Monday, July 21, 2014

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Dawn of the Planet of the Apes (2014)

"Apes do not want war!" ~ Caesar

Di tengah maraknya summer blockbuster konvensional berbalut teknologi super modern, kita beruntung ketika proyek reboot sekaligus prekuel dari klasik Planet of the Apes ini diluncurkan. Meredam tiap ekspektasi negatif setelah kegagalan Tim Burton mengeksekusi remake-nya, Rise of the Planet of the Apes berhasil secara kualitas maupun kuantitas. Kini, dengan pergantian sutradara, yaitu Matt Reeve, sekuelnya, Dawn of the Planet of the Apes hadir membawa angin baru. Membawa aroma kelam dan bermain di daerah penuh resiko bagi sebuah sekuel, kita kedatangan Star Wars: The Empire Strikes Back dan The Dark Knight versi pertempuran manusia vs. kera!

Bermula dari 2016, ketika virus ALZ-113 mewabah seluruh dunia, melumpuhkan aktivitas ekonomi, hingga mematikan jutaan jiwa. Sepuluh tahun kemudian, ketika populasi manusia sudah makin menipis, Caesar (Andy Serkis) telah menjadi seorang pemimpin dari sebuah komunitas kera berjumlah besar. Bukan hanya pemimpin, ia juga merupakan suami dari Cornelia (Judy Greer) serta ayah dari Blue Eyes (Nick Thurston) dan adiknya yang baru saja lahir. Secara tak sengaja, Blue Eyes serta Ash (Doc Shaw) bertemu dengan segerombolan manusia, yang dipimpin Malcolm (Jason Clarke). Caesar, yang rupanya masih menyimpan memorinya terhadap manusia, menyuruh mereka pergi. Tapi, itu tidak cukup bagi Koba (Toby Kebbell), seekor simpanse yang menaruh dendam besar terhadap manusia. Menganggap Caesar bukanlah pemimpin tegas, ia pun menyiapkan master plan yang memantik konflik besar antar 2 kubu primata ini.


Ya, Dawn of the Planet of the Apes bukan sekadar film tentang perang. Ini adalah karya yang penuh substansi di tengah kemegahan bungkus teknologi. Ia menyinggung apapun yang berkaitan dengan kemanusiaan lewat konflik perebutan spesies superior. Di departemen karakter, ketiga screenwriter, Mark Bomback, Rick Jaffa and Amanda Silver, tak hanya menghadirkan Caesar, sang pelakon utama, primata yang menjunjungtinggi nilai kemanusiaan dan kedamaian, tapi juga primata lain, Koba, seekor primata yang hatinya telah buta akan kebencian terhadap manusia, yang secara perlahan justru menunjukkan sifat-sifat identik manusia. Di balik kedua primata utama ini, ada nilai yang ingin dihadirkan, sebuah isu penuh kemanusiaan yang sukses diangkat, yang anehnya justru muncul dari kaum simpanse.

Sebuah revolusi di tengah evolusi, Dawn of the Planet of the Apes menawarkan narasi yang sekilas mungkin tak akan mungkin terjadi (talking apes, etc.), namun secara bersamaan ini adalah narasi yang berbicara banyak tentang humanity yang sangat relevan. Tapi, itu semua tak dihadirkan secara gamblang begitu saja, narasinya membawa penonton terhanyut dalam pendalaman emosi yang mangaduk-aduk. Matt Reeves mampu menyetir tiap emosi, membawa karya satu ini menjadi sebuah rollercoaster emosional. Sama sekali tak cengeng dan tak akan ada air mata yang akan keluar, namun Reeves dengan ahli mampu memetik tiap simpati yang penonton berikan pada tiap karakter, sembari menelurkan lebih banyak lagi karakterisasi simpanse maupun manusia dan mengisinya dengan sisi protagonis di kedua kubu, hingga akhirnya mengantarkan tiap penonton pada persimpangan 'siapa yang harusnya dibela?'.


Untuk melihat peperangan besar itu, memang dibutuhkan sedikit kesabaran. Tapi, keputusan untuk lebih memperdalam drama serta emosi ketimbang dengan langsung mengekspos konflik secara besara-besaran tentu merupakan keputusan tepat. Karena, selain pendalaman emosi dilakukan dengan sangat, sangat baik dan hal ini juga efektif dalam membangun substansi cerdas dalam dramanya, semuaa ini memang terbayar ketika Reeves perlahan menunjukkan taji puncak konfliknya, sebuah peperangan yang intens sekaligus memaksa otak untuk bekerja. Bagi penggila action yang kaya akan speciel effects, mungkin akan menganggap film ini terlalu statis. Tentu, itu bila anda membandingkannya dengan Transformers yang menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. Dawn of the Planet of the Apes memang menampilkan chaos yang 'megah', namun ia masih 'berotak' dengan banyak hal yang mampu dipetik, tak sekadar meluluhlantakkan San Fransisco yang sejatinya memang telah hancur sejak awal.

Tak hanya berjasa di situ, seperti yang ada pada judulnya, Matt Reeves mampu membawa atmosfer yang kaya akan kekelaman. Menggunakan tone gelap dalam sinematografi hingga menciptakan bumi yang kaya kehancuran, ia bukan hanya membawa suasana dystopian yang meyakinkan, tapi juga memberi penonton sebuah dunia penuh konflik berkepanjangan dan berhasil menuntun tiap orang untuk hanyut di dalamnya. Hasilnya, Dawn of the Planet of the Apes merupakan perjalanan yang epik dari awal hingga kredit bergulir, tak hanya kelam di permukaan namun juga kelam hingga ke akar-akarnya. Sebuah pengarahan gemilang dari seorang Matt Reeves yang dengan berani mengambil berbagai resiko ketimbang bermain aman.


Tak pernah ada yang meragukan kualitas Andy Serkis dalam melakoni karakter-karakter berbalut CGI. Perannya sebagai Caesar pun telah teruji dalam Rise of the Planet of the Apes, tapi kini ia membawa aroma baru dalam karakternya. Sebagai seekor kera, ia penuh kedewasaan dan wibawa, lengkap dengan jalannya yang tegap. Ia merupakan 'seekor' saint alias orang suci yang pada beberapa kaumnya dianggap sebagai kegagalan dalam memimpin sementara yang lain menganggapnya sebagai bagian dari kebijaksanaan. Kemunculannya di awal dan perpisahan di akhir selalu mengundang decak kagum, membuat siapapun tak akan mampu melupakan si pemimpin. Ini berhasil membuktikan bahwa mocap performance bukanlah tentang berakting di bawah bayang-bayang teknologi, melainkan memberikan sentuhan-sentuhan teknologi tersebut jiwa dan nyawa, yang kita sebut 'kehidupan'.

Andy Serkis tentu tak sendiri. Dibaliknya, ada segenap talenta berbakat lain. Ada Toby Kebbell yang tak kalah briliannya sebagai Koba, kera yang perlahan berubah menjadi mesin pembunuh. Di balik kostum motion capture dan bintik-bintik di wajahnya, ia mampu menjalankan 2 tugas utamanya dengan sangat baik. Sebagai kera, ia memiliki segalanya dari gesture hingga teknologi yang turut membantunya. Sebagai antagonis, ia kejam, tak kenal ampun, dan buta akan kebencian. Sementara itu, dari klan manusia, ada Jason Clarke dan Gary Oldman yang menonjol. Meski harus diakui peran mereka tak semenantang para kera, namun tak akan ada yang menampik bahwa keduanya berlakon memuaskan.


Dawn of the Planet of the Apes tak akan pernah lepas dari teknologi motion-capture-nya, ini artinya tak akan pernah lepas pula dari departemen special effects. Seperti pendahulunya, film ini masih hadir dengan special effects rumit dan kaya detail khas Weta, yang bahkan hadir dengan penampilan lebih matang. Para primata hadir dengan penampilan meyakinkan, tampak nyata dengan tekstur kulit serta rambut-rambut yang terlihat begitu rumit. Ini menjadi seperti yang kita lihat dalam Gravity, di mana tiap CGI menjadi bagian krusial, bukan hanya sebagai ajang unjuk budget tinggi. Anda mungkin sudah tak dapat mengenali mana yang asli dan mana yang hasil gubahan komputer, atau anda bahkan tak mengenali bahwa yang di depan mata anda adalah rekayasa teknologi. Meski begitu, semua ada batasnya. Apa yang anda lihat adalah efek komputer di sana-sini, namun hal ini tak pernah menutupi tiap emosi dan narasinya yang 'berotak'.

Dawn of the Planet of the Apes bukan hanya bekerja dengan baik di sisi blockbuster, penuh ledakan dan keseruan. Tapi di sisi lainnya, film ini tetap membawa substansi besar yang mampu hadir menonjol dan tak pernah sekalipun tertutup special-effects yang tak kalah besar itu. Matt Reeves berhasil membangun ikatan emosional mendalam pada tiap 'spesies', memberikan tiap dari mereka ruang lega untuk berkembang dan sekaligus bagi substansi itu sendiri untuk melangkah lebih jauh, menyentil tiap isu yang 'sayangnya' memang relevan untuk saat ini. Dengan diisi oleh salah satu cast berbasis teknologi motion-capture, Dawn of the Planet of the Apes hadir dengan kualitas yang terbaik di jajarannya, lengkap dengan Andy Serkis yang lagi-lagi begitu brilian sebagai Caesar. Menolak bermain aman, ini adalah sebuah perkawinan manis antara kulit serta isi yang penuh kecerdasan, emosi, drama, visual cantik, serta keseruan yang hadir saling melengkapi. Dawn of the Planet of the Apes is 'officially' the best summer blockbuster of the year, and one of the best of all time!


