Saturday, August 17, 2013

Tagged under: , , , , ,

[Review] Before Midnight (2013)

"Still there. Still there. Still there. Gone." ~ Celeste

Jika ditanya, trilogi-trilogi terbaik yang pernah ada, pasti yang keluar dari mulut ada The Lord of the Rings (kalau yang ini hukumnya wajib), The Godfather, Three Colors, Batman versi Nolan, Evil Dead, hingga trilogi dari seberang Hollywood sana, trilogi Vengeance. Well, tahun ini, kita kedatangan 'anggota' baru, trilogi 'Before' dari Richard Linklater, yaitu Before Sunrise (1995) dan Before Sunset (2004), dan sebagai sang penerus, ada Before Midnight. 'Before' di sini bukanlah metafora, karena memang setiap serinya berakhir sebelum waktu tertentu

Dibandingkan kesemua trilogi sebelum-sebelumnya, rasanya sangat pantas kalau kita menyebut trilogi yang satu ini sebagai trilogi 'sakral. Bagaimana tidak? Setiap film dengan sekuelnya, masing-masing berjarak 9 tahun, dengan cerita yang memang berjarak 9 tahun sejak film pertamanya. Namun, trilogi ini bukan hanya unik dari kesakralannya ditambah penerapan konsep triloginya yang 'real-time', namun juga terletak pada cara berceritanya yang tak kalah unik dan tak pernah diterapkan pada film-film sebelumnya (well, setahu saya). Apa itu? Penasaran?


Khusus kali ini, saya tak mau membeberkan isi cerita terlalu banyak, karena di awalnya nanti ada kejutan kecil. Yang jelas, film ini berkisah 9 tahun setelah pertemuan mereka di Paris. Yang jelas pula, keseluruhan Before Midnight bermula dari naskah garapan Linklaster, serta 2 orang dari lini terdepan departemen aktingnya, Ethan Hawke, dan Julie Delpy. Cerita yang diangkat sebenarnya sederhana, sebuah kisah romansa manis-pahit yang telah bertahan selama 18 tahun lamanya. Namun naskah dengan pondasi cerita sederhana seperti itulah yang menjadi suatu tantangan berat bagi penulis naskah. Tantangannya adalah bagaimana membuat cerita simple, yang akhirnya mampu menjadi naskah kokoh melalu penulisan yang mumpuni. Naskah Before Midnight punya semua yang saya sebutkan tadi. 

Coba tonton, dan lihat apa yang menjadi peluru utama film ini. Tak usah perhatikan dengan seksama, karena anda pun pasti akan menemukan perbedaan mencolok dengan tipikal romansa lain: penggunaan dialog yang sangat, sangat banyak. Bahkan, bisa dibilang keseluruhan film ini terdiri dari dialog. Ya, untuk anda yang telah mengikuti kedua seri sebelumnya, pasti tak akan heran dengan ini, dan yang belum akrab dengan trilogi ini, tenang aja, karena naskah dengan ribuan, atau mungkin jutaan kata ini tak akan pernah membuat penonton menari-nari di tengah kebosanan, apalagi hingga jatuh tertidur. Apa rahasianya?


Rahasia besarnya terletak pada penghadiran rangkaian dialog sehari-hari, hidup, sederhana, namun nyatanya merupakan rangkaian penuh kekuatan magis. Sepanjang 109 menit, Before Midnight menawarkan dialog-dialog kompleks, namun simple guna menyelami perspektif cinta rumit dan karakter-karakter menarik, yang semuanya terangkum dalam sebuah romansa bittersweet cukup minimalis, yang tentunya lebih berliku dan penuh kerikil dibanding cinta monyet dan cinta nostalgia yang ditawarkan Before Sunrise dan Before Sunset. Sepanjang waktu itu pula, anda 'dipaksa' menyimak dialog-dialog cerdas, yang secara bersamaan akan mengajak kita ke sebuah kisah yang manis dan adiktif.

Dengan dialog yang selevel lebih baik dua pendahulunya, Before Midnight tak hanya penuh dialog filosofi mendalam seperti yang duologinya tawarkan. Bagi pengikut kisah cinta Jesse dan Celine, kita juga diajak bernostalgia dengan memori lama nan manis selagi mengingat kisah cinta di sepanjang sungai Paris, atau lebih mundur lagi ke pertemuan secara tak sengaja mereka di kereta api menuju Vienna. Tentunya, semua ini tak hadir lewat kilasan-kilasan flashback, namun masih melalui dialog-dialog manis yang dijamin membuat penonton senyum-senyum sendiri sembari pikiran melanglang buana ke 2 dekade lalu.


