Tuesday, June 25, 2013

Tagged under: , , , , ,

[Review] All About Eve (1950)

"Fasten your seatbelts, it's going to be a bumpy night!" ~ Margo Channing

Hollywood at its best, mungkin itulah ungkapan paling tepat bagi the golden age of Hollywood. Dari zaman film bisu hitam-putih, hingga film berwarna, semuanya tak terlupakan. Dari rentang 1920 hingga awal 1960, mungkin tahun 1950 merupakan salah satu tahun emasnya. Dari animasi Cinderella, lalu King Solomon's Mine, Born Yesterday, kemudian ada film noir The Third Man dari Carol Reed dengan Orson Welles yang tak terlupakan, hingga persaingan super sengit antara All About Eve dengan Sunset Boulevard dalam Oscar 1951. What a year!

Akhirnya, persaingan tersebut berakhir dengan kemenangan besar All About Eve, membawa pulang 6 Oscar dari 14 nominasi yang didapatkanya, nominasi terbanyak yang didapatkan sebuah film dalam sejarah Academy Awards. Film ini ditangani oleh Joseph L. Mankiewicz dalam 2 sektor sekaligus, penyutradaraan dan penulisan naskah yang diangkat dari sebuah cerpen berjudul The Wisdom of Eve karya Mary Orr. Film ini dibintangi oleh Bette Davis, Anne Baxter, George Sander, Thelma Ritter, Marilyn Monroe, dan masih banyak lagi.


Semua kisah tentang Eve ini bermula dari pertemuan seorang middle-aged broadway star banyak omong, Margo Channing (Bette Davis) dengan salah seorang fansnya asal San Fransisco yang sangat sopan, Eve Harrington (Anne Baxter), yang dipertemukan oleh sahabat Margo sendiri, Karen Richards (Celeste Holm), yang juga merupakan istri dari playwright dari play Margo, Llyod Richards (Hugh Marlowe). Semenjak bertemu, Eve memutuskan untuk mengabdi pada Margo dan akhirnya menjadi orang kepercayaannya. Namun, seiring fisiknya yang termakan usia, Margo mulai merasa paranoid bahwa Eve yang lembut, muda, dan cantik itu akan mengambil posisinya selama ini.

Awalnya, All About Eve terlihat seperti kisah seorang insecure diva belaka, namun itu hanya ada di permukaannya. Di dalamnya, All About Eve memiliki sejuta alasan mengapa film ini merupakan salah satu film terbaik yang pernah ada, dan juga sejuta alasan untuk tidak menyukai dan mencintai film ini. Naskah? Plot yang Joseph L. Mankiewicz tawarkan bukan hanya sanggup menghipnotis siapa saja, namun saya jamin tak akan dapat dilupakan bagi siapa pun yang menontonnya, bahkan dengan mudah dapat dikatakan merupakan plot terbaik yang pernah ada dalam sejarah perfilman. Namun, yang jadi pertanyaannya, apa yang membuat screenplay pemenang Oscar ini begitu hebat?


Dialog, dialog, dialog (plus monolog). Ya, Mankiewicz mampu membuat sebuah naskah dari film yang berdurasi 138 menit dengan dialog yang memorable dan tak pernah membosankan, untuk sedetik pun.  Mankiewicz tak pernah kehabisan akal dalam menciptakan dialog yang setiap kehadirannya, dialog tersebut terasa begitu cerdas, kreatif, dan witty. Siapa yang bisa melupakan Margo's "Fasten your seatbelts.."? Ini semua membuat setiap karakter di film ini, tak pernah sekalipun kehilangan auranya, selama mereka terus membuka mulut mereka. Saya selalu suka dengan monolog awal film ini, saya tak hanya berbicara tentang bagaimana bagusnya monolog tersebut, namun bagaimana cara Mankiewicz menceritakannya dengan begitu mengalir yang nantinya membawa kita ke sebuah kisah tentang dunia broadway dan borok-boroknya.

Ya, All About Eve bukan hanya tentang Eve semata. Memang benar, Eve Harrington (dan Margo Channing!) lah yang berada dalam lampu sorot, namun lingkup-lingkup dan problematika-problematika di antara mereka adalah keseluruhan panggung teater yang siap dipertontonkan. Singkatnya, All About Eve adalah sebuah drama satirikal. Dengan alibi 'dunia teater', film ini berhasil menyajikan kritikan-kritikan secara halusnya pada Hollywood yang penuh kultur glamor, lengkap dengan sifat-sifatnya yang telah mendarah daging. Sekilas, apa yang Mankiewicz coba tampilkan disini terasa berat, namun semua itu mampu di bawahkan dengan sebuah naskah yang cukup ringan dan mudah diikuti.


