Thursday, September 13, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] FISFiC 6 Vol. 1 (2011)


FISFiC yang merupakan kependekan dari Fantastic Indonesian Short Film Competition adalah sebuah kompetisi film pendek bergenre fantastik. Kompetisi yang dipelopori oleh sineas-sineas muda, yaitu Joko Anwar, Sheila Timothy, The Mo Brothers (Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel), Gareth Evans, Rusli Edi, dan Ekky Imanjaya ini memilih 6 film (awalnya 5) untuk dijadikan sebuah anthology horror sekaligus ditayangkan di iNAFF 2011, yaitu Meal Time, Rengasdengklok, Reckoning, Rumah Babi, Effect, dan Taksi. Lalu, dari setiap segmen, manakah yang terbaik? So, here we go! Dimulai dari segmen pertama, Meal Time.

Meal Time
"Kalian ini siapa sebenarnya?" ~ Sutisna
Meal Time disutradarai oleh Ian Salim yang juga pernah membuat psychological thriller pendek, Yours Truly. Di sini, Ian Salim tidak lagi menyentuh genre psychological thriller, lewat Meal Time kita akan disuguhkan thriller berdarah yang bersatu dengan sebuah kisah misteri. Kisah berawal saat seorang sipir bernama Sutisna (Abimana Arya) yang bekerja di sebuah rumah tahanan sementara. Meal Time memang tak menawarkan visual cantik seperti apa yang kita lihat di Yours Truly, tapi Meal Time terbilang cukup baik dalam menciptakan alur ketegangan. Dalam hal akting pun, para castnya dapat menampilkan akting yang baik pula, meski harus diakui karakternya kurang dapat dikembangkan dengan baik karena keterbatasan durasi. Bagi yang teliti, Meal Time sebenarnya menyembunyikan sesuatu dibalik nama-nama tiap karakternya. Ya, entah apa tujuannya, yang jelas, hal itu setidaknya membuat saya tersenyum kecil.

6.5/10

Rengasdengklok
"Jangan sampai rakyat tahu tentang peristiwa memalukan ini." ~ Pak Presiden
Film ini punya segala sesuatu yang sangat menarik. Mulai dari cerita yang notabene merupakan modifikasi dari sejarah Indonesia hingga.. zombie! Dibuka dengan opening yang begitu 'wah' dan sangat heroik, tentu ekspektasi saya menjadi bertambah. Tapi apa? Rasanya Rengasdengklok menyia-nyiakan segalanya. Film ini gagal dieksekusi dengan baik oleh Dion Widhi Putra selaku sutradara, padahal Rengasdengklok punya cerita yang sangat menarik. Seluruh jajaran castnya juga gagal menghadirkan akting yang baik, bahkan terjerumus ke dalam kekakuan. Di bagian make-up-nya pun, ia tampil buruk dengan zombie-zombie 'Jepang' yang malah bertampang Indonesia. Belum lagi film ini ditambahkan efek-efek ala film lama yang malah membuat Rengasdengklok bukannya tampil dengan kesan berkelas, tapi malah berkesan berlebihan. Rengasdengklok sebenarnya punya ending yang lumayan, sayangnya endingnya pun sama sekali tak menolong film ini. Seluruh aspek ini tampaknya harus membuat saya menempatkan Rengasdengklok di urutan terakhir. Satu-satunya momen terbaik adalah openingnya yang saya akui merupakan opening terbaik diantara kelima film lainnya. Sisanya? Lupakan saja.

4.0/10

Reckoning
"Let's play a game, shall we?" ~ Lilith
Reckoning, atau yang awalnya berjudul Goblins ini bercerita tentang sepasang suami istri yang diteror dan disandera oleh sekelompok orang di rumahnya yang ternyata akan membuka lembaran-lembaran rahasia sang suami yang tak pernah diketahui oleh sang istri. Film ini tak terlalu muluk-muluk dalam hal format warna. Cukup dengan hitam-putih saja, ternyata cukup efektif dalam menciptakan ketegangan. Seluruh castnya pun mampu tampil dengan baik, termasuk karakter sang suami yang diperankan oleh Emil Kusumo. Namun, Reckoning ternyata tak terlepas dari kekurangan. Film ini memiliki dialog yang kelewat panjang juga, bahkan hingga membuat Reckoning terjerumus membosankan dan terasa begitu lama dalam perjalanannya menuju klimaks, yang akhirnya berefek pada terlupakannya unsur ketegangan yang sebenarnya menjadi aspek penting bagi film thriller. Belum lagi beberapa dialog dalam bahasa Inggris yang tanpa disertai subtitle Indonesia, padahal, seperti yang kita tahu, tak seluruh masyarakat Indonesia fasih dalam bahasa Inggris. Yang jadi pertanyaan, untuk apa karakter wanita asing dalam Reckoning ini memakai dialog bahasa Inggris, padahal (dalam beberapa scene) ia dapat berbicara bahasa Indonesia tanpa logat kebule-bulean?