Anda tak hanya akan menyunggingkan bibir untuk satu alasan di atas, karena Before Midnight juga menawarkan dialog-dialog witty namun tanpa pernah terlihat terlalu dipaksakan untuk melucu. Semuanya berjalan dengan begitu alamiah dan tenang, setenang arus sungai. Namun seperti sungai yang tak harus sebening kaca dengan arus bersahabat, ada kalanya ketika romansa mulai melewati sungai keruh berarus besar. Ketika memasuki fase tersebut, naskah film ini mulai berubah haluan (namun  tetap tak hilang arah) dengan menyuguhkan dialog-dialog intens, tajam, serta penuh ketegangan. Dengan dialog dan konflik meyakinkan tersebut, kita seakan berada di posisi mereka, layaknya tiba dipersimpangan jalan yang berliku dan penuh lubang..

Yang membuat kita merasa ada di posisi mereka bukanlah berkat naskah kokohnya saja, karena sebagai sutradara, Richard Linklaster berhasil menuntun penonton masuk sedalam-dalamnya ke kisah ini dengan pengarahannya yang presisi. Ia mampu maksimalkan kekuatan magis setiap kata dari naskahnya, yang membuat penonton merasa akrab dengan pasangan ini, sekalipun tak pernah bertemu, dan keduanya hanyalah karakter fiktif. Saya selalu menyukai perubahan tone yang Linklaster lalui dengan begitu halus dan effortless, yang kemudian berubah lagi di menit-menit terakhirnya yang ditutup dengan pengarahan hangat berlimpah dialog charming.


Tapi, keberhasilan seorang Linklaster tak berhenti di situ. Satu lagi merupakan keahliannya yang memang telah terbukti lewat dua pendahulunya, yaitu bagaimana ia membuat penonton percaya bahwa film ini nyata, sekalipun kita tahu bahwa sebenarnya tidak. Ia mampu memberikan kesan meyakinkan, bahwa setiap kata yang keluar dari mulut para karakternya merupakan kata-kata spontan. Semuanya dapat ia hadirkan tanpa kesan scripted, sama sekali.

Feel alami tersebut juga menjalar hingga departemen akting. Kita tahun bahwa Ethan Hawke dan Julie Delpy memiliki chemistry 'anti-gempa' sejak 18 tahun lalu. Dan kini, setelah seri keduanya telah rilis hampir 1 dekade lalu, hal itu masih dapat dirasakan dalam Before Midnight. Gaya romansa keduanya jelas berbeda jauh dibanding ketika mereka pertama bertemu, namun seiring berjalannya waktu, chemistry keduanya makin meyakinkan dan natural. Sebagai individu, dengan bantuan dialog-dialog cerdas dan spontanius, Hawke maupun Delpy berhasil memberikan setiap nyawa bagi Jesse dan Celine.


Hal itu tak melulu terjadi pada Hawke dan Delpy di lini depan. Di belakangnya, cast lain yang terdiri dari Athina Rachel Tsangari, Panos Koronis, Walter Lassally, Xenia Kalogeropoulou, Yiannis Papadopoulos, dan Ariane Labed juga mampu memberikan setiap karakternya kehidupan, sekalipun dengan screentime minim. Semua itu mampu diperoleh berkat setiap penampilan yang natural dan tak dibuat-buat, dan tak lupa penampilan mereka yang kebanyakan diisi dengan berbicara. Lagi-lagi, berbicara tentang Before Midnight dan 'before'-'before' lainnya, adalah pembahasan dialog yang tak akan ada habisnya.

Diisi dengan dialog yang kaya akan feel charming, heart-warming, kadang kocak, intens, dan tajam, Before Midnight mampu menyihir tontonan sederhana menjadi sebuah karya yang menarik dengan cara pengemasan unik dan hidup. Hadir tanpa celah sedikitpun di penyutradaraan, penulisan, hingga departemen akting, Before Midnight juga mampu memberikan sentuhan-sentuhan nostalgia yang begitu manis. Akhirnya, Before Midnight bukan hanya termasuk satu dari sedikit sekuel yang mampu tampil sebaik, bahkan mengungguli pendahulunya saja, tapi juga sebuah romansa penuh liku yang akan membekas sepanjang waktu. Kita memang belum tahu apakah kisah ini akan berlanjut atau tidak, tapi, seandainya berlanjut.... sampai ketemu di tahun 2022! 



0 comments:

Post a Comment