Saturday, November 3, 2012

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Gosford Park (2001)

"I'm the perfect servant. I have no life." ~ Mrs. Wilson

Memfilmkan kehidupan aristokrat tampaknya merupakan suatu hal yang menarik, termasuk bagi Robert Altman. Sosoknya memang telah tiada sejak 2006 lalu, namun tentu tak dapat menyurutkan setiap orang untuk terus-terusan mengulas karya-karyanya yang luar biasa. Dan salah satunya adalah buah kerjasamanya dengan penulis naskah Julian Fellowes, Gosford Park, drama komedi misteri yang mengangkat kehidupan serba mewah bangsawan Inggris pada zaman dahulu.

Film British yang rilis 2001 ini memang fenomenal. Mengeruk total pendapatan sebesar 87,7 juta dollar  dari seluruh dunia dengan budget hanya 19,8 juta dollar, membuatnya sukses di tangga box-office. Secara kritk, film ini juga sukses besar. Dalam perhelatan Oscar, Gosfor Park berhasil membawa pulang 1 piala untuk Best Original Screenplay serta mendapat 6 nominasi lain. Di BAFTA, film ini lebih sukses lagi. Gosford Park berhasil memborong 9 nominasi, dan membawa pulang 2 diantaranya.


Berlatar di antara Perang Dunia I dan II, tepatnya di tahun 1932, kita diperkenalkan dengan seorang wanita tua aristokrat, Countess of Trentham (Maggie Smith) dan pembantu wanitanya, Mary Maceachran (Kelly Macdonald) sedang dalam menuju perjalanan ke pertemuan di Gosford Park. Di Gosford Park, mereka disambut oleh sang pemilik rumah, Sir William McCordle dan istrinya Lady Sylvia McCordle. Ada pula tamu lainnya yang diundang, seperti aktor, Ivor Novello (Jeremy Northam), produser film Hollywood, Morris Weissman (Bob Balaban), saudara Lady Sylvia, Louisa Stockbridge (Geraldine Somerville) dan Lady Lavinia Meredith (Natasha Wightman) serta suami mereka, Raymond Stockbridge (Charles Dance) dan Komandan Anthony Meredith (Tom Hollander). Hadir pula tamu lainnya seperti Freddie Nesbitt (James Wilby) serta istrinya, Mabel (Claudie Blakley), dan masih banyak lagi.

Uniknya, sama dengan Countess of Trentham, seluruh tamu undangan ini datang dengan pelayan masing-masing. Para pelayan ini ditempatkan di lantai bawah, berbaur dengan pembantu rumah tangga Sir William, sedangkan para tamunya ditempatkan di laintai atas. Yang lebih unik, para pelayannya dipanggil dengan nama majikannya. Setelah beberapa waktu, semuanya terlihat begitu lancar. Namun, suatu malam, di saat yang para tamu sedang asyik bermain bridge dan para pembantu sedang berjoget norak sembari mendengarkan alunan merdu dari nyanyian Ivor Novello, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sir William ditemukan tewas tertikam pisau.


Gosford Park memiliki begitu banyak aktor, yang hampir seluruhnya merupakan British. Jadi, jangan heran jika sedikit sulit menentukan pemeran utama, karena sang sutradara sendiri memang tidaklah menyorot lebih salah satu karakter. Ya, di antara kesemua karakter ini, Altman sendiri berhasil memberikan porsi yang hampir sama rata, tak ada yang rasanya kurang, tak ada pula yang rasanya terlalu tersorot. Altman juga dapat memberikan karakterisasi yang sangat baik pada tiap karakternya. Bahkan, Altman juga tidak memakai cerita sebagai "peluru peraknya", melainkan memakai fokus pada tiap karakternya.

Gosford Park itu unik. Film ini membiarkan para aktor-aktornya ini berseliweran di setiap durasinya. Mungkin memang membingungkan di awalnya, karena sejak awal memang kita telah diserbu banyaknya karakter, juga terbilang sulit untuk mengingat nama setiap karakternya (saking banyaknya!). Namun, inilah yang membedakan Gosford Park dengan film lainnya, mengalir dengan plot yang cenderung lambat dan mengalir begitu saja dengan karakter yang berserakan dimana-mana serta cerita yang betumpuk, namun tetap dapat terlihat rapi.


Para aktor dalam film ini juga berhasil menyajikan penampilan yang sama sekali tak dapat diremehkan, apalagi karakternyalah yang merupakan sajian utama film ini. Maggie Smith tentu harus diapresiasi lebih. Ia dapat menyelami karakternya yang menyebalkan, plin-plan, banyak maunya, dan punya banyak dialog-dialog ajaib. Yah, benar-benar dapat menggambarkan karakter orang kaya yang hidupnya serba ingin dilayani. Tapi, siapa sih yang dapat menyangkal bahwa karakternya lah yang paling banyak disukai? None of us.