Soal plot, All About Eve juga juaranya. Mengetengahkan sebuah kisah tentang seorang bintang besar broadway perlahan termakan usia yang merasa tersaingi orang kepercayaannya sendiri yang jauh lebih muda, memang terdengar seperti kisah yang lurus-lurus saja. Namun, seiring berjalannya waktu, kisah ini makin melebar, hingga akhirnya, pada third act, All About Eve mulai membuka tabirnya dengan sebuah twist yang begitu unpredictable. Belum cukup, All About Eve menutup kisahnya dengan sesuatu yang tidak biasanya kita temukan dalam film sejenis. Saya sebenarnya tidak ingin memberikan anda spoiler, tapi bisa dibilang, film ini menjawab hukum karma dengan sebuah jawaban yang elegan dan tetap glamor, dan yang terpenting, jauh dari kata cliche. Wow!

Sebagai sutradara sekaligus screenwriter, Joseph L. Mankiewicz, punya kuasa penuh untuk menangani All About Eve. Dengan materi hebat yang ia tulis, dalam lapangan pun, tak ada masalah yang muncul. Ia berhasil mengarahkan para cast dengan sangat baik. Ia juga mampu mengemas twist dengan perlahan dan halus, hal yang sama juga terjadi transisi di antaranya, plus mengakhiri All About Eve dengan sebuah kemasan yang mewah. Tak hanya ending, secara keseluruhan, Mankiewicz dapat membuat All About Eve menjadi sebuah kemasan, sebuah harta karun yang bertebaran emas dan berlian.


Dilihat dari perolehan nominasi Oscar yang diraih oleh cast-nya, yaitu 5 nominasi (1 diantaranya berhasil menang), maka rasanya tak perlu lagi diragukan kekuatan lini ini. Eve Harrington yang dimainkan oleh Anne Baxter adalah pundak dari film ini. Subtleinnocent, complicated, dan kawan -kawannya adalah kata-kata yang peling tepat menggambarkan seorang Eve. Kalau saja dalam dunia ini seorang Eve benar-benar nyata, maka   ia merupakan manusia paling rumit di dunia ini (easily!). Mungkin ini adalah salah satu peran tersulit yang pernah ada. Dia adalah bintang sejati.

Bette Davis? "And she gave the performance of her life," seperti kata Mr. Addison. Jika Anne Baxter merupakan bintang, maka Bette Davis adalah mega bintang. Jika ada Davis di layar, Anne Baxter dan yang lain tampaknya harus minggir sebentar, karena sesaat lagi Davis akan mempertontonkan talentanya yang luar biasa. Sebagai Margo Channing, ia seorang scene-stealer, kharismatik, banyak omong, populer, insecure, b*tchy, paranoid, namun ajaibnya sanggup mengambil rasa simpati penonton. Di dukung oleh dialog-dialog tajamnya, Davis bagaikan bintang yang tak akan pernah mati. Tak benar bila ada yang mengatakan bahwa Bette Davis terlahir untuk memainkan Margo Channing, karena... Davis 'adalah' Margo Channing.


Hal yang sama juga ada dalam cast lainnya. Celeste Holm, sebagai Karen, adalah seorang 'jembatan' yang kokoh antara Margo dan Eve. Addison DeWitt alias George Sanders nailed his role dengan kesombongan dan kekuatan yang ia punya. Gary Merill bersama dengan Hugh Marlowe sebagai pria-pria dibalik Margo dan Karen, khususnya Merill yang berhasil menjadi Bill, yang bagaikan seorang pawang ular dalam menenangkat hati liar Margo. Di lain sisi, ada Thelma Ritter, yang meski kurang mendapat porsi yang cukup (satu-satunya kekurangan yang saya rasakan dari film ini), ia tetap memukau dengan penampilannya yang cukup komikal. Dan terakhir, walaupun hanya memerankan karakater yang perannya bahkan tak sebesar gambarnya di poster film, si cantik dan sensual Marilyn Monroe tentu tak bisa dilupakan, bukan? 