Tuesday, July 1, 2014

Tagged under: , , , , ,

[Review] The Fault in Our Stars (2014)

"That’s the thing about pain. It demands to be felt." ~ Gus

Ada banyak film yang mengambil sebuah sudut pandang penderita kanker. Tahun ini, mereka kedatangan anggota baru, The Fault in Our Stars. Diadaptasi dari novel berjudul sama dari John Green, The Fault in Our Stars adalah sebuah romcom pahit-manis tentang romasa dua remaja pederita kanker, yang naskahnya ditulis oleh kolaborasi Scott Neustadter dan Michael H. Weber. Di bangku sutradara, ada nama Josh Boone, yang mungkin terdengar cukup asing, mengingat ini adalah karya kedua sang sutradara muda setelah romcom Stuck in Love. Sementara itu, lini cast-nya dipimpin oleh dua bintang muda, Shailene Woodley dan Ansel Elgort, plus pelakon veteran yang juga merupakan anak aktor Bruce Dern, Laura Dern.

Mengambil latar di Indianapolis, Indiana, The Fault in Our Stars adalah kisah dari sudut pandang seorang gadis 16 tahun, Hazel Graze Lancaster (Shailene Woodley). Ia bukanlah gadis biasa, di tengah usianya yang belia, ia harus berjuang melawan kanker tiroid yang kini telah menjalar hingga paru-parunya, yang memaksa Hazel untuk terus bernapas melalui selang dari tabung oksigen yang selalu ia bawa kemanapun. Ibunya, Frannie Lancaster (Laura Dern), percaya bahwa Hazel tengah mengalami depresi, dan memutuskan untuk memasukkan Hazel ke dalam support group di mana orang-orang seperti dia berkumpul. Meski Hazel awalnya menolak, dengan terpaksa ia pun bergabung dengan kelompok tersebut, hanya agar ibunya senang.


Ketika telah bergabung dengan support group tersebut, ia tak merasa banyak perubahan dalam kehidupannya yang ia anggap membosankan, kecuali ia harus pergi ke support group, yang menurutnya malah membuat hidupnya tambah membosankan. Tapi, itu tak bertahan lama. Hidupnya seketika berubah, setelah pertemuannya dengan anggota baru kelompok tersebut, Augustus 'Gus' Walters (Ansel Elgort), seorang penderita kanker tulang yang berhasil bertahan hidup setelah ia mengamputasi kaki kirinya. Tak seperti lainnya, Gus adalah pribadi menyenangkan, yang membuat mereka berdua menjadi cepat akrab. Mereka bertukar pikiran, hingga bertukar hobi masing-masing. Salah satunya adalah saat Hazel memberi Gus novel favoritnya yang berjudul An Imperial Affliction karya Peter Van Houten (Willem Dafoe). Sampai di titik ini, Hazel mungkin saja akan mendapatkan kejutan terbesar dalam hidupnya.

Ya, sebagai romansa remaja berbumbu drama pilu, ini mungkin sedikit cheesy. Tapi, apakah ini dangkal? Sama sekali tidak. Naskahnya begitu sederhana, tak banyak kompleksitas secara cerita, namun itu sama sekali bukan masalah, karena kisahnya sendiri telah menawarkan kompleksitas secara emosi yang mampu digali dengan baik. Di tengah tragedi yang datang silih berganti, ia rupanya masih punya banyak kekuatan untuk membawa humor-humornya yang penuh tawa. Takaran pengaduk emosi hadir dengan porsi pas, tanpa pernah terasa dikemas dengan berlebihan. Akhirnya, ini bukan melodrama yang luar biasa manipulatif, memang banyak mengunang air mata, namun The Fault in Our Stars lebih memilih membawa semuanya dengan kejujuran, membiarkan penonton hanyut dalam tiap karakter. The Fault in Our Stars memang dekat dengan kematian, namun ini sama sekali bukan tentang itu.


Tapi, meski memang tak memiliki struktur teramat kompleks, The Fault in Our Stars tetaplah menyimpan sebuah belokan tajam yang seketika merubah pandangan penonton. Awalnya, ini memang terlihat kisah tentang bagaimana agar permintaan terakhir Hazel dapat terpenuhi, namun ketika kita hampir sampai di titik itu, semuanya seketika berubah. Well, not that kind of shock you got from The Prestige, but still pretty shocking. Ada perubahan atmosfer yang benar-benar drastis, namun di sisi lain, ini membuat segala hal menjadi lebih berwarna, membuat The Fault in Our Stars tak melulu menyampaikan sebuah kisah yang itu-itu saja. Meski memang, secara keseluruhan naskahnya bukanlah hal yang luar biasa.