Helen Miller juga mampu berakting dengan sangat baik. Karakternya sebagai kepala pelayan yang dingin, mungkin saja tak terlalu menarik perhatian penonton. Namun, muncul dengan akting yang sangat mumpuni, tampaknya porsi Helen Miller ini juga tak dapat diacuhkan begitu saja. Sebagai seorang kepala pembantu rumah tangga yang mempunyai hubungan khusus dengan Sir William, Elsie alias Emily Watson memerankan perannya dengan sangat baik. Kadang, ia merupakan seorang wanita yang kaku dan cuek, namun ketika sesuatu datang bersangkutan dengan perasaannya, maka seketika itu pula ia dapat menangis dan mengeluarkan sisi emosionalnya.


Ryan Phillipe juga tampaknya tak dapat dilupakan, meski aktingnya sendiri tak dapat dikatakan benar-benar hebat, namun ia dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik sebagai karakter super menyebalkan dan selalu bertingkah aneh. Karakternya yang selalu muncul dimana-mana ini (bahkan beberapa kali mondar-mandir di belakang scene) memang membuat pertanyaan-pertanyaan baru. Untungnya, kita mendapat penjelasaan yang worth it mengapa si Ryan Phillipe ini doyan bertingkah aneh.

Film semacam ini memang bukan sebuah film yang cocok untuk para penyuka misteri. Karena misterinya sendiri, menurut saya tidaklah terlalu istimewa dan juga Altman sendiri tidaklah menjadikan misteri menjadi sajian utamanya, apalagi misteri ini baru muncul setelah setengah durasi. Meski misterinya sendiri tidak terlalu berliku, bukan berarti Gosford Park adalah film misteri yang buruk, malah film ini dapat menjadi film misteri yang lebih natural.


Dalam komedinya pun, film ini juga bukan makanan yang tepat untuk para penyuka komedi. Film ini terbilang jarang menawarkan komedi lewat adegan-adegan konyol nan bodoh, melainkan lewat beberapa dialog-dialog yang kebanyakan dilontarkan dari mulut Maggie Smith. Dalam bagian dramanya, Gosford Park juga unggul, bahkan dramanya terasa sedikit mendominasi. Dramanya tak dihiasi dengan dramatisasi berlebihan yang malah akan membuat filmnya akan berakhir menjadi drama tak berarti. Film ini juga dapat menggambarkan kehidupan para aristokrat beserta para pelayannya dengan sangat baik, yang terbungkus dalam kisah misteri dan sentilan-sentilan komedi.

Gosfor Park sebenarnya juga merupakan singgungan sosial, utamanya terhadap para kelakuan aristokrat yang terlalu manja terhadap para pelayannya, seakan mereka tak akan bisa hidup lagi jika tak dapat dilayani oleh pelayan mereka. Gosford Park juga menampilkan isu rasisme dalam ceritanya, lihat bagaimana para pelayan di tempatkan di lantai bawah, sedangkan para majikan ditempatkan ke lantai bawah. Ada pula sedikit sentilan terhadap perilaku orang Amerika yang begitu berbeda dengan orang Inggris.


Tak hanya itu, film yang satu ini juga unggul dalam hal teknis. Sinematografinya terbilang cantik dan memanjakan mata, apalagi didukung oleh kostum dan art-direction yang membuat kita serasa berada langsung di Inggris tahun 1930an. Scoringnya juga patut dipuji. Tergolong tak monoton, terkadang terdengar komikal, lembut dengan alunan pianonya, hingga yang terdengar jazzy sekalipun. Saya juga suka bagaimana Gosfor Park menyajikan murder scene-nya tanpa scoring sekalipun, hanya ditemani nyanyian ceria dari Ivor Novello yang terdengar sampai seluruh penjuru rumah.  

Gosford Park adalah cinta, persahabatan, dendam, kekerasan, seksualitas, kekayaan, kemunafikan, keserakahan, dan pengkhianatan yang dikemas ke dalam sebuah film dengan sangat baik. Dengan ensemble cast luar biasa yang menjadi tumpuan utamanya serta seluruh bagian teknis yang nyaris sempurna di segala sisi: sinematografi, kostum, scoring, hingga art-direction. Juga dengan naskah hasil Jullian Fellowes yang berhasil merangkum segala sisi sosial, humor, misteri, dan drama dengan menakjubkan yang didukung eksekusi hebat dari Robert Altman. Segala aspek itu menjadikan Gosford Park sebagai film terbaik Altman dari seluruh karyanya yang terbaik. Hebatnya lagi, ia menghasilkannya dalam salah satu karya terakhir dalam hidupnya.

8.0/10

0 comments:

Post a Comment