Sebuah kemasan yang luar biasa komplit. Naskahnya adalah 'kitab suci' semua naskah di dunia ini, dengan dialog-dialog menyengat yang kreatif, cerdas, dan mengundang tawa. Mengangkat satu kisah dalam lingkup dunia teater mengenai obsesi, ambisiusitas, narsisme, rivalitas, betrayal, dan insecurity yang tak dapat dijelaskan hanya dengan kata-kata, suatu miniatur bagi Hollywood yang tanpa sadar telah menyentil dan mengupas setiap inci kultur glamor penus emas tersebut dengan satir-satirnya. Selagi Anne Baxter mampu membuat judul film ini benar-benar sesuai dengan isinya, ada Bette Davis yang bersinar, meledak-ledak, dan menghipnotis siapa saja, bahkan membuat saya tak keberatan jika film ini berubah judul sesaat menjadi 'All About Margo Channing' (asal third act dengan twist film ini ditiadakan, btw, what a twist!). Segera tonton film ini, sebelum anda berubah pikiran, dan... mau saran? Fasten your seatbelts, it's going to be an exciting experience!

Tuesday, June 18, 2013

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Man of Steel (2013)

"It's not an S. On my world, it means hope." ~ Clark Kent  

Setelah selesai dan sukses berat dengan kelahiran kembali manusia kelelawar, Batman, yang dipelopori Christopher Nolan, sampai-sampai dibuat menjadi sebuah trilogi, kini DC Comics mulai mencoba hal yang sama: melahirkan kembali tokoh legendaris mereka. Namun, Bruce Wayne tak perlu repot-repot digambarkan 'bangkit' dari kematian seperti yang dilakukan franchise Fast & Furious dengan 'membangkitkan' Letty dalam serinya yang ke-6, karena kali ini yang mereka akan bangkitakan adalah Kal-El alias Clark Kent alias... Superman!

Dalam proyek terbaru DC Comics ini, Christopher Nolan masih terlibat, namun tidak lagi duduk di kursi sutradara, melainkan menjelma menjadi produser. Untuk bangku sutradara, dipercayakan pada Zack Snyder, yang sebelumnya pernah membuat Watchmen. Bekerja sama dengan Snyder selau sutradara, David S. Goyer bertugas untuk menulis naskah film ini. Sementara itu, tokoh Superman sendiri tidak lagi diperankan Brandon Routh, namun kali ini berpindah ke tangan Henry Cavill, lalu sebagai Lois Lane, ada Amy Adams, future Oscar-winner.


Di sebuah planet bernama Krypton sedang berada dalam ambang kehancuran karena inti yang tidak stabil. Tidak itu saja, terbentuk pula kaum pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal Zod (Michael Shannon) yang berhasil menaklukkan dewan penguasa. Di sisi lain, lahirlah seorang bayi laki-lai bernama Kal-El, anak dari ilmuwan Jor-El (Russel Crowe) serta istrinya Lara (Ayelet Zurer). Di tengah kehancuran tersebut, mereka akhirnya memutuskan untuk mengirim Kal-El ke bumi demi menyelamatkan anak mereka sekaligus ras Krypton sendiri. Setelah membunuh Jor-El, Jenderal Zod serta pasukannya berhasil ditangkap dan dijebloskan ke Zona Bayangan.

Di bumi, Kal-El yang telah berganti nama menjadi Clark Kent, diasuh oleh Jonathan Kent (Kevin Costner) dan Martha Kent (Diane Lane). Karena lingkungan dan gaya gravitasi yang berbeda dengan Krypton, membuat Clark menjadi lebih kuat ketimbang manusia lainnya. Semasa kecilnya, ia pun menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya, yang membuat Clark kerap dijauhi dan terasingkan dari teman-temannya. Namun, ini semua hanyalah awal dari segalanya, awal dari sesosok pahlawan legendaris (yah, meski fiksi).


Masalah utama yang ada pada film ini adalah script dari David Goyer. Ceritanya sendiri tidak terlalu kompleks dan original, namun saya lebih menekankan masalah pada pengembangan karakter yang harusnya dapat dikembangkan lebih lagi. Meskipun langkah Goyer untuk menjadi Lois Lane menjadi pemeran utama merupakan langkah yang tepat bagi saya, namun di dalam naskahnya, nampaknya Goyer lupa untuk menambahkan kadar-kadar romansa manis di dalam naskahnya. Hasilnya, sebagus apa pun usaha Henry Cavill dan Amy Adams dalam memerankan karakternya, tetap saja hubungan mereka tak sekuat film-film Superman lainnya.

Namun, apakah lantas ini menjadikan naskah Goyer menjadi naskah buruk? Tidak juga. Selain menjadikan Lois Lane menjadi karakter utama wanita dalam film ini, masih ada beberapa kelebihan yang patut diapresiasi. Ia masih memiliki hal-hal yang bagi saya terbilang kreatif. Contohnya, sepanjang film, hampir tak pernah ada kata 'superman' yang diucapkan. Kata 'superman' ini hanya diucapkan sekali saja selama lebih dari 2 jamnya, meski sebenarnya karakter Lois Lane juga pernah hampir mengatakan kata ini, walau akhirnya diinterupsi. Ya, kedengarannya hal sepele, namun, jujur saja, hal ini tak pernah terlintas di dalam otak saya: film tentang Superman dimana hanya ada 1 dialog 'superman' di film yang bahkan judulnya tak memajang nama 'superman'?


Hadirnya Man of Steel dengan gaya penceritaan yang non-linear bagi saya kurang cocok dengan film ini sendiri. Dengan adegan yang lompat sana-sini, malah membuat beberapa detail yang seharusnya dapat makin memperkuat cerita yang dihadirkan, malah hilang. Contohnya saja ketika Kal-El dikirim ke bumi, tak ditampilkan bagaimana Kal-El ditemukan oleh orang tua angkatnya di bumi. Padahal hal ini mampu mengokohkan esensi emosional yang akhirnya malah memantapkan keseluruhan film.

Beruntung, film ini masih memiliki Zack Snyder. Karena, Man of Steel masih mampu menangkap momen-momen emosional yang dapat disampaikan dengan baik oleh Zack Snyder.  Saya sangat menyukai scene dimana saat terjadi tornado di kampung halaman Clark Kent, yang akhirnya membuat ayahnya menemui ajal, walaupun kalau dicermati, kisah emosional ini memang kurang masuk di akal (sekali lagi, naskah), namun Snyder dengan lihai mampu mengemasnya menjadi sebuah momen yang sangat memorable dan menyentuh.


Kemampuan Zack Snyder dalam mengemas aksi demi aksi tentu tak usah dipermasalahkan, karena sebelumnya, ia pernah teruji ketika menangani Watchmen. Sejak awal film, kita telah disajikan sekuen aksi yang sangat seru dan menegangkan. Menuju akhir, kita disajikan lagi aksi yang lebih fantastis. Walau akhirnya harus mengorbankan durasi yang lebih lama lagi, namun tetap saja aksi ini mampu membuat siapa pun duduk di kursi bioskop masing-masing dengan perasaan tegang dan dengan jantung berdegup kencang. Tak sampai disitu, Snyder juga berhasil dalam melahirkan sebuah atmosfer yang gelap, sebuah atmosfer yang tak pernah saya temukan dalam film Superman lainnya. Tentu, hal ini tak segelap apa yang kita temukan dalam The Dark Knight, karena dari segi cerita pun, Man of Steel tidak terlalu berliku dan kompleks.

Penyutradaraan Zack Snyder yang baik ini didukung pula oleh tata produksi yang begitu rapi. Untuk sebuah summer-blockuster seperti Man of Steel, tentu visual-effects menjadi salah satu aspek terpenting, dan untuk urusan ini, Man of Steel mampu menyajikan sebuah sajian visual yang sangat menakjubkan. Original score? Jika ada tangan dingin Hans Zimmer di belakangnya, maka itu artinya tak ada sesuatu pun yang perlu dipermasalahkan.


Soal cast, sebenarnya tak ada alasan untuk mencela jajaran aktor ternama ini. Henry Cavill mampu tampil cool dan dingin sebagai Superman. Amy Adams, meskipun umurnya terlampau jauh dengan Cavill, namun ia berhasil memerankan Lois Lane setelah beban yang diberikan padanya, yaitu menjadi lead character, walaupun perannya bukan tipe-tipe Oscar-worthy yang biasa peraih 3 nominasi Oscar ini perankanMichael Shannon, juga berhasil meyakinkan sebagai Jenderal Zod, meski rasanya aneh, karena ini pertama kalinya saya melihat ia sebagai antagonis (entah ini peran antagonis pertamanya atau tidak).

Kevin Costner, mampu menjelma menjadi Jonathan Kent yang merupakan salah satu karakter terpenting dalam film ini, karena memiliki hubungan emosional mendalam dengan tokoh sentral, meski sebenarnya tak memiliki hubungan darah sama sekali. Kevin Costner dan Henry Cavill beserta pemeran Clark Kent di usia lainnya mampu membangun sebuah chemistry yang erat. Sama halnya dengan Costner, ikatan yang terjalin antara Diane Lane dengan Henry Cavill pun terasa begitu kokoh.



Film ini tak seburuk yang kritikus katakan, namun memang tidaklah sempurna. Zack Snyder mampu mengemasnya menjadi sebuah tontonan yang menghibur, dan membawa sosok pahlawan ini ke sebuah tingkat yang lebih gelap dari biasanya. Namun, kendala terbesar terletak pada naskah dari David Goyer yang membutuhkan lebih banyak character development dan kurangnya romansa Clark-Lane. Namun, ada banyak hal yang sebenarnya patut diacungi jempol dan menjadi kekuatan naskahnya, seperti usaha Goyer untuk membuat karakter Lois Lane menjadi lead female character, dialog yang tak bermasalah, dan masih banyak lagi. Menurut saya, naskahnya jauh dari kata buruk, materinya bagus dan meyakinkan, walau dalam pengembangannya memang ada hal-hal yang mengganjal, namun saya masih dapat menikmati sebagian besar naskah tersebut.

Selain itu? Rasanya tak ada yang perlu dikritik dari Man of Steel, cast-nya mampu tampil baik dengan Henry Cavill yang bagi saya cocok sebegai Superman baru kita. Saya suka dengan tone gelap yang film ini bawa (meski tak segelap trilogi Batman dari Nolan), kostum barunya, dan sekuen aksi (meski kata beberapa orang berlebihan) dan visualnya. Sebuah permulaan yang meski tak sempurna, namun jauh dari kata buruk (setidaknya layak mendapatkan nilai di atas 56% dalam Rotten Tomatoes). Akhirnya, Man of Steel adalah sebuah momen kelahiran kembali sosok Superman yang sangat seru dan mengasyikkan! Can't wait for the sequel!  


Monday, June 17, 2013

Tagged under: , , , , , , , , , ,

[List] Daftar Pemenang Festival Film Bandung 2013


Salah satu apresiasi penghargaan pada perfilman yang terbesar di Indonesia, Festival Film Bandung yang telah diadakan sejak 1987 kini kembali digelar, tepatnya pada Sabtu, 15 Juni kemarin. Hasilnya, film karya Rizal Mantovani, 5 Cm, berhasil meraup 4 penghargaan, termasuk kategori Film Terpuji dan Sutradara Terpuji, meski gagal meraih piala untuk kategori akting. Seperti yang telah ditebak, Reza Rahardian berhasil meraih piala Pemeran Utama Pria Terpuji, setelah memukau dengan aktingnya sebagai Mantan Presiden RI, B.J. Habibie dalam film Habibie & Ainun. Sementara itu, kejutan datang dari kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji, yang diraih oleh 2 orang sekaligus. Kemenangan Acha Septriasa (Test Pack) sendiri telah dapat diprediksi setelah kemenangannya dalam FFI lalu, namun yang mengejutkan adalah kemenangan perdana Julia Perez dalam karir perfilmannya, lewat film Gending Sriwijaya karya Hanung Bramantyo. Berikut ini daftar lengkap para pemenang:

FILM TERPUJI
Tanah Surga Katanya
Habibie & Ainun
Gending Sriwijaya
9 Summers 10 Autums
5 Cm

PEMERAN UTAMA PRIA TERPUJI
Vino G. Bastian - Madre
Agus Kuncoro - Gending Sriwijaya
Reza Rahadian - Habibie & Ainun
Tio Pakusadewo - Rayya Cahaya Di Atas Cahaya
Adipati Dolken - Sang Martir

PEMERAN UTAMA WANITA TERPUJI
Julia Perez - Gending Sriwijaya
Bunga Citra Lestari - Habibie & Ainun
Lana Nitibaskara - Ambilkan Bulan
Acha Septriasa - Test Pack
Laura Basuki - Madre
Agni Prastistha - Cinta Tapi Beda

PEMERAN PEMBANTU PRIA TERPUJI
Igor Saykoji - 5 Cm
Fuad Idris - Tanah Surga Katanya
Alex Komang - 9 Summers 10 Autumns
Mathias Muchus - Gending Sriwijaya
Reza Rahadian - Perahu Kertas

PEMERAN PEMBANTU WANITA TERPUJI
Pevita Pearce - 5 Cm
Dewi Irawan - 9 Summers 10 Autums  
Renata Kusmanto - Test Pack
Jajang C. Noer - Cinta Tapi Beda 
Henidar Amroe - Bidadari-Bidadari Surga

SUTRADARA TERPUJI
Benni Setiawan - Madre
Hanung Bramantyo - Perahu Kertas
Ifa Isfansyah - 9 Summers 10 Autums
Herwin Novianto - Tanah Surga Katanya
Rizal Mantovani - 5 Cm

