Sunday, June 1, 2014

Tagged under: , , , , , , , ,

[Review] Godzilla (2014)

"Look, Mommy! Dinosaurs!" ~ Sam Brody

Berbicara tentang karakter monster fiktif, maka tak akan ada habisnya. Kita mengenal Graboid dari Tremors, Kraken dari Clash of the Titans, Clover dari Cloverfield, hingga Mr. Stay Puft dari Ghostbusters yang begitu menggemaskan. Sementara Korea memiliki Gwoemul yang muncul di The Host, Swedia juga memiliki Trollhunter dengan monsternya Troll. Tapi, dari semua itu, maka dapat dipastikan ada 2 nama dari 2 industri film berbeda yang tak akan tertinggal: Hollywood dengan King Kong-nya dan Jepang dengan Gojira (atau yang lebih dikenal sebagai Godzilla di Hollywood). Kali ini, tentu kita tak akan membicarakan King Kong, tapi salah satu reboot summer blockbuster yang paling ditunggu untuk tahun ini: Godzilla.

Tenang, bukan nama Roland Emmerich yang kali ini bertanggung jawab dalam membangunkan makhluk yang sudah terlalu sering dibangunkan di industri perfilman ini. Adalah Gareth Edwards yang menduduki bangku sutradara, bersama Max Borenstein dan Dave Callaham yang bertanggungjawab dalam menangani naskahnya. Tapi tunggu, siapa Gareth Edwards? Tenang, anda bukan satu-satunya, karena ia memang baru menelurkan 1 film sebelumnya, sebuah critically acclaimed science fiction bertema alien invasion, Monsters. Dibintangi Aaron Taylor-Johnson, Elizabeth Olsen, Ken Watanabe, hingga Juliette Binoche, can this reboot live up to its high expectation?


Tahun 1954, sebuah proyek nuklir Amerika Serikat rupanya membangunkan sesosok raksasa yang belum teridentifikasi yang sempat muncul ke permukaan. Maju ke tahun 1999, dua ilmuwan Projek Monarch, Dr. Ishiro Serizawa (Ken Watanabe) dan Dr. Vivienne Graham (Sally Hawkins), berhasil menemukan sebuah fosil radioaktif di sebuah pertambangan di Filipina. Sementara itu, di Jepang, reaktor nuklir Janjira mengalami aktivitas seismik aneh berupa gempa bumi yang berpola, yang akhirnya berakhir pada tragedi besar yang menewaskan Sandra Brody (Juliette Binoche) di depan mata suaminya sendiri, seorang fisikawan Joe Brody (Bryan Cranston).

Lima belas tahun kemudian, Joe kembali untuk menuntaskan apa yang dulu ia tinggalkan. Bersama sang anak yang telah dewasa dan menjadi perwira United States Navy, Ford Brody (Aaron Taylor-Johnson), mereka kembali dan menemukan bahwa daerah karantina bekas reaktor Janjira ternyata tak terkontaminasi radioaktif seperti yang telah dilaporkan sebelumnya. Kejadian aneh ini bukanlah salah satunya, karena ini hanyalah segelintir 'peringatan' yang menuntun kita pada bangunnya makhluk besar bersayap yang siap memporakporandakan apapun. Godzilla? Bukan, ini baru sekadar pemanasan untuk bertemu sang monster abadi.


Size does matter, dan itulah yang Gareth Edwards terapkan pada Godzilla: expand the scope. Ia menambah segalanya. Godzilla sudah bukan monster yang sekadar menitipkan telurnya di Madison Square Garden New York, sekarang ia adalah makhluk serupa stegosaurus versi karnivor setinggi lebih dari 100 meter. Melebarkan cakupan wilayahnya, kita akan berkelanana dari Filipina, Jepang, Las Vegas, hingga San Fransisco, ditemani pula dengan 2 makhluk raksasa mirip serangga yang makin menambah bombardirnya Godzilla versi Gareth Edwards ini. Tentu, CGI sangat vital di sini, dan dengan kualitas CGI mengagumkan, sosok Godzilla itu sendiri kembali hadir sebagai salah satu monster fiksi mengerikan yang pernah ada.