Arahan seorang Josh Boone sejujurnya, juga bukanlah suatu hal yang sangat istimewa. Tapi, perlu diakui, bahwa ia telah melakukan tugas-tugasnya dengan sangat baik. Boone mampu membawa The Fault in Our Stars sebagai kisah yang bukan hanya dipenuhi kisah pilu dan kematian, tapi tetaplah sebuah romansa manis dan penuh cinta. Ia mampu bertutur sebuah kisah tentang sekumpulan manusia yang bergelut dan mencoba bertahan dari penyakitnya, namun di satu sisi tetap mampu menuturkan kisah yang kaya akan spirit positif dan ketika mencoba menggali sisi romansa, ia mampu membuat siapapun tersenyum sednri. Ini tetaplah sebuah tearjerker sejati, namun arahan Boone selalu ampuh dalam mengundang tawa yang hadir dengan ruang yang cukup banyak.


Sebagai sentral film ini, ada Shailene Woodley, yang telah teruji lewat The Descendants, sekali lagi memberikan penampilan manis dan memilukan sebagai Hazel Grace. Dengan tabung oksigen yang ia bawa kemanapun, ia bukan tipe wanita cengeng yang hanya ingin dikasihani, Woodley berhasil mendefinisikan sosok wanita pemberani dalam dunia 'nyata', tanpa harus bergulat dengan stereotip wanita berfisik sempurna, tanpa perlu terus terjebak dengan karakter sejenis Erin Brockovich atau Natasha Romanoff. Well, although the buzz is not that strong, this role might give her another chance for her first Oscar nomination, after AMPAS failed to recognize her in The Descendants.

Shailene Woodley bukan satu-satunya penampil memukau di sini. Ya, di lain sisi, karakter Shailene Woodley sendiri juga hidup berkat kharisma Ansel Elgort. Lewat Augustus, Elgort mampu membawa tiap keceriaan dalam kisah pedih ini. Diluar keadaannya, ia adalah sosok kharismatik, ceria, doyan berkelakar dengan senyuman pembunuh. Ia adalah penggombal luar biasa dengan perkataan-perkataan puitis, namun kita tahu bahwa itu semua memang datang dari dalam dirinya. Bagian terbaiknya ada ketika Woodley dan Elgort berada dalam satu frame. Tak hanya kokoh, chemistry yang terbentuk terasa sangat tulus, yang mungkin mampu membuat siapun lupa bahwa apa yang ada di depan mata mereka bukanlah sesuatu yang nyata.


Tapi, adalah Laura Dern yang memberikan penampilan 'menyakitkan', meski ia merupakan salah satu karakter yang hadir dengan keadaan sempurna. Seperti yang Hazel katakan sendiri, "the only thing worse than biting it from cancer was having a kid bite it from cancer," dan ia memang benar. Look at her facial expressions. Setiap saat, ia mungkin terlihat ceria. Ia selalu tersenyum, tapi tentu senyum itu semua hanyalah cerminan dari apa yang ia telah lewati selama ini. Semua tahu bahwa di wajahnya tersembunyi sakit yang luar biasa, namun ajaibnya senyum dan optimisme itu tetap ada. Screentime yang ia miliki boleh jadi tak lama, tapi dengan penampilan memukaunya, ia mampu membekas di hati siapa saja.

Ini memang bukan romansa coming-of-age terbaik yang pernah ada. Sebagai tontonan coming-of-age pula, ini belum bisa menyentuh level yang pernah diraih The Spectacular Now atau pun The Perks of Being Wallflower. Tapi, sebagai sebuah romansa tearjerker khas remaja, The Fault in Our Stars is an emotional rollercoaster anyone could ask for. Cengeng? Ya. Tapi, apa salahnya? Toh, ia tak pernah melakukannya dengan berlebihan. Hadir dengan porsi cukup seimbang, banyak tawa yang tercipta di perjalanannya menuju sebuah kisah cinta manis-pahitnya. Cast-nya gemilang dengan chemistry Shailene Woodley dan Ansel Elgort yang tak terpisahkan serta Laura Dern yang tak boleh dilewatkan. Naskahnya mungkin bukan sebuah terobosan, tapi sebagai sebuah adaptasi novel, kesetiannya sudah lebih dari cukup. Sementara itu, arahan dari Boone juga mampu membawa penonton terhanyut dalam kisahnya, merasakan apa yang mereka rasakan, bersuka cita dan berduka bersama para karakternya. And, that's what matters most.