Thursday, May 9, 2013

Tagged under: , , , , ,

[Review] Side Effects (2013)

"I loved everything about him, his hands, the way he smells. He swept me off his feet. I told him I would wait for him. I wanted to have a life with my husband." ~ Emily Taylor

Kita semua tahu Steven Soderbergh adalah sutradara hebat. Sejak kemunculannya dalam film Sex, Life, and Videotape pada 1989, dan dalam 24 tahun ke depan, ia masih menasbihkan dirinya sebagai 'one of the greates living directors & writers'. Karyanya pernah sekali dianugrahi sebuah Oscar 2001 dalam menyutradarai film yang mengangkat beberapa kisah tentang narkoba, Traffic, bahkan mengalahkan dirinya sendiri yang dinominasikan juga atas film Erin Brockovich. Hebatnya, di tahun yang sama pula, ia pernah mengantarkan nama Julia Roberts ke atas podium Oscar untuk kategori Aktris Terbaik lewat Erin Brockovich (tough Ellen Burstyn deserved it more (IMO), sorry Ms. Vivian..).

Setelah menelurkan Contagion dan Haywire pada 2011, dan Magic Mike pada 2012, kini Soderbergh kembali hadir lewat sebuah thriller psikologis, Side Effects, yang menandakan kolaborasi ketiganyanya dengan penulis naskah Scott Z. Burns setelah The Informant! dan Contagion. Mendengarnya saja, kita telah mengetahui bahwa film ini merupakan film tentang obat-obatan. Meskipun begitu, Side Effects benar-benar berbeda dengan Contagion, karena dalam Side Effects, Soderbergh lebih memfokuskan film pada thriller psikologis, berbeda dengan Contagion yg berfokus pada medical thriller disaster. Meski, ada satu hal yang hampir sama dengan Contagion: cast kelas A. Memang tak ada Kate Winslet, Gwyneth Paltrow, atau Marion Cotillard, namun ada nama-nama kondang seperti Rooney Mara, Jude Law (yang juga membintangi Contagion), Channing Tatum, dan Catherina Zeta-Jones.


Setelah empat tahun ditahan karena insider trading, Martin Taylor (Channing Tatum), akhirnya dibebaskan. Namun, tak lama kemudian, Emily Taylor (Rooney Mara), istrinya, malah melakukan percobaan bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya ke dinding sebuah parkiran. Meski hampir saja kehilangan nyawanya, Jonathan Banks (Jude Law), psikiater dari Emily, memperbolehkan Emily pulang atas permintaan dari Emily sendiri karena karena suaminya baru saja bebas dari penjara, apalagi Martin masih belum bisa bekerja dulu, sehingga Emily lah yang harus bekerja.

Untuk mengobati rasa depresinya, Emily mencoba berbagai obat anti-depresan. Sayangnya, tak ada satu pun dari obat itu yang bekerja. Jonathan pun akhirnya menghubungi psikiater Emily sebelumnya, Victoria Siebert (Catherine Seta-Jones), dan Victoria menyarankan Jonathan untuk memberikan obat baru kepada Emily, Ablixa. Awalnya, Jonathan menolak, sampai akhirnya Emily mencoba untuk bunuh diri lagi dengan menabrakkan diri ke sebuah kereta. Obat ini akhirnya bekerja, membuat Emily dapat kembali normal, namun ada satu kekurangan dari Ablixa, yaitu efek samping mimpi berjalan atau sleepwalking. Dan tanpa disadari, ada sesuatu besar yang akan terjadi dan merubah hidup Emily dan orang terdekatnya, selamanya.


Apa hal yang paling menempel dalam ingatan tentang Side Effects selain cast bersinarnya? Tentu saja kemampuan Soderbergh mengolah naskah Scott Z. Burns menjadi sebuah tontonan yang haram dilewatkan. Pastinya, naskah awal Scott Z. Burns memang sudah tak diragukan lagi kualitasnya dengan plot rapi dan karakterisasi yang berkembang baik. Namun, dengan naskah rapi, namun tanpa diiringi penyutradaraan dan eksekusi tepat tentu tak akan berarti apa-apa. Di sinilah, peran mereka berdua harus saling mengisi, dan Steven Soderbergh berhasil melakukan tugasnya dengan baik.

Hal yang paling dapat kita rasakan dari penyutradaraan Soderbergh adalah bagaimana cara ia menempatkan angle-angle serta tone yang agak mengingatkan dengan sinematografi Contagion ini mungkin berbeda dari film lain, selain film Soderbergh tentunya (by the way, dia memang director of cinematography dari Side Effects, meski memakai nama ayahnya, Peter Andrews, dalam kredit). Bagi saya, angle-angle dan tone yang dipilih Soderbergh sangatlah tepat. Ini membangun suatu atmosfer yang creepy, misterius, dingin, sunyi, sedikit angkuh, plus menimbulkan opini janggal bagi penonton, 'there's something wrong...'. Adegan pembuka dimana saat film ini menampilkan sebuah bangunan apartemen dari kejauhan, hingga mendekat ke salah satu jendela apartemen, itu saja sudah menimbulkan kesan misteri kuat, hingga akhirnya kita diperlihatkan jejak-jejak darah, malah membuat makin pembuka ini makin kental misterinya.


Tentu saja, atmosfer ini tercipta bukah hanya karena faktor sinematografi saja. Bagaimana Soderbergh mengantarkan kita masuk dalam misterinya benar-benar tak dapat dilupakan. Scene-scene vital seperti saat dimana Emily hendak menabrakkan mobil ke sebuah tembok mampu dieksekusinya dengan baik. Eksekusinya yang terkesan tenang di awal ketika Emily menatap tembok hingga perlahan-lahan menanjak seiring kecepatan mobil yang kian bertambah dan semua berakhir dengan begitu cepat dan tiba-tiba, namun ia tidaklah langsung beranjak ke scene lainnya, melainkan membiarkannya dengan menampilkan blank screen. Dari sini, ia tak hanya menaikkan tensi film, namun juga dapat meng-capture karakter Emily dengan sangat baik. Mungkin terdengar sepele, namun hanya dengan contoh kecil ini, dapat dilihat bahwa Soderbergh memang benar-benar membangun setiap tensi psikologi dengan eksekusi yang sangat baik.

Side Effects juga banyak dihiasi oleh beragam lapis twist yang cerdas. Soderbergh dengan jeli berhasil menyembunyikan setiap fakta, hingga nantinya semua akan terungkap dengan efek kejut yang lumayan mengejutkan. Satu-satunya hal pengganggu yang saya rasakan mengapa efek kejut yang seharusnya bisa lebih nendang lagi adalah, (SPOILER!) karena sebelumnya Burns lewat naskahnya telah menunjukkan kepada penonton beberapa kemungkinan yang akan terjadi, dan saat di akhir ia mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya, ternyata tak jauh-jauh dari kemungkinan yang ia berikan. Berbeda dengan The Sixth Sense contohnya, karena Shyamalan sama sekali tak menawarkan opsi apapun tentang yang sebenarnya terjadi, atau Arlington Road dan Murder on the Orient Express, yang mengarahkan kita ke beberapa kemungkinan, namun hasilnya di luar dugaan. Untungnya, sekali lagi Soderbergh masih mampu untuk mengelabui penonton dengan eksekusi sangat baik, dan Burns juga mampu menciptakan fakta cerdas dalam endingnya itu.


Satu lagi, pemilihan Channing Tatum benar-benar tepat. (SPOILER lagi!) Sebenarnya, formula seperti ini pernah diterapkan Soderbergh dalam Contagion pada Gwyneth Paltrow dan Kate Winslet, namun tetap saja saya tak akan mengira bahwa Tatum akan mendapat perlakuan yang sama. Tentu saja, untuk ukuran aktor sebeken Channing Tatum semua akan mengira (termasuk saya), 'He's Channing Tatum, there's no way he will die early in this movie!', meskipun Soderbergh telah memberikan kita clue tentang apa yang akan terjadi, tapi kebanyakan penonton akan menghiraukan fakta ini mengingat ia adalah Tatum, meski memang akhirnya hal itu terjadi juga. Dan bagi saya, ini seperti bonus twist yang kembali Soderbergh berikan dalam Side Effects (walaupun sepertinya Soderbergh harus mengurangi hal ini dalam karya-karya berikutnya, karena kemungkinan hal ini sudah tidak menjadi kejutan lagi).

Kalau anda membuat sebuah film dengan cast yang terdiri dari aktor papan atas Hollywood seperti Rooney Mara, Jude Law, Catherine Zeta-Jones, atau Channing Tatum, maka tak perlu ada hal yang dikhawatirkan soal departemen akting. Di lini depan, Rooney Mara masil tampil dengan penampilan bravura, dan  mengikrarkan namanya sebagai salah satu aktris muda terbaik di generasinya. Dengan bantuan dari naskah Burns dan penyutradaraan Soderbergh yang menciptakan karakter kompleks seorang Emily, Rooney Mara berhasil total dan meyakinkan dalam setiap scene-nya. Mara mampu terlihat rapuh dan emosional, namun juga mampu menampilkan aura misterius dan sulit ditebak yang begitu kental. Salah satu penampilan terbaik darinya, you nailed it, Mara!


Di belakangnya ada Jude Law yang masih menunjukkan penampilan baik seperti biasanya, meskipun perannya memang tak seliku karakter dari Rooney Mara. Sedangkan aktris peraihnya Oscar lewat film Chicago, Catherine Zeta-Jones juga mampu menunaikan tugasnya dengan sangat baik lewat karakternya yang begitu dingin. Lalu ada Channing Tatum yang ikut meramaikan departemen akting bertabur bintang ini dengan akting yang sama baiknya. Ya, perannya memang kecil, namun sangatlah penting bagi keseluruhan cerita film ini. Ada pula Ann Dowd yang angkat nama berkat Compliance, memerankan peran yang bahkan lebih kecil (dan tak sevital Tatum), tapi tetap memanfaatkan waktu singkatnya itu dengan sebaik-baiknya.

Memang masih tak bisa disamakan dengan Traffic, namun Side Effects berhasil menambah daftar panjang film berkualitas dari Soderbergh. Secara keseluruhan, Side Effects adalah thriller psikologis yang cerdas, dengan sentuhan kental ala Hitchcock yang diikuti eksekusi hebat dari Soderbergh dan naskah kuat dari Burns yang berlimpah-ruah dengan lapisan twist pintar. Tak lupa dengan salah satu penampilan Rooney Mara terbaik dalam filmografinya setelah The Girl with the Dragon Tattoo, yang didukung pula oleh Jude Law, Catherine Zeta-Jones, serta Channing Tatum yang masing-masing mampu mengisi karakter mereka dengan sangat baik. Sebuah film yang bukan hanya menceritakan seseorang dengan mental goyah, namun juga memiliki kekuatan magis untuk menggoyahkan mental penonton, menjadikannya salah satu this year's best movies, without hesitation. Bravo Soderbergh! 

0 comments:

Post a Comment