Dari opening film, kita ditawarkan bukan hanya ketegangan, tapi juga drama yang dipresentasikan dengan cukup menarik. Hanya dengan durasi sekitar 12 menit, duo Bryan Cranston dan Juliet Binoche mampu memberikan koneksi matang pada tiap karakternya. Berkat ruang gerak yang Edwards berikan pula, mereka dapat menyajikan porsi yang cukup efektif dalam kadar emosionalnya, di tengah ruang waktu yang begitu terbatas. Di dalam singkatnya waktu itu juga, Gareth Edwards mampu memompa intensitas, memberikan combo yang cukup berhasil dalam dua sisi: menghentak secara emosi sekaligus menghentak dalam adrenalinnya. Tapi, apakah ini akan bertahan lama? Sayangnya tidak.


Masalah besar datang ketika Edwards mulai menggiring penonton pada drama intinya, kolaborasi antara Aaron Johnson dengan Elizabeth Olsen. Walaupun memiliki waktu yang jauh lebih banyak, sayangnya kemampun Edwards perlahan melempem dan terlihat tak memberikan ruang yang cukup bagi para karakternya untuk berkembang lebih, sebaliknya ia terkesan lebih menikmati bermain-main dengan sang monster, dan mengacak-acak seluruh penjuru kota Honolulu, Las Vegas, dan San Fransisco. Hasilnya, sebuah drama prematur yang masih terasa masam dengan ikatan emosi yang kurang menonjol, porsi yang tak terlalu menarik dan terkesan menjemukkan. Tapi, dibalik timpangnya drama ini, seperti yang saya bilang tadi, Edwards sukses besar dalam menghidupkan kembali sosok Godzilla dan mengembalikannya menjadi makhluk garang nan gagah.

Tsunami, 'gempa bumi', ledakan masif, kereta hancur, hingga pertarungan para raksasa, itu masih segelintir kecil dari banyak kehancuran yang Gareth Edwards tawarkan. Ya, sebagai sebuah film tentang Godzilla, semua terasa sempurna. Setiap langkah dalam memperkenalkan raksasa ini begitu tepat. Di paruh awalnya, anda tak akan melihat sesosok Godzilla. Sebagai gantinya, Edwards 'menyentil' penonton dengan kehadiran raksasa lain, M.U.T.O (Massive Unidentified Terrestrial Organism). Dengan menyembunyikan sang tokoh utama, tentu Edwards mempunyai banyak waktu untuk menyiapkan moment of the truth. Dan ketika waktunya tiba, boom! Sebuah 'reinkarnasi' masif dan fantastis, diiringi kehancuran dan pompaan intensitas maksimal yang mampu mengernyitkan mata dan meninggalkan penggemar dalam kekaguman. Ada kata 'God' dalam Godzilla, dan Gareth Edwards tahu betul bahwa ia harus memperlakukan Godzilla layaknya dewa.


Sisanya, adalah one-man-show, di mana Godzilla mendominasi frame dan mengendalikan semuanya. Ada peran manusia di baliknya, tapi tak terlalu krusial. Pada satu sisi, hal ini berimbas pada peran para karakter yang 'terbuang', namun di sisi lain, ini adalah kesempatan bagi bintang utama untuk bersinar terang. Dan, memang, kesempatan bagi Gojira untuk bersinar terbuka lebar dan Edwards berhasil mempertahankan itu. Hingga pada akhirnya, ia membawa kita pada konklusi yang membuat siapapun bersorak sorai gembira sekaligus makin mengagumi monster Jepang ini. Well, meski Gareth tak berhasil mengangkat drama humanisnya, tapi yang terpenting, ia sukses membawa kita pada kecintaan terdalam terhadap sang bintang utama. And it's a good thing!

Katakanlah dramanya setengah matang, tapi coba tutup sebelah mata dan lihat Godzilla sebagai sebuah paket blockbuster penuh: keseruannya bertubi-tubi, kehancuran yang tiada henti, Sang Gojira pun tampak gagah berani, ditambah ending cheerful yang makin menyiratkan bahwa ini jelas adalah sebuah surat cinta sekaligus obat hati bagi para penggemar Gojira yang sebelumnya pernah sakit hati berkat Godzilla versi Roland Emmerich yang memperlakukan sang monster abadi seenaknya. Dengan skala serba raksasa, Godzilla versi Gareth Edwards ini tentu adalah presentasi yang pas bagi sosok Godzilla. Di sini, Edwards bukan hanya mengandalkan kekuatan komputer semata, tapi juga mengandalkan hati seorang penggemar Godzilla sejati. Jauh dari sempurna, tapi jika anda adalah orang yang mengutamakan hiburan di atas segalanya atau seorang penggemar Godzilla yang tak mau dikecewakan lagi, maka film ini adalah untuk anda, karena dijamin, it's one hell of a ride!


0 comments:

Post a Comment