Thursday, May 23, 2013

Tagged under: , , , , ,

[Review] Repulsion (1965)

"I don't like them." ~ Carol Ledoux

Entah mengapa akhir-akhir ini, saya sedang gila-gilanya menonton film horor klasik, dan Repulsion ini adalah horor klasik keempat yang saya tonton (dan ketiga yang saya buat reviewnya). Coba tebak, apa film horor pertama dari Roman Polanski? Rosemary's Baby? Paling populer, mungkin iya, namun jelas bukan yang pertama. Jawabannya adalah Repulsion, yang hadir 3 tahun sebelum Rosemary's Baby yang fenomenal. Repulsion sendiri bukan hanya menjadi film horor pertamanya, film ini juga merupakan film keduanya, yang menjadikan Repulsion sebagai salah satu tonggak terpenting dalam perjalan karir seorang Roman Polanski.  Dan di awal karirnya ini, Polanski telah menunjukkan talentanya yang luar biasa.

Roman Polanski tak hanya hadir sebagai sutradara, bersama dengan Gérard Brach dan David Stone, ia juga muncul sebagai salah seorang penulis naskah. Film ini dibintangi oleh future Oscar nominee, Catherine Deneuve, Ian Hendry, Yvonne Furneaux, John Fraser, Patrick Wymar, dan masih banyak lagi. Di zamannya, Repulsion terbilang sukses menaklukkan hati para kritikus. Film ini mendapatkan 2 penghargaan dari salah satu festival film terbesar di dunia, Berlin International Film Festival 1965, meski gagal mendapatkana penghargaan utama, Golden Bear. Film ini juga mendapatkan 1 nominasi dalam BAFTA 1966, meskipun hanya dinominasikan di kategori teknis, yaitu Best British Cinematography untuk film hitam putih. 


Carol Ledoux (Catherine Deneuve) adalah seorang manicurist asal Belgia yang tinggal di London bersama kakaknya, Helen Ledoux (Yvonne Furneaux). Setiap harinya, Carol sering melamun dan berdiam diri, bahkan dalam kerjanya. Ia juga mencoba menghindari kontak dari Colin (John Fraser), pria yang mencoba mendekatinya. Ia juga tidak menyukai pacar kakaknya yang beristri, Michael (Ian Hendry), apalagi ketika Michael menaruh sikat giginya di dalam gelas milik Carol. Sifatnya yang makin hari makin aneh ini tak hanya mengundang penasaran orang-orang terdekatnya, namun juga memengaruhi aktivitas sehari-hari Carol, seperti pekerjaannya.

Suatu hari, Helen dan Michael memutuskan untuk berlibur mengunjungi Menara Pisa di Italia, dan meninggalkan Carol seorang diri. Dalam kesendiriannya ini, perilaku aneh Carol makin menjadi-jadi. Ia mulai merasakan hal-hal aneh dalam apartemennya, seperti dinding yang tiba-tiba retak dengan sendirinya, dan berbagai hal tak masuk akal lainnya. Perlahan, sikap Carol menjadi makin tertutup, ia menjadi anti-sosial, makin sering murung, dan selama beberapa hari, ia pun tak masuk kerja. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?


Dalam salah satu debut karirnya ini, Roman Polanski dengan (sangat) sukses membangun atmosfer yang bukan hanya creepy tapi juga dingin, sunyi, dan kosong, yang bahkan dapat dirasakan dari detik pertama nya, dimana Carol sedang berdiam diri saat sedang bekerja. Bagaimana Polanski membangun intensitasnya juga terbilang unik. Di awal film, ia tak pernah menunjukkan hal-hal yang biasanya menjadi pakem horor pada umumnya. Polanski lebih memilih cara yang tak biasa, salah satunya hanya dengan menggambarkan Carol yang murung dan desperate. Hal ini pada akhirnya memang menjadikan pengarahan dari Polanski menjadi terkesan dingin dan sulit diikuti, namun saya sangat yakin hal inilah yang memang ingin ditampilkan oleh Polanski, karena begitulah seharusnya Repulsion dibuat.

Salah satu keunikan Repulsion adalah Polanski tak pernah memberi penjelasan sedikit pun, namun malah memberikan banyak sentuhan-sentuhan imajinatif yang menakjubkan, yang mulai muncul pada pertengahan film.  Dalam bermain dengan imajinasinya, sesekali ia juga menampilkan momen mengagetkan, yang jujur saja memang sangat efektif dan berhasil membuat saya melompat sejenak dari tempat duduk. Keefektifan tersebut tak terlepas dari bagaimana cara ia membawakan Repulsion. Dengan ritme pelan dan tanpa adanya tanda apa-apa, tiba-tiba saja Polanski mengagetkan saya dengan sebuah adegan yang sama sekali tak saya kira. Seiring perjalanannya menuju klimaks, Polanski makin tajam dalam memberikan sentuhannya, yang bahkan terkadang menjurus ke arah absurd dan surreal. Semua hal ini membuat perasaan penonton mampu tenggelam dalam karakter Carol, sekaligus mengajak penonton untuk menggunakan otaknya.


