"Watch your thoughts for they become words. Watch your words for they become actions. Watch your actions for they become... habits. Watch your habits, for they become your character. And watch your character, for it becomes your destiny! What we think we become." ~ Margaret Thatcher
The Iron Lady bukanlah film adaptasi komik Marvel bertema superhero yang menceritakan seorang Ironman versi wanita. Bukan, bukan itu. The Iron Lady ini tidaklah punya kekuatan super. Ia tak bisa terbang, berlari dengan kecepatan cahaya, mengangkat beban yang beratus kali lipat dari berat tubuhnya, atau bahkan dapat mengeluarkan jaring laba-laba dari jarinya. The Iron Lady juga tak ada hubungannya sama sekali dengan setrika (loh?). The Iron Lady justru menceritakan sesosok wanita tua kontroversial namun disegani oleh orang banyak. Tidak lain dan tidak bukan, ialah Margaret Thatcher, perdana menteri wanita pertama Britania Raya.
Siapa yang tak kenal dengan Margaret Thatcher? Saya pun, yang bahkan hidup bukan dijamannya saja tahu dan mengenalnya. Ia merupakan perdana menteri wanita pertama dalam sejarah Britania Raya. Ia menjabat sebagai perdana menteri selama 11 tahun, menjadikannya masa jabatan terpanjang di abad 20, dari tahun 1979 hingga tahun 1990 saat ia digulingkan oleh rekan-rekan separtainya. Sebuah akhir yang tragis untuk seorang pemimpin kontroversial seperti Margaret Thatcher. Margaret Thatcher memang dikenal sebagi pemimpin yang terkenal akan keputusan-keputusannya yang kerap mengundang kontroversi.
The Iron Lady diawali seorang nenek tua yang sedang membeli sekotak susu di sebuah minimarket. Ya, dialah sosok Margaret Thatcher (Meryl Streep) di masa tua. Diceritakan, di masa tuanya, Margaret mengidap penyakit dementia yang menyebabkan ia sering berhalusinasi mengenai suaminya yang telah tiada. Suaminya, Denis Thatcher (Jim Broadbent) sendiri merupakan sosok yang kocak dan jenaka. Melalui flashbak-flashback yang disajikan Lloyd, yang tak lain merupakan ingatan-ingatan masa muda Margaret, kita diperlihatkan masa sebelum, saat, dan sesudah menjabat sebagai penguasa Inggris. Melalui ini pula, kita diperkenalkan dengan ego Margaret yang mungkin akan meninggalkan kesan 'sesuatu' bagi penontonnya.
Mungkin hal yang dapat diacungi jempol adalah akting Meryl Streep yang benar-benar juara. Memang tak salah jika Oscar menominasikannya untuk Best Actress, bahkan Golden Globes pun tak ragu lagi untuk menghadiahkan satu awardnya ke tangan Meryl Streep karena perannya ini. Tak mudah memang untuk memerankan suatu karakter dalam film, terlebih karakter ini merupakan tokoh non-fiksi alias benar-benar ada. Ia benar-benar hebat dalam memerankan seorang tokoh dunia seperti Margaret Thatcher. Aura Margaret Thatcher benar-benar terpancar dari dalam diri Meryl Streep. Apalagi didukung fakta bahwa ia adalah aktris kelahiran Amerika Serikat yang memerankan tokoh penting asal Britania Raya.
Tata rias dalam film ini juga harus diacungi jempol. Lihat saja penampilan Meryl Streep yang seakan menjadi saudara kembar Margaret Thatcher yang telah berpisah bartahun-tahun lamanya (loh?). Entah apa itu, yang pasti para penata riasnya benar-benar berhasil dalam menghadirkan sosok Margaret Thatcher secara fisik. Coba lihat penampilan Margaret di masa tuanya. Streep, sebagai pemeran Margaret benar-benar dipermak habis-habisan hingga nampak tua, renta, keriput, dan lemah. Kemudian, saat kita ditampilkan Margaret yang masih berada di puncak kejayaannya, kesan tua renta itu seketika hilang dalam sekejap. Tapi, tentu saja ini tak terlepas dari peran Meryl sendiri yang berakting dengan memukau, seperti biasanya.
Ah, seperti kata pepatah "tak ada yang sempurna di dunia ini", The Iron Lady tidaklah tampil dengan sempurna. Masih banyak lubang-lubang yang mengisi durasi film ini. Mulai dari alur filmnya yang maju mundur. Saya sebenarnya tak mempersalahkan alurnya, hanya saja pemotongan gambar dalam film ini memang tak menarik. Tentu saja, tak semua film dengan penceritaan alur maju mundur tak menarik untuk diikuti penontonnya. Coba lihat Memento yang tampil memukau karena salah satunya lewat alurnya yang maju mundur itu. Yah, tapi itu tidaklah terjadi dalam The Iron Lady.
Selesai? Belum. Entah apa, saya merasakan cerita film ini tidak detail dalam menjelaskan kehidupan Margaret Thatcher. Sangat banyak sebenarnya peristiwa-peristiwa yang bisa dibilang menjadi suatu peristiwa penting bagi kehidupan Margaret terlewat. Kita tidak diperlihatkan apa yang dilakukan Thatcher selama 11 tahun masa jabatannya. Kita juga tak diceritakan perjalanan Margaret untuk akhirnya dapat menginjakkan kakinya pertama kali di Westminster Hall. Tak ada juga perjalanan masa kecilnya hingga akhirnya bisa diterima di Universitas Oxford. Ceritanya datar dan tak fokus bahkan cenderung dibiarkan mengambang begitu saja sepanjang durasinya.
Terang saja, semua itu diceritakan berasal dari ingatan Margaret yang telah menginjak usia tua yang tentu saja memorinya sudahlah tak sekuat dulu. Mungkin agak sedikit unik dengan gaya penceritaan seperti ini. Namun, bagi saya, ini bukan lah langkah yang tepat, apalagi mengingat bahwa film ini merupakan film biografi yang seharusnya dapat menceritakan sesuatu yang lebih banyak lagi tentang sosok Margaret Thatcher. Ya, Lloyd seakan tak memberikan kita waktu untuk mengenal lebih dekat tokoh ini dalam durasi film yang tergolong cukup singkat ini.
The Iron Lady memang tak sesuai seperti yang saya ekspektasikan. Film ini memanglah tidak jelek, yah lumayanlah menurut saya. Tapi sebagai film biografi yang baik? Mungkin tidak. Mungkin anda tak akan dapat menggali lebih dalam lagi kehidupan Margaret Thatcher melalui film ini. Bukan salah satu film terbaik di tahun 2011 memang. Beruntunglah bagi The Iron Lady, karena ia masih mempunyai Meryl Streep serta departemen tata riasnya. Penampilan dari Meryl Streep sebagai Margaret Thatcher dan tata riasnya memang benar-benar fantastis!
The Iron Lady diawali seorang nenek tua yang sedang membeli sekotak susu di sebuah minimarket. Ya, dialah sosok Margaret Thatcher (Meryl Streep) di masa tua. Diceritakan, di masa tuanya, Margaret mengidap penyakit dementia yang menyebabkan ia sering berhalusinasi mengenai suaminya yang telah tiada. Suaminya, Denis Thatcher (Jim Broadbent) sendiri merupakan sosok yang kocak dan jenaka. Melalui flashbak-flashback yang disajikan Lloyd, yang tak lain merupakan ingatan-ingatan masa muda Margaret, kita diperlihatkan masa sebelum, saat, dan sesudah menjabat sebagai penguasa Inggris. Melalui ini pula, kita diperkenalkan dengan ego Margaret yang mungkin akan meninggalkan kesan 'sesuatu' bagi penontonnya.
Mungkin hal yang dapat diacungi jempol adalah akting Meryl Streep yang benar-benar juara. Memang tak salah jika Oscar menominasikannya untuk Best Actress, bahkan Golden Globes pun tak ragu lagi untuk menghadiahkan satu awardnya ke tangan Meryl Streep karena perannya ini. Tak mudah memang untuk memerankan suatu karakter dalam film, terlebih karakter ini merupakan tokoh non-fiksi alias benar-benar ada. Ia benar-benar hebat dalam memerankan seorang tokoh dunia seperti Margaret Thatcher. Aura Margaret Thatcher benar-benar terpancar dari dalam diri Meryl Streep. Apalagi didukung fakta bahwa ia adalah aktris kelahiran Amerika Serikat yang memerankan tokoh penting asal Britania Raya.
Tata rias dalam film ini juga harus diacungi jempol. Lihat saja penampilan Meryl Streep yang seakan menjadi saudara kembar Margaret Thatcher yang telah berpisah bartahun-tahun lamanya (loh?). Entah apa itu, yang pasti para penata riasnya benar-benar berhasil dalam menghadirkan sosok Margaret Thatcher secara fisik. Coba lihat penampilan Margaret di masa tuanya. Streep, sebagai pemeran Margaret benar-benar dipermak habis-habisan hingga nampak tua, renta, keriput, dan lemah. Kemudian, saat kita ditampilkan Margaret yang masih berada di puncak kejayaannya, kesan tua renta itu seketika hilang dalam sekejap. Tapi, tentu saja ini tak terlepas dari peran Meryl sendiri yang berakting dengan memukau, seperti biasanya.
Ah, seperti kata pepatah "tak ada yang sempurna di dunia ini", The Iron Lady tidaklah tampil dengan sempurna. Masih banyak lubang-lubang yang mengisi durasi film ini. Mulai dari alur filmnya yang maju mundur. Saya sebenarnya tak mempersalahkan alurnya, hanya saja pemotongan gambar dalam film ini memang tak menarik. Tentu saja, tak semua film dengan penceritaan alur maju mundur tak menarik untuk diikuti penontonnya. Coba lihat Memento yang tampil memukau karena salah satunya lewat alurnya yang maju mundur itu. Yah, tapi itu tidaklah terjadi dalam The Iron Lady.
Selesai? Belum. Entah apa, saya merasakan cerita film ini tidak detail dalam menjelaskan kehidupan Margaret Thatcher. Sangat banyak sebenarnya peristiwa-peristiwa yang bisa dibilang menjadi suatu peristiwa penting bagi kehidupan Margaret terlewat. Kita tidak diperlihatkan apa yang dilakukan Thatcher selama 11 tahun masa jabatannya. Kita juga tak diceritakan perjalanan Margaret untuk akhirnya dapat menginjakkan kakinya pertama kali di Westminster Hall. Tak ada juga perjalanan masa kecilnya hingga akhirnya bisa diterima di Universitas Oxford. Ceritanya datar dan tak fokus bahkan cenderung dibiarkan mengambang begitu saja sepanjang durasinya.
Terang saja, semua itu diceritakan berasal dari ingatan Margaret yang telah menginjak usia tua yang tentu saja memorinya sudahlah tak sekuat dulu. Mungkin agak sedikit unik dengan gaya penceritaan seperti ini. Namun, bagi saya, ini bukan lah langkah yang tepat, apalagi mengingat bahwa film ini merupakan film biografi yang seharusnya dapat menceritakan sesuatu yang lebih banyak lagi tentang sosok Margaret Thatcher. Ya, Lloyd seakan tak memberikan kita waktu untuk mengenal lebih dekat tokoh ini dalam durasi film yang tergolong cukup singkat ini.
The Iron Lady memang tak sesuai seperti yang saya ekspektasikan. Film ini memanglah tidak jelek, yah lumayanlah menurut saya. Tapi sebagai film biografi yang baik? Mungkin tidak. Mungkin anda tak akan dapat menggali lebih dalam lagi kehidupan Margaret Thatcher melalui film ini. Bukan salah satu film terbaik di tahun 2011 memang. Beruntunglah bagi The Iron Lady, karena ia masih mempunyai Meryl Streep serta departemen tata riasnya. Penampilan dari Meryl Streep sebagai Margaret Thatcher dan tata riasnya memang benar-benar fantastis!
ni film kayanya emang berantakan---dan ga lebih dari semacem dokumenter kehdupan MT,datar2 aja ceritanya.
ReplyDeletepadahal klo mau,banyak bgt momen penting khidupan MT yg bkal bgus dijadiin 'konflik'
Yeah...Meryl-lah penyelamat ni film
Setuju! filmnya gak istimewa menurut saya, banyak momen2 penting yg hilang dibuang entah kemana. tapi meryl memang gak ada duanya :D
ReplyDelete