PENULIS SKENARIO TERPUJI
Daniel Rifki - Tanah Surga Katanya
Andhita Mulya - Test Pack
Benni Setiawan - Madre
Fajar Nugros Dan Ifa Isfansyah - 9 Summers 10 Autums
Helfi Kardit - Sang Martir

POSTER FILM TERPUJI
5 Cm
Gending Sriwijaya
Habibie & Ainun
Cinta Tapi Beda
Soegija

PENATA SUARA TERPUJI
Khikmawan - Ambilkan Bulan
Khikmawan Santosa - Sang Martir
Satrio - Habibie & Ainun
Khikmawan - Test Pack
Satrio - Gending Sriwijaya

PENATA ARTISTIK TERPUJI
Alan Sebastian - Fillm Soegija
E. Tampubolon - Tanah Surga Katanya
Eros Evelin - 9 Summers 10 Autums
Budi Rianto - Gending Sriwijaya
Fauji - Perahu Kertas

PENATA EDITING TERPUJI
Sastha Sunu - 5 Cm
Wawan Wibowo - Habibie & Ainun
Andi Pulung- Madre
Cesa David - Sang Martir
Wawan I Wibowo - Soegija

PENATA KAMERA TERPUJI
Ipung Rahmat Saiful - Mursala
Yudi Datau - 5 Cm
Faozan Rizal - Perahu Kertas
Anggi Friska - Tanah Surga Katanya
Gandang - 9 Summer 10 Autums

PENATA MUSIK TERPUJI
Krisna Purna - Ambilkan Bulan
Thoersi Aghiswara - Tanah Surga Katanya
Tya Subiakto - Habibi & Ainun
Andhika Triyadi - Perahu Kertas
Iwang - Mursala

PENGHARGAAN KHUSUS PEMERAN ANAK TERPUJI: Lana Nitibaskar (Ambilkan Bulan)

PENGHARGAAN KHUSUS LIFETIME ACHIEVEMENT: Hj Rahayu Effendi

Sunday, June 9, 2013

Tagged under: , , , , ,

[Review] Star Trek Into Darkness (2013)

"I have no idea what I'm supposed to do! I only know what I can do!" ~ James T. Kirk

Akhir-akhir ini seluruh trekkie dari seluruh dunia sedang bergembira, sekuel Star Trek yang berjudul sama hanya kali ini dengan tambahan 'Into Darkness' di dalamnya. Dimulai dengan Trek yang lahir kembali 2009 lalu, franchise saingan utama Star Wars ini rasanya makin melanda dunia saja. Apalagi ditambah dengan penghasilan film yang disutradarai J.J. Abrams ini sangat tinggi, dengan meraup 385 juta dolar dalam tangga box-office. Belum cukup, kritikus pun ikut menyambut hangat film ini. Dan kini, Star Trek kembali hadir di layar lebar, dan tentu saja, siapa yang tak akan semangat dengan sekuel ini?

Euforia para trekkie juga rasanya makin membludak, apalagi kalau bukan karena kembalinya J.J. Abrams dalam kursi sutradara. Belum lagi 2 penulis dari prekuelnya, Roert Orci dan Alex Krutzman juga ikut kembali sebagai penulis naskah, ditambah lagi dengan Damon Lindelof yang kemampuannya pernah ia buktikan kala menulis screenplay untuk Prometheus karya Ridley Scott. Dalam jajaran cast-nya, Chris Pine dan Zachary Quinto masih berperan sebagai James T. Kirk dan Spock, sementara itu ada pula Zoe Saldana, Simon Pegg, John Cho, dan Anton Yelchin yang masih setia pada franchise ini.


Sehabis sebuah tregedi yang hampir merenggut nyawa si manusia Vulcan, Spock (Zachary Quinto), seluruh awak kapal antariksa Enterprise yang dipimpin oleh James. T. Kirk (Chris Pine) kini menghadapi misi baru. Ditemani kru lain seperti Spock, Uhura (Zoe Saldana), Scotty (Simon Pegg), Bone (Karl Urban), Sulu (John Cho), dan Chekov (Anton Yelchin), mereka sekarang harus mengejar seorang buronan bernama John Harrison (Benedict Cumberbatch), yang awalnya merupakan agen Starfleet yang akhirnya membelot.

