Saturday, November 10, 2012

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Looper (2012)

"Loopers are well paid, they lead a good life." ~ Joe

Sedari awal, saya sudah sangat mengharapkan ekspektasi lebih ke film ini. Dari ceritanya, sangat menarik,  idenya termasuk segar, meski dari temanya, yaitu tentang perjalanan waktu sudah banyak kali difilmkan. Poster? Menarik. Tapi yang lebih menjadi daya tarik film ini adalah kolaborasi dua aktor beda generasi, Joseph Gordon-Levitt dan Bruce Willis. Siapa yang tak ingat aksi Bruce Willis di film action Die Hard yang fenomenal itu? Siapa pula yang tak ingat aksi Levitt di science fiction milik Nolan, Inception? Nah, bagaimana kalau Levitt dan Willis dipertemukan dalam satu frama, yang juga merupakan gabungan science fiction dan action.

Menilik nama seorang Rian Johnson, sutradara sekaligus penulis naskah Looper, sebenarnya ia bukanlah sutradara film-film blockbuster dengan budget yang bahkan terhitung banyaknya. Sebaliknya, ia merupakan seorang sutradara indie yang memulai debutnya lewat film misteri, Brick. Berkat Brick, ia banyak mendapatkan penghargaan dari sana sini. Dalam lika-liku perfilman Indie, saya rasa dia sudah cukup berpengalaman lewat Brick-nya. Lantas, bagaimana dengan Looper, yang tak lain merupakan blockbuster pertamanya? Apakah akan sebaik Brick yang juga merupakan debut filmnya sebagai sutradara indie?


Looper? Ya, inilah sebutan untuk kaum pembunuh gila di tahun 2044 yang dibayar dengan bar-bar perak yang terikat di setiap punggung korbannya. Cara kerjanya sangat unik. Memanfaatkan teknologi perjalanan waktu. Tapi, tunggu dulu, karena di tahun 2044, belum ditemukan teknologi semacam ini. Lantas, bagaimana mereka bekerja? Looper ini tinggal membunuh targetnya yang telah dikirimkan dari tahun 2074 lewat mesin waktu, meski sebenarnya teknologi itu dilarang. Ketika target telah mereka bunuh, mereka dapat langsung menikmati bar-bar perak yang menjadi 'gaji' mereka. Tak heran, hanya dengan bekerja sebagai looper, seseorang mampu menjadi kaya raya.

Dari banyaknya looper yang ada pada tahun itu, salah satunya adalah Joe Simmons (Joseph Gordon-Levitt). Sebagai seorang looper, tentu saja ia telah menyimpan ratusan bar perak yang ia simpan dalam brankas bawah tanahnya. Namun, malam itu kehidupannya tak seperti biasanya. Salah seorang rekan sesama looper,  Seth (Paul Dino) tiba-tiba saja datang ke rumahnya dalam penuh ketakutan dan mengatakan bahwa ia baru saja membebaskan seorang targetnya, yang tak lain merupakan dirinya sendiri dari masa depan. Suatu hari, ia juga harus bernasib sama seperti Joe, ia dihadapkan bahwa ia harus membunuh dirinya sendiri dari masa depan. Apa yang harus dilakukannya? 


Kembali lagi, Looper merupakan film yang unik. Rian Johnson berhasil melebur unsur aksi, drama, romansa, dan fiksi sains dengan sangat baik. Meski memang, transisi yang dipilih Rian untuk beralih dari aksi ke drama terasa membosankan di awalnya (dan jujur, saya tertidur), karena dari aksinya yang melibatkan senjata-senjata api, kemudian kita langsung dialihkan ke drama yang sunyi. Namun, lambat laun, dramanya mampu berkembang menjadi sebuah drama yang kuat dengan romansa yang tumbuh setapak demi setapak. Di sisi lain, unsur fiksi sains yang Rian Johnson tonjolkan, yaitu perjalanan waktu dan telekinesis juga mampu mendorong kuatnya seluruh jajaran kisah-kisah dalam Looper yang saling mengisi.

