"I've met my demons and they are many. I've seen the devil, and he is me." ~ Alan Russell
Berapa banyak film yang mengkambinghitamkan benda mati sebagai medium para makhluk supernatural? Sangat banyak. Oculus, adalah salah satunya. Berasal dari Bahasa Latin yang berarti mata, film horor ini mengangkat cermin sebagai highlight-nya. Disutradarai oleh Mike Flanagan, Oculus didasarkan dari sebuah film pendek yang ia sutradarai pula pada 2006 lalu. Naskahnya, adalah karya kolaborasi Flanagan dengan Jeff Howard. Berbekal itu semua, mampukah Oculus muncul sebagai horor berkualitas di tengah ide kisahnya yang jauh dari kata segar?
Semua fokus tertuju pada sebuah cermin. Berawal dari Alan Russell, seorang pengembang komputer yang pindah ke rumah baru bersama istrinya, Marie, dan kedua anaknya, Tim dan kakanya, Kaylie. Alan sendiri membeli sebuah cermin antik sebagai dekorasi dalam ruang kerjanya. Tragedi besar pun terjadi yang menewaskan Alan dan Marie, sementara Tim harus masuk ke instalasi jiwa. Sebelas tahun kemudian, Tim kembali, dan berkumpul lagi dengan sang kakak, Kaylie, yang rupanya telah menghabiskan bertahun-tahun untuk menyelidiki sejarah cermin tersebut. Berkat pekerjaan Kaylie sebagai pegawai dalam rumah pelelangan, mereka berhasil mendapatkan cermin itu kembali. Sekarang, goal-nya terdengar cukup sederhana: menghancurkan si cermin dan memutuskan segala kutukan dalam benda antik itu.
Lihat baik-baik kisahnya: Apa yang baru dari ide cerita Oculus? Nyaris tak ada, sudah banyak film horor yang mengangkat benda-benda semacam ini. Lantas, apa itu membuat Oculus menjadi film horor yang buruk? Sama sekali tidak! Justru, jujur saja, Oculus adalah salah satu horor terbaik tahun ini. Setelah rilisnya The Conjuring (well, setidaknya), definisi horor modern bagus berubah: mampu meneror seisi bioskop, sekalipun menawarkan cerita usang. Oculus pun, melakukan hal yang sama, bahkan lebih dari itu, ada hal istimewa lain yang menjadi alasan kuat mengapa Oculus sangat patut untuk diapresiasi.
Mengembangkan kisah layaknya Oculus memang bukan pekerjaan mudah. Sepanjang 104 menit, hampir semuanya berada di bawah kendali sebuah cermin antik. Selama itu pula, film ini mengambil setting di tempat yang itu-itu saja. Belum lagi, dengan ide cerita yang sebenarnya bukanlah hal baru dan sangat sederhana. Akibatnya, seluruh ruang gerak untuk mengembangkan film ini menjadi horor yang berbeda menjadi sempit dan sangat terbatas. Salah-salah, ia bisa saja tampil mediocre dan berakhir tanpa kesan. Tapi, akal dari duo screenwriter, Mike Flanagan serta Jeff Howard, memiliki ruang gerak tak terbatas. Lewat hal ini, mereka berhasil menawarkan sebuah trik sulap yang menarik: pengemasan narasi secara paralel.
Dengan menerapkan narasi yang secara hampir bersamaan memaparkan dua garis cerita berbeda, masa lampau dan sekarang, Oculus berhasil menarik minat saya. Ini bukan hanya menambal kisah sederhananya, bahkan mampu menutupinya dan membuat saya melupakan betapa usang ceritanya. Sekali, hal ini pun bukanlah hal baru, tapi dengan eksekusi mendekati sempurna, elemen inilah yang terus 'memaksa' saya untuk terus mengarungi sekaligus menikmati perjalanan dua bersaudara ini. Dengan langkah ini, Flanagan dengan cerdas mampu memompa intensitas, menegakkan atmosfer gelapnya, menipu siapa pun dengan berbagai ilusinya, menyuntikkan letupan-letupan yang efektif dan meledak-ledak, dan tentunya meneror penonton.
Hingga second act-nya, semua terasa baik-baik saja. Arahan dari Flanagan mengalir cukup lancar dan sukses menggiring film ini menjadi pemacu adrenalin mujarab. Oculus mampu menawarkan apa yang harusnya ditawarkan oleh sebuah horor, khususnya horor psikologis: bukan hanya ampuh dalam menakut-nakuti, tapi juga sukses membuat penonton terlarut dalam lautan teka-teki yang penuh tanda tanya sekaligus tertipu dengan trik-triknya. Dengan kejutan yang datang lapis demi lapis, membuat penonton sedikit menutupi mata dengan kedua tangan, tapi secara bersamaan, mata tetap setia menatap layar dengan rasa penasaran yang kian menit makin terusik dan menggebu-gebu.
Tapi, menjelang akhir, Flanagan terasa kebingungan membawa Oculus ke titik puncak. Ilusi maupun trik-triknya mulai menjadi repetitif dengan narasi yang dibawanya juga mulai berputar-putar. Ini tentu berakibat pada setiap kejutan menjadi less surprising dan ketegangan yang tadinya telah terjaga cukup baik, perlahan mengendur. Pada akhirnya, dengan intensitas yang perlahan menurun, Oculus masih bisa berakhir dengan kejutan yang saya kira cukup mengejutkan, namun sayangnya terlampau sederhana dan straight-forward, sehingga tak mampu menyamai apa yang telah dibangun dengan susah payah dalam first hingga second act-nya. Meskipun, ending seperti ini malah makin menegaskan peran mengerikan cermin keramat ini.
Keseluruhan Oculus memang berada dalam kendali benda mati: sebuah cermin, namun tak berarti departemen cast-nya dapat kita lupakan. Justru, masing-masing dari mereka berhasil besar dalam melakonkan setiap perannya. Karen Gillan tampil meyakinkan sebagai pemimpin cast yang tangguh, penuh persiapan, dan ambisius. Di sisi lain, Annalise Basso serta Garrett Ryan tak kalah andal dalam memainkan duo Russell kecil bersaudara. Tapi, penampilan magnetik datang dari Katee Sackhoff, yang gemilang sebagai seorang ibu dengan dua sisi: sisi lembut dan sisi garang yang ia tampakkan ketika makhluk supernatural mulai merasukinya.
Dari segala hal mengenai Oculus, ada satu hal lain yang begitu krusial bagi film ini. Bukan cermin, cast, naskah, ataupun penyutradaraan. Jika anda telah menonton film ini, pasti anda akan sadar akan hal itu: editing. Ya, film ini memang bergantung banyak pada porsi tersebut, terutama dalam hal menjaga intensitas ketegangan. Dengan suntingan gambar yang dilakukan dari bangku sutradara sendiri, yaitu Mike Flanagan, ia hadir dengan cemerlang dalam membungkus Oculus menjadi sebuah perjalanan 'menyenangkan' penuh lompatan waktu dengan transisi amat halus, bahkan kita bisa saja tak menyadarinya. Bravo!
Memadukan kisah konvensinal dan mengemasnya dalam sebuah konsep yang sebenarnya bukan hal baru, Oculus berhasil menjadi suatu angin segar dengan eksekusinya yang matang. Penampakan hantunya jujur tak terlalu menakutkan, namun arahan dari Flanagan lah yang berhasil membuat Oculus menjadi mesin teror efektif lewat ilusi dan trik-trik tipuannya dengan naskah ditulis mumpuni dan kreatif dengan segala keterbatasan ruang geraknya. Dengan kejutan yang berlapis-lapis, letupan-letupan intens, atmosfer yang begitu dingin di tengah kegelapan, cast-nya yang bertalenta hebat, hingga bintang utamanya, sang cermin, terus menerus mengeluarkan aura misteriusnya, Oculus bukanlah sekadar horor kemarin sore yang sama sekali buta tentang cara menakuti-nakuti, terlepas dari segala kekurangannya, ini adalah horor yang dipupuk dengan cukup solid dan sepenuh hati.