Setelah diteliti lebih lanjut, buronan yang telah meneror Starfleet bahkan menghancurkan Section 31 ini ternyata kabur ke planet lain melalui sebuah teleporter. Masalah makin runyam setelah diketahui bahwa Harrison kabur ke Klingon, yang memang selama ini memiliki hubungan tak baik dengan USS Enterprise. Namun, demi mengejar sang pembelot ini, Kapten Kirk beserta kawan-kawannya mau tak mau harus ikut dalam misi hidup-mati dan terbang ke Kronos, planet para Klingon, meski taruhannya adalah nyawa.


Terutama bagi sebuah film blockbuster, tentu hal-hal cliché tak dapat dihindari, termasuk di dalam naskah Star Trek Into Darkness. Meski ada beberapa momen cliché serta cukup predictable, namun hal ini mampu ditutupi dengan banyaknya kejutan-kejutan yang menanti, yang mungkin saja dapat datang setiap menit. Banyaknya kejutan ini memang benar-benar berhasil bagi saya, meski ada beberapa di antaranya yang tak terlalu 'waw'. Namun, tentu saja naskah ini tak mau hanya diangkat oleh twist-nya belaka. Lalu, apa lagi yang mampu digali dari naskah ini?

Dibalik kejutannya, naskah yang ditulis 3 orang sekaligus ini tak hanya bertumpu pada hal ini. Naskah film ini masih mampu mempertahankan karakterisasi yang kuat, meski tak dapat dihindari bahwa dari segi naskah, bagi saya pendahulunya sedikit lebih baik. Naskah ini dengan cerdas menampilkan ikatan emosional mendalam. Tak hanya ikatan emosional antar karakter, namun naskah ini juga memberikan hal kompleks bagi setiap karakternya. Hal ini juga terjadi pada dialogue-nya, terutama beberapa dialogue inspirasional yang berhasil diolah secara baik. Tak hanya berkutat dalam hal-hal serius, ada pula beberapa dialogue komikal sebagai penyegar yang memang menurut saya sangatlah efektif.


Kinerja J.J. Abrams juga sangatlah mendukung keberhasil Star Trek Into Darkness sebagai sebuah sekuel. Porsi aksi mampu dibagi Abrams dengan adil bersama porsi drama dan lainnya. Tak hanya itu, ia juga dengan lihai dapat membuat sekuen aksi ini menjadi sebuah sekuen seru dengan tensi tinggi. Dengan dukungan efek visual yang apik pula, petualangan dengan aksi dimana-mana ini mampu dikembangkan dengan sangat baik oleh sang sutradara, sehingga akhirnya tak ada kata 'bosan' yang rasanya dapat keluar dari mulut penonton, yang ada hanyalah kata 'wow' dan kawan-kawannya.

Hal yang paling menonjol dalam Star Trek Into Darkness bagi saya bukanlah sekuen aksi seru dan visualnya yang menakjubkan (meskipun itu termasuk 'salah duanya'), namun bagaimana J.J. Abrams menunjukkan ikatan emosional mendalam dari setiap karakternya, yang memberikan ruang yang begitu luas bagi setiap karakternya untuk berkembang. Ini tidak ditunjukkan beberapa kali dalam film saja, namun terdapat dari awal hingga film ini berakhir. Dari awal, kita diperlihatkan langkah 'bodoh' Spock yang hampir saja membunuh nyawanya. Belum lagi di akhir film, ketika Spock yang kaku akhirnya meledak-ledak.


Ikatan emosional ini juga berhasil berkat chemistry manis bromance Spock-Kirk dari Zachary Quinto serta Chris Pine. Selain itu, sebagai sebuah individu, keduanya juga tetap berhasil. Chris Pine mampu memerankan kapten berwibawa tinggi, meski masih seorang player sejati. Di sisi lain, Zachary Quinto bersinar dengan peran terpopulernya bersamaan dengan Skylar dari seri Heroes ini. Quinto dengan baik berhasil tampil sebagai seorang Vulcan yang terlalu jujur dan taat peraturan yang akhirnya malah menjatuhkan dirinya sendiri, meski di baliknya solidaritas Spcok tak perlu dipertanyakan lagi. Kedua karakter yang benar-benar berbeda ini (bahkan dari planet berbeda) justru makin memperkaya chemistry mereka berdua.

