Monday, June 16, 2014

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Edge of Tomorrow (2014)

"Come find me when you wake up!" ~ Rita Vrataski

Siapa bilang membuat sebuah blockbuster merupakan hal mudah? Bermodal budget besar, dan voila! Semuanya bisa terwujud. Well, mungkin kalau ingin membuat suatu blockbuster murahan ber-budget besar, that's the way. Tapi, jika ingin suatu hidangan yang berhasil pada dua sisi: menghibur luar biasa serta cerdas dalam bercerita, itu adalah urusan lain. Tak sedikit memang blockbuster yang hanya menghibur tapi tak memiliki apa-apa di dalamnya. Contohnya? Yang jelas, bukan film ini, Edge of Tomorrow, yang datang dari sutradara The Bourne Identity, Doug Liman.

Diangkat dari light novel asal Jepang, All You Need is Kill, karangan Hiroshi Sakurazaka, Edge of Tomorrow mengisahkan tentang ras alien bernama Mimics telah mengambil alih daratan Eropa. Mayor William Cage (Tom Cruise), adalah seorang mayor yang tak pernah terjun langsung ke pertempuran, tiba-tiba dipanggil untuk bertemu Jendral Brigham (Brenda Gleeson). Ia memerintahkan Cage untuk ikut misi bunuh diri dalam menumpas ras alien tersebut. Cage yang belum berpengalaman dalam pertempuran tentu menolak dan memeras Jendral Brigham. Namun, usahanya sia-sia, karena segera setelahnya, ia langsung dilucuti pangkatnya dan dikirim paksa ke Bandara Heathrow, di mana ia bertemu Sersan Farell (Bill Paxton) dan skuad barunya, Skuad J.


Cage harus menerima kenyataan bahwa ia tak dapat mengubah keadaan, meski beragam cara konyol untuk kabur telah dilakukannya. Dengan rasa takut luar biasa, ia terjun ke pertempuran, tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. Sesaat setelahnya, ia diserang oleh makhluk raksasa bernama Alpha, meski akhirnya ia berhasil menghancurkannya dengan bom. Ketika Alpha mulai roboh, darahnya bercucuran di tubuh Cage, menyebabkannya 'tewas' dan terbangun kembali di depan Bandara Heathrow. Tanpa ia sadari, ia telah masuk sebuah mesin waktu yang akan terus mengulang pertempuran yang sama, kemudian tewas, bertempur, dan tewas lagi. Keadaan ini memaksa Cage menerima bahwa hanya dialah yang dapat menghentikan serangan musuh, dengan belajar dari kesalahannya, mati, dan memulainya dari awal lagi.

Baca sinopsis di atas, teringat sesuatu? Bagi para penggemar science fiction, Source Code jelas muncul di ingatan. Bagi yang menggemari genre horor yang tergolong cult, mungkin mengingatkan dengan horor Inggris, Triangle. Tapi, yang jelas, semuanya berakar dari Groundhog Day. Namun, di balik idenya yang bukanlah hal baru lagi, Edge of Tomorrow nyatanya bukanlah sekadar pengekor Groundhog Day, ia juga tidak sekadar mengikuti Starship Troopers. Ya, ada pula unsur Starship Troopers di dalamnya, menjadikan Edge of Tomorrow bagaikan Starship Troopers yang terjebak dalam dunia Groundhog Day. Tapi, kalau anda menganggap film ini sebagai pengekor keduanya pun, maka ini adalah pengekor yang sangat bagus, dan ini sama sekali bukanlah hal buruk.


Lewat premis gabungan ini, Edge of Tomorrow mendapatkan poin plusnya. Ia adalah film yang terus berulang, terjebak dalam 24 jam dan hanya bisa kembali ketika menghadapi kematian, membuat Edge of Tomorrow menjadi tontonan yang unik. Tak sampai di situ, memanfaatkan pola ini, Christopher McQuarrie, Jez Butterworth, dan John-Henry Butterworth melakukan sebuah kawin silang antara (tentunya) science fiction dan action, dengan banyak kromosom dari romansa dan komedi. Hasilnya, ini bukan hanya kisah tentang menumpas alien dan menyelamatkan dunia belaka, lebih dari itu, naskah ini kaya akan humor menyegarkan yang memanfaatkan pola Groundhog Day dan Tom Cruise yang sebagai perwira canggung, dan romansanya absurd dengan Cage yang merasa telah mengenal Rita ribuan kali, meski mereka sebenarnya baru saja bertemu. Namun, naskah yang kelihatannya menyenangkan ini bisa menjadi angan belaka jika berada di tangan yang salah.

