Friday, October 17, 2014

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] Calvary (2014)

"There's too much talk about sins and not enough of virtues." - Father James

Film bertema religi tentunya bukan hal asing lagi di tahun 2014. Sutradara sekaliber Darren Aronofsky pun sempat menelurkan kisah biblikal Noah. Bukan hanya Aronofsky, sineas veteran penghasil Alien, juga akan merilis Exodus: Gods and King yang mengangkat kisah Nabi Musa dengan Christian Bale di lini depan aktingnya. Di lain sisi, ada pula film-film non blockbuster seperti Son of God, Heaven is For Real, hingga God's Not Dead. Datang dari tanah Irlandia, ada Calvary, sekalipun bukanlah kisah biblikal dan hanya mengambil agama sebagai latar belakang dan alat agar kisahnya mampu bekerja dengan baik. Dan yah, harus diakui, kisahnya dapat berkerja dengan baik, bahkan sangat baik.

"I first tasted semen when I was 7 years old," kalimat inilah yang mengawali Calvary, sebuah dialog yang benar-benar aneh untuk mengawali sebuah film, bukan hanya bagi film yang mengangkat agama dan keimanan seperti Calvary, tapi literally, semua film. Well, it would be very weird for The Avengers to have this first dialogue, right? Dan, saya yakin reaksi penonton akan sama dengan dialog setelahnya, "That's certainly a startling opening line," well, certainly it is. Kembali lagi, ini adalah satu cara disturbing untuk mengawali sebuah filmnamun sukses mengumpan rasa penasaran yang begitu besar.  Jujur. saya begitu terkesima dengan opening dari Calvary: kalimat ini muncul dari balik sebuah bilik pengakuan dosa yang gelap, dengan Father James yang terlihat sedih dan seorang pria sakit jiwa misterius yang 'mengakui' dosanya dan tiba-tiba mengancam akan membunuh sang pastur. One minute, and you'll be hooked for 99 more minutes.


Ini benar-benar jarang terjadi. Ancaman pembunuhan bukan hal yang baru lagi, tapi menujukannya pada seorang pemuka agama yang benar-benar innocent? Ini mungkin saja yang pertama. Berangkat dari sini, Calvary terasa seperti perpaduan yang absurd, namun di situlah Calvary mampu tampil kuat. Ada banyak unsur agama di dalamnya, namun ia diawali oleh sebuah misteri dan rasa penasaran yang mencengangkan. Tapi, semakin konfliknya melebar, maka ini bukan hanya berbicara tentang misteri, dan Calvary juga bukanlah agama melulu. Ada banyak hal lain di baliknya.

Ketika dramanya mulai mendominasi, misteri di sini hanyalah semacam medium, perantara yang sutradara berikan untuk menyampain pesan sebenarnya film ini. Dari dialog awal percakapan Father James dengan 'sang calon pembunuh', "There's no point killing a bad priest, but killing a good one! That would be a shock!", McDonagh telah memberikan sedikit clue tentang apa sebenarnya Calvary. Di menit-menit setelahnya. begitu banyak karakter berseliweran, mondar-mandir dengan kisah-kisah dan kelakuannya tersendiri. Ya, it's a character study and social commenatary, likely a representation of seven deadly sins, and a pretty good one. Sekalipun durasi 100 menit begitu singkat untuk menjabarkan tiap kisahnya, yang mungkin membutuhkan lebih dari 2 jam untuk memadatkan tiap subplot, tapi tak dapat dipungkiri, subplot-subplot ini menarik, dengan karakter-karakter yang eksentrik, yang membuatnya menjadi lebih atraktif. Batu sandungan itu memang ada dengan subplot yang begitu banyak dan beberapa di antaranya kurang dapat berkembangtapi toh saya tetap terkesima selama 100 menitya berjalan.


Ini mengingatkan saya terhadap Gosford Park, but much more interesting. Beralur lambat, and filled with talking, talking, and just talking, banyak hal yang sebenarnya terjadi di baliknya. Ya, sekalipun begitu dominan, tak lantas Calvary berubah haluan menjadi film yang tak menarik dengan hanya ada kata-kata di dalamnya. Sebaliknya, berterimakasihlah kepada John Michael McDonagh yang berjasa dalam menyusun dialog-dialog berbobot dan cerdas, tapi pada saat yang sama, ia juga bisa bercanda, mengeluarkan baris dialog yang bukan hanya membuat kita tersenyum simpul, tapi juga 'mengunyahnya' terlebih dahulu.

Lewat naskah, kita dapat melihat apa yang McDonagh ingin sampaikan ke permukaan. Film ini mengambil sebuah tanda tanya besar terhadap, well literally everything that's been questioned by many people: religion, faith, church sexual issue, human nature, honesty, hope, and forgiveness, which we can see in each story and each character. Tapi, apa yang membuat Calvary bahkan lebih baik lagi, adalah sang pemain utama itu sendiri. The priest, is flawed. Dia seseorang yang jujur, tenang, penuh keyakinan, meski pada beberapa bagian air mukanya menunjukkan keputusasaan. Ia adalah observer, mata dan hati penonton dalam mengamati kelakuan manusia. Dan, layaknya kita sebagai penonton, ia juga bukan karakter sempurna, dan Brendan Gleeson dengan bantuan McDonagh berhasil membuat karakter ini layaknya seorang manusia biasa.


Dari menit awal, Calvary dengan berani telah menyinggung isu pelecehan dalam tubuh gereja. Tak seperti Doubt yang memilih menyinggungnya dengan penyampaian yang lebih halus dalam 'keraguan', maka McDonagh mengambil jalan yang lain, mengungkapkannya lewat latar kisah dan jalannya dialog yang pada beberapa bagian cukup eksplisit. Jangan bayangkan seperti Primal Fear yang brutal, karena pembawaan Calvary yang menenangkan di keadaan apapun. Di satu sisi, ini adalah penggambaran yang cukup disturbing dan 'sakit', memaksa penonton mendengarkan dialognya yang menyakitkan, meski tak pernah secara langsung 'memamerkan kesakitan' tersebut.

Ya, dengan segudang kelakuan immoral yang ia gambarkan, apa yang ia bawa justu sebaliknya: apa itu moralitas, Anda mungkin akan bergidik akan isu pelecehan seksual dan kekerasannya, namun Calvary tetap menyentuh di hampir semua bagian. Lewat sang pemain utama, ada kejujuran dan nilai moral lain, dan lewat tiap subplot, selalu ada yang dapat kita ambil tanpa harus merasa digurui. Sebelum kredit bergulir, McDonagh juga sempat menyajikan salah satu momen penutup paling epik yang pernah ada. Tanpa perlu berkata-kata dan bermodalkan permainan visual, ia mampu menyentuh penonton, memberikan pelajaran terakhir yang berharga dan tak terlupakan: hope and forgiveness.


Kesimpulannya? Topik yang ia bawa kurang lebih apa yang kita lihat dalam Se7en minus box misterius itu, dengan konsep pengemasan yang mengingatkan kita akan Gosford Park, tapi dengan misteri yang lebih mempesona. Meski begitu, Calvary masih memiliki spark-nya sendiri. Temanya banyak dan berat, namun penyajiannya cenderung tidak terlalu berat, dan ia juga tak pernah menggampangkan tema krusialnya. Hasilnya, sebuah drama pilu dan menyentuh, humor cerdas, yang disajikan dengan begitu cantik, baik dari segi naratif maupun visual. Berbicara tentang visual, di balik kegelapan temanya, Calvary juga menyimpan sinematografi apik. Ia turut membuka Calvary dengan atmosfer yang gloomy, menyorot lanskap Irlandia yang begitu cantik, menyajikan kepedihan dengan visaul memukau, hingga yang terpenting: ia juga ambil bagian dalam menyampaikan emosi dalam bentuk visual ke penonton.

Dibuka oleh percakapan yang cukup mengejutkan, ditengahi oleh karakter-karakternya yang menarik, hingga diakhiri oleh momen yang menggetarkan, nyaris membuat saya melupakan kekurangan Calvary, yang sebenarnya juga bukanlah hal yang terlalu besar. Selama 100 menit, Calvary mampu memberikan sebuah dunia yang tak biasa, mengeksplorasinya lewat sebuah misteri yang mempesona, memberikan penonton sebuah suplemen otak dengan kecerdasannya mengambil banyak hal ke permukaan dan keberaniannya menertawakan isu-isu moral. Diisi oleh lead tak terlupakan dari Brendan Gleeson, makin mampu menegaskan Calvary sebagai sebuah silent pleasure, tontonan mengenai kesedihan yang disajikan dengan cantik dan tenang. Salah satu yang terdepan di tahun ini, bahkan sejak menit pertamanya,

0 comments:

Post a Comment