Monday, August 20, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Hot Fuzz (2007)

"I may not be a man of God, but I know right and I know wrong and I have the good grace to know which is which." ~ Nicholas Angel

Setelah pada tahun 2004 Edgar Wright menyutradarai film horor zombie komedi, Shaun of the Dead yang sukses secara kritik maupun finansial (khususnya untuk Inggris dan Amerika Serikat), 3 tahun kemudian ia muncul kembali lewat Hot Fuzz. Kali ini, tak ada zombie lagi, namun ia masih bekerja dengan dua pemeran dalam Shaun of the Dead, Simon Pegg, yang merangkap sebagai pemeran utama sekaligus penulis naskah bersama dengan Edgar Wright serta Nick Frost, yang lagi-lagi sebagai partner Simon Pegg.

Hidup Nicholas Angel sebagai seorang polisi rasanya sangatlah sempurna. Bagaimana tidak? Unggul latihan medan khususnya dalam hal keamanan kota dan kontrol kerusuhan, unggul pula dalam bidang akademis, mendapat 9 penghargaan khusus dalam 12 bulan terakhir, cepat membangun kefektifan dan popularitas di masyarakat, jago dalam hal mengendarai mobil dan sepeda, pemegang rekor lari 100m hingga kini, dan yang terpenting, merupakan petugas dengan rekor penangkapan penjahat tertinggi, 400% diatas petugas lainnya. Sayangnya, kehidupan percintaannya tidaklah sesempurna kehidupan profesinya.


Suatu hari, berita baik datang. Ia diangkat menjadi sersan. Tapi, ada pula berita buruknya. Ia dimutasi dari London ke sebuah desa bernama Sanford, Gloucestershire. Sandshire sendiri merupakan sebuah desa kecil yang memenangkan Village of the Year berkali-kali serta memiliki tingkat kriminalitas yang sangat rendah. Tentu saja awalnya Angel (ya, mungkin sebaiknya kita panggil Nicholas saja, haha) tak setuju akan ini, namun tak ada pilihan lain, ia harus pindah ke Sandford. 

Di Sandford, ia bekerja dengan rekan-rekan kerja baru, seperti PC Danny Butterman (Nick Frost), polisi berbadan subur yang nantinya (seperti biasa) akan menjadi partner Nicholas. Selain Danny, juga ada ayah Danny, Inspektur Frank Butterman (Jim Broadbent). Selain keluarga polisi ini, ada pula PC Doris Thatcher (Olivia Colman), PC Bob Walker (Karl Johnson), Detektif Sersan Wainwright (Paddy Considine), Detektif Constable Cartwright (Rafe Spall), dan Sersan Tony Fisher (Kevin Eldon).


Keadaan antara London dengan Sandford tentulah sangat berbeda. Ini pula lah yang dirasakan oleh Nicholas. Tak ada kasus-kasus besar seperi biasanya, paling-paling hanya kasus kehilangan, dan yang hilang pun bukan manusia, melainkan seekor angsa. Sampai suatu hari, pengacara kondang Martin Blower dan selingkuhannya Eve Draper yang merupakan seorang pekerja di dewan lokal, ditemukan terpenggal kepalanya. Nicholas meyakininya sebagai pembunuhan daripada kecelakaan, apalagi setelahnya banyak lagi kasus 'kecelakaan' bermunculan, tapi sayangnya, polisi lain malah menganngap ini hanyalah sebuah kecelakaan.

Hot Fuzz mungkin salah satu film komedi yang tak hanya menjual kekonyolan, tapi juga mengajak penontonnya berpikir, layaknya film komedi lawas sejenis tahun 1985, Clue. Tak hanya menonjolkan sisi misteri dan crime yang membuat kita penasaran sekaligus berpikir, Hot Fuzz juga menggabungkan unsur action ke dalam film ini, unsur yang tak ada dalam film Clue.


Awalnya, Hot Fuzz memang terlihat film tentang polisi yang paling manusiawi: tak ada penjahat besar, kejar-kejaran dengan buronan, maupun baku tembak antar polisi dengan pelaku kriminal. Namun perlahan, Hot Fuzz mulai menampakkan batang hidungnya. Jika diibaratkan, Hot Fuzz bagaikan sebuah bom waktu, yang dapat meledak sesuai dengan waktu yang ditentukan dan ketika waktunya tiba, maka BLAM! 'Bom' tersebut akan mengeluarkan segalanya, sekaligus action seru dan layaknya film detektif-detektifan lainnya: twist, meski memang tak se-shocking Incendies ataupun The Prestige.

Hot Fuzz sebenarnya mengingatkan saya kepada Shaun of the Death, selain karena adanya trio Wright, Pegg, serta Frost, juga terutama pada teknik hip-hop montage dinamisnya yang mendominasi. Selain di Shaun of the Death, hip-hop montage pernah dipakai oleh Darren Aronofsky dalam film Requiem for a Dream (2000) yang kemudian menjadikan teknik ini populer. Hip-hop montage sendiri merupakan teknik yang merupakan hasil dari pemotongan editing yang cepat, close-up (sesekali juga memakai frantic zoom), serta suara tajam. Bukan hanya itu, film ini juga memakai match cut yang juga pernah dipakai dalam 2001: A Space Odyssey milik Stanley Kubrick.


Frost, sebagai penyumbang porsi komedi terbanyak terbilang berhasil dalam membuat penontonnya untuk tak menahan tawanya. Tak hanya Frost tentunya, aksi-aksi konyol karakter lain juga cukup membuat tawa membludak, tak terkecuali para rekan Danny dan Nicholas. Belum cukup? Tampaknya action yang dibawakan Hot Fuzz juga efektif untuk membuat anda tertawa. Dalam hal komedi, Hot Fuzz tidaklah menawarkan komedi yang kasar, kotor, dan brengsek, namun lebih menawarkan komedi yang lebih sopan namun berhasil mengundang tawa. Salah satu yang saya suka adalah scene 'not Janine'.

Wright dan Pegg selaku screenwriter ternyata belum mau melepas unsur dari Shaun of the Dead yang satu ini. Darah, potongan tubuh, mayat, dan segala hal yang berbau gory. Meski menawarkan komedi yang terbilang sopan, unsur gorynya justru tampil lebih sadis dan eksplisit, meski tidak kebagian banyak porsi. Semua kesadisan ini juga berkat andil special effectnya yang sangat bagus, khususnya untuk film dengan budget 8 juta euro. Sebenarnya jejak Shaun of the Dead bukan hanya sentuhan gory, masih ingat pub?


Berbicara tentang Hot Fuzz maupun Shaun of the Dead tentu tak akan afdol jika tak membicarakan bromace dari Pegg dan Frost. Chemistry yang dihasilkan keduanya tampil dengan sangat solid sebagai sepasang partner. Bukan hanya tampil solid dalam setiap adegan komedi serta action, namun juga dalam porsi emosional yang ditampilkan. Di Hot Fuzz bukan hanya ada bromance antara Nicholas dan Danny, tapi juga antara duo Andes, meski sayangnya tak terlalu dikembangkan.

Hot Fuzz, memang belum sefenomenal si horor zombie Shaun of the Dead, namun tetap saja Hot Fuzz sangat berhasil bukan hanya dalam hal membuat penonton tertawa, namun juga dalam actionnya yang seru dan bagaikan bom waktu itu. Jangan pula lupakan chemistry kuat antara Pegg dan Frost plus nuansa gory yang ditawarkan. Sungguh suatu perpaduan yang luar biasa.

8.0/10

0 comments:

Post a Comment