Ya, melihat naskahnya, Edge of Tomorrow bisa berakhir di dua kemungkinan: repetitif dan membosankan, atau kesenangan yang tak berujung. Beruntung, proyek ini jatuh di tangan yang tepat, Doug Liman. Well, you can't mess with Jason Bourne, huh? Lewat tangan Doug Liman, Edge of Tomorrow bukanlah sebuah ripoff dari Groundhog Day, ini menjadi sesuatu 'baru', segar, dan menyenangkan. Liman berhasil mengarahkan semuanya. Yang anda lihat sepanjang 113 menit sebenarnya berada di set yang sama, kisah yang kurang lebih sama, dan tujuan yang sama persis: menyelamatkan dunia. Tapi, di sini lah peran seorang Liman. Ia membawa Edge of Tomorrow menjadi perjalanan melawan waktu dan tak kenal kata 'membosankan', dengan mencampuradukkan semuanya dengan kadar yang pas dan tak menjemukkan.


Temponya dinamis dan bergelora, meski pada dasarnya ini semua hanyalah pola yang terus berulang. Tapi, tak hanya berulang-ulang pada satu titik, karena pada tiap pola, film ini menambahkan ornamen-ornamen berbeda yang berhasil mengurangi tingkat repetitif dan rasa bosan dengan efektif, yang semuanya bergantung pada keputusan Cage. Sikapnya yang pelan-pelan belajar dari kegagalan membawa Edge of Tomorrow ke titik keseruan level dahsyat. Memang, sifatnya sebagai perwira payah dan tak tahu apa yang harus ia lakukan mengganggu di awal, tapi di lain sisi, hal inilah yang membuat Edge of Tomorrow makin kaya akan lapisan cerita, dan makin kaya akan ketegangan dan... tawa. Kita mungkin bisa mengkritisi bagaimana film ini mengakhiri kisahnya dengan cara yang sangat 'Hollywood'. Tapi, di luar itu, Edge of Tomorrow tetap mampu menjalankan 2 sisinya dengan sangat baik: entertaining as ever and thought-provoking as hell.

Edge of Tomorrow bisa jadi merupakan film di mana para penggemar dan haters Tom Cruise bersatu dan akur dalam gedung bioskop. Kalian bisa setia melihat wajahnya yang terus terpampang selama 113 menit, atau melihat (dan menertawannya) yang terus mati konyol dengan frekuensi yang tak terhitung lagi. Dan, jika anda tertawa, itu artinya Tom Cruise berhasil sebagai Cage yang pengecut dan komikal berkat kepayahannya. Ya, melihat Tom Cruise sebagai seorang pahlawan badass memang sudah biasa, tapi di sini, kita akan melihat bagaimana sang badass berasal, seorang perwira menyebalkan yang tak tahu apa-apa. Awalnya ketidaktahuan Cage mengganggu, tapi lama-kelamaan, ini terasa menyenangkan.


Tapi, sekeras apapun usaha Cruise, rasa-rasanya tak akan mampu menutupi pesona the real badass, the Full Metal B**ch, the Angel of Verdun, Rita Vrataski, yang dengan gemilang diperankan oleh Emily Blunt. Yes, the ice-cold office b**ch from The Devil Wears Prada is now the 'Full Metal B**ch'! Kemunculannya misterius, komikal, dingin, dan tak terlupakan. Ia boleh jadi not a fan of talking, but she's definitely a fan of stealing. Tepat, ia adalah pencuri momen yang selalu berhasil mengambil setiap lampu sorot di mana pun ia berada. Karakternya dingin dengan pedang raksasa yang selalu siaga, namun karismanya begitu appealing hanya lewat sekali push upChemistry Blunt dengan Cruise juga berlangsung canggung, aneh, ganjal, (dan memang seharusnya seperti itu) tapi tetap kokoh, menghasilkan romansa tak biasa, manis namun tetap dingin.

Ini mungkin adalah peranakan Groundhog Day dengan Starship Troopers, tapi ini keturunan istimewa, with the good genes, and it's totally okay. Justru, bermain dengan waktu a la Groundhog Day memberikan film ini banyak waktu untuk membangun apa saja, dari sekuen aksi, romansa unik, karakterisasi, hingga komedi pengundang tawa besar. Ia membawa nama besar Tom Cruise dan Emily Blunt yang mampu bersatu membentuk departemen akting matang. Kisah yang dibawa memang tak orisinal, namun pengemasannya cerdas dan menyenangkan dengan plotting berulang namun kompleks dan tak menjemukkan. Akhirnya, Edge of Tomorrow memang presentasi yang penuh keseruan, lucu, cerdas, blockbuster tak ber-otak yang dikawinkan dengan kisah penuh otak. Salah satu yang terbaik tahun ini!

4 comments: