Wednesday, September 21, 2011

Tagged under: , , , ,

[Review] Noroi - The Curse (2005)


"No matter how terrifying, I want the truth." ~ Masafumi Kobayashi


Mockumentary, sebutan bagi film fiksi yang dikemas ala film dokumenter. Apa tujuannya? Apa lagi kalau bukan agar filmnya terlihat lebih realistis. Bukan itu saja, pengemasan film ala film dokumenter ini juga bisa menjadi solusi bagi film low-budget untuk menarik perhatian masyarakat. Sebut saja [REC], Noroi, Lake Mungo, Paranormal Activity, The Blair Witch Project, Haunted Changi, hingga film horor asal Indonesia sendiri, Keramat yang memakai konsep film mockumentary. Meski kerap dicibir, bukan berarti setiap film mockumentary memiliki kualitas buruk. [REC] contohnya, saking bagusnya film mocku asal Spanyol ini, sampai-sampai Hollywood membuat versi mereka sendiri dengan judul Quarantine. Bukan hanya [REC] yang memiliki kualitas bagus, film-film mocku yang saya sebut diatas tadi kesemuanya merupakan film mocku berkualitas. Di Indonesia sendiri, selain Keramat, juga terdapat satu lagi film mocku (yang sayangnya sampah) berjudul te[rekam] (deja vu? judulnya saja sudah nyontek abis film [REC]).


Kali ini, saya akan coba me-review salah satu film bergaya mocku asal Jepang, Noroi yang disutradarai oleh Kôji Shiraishi. Siapa tak kenal industri perfilman horor Jepang? Jepang memang dikenal sebagai rajanya Asia (bahkan dunia) soal membuat film-film yang membuat para bulu kuduk penontonnya berdiri. Mulai dari One Missed Call, Ju-On, Audition, Pulse, Suicide Club (Suicide Circle), hingga film yang mempopulerkan hantu berambut panjang mirip kuntilanak bernama Sadako, yaitu Ringu yang bernasib sama dengan [REC], yaitu di-remake oleh Hollywood (meskipun hasilnya tidaklah jelek). 

Memang, Hollywood masa kini dikenal sudah (hampir) tidak bisa membuat film horor lagi. Apalagi dengan munculnya film-film remake yang (sering kali) bukannya lebih berkualitas dari film originalnya, malah (sering kali lagi) tampil dengan memalukan. Dengan budget dan efek gila-gilaan jika dibandingkan dengan film originalnya bahkan tak membantu kualitas film remake pada umumnya. Berbanding terbalik dengan horor Jepang yang tampil lebih sederhana serta tak menghambur-hamburkan uang dapat menghadirkan atmosfer yang lebih mengerikan dan mencekam padahal hantu-hantunya tidaklah narsis (nunjuk film-film horor norak Indonesia).


Noroi dibuka dengan narasi seorang pria yang menjelaskan tentang Masafumi Kobayashi (Jin Muraki), seorang ahli supranatural yang telah menyelidiki berbagai misteri mengerikan dan tak terpecahkan, termasuk sebuah kasus yang sempat ia dokumentasikan sebelum Kobayashi dinyatakan hilang yang berjudul "Noroi". Kemudian film dilanjutkan dengan diputarnya video dokumentasi "Noroi" yang berawal saat Kobayashi dimintai bantuan oleh seorang wanita terhadap tetangganya yang misterius yang sering kali terdengar suara tangisan bayi dari arah rumah tentangganya yang bernama Junko Ishii (Tomono Kuga) tersebut. Belum selesai misteri aneh ini, muncullah misteri lain yang tak kalah misteriusnya, mulai dari hilangnya seorang anak bernama Kana (Rio Kanno), kelakuan aneh seorang paranormal, kejadian-kejadian mengerikan yang dialami seorang aktris, hingga kasus bunuh diri massal yang pada akhirnya mengantarkan kita pada satu titik yaitu sebuah ritual masyarakat setempat bernama "Kagutaba".


Bisa dibilang, Noroi atau The Curse (kutukan) merupakan salah satu film mockumentary terbaik yang pernah ada dan mockumentary terbaik asal Negeri Sakura sekaligus Tanah Asia, dengan menggabungkan kepercayaan mistik penduduk setempat dengan gaya penyampaian ala-ala dokumenter. Memang, gaya penyampaian dengan found-footage ini justru menambah ketegangan dalam film terlebih Noroi tidak takut untuk menambahan scoring musik, yang biasanya dihindari oleh film mocku sejenis karena dapat mengurangi kesan "asli" dalam film.

Noroi memang menyampaikan alur cerita yang cenderung lambat, namun berkat teka-teki misterius membingungkan sekaligus mistik yang terus berdatangan hingga akhir film plus dengan ketegangan yang telah dibangun sejak awal film dimulai membuat saya tak pernah bosan menonton film ini dari awal hingga akhir sambil melongo karena takjub akan kualitas film ini. Akting serta ekspresi para pemainnya pun, benar-benar patut diacungi jempol, terlihat begitu realistis dan benar-benar natural seolah mereka benar-benar mengalami kejadian tersebut yang pastinya turut ikut serta membangun intensitas ketegangan film dan juga memberantas rasa bosan. Penontonnya pun makin dimanjakan matanya dengan pergerakan kamera yang lumayan bersahabat. Belum cukup? Tunggu sampai anda melihat ending-nya yang begitu mengerikan dan tetap saja mengundang tanda tanya besar di kepala para penontonnya. Percayalah, saya jamin anda pasti akan tetap setia duduk berlama-lama untuk menjadi salah satu saksi dari sebuah "kejadian" mengerikan sekaligus mencekam ini.

 8.0/10