6.0/10

Rumah Babi
"Boleh ya, bu?" ~ Darto
Jika dibandingkan dengan tiga film sebelumnya, saya rasa Rumah Babi-lah yang paling memberikan teror  paling mengerikan. Film ini juga memasukkan isu diskriminasi ras Tionghoa sebagai salah satu unsur penting dalam cerita. Di balik judulnya yang kontroversial, Rumah Babi menyimpan sebuah rasa horor sebenarnya dengan ketegangan yang terjaga sepanjang film. Alim Sudio yang menyutradarai film ini tampaknya tahu betul bagaimana seharusnya film horor dibuat. Padahal, sekedar info saja, Alim Sudio merupakan seorang screenwriter yang diawal kemunculannya sering menulis naskah untuk film horor jadi-jadian seperti Air Terjun Pengantin dan Setan Budeg, meski akhir-akhir ini ia mulai 'bertobat' lewat The Perfect House dan film ini. Ia benar-benar memanfaatkan waktu yang pendek itu untuk mengantarkan ketegangan. Hingga durasi terkahirnya, Rumah Babi bahkan sempat memberikan anda pengalaman yang begitu angker dengan endingnya yang sangat nendang. Apalagi didukung oleh castnya yang tampil meyakinkan, terlebih ada karakter seorang ibu Tionghoa yang sebenarnya hampir tak punya dialog namun berhasil meninggalkan kesan misterius. Yang jelas, untuk membuat penonton bergidik, Rumah Babi merupakan 'alat' yang sangat efektif. Sebuah kengerian yang non-stop!

7.5/10

Effect
"Case closed, Eva!" ~ Lenny Marlina
Sesuai judulnya, Effect memang menceritakan tentang efek, sebuah kebencian terhadap seseorang ternyata dapat berdampak besar terhadap hidup anda sendiri. Ceritanya cukup menarik, tampaknya mengambil sedikit inspirasi dari Suicide Club yang menggunakan teknologi canggih masa kini, internet, sebagai 'alat' utamanya. Intinya, (takut spoiler!) Effect bercerita tentang Eva (Tabitha), seorang karyawati yang menyimpan dendam kepada sang 'killer-boss', Lenny Marlina (Sita Nursanti). Adrio Rudiman, sebagai sutradara terbilang berhasil menyajikan film ini dengan baik. Effect juga didukung oleh departemen akting yang cukup solid, khususnya Sita Nursanti yang menampilkan sosok yang bos yang memiliki mulut 'harimau' dan 'ganas' yang membuat siapa saja akan kesal padanya. Mendekati ending, kita akan ditawarkan rentetan kejadian-kejadian yang ternyata akan berefek pada sesuatu yang pastinya akan membayangi hidup Eva selamanya. Sayang, 'rantai' kejadian ini terkesan terlalu kebetulan, sehingga terlihat tak alami dan terlalu dipaksakan.

7.0/10

Taksi
"Yah, kita mana pernah kira sih, mbak. Tapi, sering kan tuh, kejadian seperti di koran, pulangnya malem-malem, trus besoknya ditemuin di kali..." ~ Anton
Di setiap omnibus yang telah saya tonton, tampaknya film terbaik memang selalu disisipkan di bagian akhir. Kita masih ingat ada omnibus produksi Indonesia lain, yaitu Takut: Faces of Fear dari Indonesia dan Phobia 2 asal Thailand yang sama-sama menghadirkan film terbaik (Dara dan In the End) di segmen terakhirnya. Sama halnya dengan FISFiC. Meski Taksi kedapatan segmen terakhir, namun saya malah menempatkan film ini di posisi pertama. Taksi menawarkan premis yang sebenarnya sederhana dan bahkan berada di sekeliling kita, hanya tentang seorang karyawati bernama Fina (Shareefa Daanish) yang baru saja lembur kerja dan memilih untuk pulang dengan taksi. Beruntung, Taksi mampu dieksekusi dengan sangat baik, bahkan menurut saya Taksi merupakan film dengan penggarapan terbaik di antara kelima film lainnya. Sejak awal saja, kita sudah disuguhi atmosfer mencekam yang mendalam lewat malam di jalanan ibukota yang sunyi dan sepi. Belum lagi, Taksi didukung oleh cast yang tampil dengan baik, apalagi ada Shareefa Daanish yang kita kenal sangat psycho di Dara maupun Rumah Dara yang sekali lagi menampilkan akting briliannya. Intensitasnya terbangun pelan dan terjaga kokoh hingga di klimaksnya kita dapat melihat sesuatu yang benar-benar sesuatu! Di bagian teknis, Taksi bahkan terlihat diproduksi oleh orang-orang profesional film. Mulai dari sinematografi, special effects make-up-nya, hingga scoring, semuanya dapat memerankan perannya masing-masing dengan sangat baik sekaligus meramaikan ketegangan. Semuanya membuat Taksi menjadi thriller efektif meski hanya meneror lewat jok belakang taksi.

8.0/10
__________________________________________________________

FISFiC 6 Vol. 1 merupakan omnibus yang lumayan baik, dengan menyisakan Taksi dan Rumah Babi di tempat terbaik yang sama-sama nyaris sempurna dari segala sisi, lalu diikuti Effect dan Meal Time di tempat selanjutnya, kemudian Reckoning yang masih terasa biasa dan akhirnya ada Rengasdengklok yang tampil dengan terseok-seok hampir dari keseluruhan aspek. Meski masih belum sempurna dalam bentuk sebuah omnibus dan tumpang tindihnya beberapa kualitas film pendek di dalamnya, namun FISFiC tetaplah menjadi kabar baik masa depan perfilman horror dan thriller produksi Indonesia.

7.0/10

2 comments:

  1. Nonton film horor omnibus seerti Fisfic ini asyik juga, nggak terlalu panjang ceritanya seperti film horor pada umumnya. Segmen "Rumah Babi" saya rasa adalah yang terbaik di film ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nonton omnibus kayak FISFiC memang asyik kok, tp tergantung jg sama kualitas film pendeknya sih hehe. Rumah Babi jg juara bgt, saya suka caranya gabungin isu sosial sm atmosfer horrornya.

      Delete