Lewat sentuhan-sentuhan detail ini pulalah, Polanski mencoba memberikan berbagai petunjuk mengenai  Carol, termasuk masa lalunya yang (kemungkinan) kelam. Bagaimana ia menghindari kontak dengan Colin,  halusinasi dan delusinya, bagaimana ia begitu membenci Michael, membuang barang-barangnya, bahkan sampai jijik menyium baunya, lalu hingga foto masa kecil Carol bersama keluarganya yang memang menunjukkan ada sesuatu yang salah, yang kemudian mengantarkan penonton ke sebuah kesimpulan mengenai masa lalu kelam Carol (saya tak akan memberitahu, tentunya). Sekali lagi, hal ini sama sekali tak pernah disampaikan Polanski secara gamblang, melainkan melalui petunjuk-petunjuk cerdas yang ia berikan.

Repulsion juga hadir dengan penggambaran karakter yang amat baik. Dalam hal ini, tentu saya membicarakan cara jeniusnya menggambarkan Carol. Carol memang seorang gadis baik-baik, tentu merupakan protagonis dalam film, namun ia juga menggambarkan sisi gelapnya, seperti (spoiler!) bagaimana seorang gadis sepertinya malah berani membunuh seseorang, bukan hanya pada orang yang berbuat buruk padanya, bahkan pada yang peduli sekalipun (spoiler berakhir). Sepanjanng film, penonton tentu akan merasa simpati padanya, namun di sisi lain, penonton juga dapat kehilangan simpatinya pada karakter abu-abu ini. Dan karena faktor inilah, yang menjadi bukti mengapa Polanski membawakan karakterisasinya dengan sukses.


Bukan hanya itu, bagaimana cara Polanski mengemas Repulsion dalam dimensi abu-abu juga patut diacungi jempol. Ia sengaja tak memberikan batas jelas antara realitas dengan fantasi, (membiarkan penonton kebingungan dengan apa yang terjadi) dan membuat kedua dimensi ini menyatu dalam sebuah ruang yang saling melengkapi, lalu pada akhirnya malah membuat film ini menjadi jauh lebih superior lagi. Hal ini  justru memperkuat posisi Repulsion sebagai sebuah horor psikologis yang mengedepankan sebuah gejala schizophrenia. 

Dalam memimpin lini departemen aktingnya, Catherine Deneuve berhasil memukau. Deneuve dengan lihai mampu merasuki karakter Carol tanpa celah. Bagaimana gesture-nya, cara ia menunduk, matanya yang sayu, sampai caranya menatap dengan tatapan kosong, semua itu dilakukan Deneuve dengan hasil yang bukan hanya believable, namun juga bernyawaDi belakang aktris yang pernah dinominasikan Oscar lewat film Indochine ini, ada beberapa nama seperti Ian Hendry, Yvonne Vorneaux, John Fraser, Patrick Wymark, serta Helen Fraser yang mampu memperkuat dan mendukung Catherine Deneuve dengan sangat baik.


Kekuatan Repulsion bukan hanya dalam bagaimana Polanski menceritakan naskah film ini menjadi sebuah tontonan penuh imajinasi dan fantasi, namun juga bagaimana departemen teknisnya berperan besar dalam kesuksesan Repulsion. Sinematografi dari Gilbert Taylor mampu menangkap setiap esensi horor yang ingin ditampilkan. Score dari Chico Hamilton terasa begitu sempurna dalam memberikan sentuhannya dalam film ini. Tak hanya memanfaatkan perkusi sebagai musik andalannya, ia juga menggunakan bebunyian yang terus menerus direpetisi, seperti bunyi lonceng dan dentingan jam, yang justru saya akui lebih efektif penggunaanya ketimbang harus repot-repot memakai orkestra nan megah.

Repulsion adalah horor yang tentu tak dapat dinikmati oleh semua orang. Atmosfer kosong, penyutradaraan Polanski yang begitu dingin, naskah cerdas yang penuh sentuhan detail yang imajinatif, batasan abu-abu dalam realitas dan fantasi, caranya bercerita lewat jalan absurd dan surreal, mungkin membuat sebagian orang beranggapan bahwa Repulsion adalah film yang tak jelas, namun sebaliknya, bagi saya inilah nilai plusnya. Film ini mampu memberikan sebuah horor psikologis dengan cara yang aneh namun tetap cerdas dan anti-mainstream. Penuh imajinasi, namun tetap hadir dengan cara yang menakutkan. Pada akhirnya, Repulsion tak hanya menawarkan sebuah kisah sexual abuse biasa. Ini adalah kisah yang thought-provoking, sesak, puzzling, dan brilliant. Sebuah karya yang bukan hanya makin mengukuhkan nama Polanski sebagai salah satu sutradara terhebat sepanjang masa, namun karyanya sendiri juga tak akan tergerus sepanjang zaman.

2 comments: