Tuesday, October 21, 2014

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Gone Girl (2014)

"You two are the most f*cked up people I've ever met and I deal with f*cked up people for a living." - Tanner Bolt

Gone Girl, ini bukan sekuel dari Gone Baby Gone, tapi tetap ada nama Ben Affleck meskipun hadir di lini depan sebagai aktor utama. Kali ini, adalah nama seorang David Fincher yang duduk di bangku sutradara. Sejak kemunculan Alien 3 yang dianggap gagal dalam kacamata sekuel, David Fincher nyatanya tak berhenti di situ. Lewat Se7en pada 1995, diikuti oleh The Game, Fight Club, Panic Room, Zodiac, Benjamin Button, The Social Network, hingga The Girl with the Dragoon Tattoo pada 2011. Ini adalah perjalanan karir yang luar biasa. Selama 16 tahun produktif dalam industri dan tanpa pernah sekalipun mendapatkan rapor merah, Fincher tentunya bukan sutradara kemarin sore. Tiga tahun kemudian, dengan dirilisnya Gone Girl, karirnya bertambah cemerlang, dengan kembali mencetak 19 tahun perjalanan karir tanpa satupun kegagalan.

Apa yang akan anda lakukan ketika usia pernikahan anda menginjak tahun ke-5? Sebagian besar orang akan merayakannya, namun pasangan suami-istri Nick Dunne (Ben Affleck) dan Amy Dunne (Rosamund Pike) berbeda. Tahun ke-5 adalah awal dari semua katastrofi. Amy, yang seharusnya berada di rumah ketika sang suami pulang dari kerjanya, malah hilang entah ke mana, meninggalkan hanyalah meja yang pecah dan porak-poranda. Dengan bantuan kepolisian, jangan harapkan segalanya menjadi lebih baik. Yang ada, dengan beragam bukti yang polisi temukan, malah memunculkan spekulasi bahwa Nick-lah dalang di balik semua ini. Layaknya media masa dan masyarakat dalam filmnya, kita dibuat bertanya-tanya, di manakah Amy berada dan siapakah orang yang ada dibaliknya?


Secara garis besar, dengan premisnya yang begitu menarik, kisah yang Gone Girl bawa sebenarnya bukanlah hal paling kompleks yang pernah ada. Ia bisa digambarkan lewat sudut pandang sederhana, namun tentu bukan itu jalan yang Gillian Flynn ramu. Sebaliknya, ia dijabarkan lewat dua buah perspektif, dengan sebuah permainan naratif yang mampu membuat berbagai persimpangan dalam cara penonton menangkap yang ia ceritakan. Lewat permainan penuh teka-teki ini, penonton di ajak menyusuri labirin di mana tiap-tiap twist menunggu di akhirnya (atau di tengah perjalanan), sembari mengumpulkan keping demi keping potongan puzzle yang tersebar sejak menit pertama filmnya bergulir. Bukan hanya soal mystery/psychological thriller saja, ada drama pahit di antaranya, sebuah catastrophic romance dengan banyak bumbu anti-romance di sana-sini. Hasilnya, ini jauh dari kesan memperbelit apa yang seharusnya dapat menjadi sederhana, sebaliknya ini menunjukkan bahwa, dengan bermodal subjek minimalis, bukan berarti ia juga harus dijabarkan dengan jalan yang tak menarik. Gone Girl membuktikannya, ia merupakan sebuah perjalanan menegangkan dengan plot memukau sekaligus intelligent, dengan kisah yang mampu membuat siapapun ikut hanyut ke dalam misterinya.

Sejak Se7en yang rilis 19 tahun lalu, sutradara David Fincher tak pernah gagal. Ia adalah salah satu sineas dengan karir dan kualitas karya paling stabil yang pernah ada (we're looking at you, Woody Allen). Dan, dikali kesembilannya ini, ia kembali membuktikannya eksistensinya. Terbukti, Gone Girl berhasil bukan hanya berkat naskahnya, namun juga berkat peran Fincher yang mampu mengubah Gone Girl menjadi sebuah rollercoaster menegangkan dan penuh teka-teki yang menjaga penonton tetap berada di tempat duduknya. Fincher berhasil menjaga tensi dengan begitu baik dibalik atmosfer gelap yang ia susun serta pengemasannya yang begitu matang dan stylish. Ada banyak tanda tanya di dalamnya, dan bagaimana Fincher menangani semua ini merupakan hal yang luar biasa. Berbekal naskah yang tak kalah baiknya, Fincher bukan hanya berhasil mempertahankan ketegangan, namun juga dalam menyuntikkan dan mempermainkan emosi penonton, memberikan Gone Girl sebuah bone-chilling experience, sejak menit pertama hingga kredit bergulir.


Anda mungkin berpikir bahwa Amy adalah nahkoda dari semuanya. Kisahnya berakar pada Amy yang hilang entah ke mana, sepanjang film anda akan menelusuri perjalanan panjang untuk mengetahui siapa sebenarnya Amy, bahkan hingga judulnya pun merujuk pada karakter ini. Tapi, itu tak sepenuhnya benar. Ada peran media yang besar di baliknya. Tanpa disadari maupun tidak, media adalah penggerak yang berperan besar dalam pergolakan cerita. Gyllian Flynn, yang juga merupakan penulis asli dari novelnya, mampu menuangkan satir mengenai isu media (dan tentunya isu perkawinan) dengan cerdas dan lugas. Mampu menjadikan penonton layaknya masyarakat yang tersetir oleh media, kisahnya terasa dinamis dengan penonton yang dapat membenci suatu karakter, kemudian menyukainya, membenci, dan menyukainya kembali. 

Gone Girl mampu mempermainkan penonton, bukan hanya dengan kisah yang naik turun ataupun pengaruh media yang ia sindir, namun juga karakter-karakter kompleks yang ada di antara dua zona. Ya, tak ada satupun karakter yang hadir dalam zona dengan batas yang jelas. Tak ada hitam, tak ada putih, yang ada hanyalah abu-abu. Dengan sebuah opening shot yang cantik, Gone Girl mampu memancing rasa penasaran, menampilkan Amy dengan tatapan manis dan misterius, yang bahkan hanya dengan itu, telah dapat membuat anda merasakan kompleksitasnya. Sementara Nick, terlebih dengan senyumnya yang media sebut sebagai 'the killer smile' dan segala rahasia pernikahannya yang ia pendammampu memikat atensi dengan begitu baik dengan permainan kisah yang Flynn tulis. Sekalipun kebenaran telah terkuak, tiap penonton pun tak akan memihak pada karakter yang itu-itu saja. Anehnya, sekalipun kebanyakan karakter yang hadir dalam Gone Girl adalah karakter 'kusut', flawed, dan bermasalahtak ada satupun bagi saya yang hadir sebagai 'the unlikeable one', bahkan karakter yang 'seharusnya' anda benci mampu menjadi karakter mudah disukai audiens.



One of many aspects that makes Gone Girl as one of the best films in 2014 is: how perfectly casted the film is. Siapa sangka bahwa Nick alias Ben Affleck, dulunya pernah berlakon dalam Gigli, Pasti, penampilannya telah banyak mengalami peningkatan beberapa tahun sebelumnya, namun Gone Girl merupakan career-defining bagi peraih 2 Oscar ini. Ia flawed namun mudah disukai, bukan manusia suci namun jelas bukan seseorang untuk dibenci (well, sometimes). Sementara itu, Rosamund Pike bersinar. Lewat oscar-buzz yang mengelilinginya, ia tampil luwes, mengisi tiap ruang yang David Fincher dan Gillian Flynn berikan lewat betapa kompleks karakter yang ia miliki. Misterius, seduktif, namun juga innocent sekaligus memikat, layaknya setiap wajah yang muncul dalam film ini. Gelar salah satu penampilan terbaik tahun ini pun sama sekali tak berlebihan jika disematkan padanya.

Di baliknya ada wanita lain, Carrie Coon yang tak kalah kuat. Hadir di peran supporting, ia mewakili penonton dengan jalan pemikirannya, sekaligus mewarnai perjalanan kelam ini dengan secuil humor yang ia bawa. Sekalipun awalny mengundang tanda tanya besar setelah Fincher merekrut Tyler Perry, namun ia nyatanya berhasil mematahkan spekulasi buruk penonton sebagai lawyer yang juga hadir mewarnai suasana. Satu lagi yang mengejutkan untuk tampil dalam kredit adalah Neil Patrick Harris yang benar-benar keluar dari komedi yang dikenal sebagai comfort zone-nya selama (where he's also good at it). Sebagai mantan kekasih Amy, ia creepy dan tajam, sekalipun pada beberapa bagian terkesan trying too hard, namun secara garis besar, ia mampu melakonkan Desi dengan baik.


Ditengah tone yang kelam, ia tetap mampu mempesona lewat visualnya yang stylish, sebagaimana tiap karya David Fincher. Sinematografinya harus diakui cantik, dengan angle-angle dari Jeff Cronenweth yang memanjakan mata sekalipun hadir dengan tone yang gloomy. Scoring dari Trent Reznor dan Atticus Ross juga tampil sebagai top-notch, dengan melodi-melodi yang menggetarkan, membangun tensi sedikit demi sedikit. Editing juga hadir dengan kisah yang setali tiga uang. Sebagai salah satu contender utama dalam Best Editing di sesi musim penghargaan nantinya, ia solid dan kokoh, terlebih didukung narasi filmnya yang berlapis-lapis, memberikan banyak ruang bagi Kirk Baxter untuk tampil meyakinkan lewat potongan-potongan gambar.

Ada banyak career-defining performances dalam Gone Girl. Ini adalah akting terbaik Tyler Perry dan penampilan pertama Harris di luar zona nyamannya, sementara Gone Girl juga membawa nama ketiga aktornya ke puncak, Carrie Coon dan (terutama) bagi dua lead-nya, Ben Affleck dan Rosamund Pike yang mungkin saja berbuah sebuah nominasi Oscar bagi Pike. Tapi, career-defining performance paling utama datang dari seorang David Fincher. Dengan plot mempesona dari Gillian Fylnn, David Fincher kembali mencapai strike untuk kesekian kalinya dengan nilai yang jauh di atas rata-rata. It's crystal clear: Gone Girl bukan hanya tentang seorang wanita yang hilang, lebih dari itu, ia menggelitik dengan isu-isu satir yang ia kemukakan, sekaligus memberikan pengalaman sinematik memukau yang membawa film serupa ke level yang lebih tinggi dari yang sudah-sudah.

Friday, October 17, 2014

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] Calvary (2014)

"There's too much talk about sins and not enough of virtues." - Father James

Film bertema religi tentunya bukan hal asing lagi di tahun 2014. Sutradara sekaliber Darren Aronofsky pun sempat menelurkan kisah biblikal Noah. Bukan hanya Aronofsky, sineas veteran penghasil Alien, juga akan merilis Exodus: Gods and King yang mengangkat kisah Nabi Musa dengan Christian Bale di lini depan aktingnya. Di lain sisi, ada pula film-film non blockbuster seperti Son of God, Heaven is For Real, hingga God's Not Dead. Datang dari tanah Irlandia, ada Calvary, sekalipun bukanlah kisah biblikal dan hanya mengambil agama sebagai latar belakang dan alat agar kisahnya mampu bekerja dengan baik. Dan yah, harus diakui, kisahnya dapat berkerja dengan baik, bahkan sangat baik.

"I first tasted semen when I was 7 years old," kalimat inilah yang mengawali Calvary, sebuah dialog yang benar-benar aneh untuk mengawali sebuah film, bukan hanya bagi film yang mengangkat agama dan keimanan seperti Calvary, tapi literally, semua film. Well, it would be very weird for The Avengers to have this first dialogue, right? Dan, saya yakin reaksi penonton akan sama dengan dialog setelahnya, "That's certainly a startling opening line," well, certainly it is. Kembali lagi, ini adalah satu cara disturbing untuk mengawali sebuah filmnamun sukses mengumpan rasa penasaran yang begitu besar.  Jujur. saya begitu terkesima dengan opening dari Calvary: kalimat ini muncul dari balik sebuah bilik pengakuan dosa yang gelap, dengan Father James yang terlihat sedih dan seorang pria sakit jiwa misterius yang 'mengakui' dosanya dan tiba-tiba mengancam akan membunuh sang pastur. One minute, and you'll be hooked for 99 more minutes.


Ini benar-benar jarang terjadi. Ancaman pembunuhan bukan hal yang baru lagi, tapi menujukannya pada seorang pemuka agama yang benar-benar innocent? Ini mungkin saja yang pertama. Berangkat dari sini, Calvary terasa seperti perpaduan yang absurd, namun di situlah Calvary mampu tampil kuat. Ada banyak unsur agama di dalamnya, namun ia diawali oleh sebuah misteri dan rasa penasaran yang mencengangkan. Tapi, semakin konfliknya melebar, maka ini bukan hanya berbicara tentang misteri, dan Calvary juga bukanlah agama melulu. Ada banyak hal lain di baliknya.

Ketika dramanya mulai mendominasi, misteri di sini hanyalah semacam medium, perantara yang sutradara berikan untuk menyampain pesan sebenarnya film ini. Dari dialog awal percakapan Father James dengan 'sang calon pembunuh', "There's no point killing a bad priest, but killing a good one! That would be a shock!", McDonagh telah memberikan sedikit clue tentang apa sebenarnya Calvary. Di menit-menit setelahnya. begitu banyak karakter berseliweran, mondar-mandir dengan kisah-kisah dan kelakuannya tersendiri. Ya, it's a character study and social commenatary, likely a representation of seven deadly sins, and a pretty good one. Sekalipun durasi 100 menit begitu singkat untuk menjabarkan tiap kisahnya, yang mungkin membutuhkan lebih dari 2 jam untuk memadatkan tiap subplot, tapi tak dapat dipungkiri, subplot-subplot ini menarik, dengan karakter-karakter yang eksentrik, yang membuatnya menjadi lebih atraktif. Batu sandungan itu memang ada dengan subplot yang begitu banyak dan beberapa di antaranya kurang dapat berkembangtapi toh saya tetap terkesima selama 100 menitya berjalan.


Ini mengingatkan saya terhadap Gosford Park, but much more interesting. Beralur lambat, and filled with talking, talking, and just talking, banyak hal yang sebenarnya terjadi di baliknya. Ya, sekalipun begitu dominan, tak lantas Calvary berubah haluan menjadi film yang tak menarik dengan hanya ada kata-kata di dalamnya. Sebaliknya, berterimakasihlah kepada John Michael McDonagh yang berjasa dalam menyusun dialog-dialog berbobot dan cerdas, tapi pada saat yang sama, ia juga bisa bercanda, mengeluarkan baris dialog yang bukan hanya membuat kita tersenyum simpul, tapi juga 'mengunyahnya' terlebih dahulu.

Lewat naskah, kita dapat melihat apa yang McDonagh ingin sampaikan ke permukaan. Film ini mengambil sebuah tanda tanya besar terhadap, well literally everything that's been questioned by many people: religion, faith, church sexual issue, human nature, honesty, hope, and forgiveness, which we can see in each story and each character. Tapi, apa yang membuat Calvary bahkan lebih baik lagi, adalah sang pemain utama itu sendiri. The priest, is flawed. Dia seseorang yang jujur, tenang, penuh keyakinan, meski pada beberapa bagian air mukanya menunjukkan keputusasaan. Ia adalah observer, mata dan hati penonton dalam mengamati kelakuan manusia. Dan, layaknya kita sebagai penonton, ia juga bukan karakter sempurna, dan Brendan Gleeson dengan bantuan McDonagh berhasil membuat karakter ini layaknya seorang manusia biasa.


Dari menit awal, Calvary dengan berani telah menyinggung isu pelecehan dalam tubuh gereja. Tak seperti Doubt yang memilih menyinggungnya dengan penyampaian yang lebih halus dalam 'keraguan', maka McDonagh mengambil jalan yang lain, mengungkapkannya lewat latar kisah dan jalannya dialog yang pada beberapa bagian cukup eksplisit. Jangan bayangkan seperti Primal Fear yang brutal, karena pembawaan Calvary yang menenangkan di keadaan apapun. Di satu sisi, ini adalah penggambaran yang cukup disturbing dan 'sakit', memaksa penonton mendengarkan dialognya yang menyakitkan, meski tak pernah secara langsung 'memamerkan kesakitan' tersebut.