Menelusuri porsi action-nya, sesungguhnya Looper tidaklah menawarkan aksi yang benar-benar nendang. Karena, Rian Johnson memang tidaklah ingin meng-highlight adegan aksi tersebut. Sama halnya dengan science fiction, Johnson juga tak ingin membuat film blockbuster pertamanya ini terjebak dalam  Sekelumit unsur yang Johnson tambahkan itu hanyalah semacam jembatan yang akan mengantarkan kita ke makna Looper sebenarnya. Lebih dari sekedar film aksi yang hanya mengandalkan adrenalin yang terpacu atau sci-fi yang menjual teknologi aneh-aneh, Looper punya esensi yang lebih kental dan kuat di balik kisah kucing-kucingannya itu.


Seperti yang telah saya bilang tadi, drama dalam Looper terasa lebih leluasa dieksplorasi oleh Rian Johnson. Dramanya terbangun dengan atmosfer yang sangat dalam dan sunyi. Diantara dramanya, Johnson juga sengaja menyelipkan unsur-unsur misteri yang menambah kekompleksan drama itu sendiri, sehingga terbangunlah intensitas yang tetap terjaga. Dengan bumbu-bumbu romansa yang didukung oleh chemistry kuat Levitt dengan Blunt, Looper berhasil menghadirkan sebuah drama kuat yang penuh dengan dilema, cinta, dan pengorbanan tanpa harus mengorbankan berliter-liter air mata, namun tetap dapat mengharukan.

Duo aktor dua generasi, Joseph Gordon-Levitt dan Bruce Willis mampu menjalankan setiap tugasnya dengan baik. Joseph Gordon-Leitt, meski muncul dengan make-up yang ugh, cukup mengganggu tetap dapat menampilkan performa yang baik seperti biasanya. Begitu pula Bruce Willis yang terpaksa harus melawan dirinya sendiri dalam film. Ada pula Emily Blunt, seorang ibu yang tangguh dan sanggup berkorban apapun untuk anaknya. Sang anak pun, Kamden Beauchamp mampu menampilkan performa menawan.


Karakterisasi mungkin merupakan salah satu nilai positif dalam film ini. Tak ada satu pun dari keempat karakter yang paling banyak disorot tersebut merupakan karakter antagonis. Sebaliknya, tak ada pula yang Rian Johnson gambarkan sebagai karakter serba baik-baik alias protagonis. Keempat karakter tersebut berada dalam garis persimpangan yang abu-abu, yang malah menjadi salah satu daya tarik terbesar dari Looper. Sayangnya, ada beberapa karakter yang mendapat porsi sangat sedikit, sehingga tak mampu membuat kontribusi banyak untuk ceritanya sendiri.

Selain unggul dalam cerita dan castnya, film yang satu ini juga unggul dalam urusan teknis. Visualnya diolah  dengan penggunaan angle yang sangat indah dengan penambahan tone yang sangat pas dengan atmosfer film ini sendiri. Berbeda dengan film action lain, Looper malah banyak menghadirkan scoring-scoring lembut nan melankolis yang relaxing. Tentu saja, Looper juga tak pernah absen menghadirkan scoring yang terkesan megah pula.


Selain itu, rasanya keadaan masa depan versi Johnson juga cukup menarik untuk dikupas. Sangat berbeda dengan  sci-fi lainnya, Looper tak menggambarkan masa depan bumi yang serba futuristik, modern, dan selalu menimbulkan kesan wah. Sebaliknya, Looper menggambarkannya dengan cukup sederhana, dengan tidak memvisualisasikan penggambaran bumi yang terlalu berlebihan. Bahkan, kita masih bisa merasakan kentalnya suasana pedesaan, lengkap dengan rumah klasik ala amerika dan ladang jagungnya.

Looper memang punya beberapa kekurangan kecil, namun tak mampu membendung bahwa Looper tetaplah karya yang luar biasa. Rian Johnson berhasil memadukan berbagai unsur genre di dalamnya menjadi sebuah perpaduan cantik. Dengan cerita yang sangat menarik namun sedikit membingungkan (bagi beberapa orang), kisahnya tetap bergulir rapi, meski ada kalanya terasa agak membosankan. Perjalanan menegangkan Looper ini kemudian diakhiri oleh ending dengan makna mendalam. Sebuah film aksi plus fiksi sains yang tidak biasanya: tragis, dramatis, dan menyentuh. Ya, Looper adalah blockbuster dengan berbagai sentuhan indie di setiap sudutnya. Hasilnya? Karya yang indah namun tetap dapat tampil megah.

8.0/10

0 comments:

Post a Comment