Hugo, sebuah film keluarga yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul The Invention of Hugo Cabret karya Brian Selznick. Naskahnya sendiri ditulis oleh John Logan yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan Martin Scorsese di film The Aviator (2004). Dan, sebagai tambahan, Hugo ini merupakan film dalam format 3D, sebuah hal yang bisa dibilang masih barang baru bagi sutradara layaknya Martin Scorsese. 

Hugo membawa kita 81 tahun ke belakang di tahun 1931, dimana ada Hugo Cabret (Asa Butterfield), seorang bocah yatim piatu yang tinggal stasiun Gare du Nord, Paris. Bagaimana akhirnya dia bisa sampai ke Gare du Nord? Panjang ceritanya. Ia dibawa oleh pamannya Claude Cabret (Ray Winstone) ke stasiun itu setelah ayahnya (Jude Law) meninggal. Claude sendiri merupakan seorang perawat jam di Gare du Nord yang alkoholik. Suatu hari, ia pergi entah kemana, meninggalkan Hugo sendiri, yang kemudian menjadi penggantinya untuk merawat jam-jam di stasiun.


Sehari-hari, Hugo mencuri mainan-mainan dari toko milik Papa George (Ben Kingsley). Tidak, dia tidak mencurinya untuk dimainkan, melainkan untuk mengambil suku cadangnya. Sebelum meninggal dalam kebakaran, ayahnya sempat mewariskan sebuah robot bernama 'Automaton' yang ia temukan di loteng museum. Ya, dia mencuri suku cadang tersebut untuk meperbaiki 'Automaton' tersebut, yang ia percayai tersembunyi sebuah pesan peninggalan ayahnya. Di sisi lain, ada Isabelle (Chloe Grace Moretz), anak baptis Papa George yang akhirnya menjadi teman dekat Hugo. Belum lagi ada inspektur stasiun (Sacha Baron Cohen) yang bisa kapan saja menangkapnya dan memasukkannya ke tempat yang tak ubahnya merupakan sebuah mimpi buruk: panti asuhan.


Hugo, film yang berjaya di 84th Academy Awards dengan membawa pulang 5 golden man-nya ini memang sangat menonjol dalam bidang teknisnya. Mulai dari sinematografi yang apik, visual-effect keren, costume designnya yang juga gak kalah keren, hingga art direction-nya yang artistik, tak ketinggala pula musiknya yang tertata rapi. Well, tapi tentu saja Hugo tak hanya unggul dalam bidang teknisnya, apalagi sutradaranya adalah sutradara sekelas Martin Scorsese yang pastinya tidak pernah setengah-setengah dalam berkarya.


Awalnya, mungkin anda akan mengira ini adalah film drama untuk anak. Ya, hal sama yang saya pikirkan. Tapi, sedikit demi sedikit, Scorsese perlahan memberi kita clue tentang maksud dari Hugo ini. Bisa dibilang, Hugo ini merupakan bentuk apresiasi Scorsese kepada dunia perfilman yang telah puluhan tahun ia geluti, sekaligus penghormatan bagi seorang sutradara Prancis, George Melies yang terkenal dengan film klasiknya "A Trip to the Moon". Bukan hanya itu saja, Hugo juga bisa dibilang sebagai ajang pembuktian bagi sosok Martin Scorsese sebagai sala satu sutradara paling berbakat di dunia yang bisa menyutradarai hampir semua genre film.

Ada yang bisa tebak ini siapa? :p
Karyanya yang satu ini memang tak biasa. Tak ada unsur gangster, thriller, darah, pistol, bubuk mesiu, atau pun suara-suara tembakan memekakkan telinga. Kali ini sang maestro agak melenceng sedikit dari jalurnya selama ini. Ya, meskipun awalnya sempat pesimis bahwa Scorsese akan menyutradarai film drama keluarga untuk pertama kalinya. Tapi, apakah berarti Scorsese gagal menyajikan drama keluarga yang berkualitas? Tentu tidak. Martin Scorsese malah berhasil menambah satu lagi film terbaik di tahun kemarin. Yup, Scorsese did it again!

8.0/10