Selain kuat dalam dua pemimpinnya, Enterprise juga diisi kru-kru yang mampu bermain dengan baik, mulai dari Zoe Saldana sebagai Uhura si tough girl hingga Sulu yang diperankan John Cho. Hadir pula Simon Pegg yang tentunya tak hanya tahu bagian humornya dengan baik saja, namun juga berhasil dalam bagian di mana ketika ia harus menjadi seorang yang serius. Simon Pegg tidaklah sendiri, karakter yang cukup komikal juga hadir dalam Bones yang diperankan Karl Urban. Ada yang terlewat? Tentu saja, Benedict Cumberbatch! Dengan kharisma super tinggi, Cumberbatch mampu memerankan villain John Harrison dengan hasil yang mind-blowing dan memorable. Belum lagi dengan adanya twist dibalik karakternya, meski bagi para trekkie, sebelumnya telah dapat memprediksinya.


Star Trek Into Darkness adalah sebuah sekuel yang dinanti-nantikan. Bukan karena film ini menyandang nama 'Star Trek' dengan jutaan fans setia di dalamnya, namun lebih kepada bagaimana film ini dapat mempertahankan kualitas yang ada dalam predecessor-nya. Naskahnya masih kokoh dengan berbagai kejutan di dalamnya yang akhirnya dikemas dengan pengarahan presisi dari J.J. Abrams. Pendalaman tiap karakternya mampu membuat sekuel ini menjadi sebuah tontonan yang bukan hanya menghibur dengan sekuen aksi yang menegangkan dan memacu adrenalin, namun juga menjadi tontonan yang tak pernah melupakan sisi emosionalnya, tanpa menjadi sebuah karya yang sentimental. Cast-nya sangatlah gemilang, terlebih dengan villain-nya yang  memorable pula.

Ya, secara keseluruhan Star Trek Into Darkness tak dapat dibilang se-mind-blowing dan sedahsyat pendahulunya. Namun, tetap saja Star Trek Into Darkness tak pernah kehilangan intelegensia, kecerdasan, tensi tinggi, karaktersasi, akting, dan naskah yang pernah dibawakan Star Trek versi 2009, meskipun tak banyak melibatkan porsi 'loncat waktu' sebanyak prekuelnya (oke, kalau ini memang personal). Dengan film ini pula, J.J. Abrams kembali dengan mudah menghancurkan tanggapan bahwa sebuah blockbuster hanyalah film edge-of-your-seat bermodal visual hebat dan berorientasi pada profit belaka, ia juga bisa menjadi sebuah tontonan kokoh, asalkan dengan satu syarat: dibuat dengan hati.


Sunday, June 2, 2013

Tagged under: , , , , , , , , , , , ,

[Cannes 2013] And the Palme d'Or Goes to...

What's the warmest color at the Cannes? Blue.
Cannes Film Festival 2013 telah digelar kurang lebih 1 minggu yang lalu (dan baru saya post kali ini). Festival film terbesar di dunia ini dimulai dari tanggal 15 May hingga 26 May 2013, dengan film The Great Gatsby, sebuah adaptasi dari novel Fitzgerald, sebagai pembuka, dan ditutup oleh Zulu yang dibintangi Orlando Bloom. Dengan Audrey Tautou sebagai host dan Steven Spielberg sebagai ketua juri dari kompetisi utama, Cannes kali ini diakhiri dengan kemenangan dari sebuah film romansa lesbian, Blue is the Warmest Color dalam kategori yang paling ditunggu-tunggu, Palme d'Or. Sementara itu, film lain dari sineas-sineas yang memiliki nama besar sepeti Coen bersaudara serta Asghar Farhadi, juga berhasil memboyong beberapa penghargaan. Tak hanya itu, Cannes kali ini juga merupakan tahun hebat bagi sineas-sineas Asia dengan banyaknya kemenangan yang disabet film-film asal Asia, dan berikut daftar lengkap pemenangnya.

Palme d'Or (Best Film) 
La Vie d'Adele - Chapitre 1 & 2 ("Blue is the Warmest Colour") - Abdellatif Kechiche (France) 

Grand Prix (Runner-up)
Inside Llewyn Davis - Ethan and Joel Coen (U.S.) 

Jury Prize (Third Prize)
Soshite Chichi Ni Naru ("Like Father, Like Son") - Kore-Eda Hirokazu (Japan) 

Camera d'Or (Debut Film)
Ilo Ilo - Anthony Chen (Singapore) 

Best Director 
Heli - Amat Escalante (Mexico) 

Best Screenplay 
Tian Zhu Ding (A Touch of Sin) - Jia Zhangke (China) 

Best Actress 
Bérénice Bejo - Le Passé ("The Past") (France) 

Best Actor
Bruce Dern - Nebraska (U.S.) 

Short Film
Safe - Moon Byoung-Gon (South Korea)