Ya, dengan segudang kelakuan immoral yang ia gambarkan, apa yang ia bawa justu sebaliknya: apa itu moralitas, Anda mungkin akan bergidik akan isu pelecehan seksual dan kekerasannya, namun Calvary tetap menyentuh di hampir semua bagian. Lewat sang pemain utama, ada kejujuran dan nilai moral lain, dan lewat tiap subplot, selalu ada yang dapat kita ambil tanpa harus merasa digurui. Sebelum kredit bergulir, McDonagh juga sempat menyajikan salah satu momen penutup paling epik yang pernah ada. Tanpa perlu berkata-kata dan bermodalkan permainan visual, ia mampu menyentuh penonton, memberikan pelajaran terakhir yang berharga dan tak terlupakan: hope and forgiveness.


Kesimpulannya? Topik yang ia bawa kurang lebih apa yang kita lihat dalam Se7en minus box misterius itu, dengan konsep pengemasan yang mengingatkan kita akan Gosford Park, tapi dengan misteri yang lebih mempesona. Meski begitu, Calvary masih memiliki spark-nya sendiri. Temanya banyak dan berat, namun penyajiannya cenderung tidak terlalu berat, dan ia juga tak pernah menggampangkan tema krusialnya. Hasilnya, sebuah drama pilu dan menyentuh, humor cerdas, yang disajikan dengan begitu cantik, baik dari segi naratif maupun visual. Berbicara tentang visual, di balik kegelapan temanya, Calvary juga menyimpan sinematografi apik. Ia turut membuka Calvary dengan atmosfer yang gloomy, menyorot lanskap Irlandia yang begitu cantik, menyajikan kepedihan dengan visaul memukau, hingga yang terpenting: ia juga ambil bagian dalam menyampaikan emosi dalam bentuk visual ke penonton.

Dibuka oleh percakapan yang cukup mengejutkan, ditengahi oleh karakter-karakternya yang menarik, hingga diakhiri oleh momen yang menggetarkan, nyaris membuat saya melupakan kekurangan Calvary, yang sebenarnya juga bukanlah hal yang terlalu besar. Selama 100 menit, Calvary mampu memberikan sebuah dunia yang tak biasa, mengeksplorasinya lewat sebuah misteri yang mempesona, memberikan penonton sebuah suplemen otak dengan kecerdasannya mengambil banyak hal ke permukaan dan keberaniannya menertawakan isu-isu moral. Diisi oleh lead tak terlupakan dari Brendan Gleeson, makin mampu menegaskan Calvary sebagai sebuah silent pleasure, tontonan mengenai kesedihan yang disajikan dengan cantik dan tenang. Salah satu yang terdepan di tahun ini, bahkan sejak menit pertamanya,

Sunday, October 12, 2014

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] Guardians of the Galaxy (2014)

"I am Groot." - Groot

Okay, I get it. I saw this like a month ago, and this review is just so overdue. Well, forgive me for having such a busy time, plus writing a review actually needs high level of mood, and i wasn't in the right mood. But, don't worry, i am right now. So, here we go: this time it's about the lost brother of The Avengers from the same universe. It's Marvel's time again, ladies and gentlemen! But wait, Guardians of the Galaxy is no The Avengers. Ya, mereka tentu jauh dari pinang yang di belah dua, keduanya lebih seperti kakak beradik yang tidak akur, mirip secara konsep tapi berbeda jauh dalam pengemasannya. The Avengers adalah kakak yang serius dan lebih populer, sementara adiknya Guardians of the Galaxy adalah adik yang bawel, punya selera humor tinggi plus selera musik renyah, dan jauh lebih rebellious.  

Diawali oleh opening yang cukup emosional, Guardians of the Galaxy menyorot Peter Quill kecil yang baru saja kehilangan ibunya, diculik oleh kaum pembajak angkasa, Ravagers. Dibesarkan oleh kaum pembajak membuat Peter Quill dewasa (Chris Pratt) menjadi seorang pencuri. Salah satu yang ia curi adalah bola misterius orb, yang rupanya juga merupakan incaran penjahat berbahaya galaksi, Ronan (Lee Pace). Quill yang tanpa pernah mengetahui apa bola misterius itu, tak mampu menghindari perkelahian perebutan orb antara utusan Ronan yang akhirnya membelot, Gamora (Zoe Saldana) dan 2 kriminal lain, Rocket (Bradley Cooper) dan Groot (Vin Diesel), yang berujung pada penjeblosan keempatnya ke dalam bui. Bersama Drax (Dave Bautista) yang mereka temui di penjara, mereka berlima yang akhirnya mengetahui kekuatan bola itu memutuskan untuk menjualnya demi materi. Tapi, ada satu hal yang tak mereka sadari: bahwa sebenarnta mereka juga sedang menyelamatkan galaksi dari kehancuran.


Nyatanya, film teranyar Marvel ini bukan hanya berbeda dari The Avengers, Guardians of the Galaxy juga berbeda dari kisah Marvel yang sudah-sudah. Ini bukan lagi sekedar film action pahlawan super dengan sisipan dialog menggelitik di antaranya, ini sudah layaknya sebuah komedi yang bercampur sempurna dengan sisi maskulinnya yang kental serta sisi emosional yang tak terlupakan. Tak ada lagi yang namanya 'sisipan', seluruh sisinya mampu hadir dengan porsi berimbang, menjadikan Guardians of the Galaxy bukan hanya sebagai film paling seru dan paling cool tahun ini, tapi secara mengejutkan, juga sebagai yang paling konyol di jajaran film 2014.

Ya, anda jelas tak akan melengkungkan bibir semata, tapi lebih dari itu, akan ada banyak tawa besar yang menghiasi 2 jamnya. Ya, selama 2 jam itu pula, anda akan puas dengan para 'superhero' yang memiliki bakat tersembunyi sebagai komedian. Dari Drax si algojo besar yang berada di batas abu-abu antara polos dan bodoh; Rocket, rakun bawel yang tak pernah bisa menutup mulut; Groot si manusia akar yang tak pernah menambah satu kosa kata baru pun dalam kamus bahasanya, Gamora, wanita yang tangguh dan, err, berkulit hijau; hingga Peter Quill yang sok asik meski hadir dengan selera musik paling asyik di antara seluruh karakter Marvel. 

Selera humor Guardians of the Galaxy memang bukan tergolong black comedy atau yang orang-orang sebut sebagai 'komedi khusus orang pintar'. Naskah hasil kolaborasi ini lebih memilih untuk membawa komedinya secara blak-blakan, mengolok-olok James Pollock, mengungkit Kevin Bacon, dan Footloose-nya, membuat suasana heroik menjadi penuh gelak tawa, hingga menertawakan hal-hal lain yang sebelumnya kita pikir tak akan bisa ditertawakan. Kaya akan punch line, naskahnya kapan saja 'meninju' anda dengan komedi tanpa rasa ampun, menggabungkan dialog-dialog witty dengan suasana heroik, dan hasilnya? Sebuah keseruan yang hadir dengan sense of humor yang jauh di atas rata-rata, dan yang lebih mengagumkan: ternyata banyak kekonyolan dan pahlawan super dalam satu frame bukanlah ide yang buruk, sama sekali!

Ada dua hal di mana Marvel tak pernah gagal. Yang pertama, tentunya gagal dalam box-office, US box-office yang mencapai lebih dari 300 juta dollar sudah berbicara banyakYang kedua? Apalagi kalau bukan dalam aksi yang keren dan penuh segmen akrobatik, Marvel can do no wrong in this section. Penuh energi, dinamis, dan menghentak, Guardians of the Galaxy rupanya tetap mampu mengemas aksinya dengan penuh keseruan dan tanpa pernah sekalipun tenggelam di tengah terjangan gelak tawanya. Dan, lewat tangan James Gunn, Marvel kembali membuktikan bahwa studio ini rupanya masih manjur dalam soal perkelahian si baik dan si jahat, sekaligus makin menegaskan namanya sebagai studio spesialis aksi pengundang decak kagum.

Di departemen akting, Guardians of the Galaxy diisi oleh cast yang bersinar yang dihiasi sekumpulan superhero bermoral rusak, dengan Chris Pratt sebagai 'Han Solo' dari ranah Marvel. Ia kharismatik, witty, flamboyan, and he's definitely the star and the heart of the entire movie. Di belakangnya, ada Zoe Saldana yang begitu tangguh sekalipun dalam kulit serupa Shrek dan sebangsanya. Sedangkan, Dave Bautista akhirnya mampu menunjukkan kemampuannya dengan berlakon sebagai Drax, algojo polos yang terbutakan oleh masa lalunya yang kelam. Dan, jangan lupakan pula bahwa ternyata film ini dihiasi oleh nama kondang Vin Diesel dan Bradley Cooper yang bersembunyi di balik efek komputer. Sementara Vin Diesel berhasil mencuri perhatian dengan dialog yang itu-itu saja, Bradley Cooper sukses bermulut kotor dan menjadi filthy mouth of the year lewat figur rakun hasil eksperimen genetik itu.

Soal hati, jangan ditanya lagi. Guardians of the Galaxy memiliki banyak momen emosional. Dari opening yang dramatis, ditambah karakter serta kekonyolonnya yang ternyata membantu penonton dalam memahami latar belakang mereka dan berempati terhadap para mantan kriminal ini. Ya, berbekal dari moral mereka yang telah 'rusak', James Gunn dan Nicole Perlman mampu meramu kisah yang (secara mengejutkan) dipenuhi ruang bebas bagi karakternya untuk berkembang, membuat prostetik dan efek komputer bukan lagi halangan berarti bagi penonton untuk mengenal mereka lebih jauh. Bermodal ini semua, Guardians of the Galaxy mampu menuturkan suatu kisah yang begitu humanis, sekalipun hanya ada satu manusia di jajaran pemain utamanya.


Tak ada yang menyangkal bahwa Guardians of the Galaxy mungkin adalah film paling cool tahun ini. Tapi, ada satu hal lagi yang menjadikan Guardians of the Galaxy jauh lebih cool. Cerita? Humor? Segmen aksi? Karakter? Well, tentunya, but that's not what i'm talking about. Apalagi kalau bukan mixtape Star-Lord dan kegemarannya terhadap musik. Bukan sekedar kegemaran belaka, mixtape ini adalah emotional core yang krusial, satu-satunya kenangan Quill terhadap ibunya dan terhadap rumahnya, bumi. Dengan diisi lagu-lagu oldies dari dekade '60an hingga '70an, James Gunn berhasil mengaplikasikan penggunaan soundtrack terbaik dalam tahun-tahun terakhir ini. Dari Hooked on A Feeling yang terngiang sejak awal film hingga O-O-H Child yang disajikan dengan komikal, Guardians of the Galaxy mampu membuat lagu-lagu bernuansa retro ini terdengar begitu masa kini. Belum cukup, soundtrack-nya membentuk sebuah kolaborasi  manis dengan visual cantiknya yang futuristik. Kolaborasi antar 2 generasi yang tak biasa memang, namun siapapun tak dapat menolak pesonanya.

Dari kemasannya, Guardians of the Galaxy lebih terlihat seperti proyek Marvel yang direaliasasikan hanya karena kesuksesan The Avengers. Tapi, jika kita lihat apa proyek ini sebenarnya, maka Guardians of the Galaxy adalah film yang paling berbeda dari para saudara pahlawan supernya, sekaligus proyek paling beresiko dari yang sudah-sudah. Sebuah film yang aneh untuk ukuran film superhero: karakter-karakternya terlalu ;rusak' dan aneh untuk menjadi pahlawan super, komedinya aneh dan unexpected serta penuh 'punch line' yang siap menginjeksikan anda dengan serum tawanya, hingga perhatiannya yang begitu besar dalam penggunaan soundtrack yang bahkan mendominasi scoring-nya. Ini tentu bukan deskripsi umum bagi film superhero, tapi berkat inilah Guardians of the Galaxy mampu mengukir tempat baru dalam universe Marvel yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Secara tak langsung James Gunn berhasil dalam menggebrak dinding film superhero, menghancurkan stereotype yang kini telah lama melekat pada film serupa, menjadikan Guardians of the Galaxy sebagai angin segar di tengah terjangan karakter pahlawan yang terlalu serius, salah satu film paling mengagumkan tahun ini, dan layaknya apa yang Rocket katakan semuanya datang dari a bunch of jackasses standing in a circle!