Saturday, June 28, 2014

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] Under the Skin (2014)

"You think I'm pretty?" ~ the Alien

Jika ditanya film apa yang paling saya tunggu di tahun ini? Maka inilah jawabannya. Under the Skin tak hanya membawa pesona-pesona film pemikir lain, ia juga membawa tema yang sebenarnya lebih pas dengan tipe film blockbuster yang kaya aksi. Ya, tak seperti film alien lain, ini adalah murni sebuah karya arthouse yang merupakan adaptasi lepas dari novel berjudul sama karya Michael Faber. Under the Skin sendiri ditangani oleh sineas Jonathan Glazer, dengan naskah adaptasi dari Walter Campbell. Di jajaran cast, Under the Skin dipimpin oleh nama Scarlett Johansson sebagai sang alien yang bersembunyi di bawah kulit seorang wanita cantik.

Under the Skin bertutur tentang seorang wanita (Scarlett Johansson), yang rupanya merupakan seorang alien berwujud wanita cantik yang sedang menyamar di suatu daerah di Skotlandia. Ia ditugaskan memerangkap para pria yang tergoda dengan kecantikannya, dengan sebuah perangkap berupa cairan hitam kental yang mampu 'memanen' tubuh mereka. Modusnya, dengan berpura-pura tersesat, menanyakan alamat pada para pria, dan menawarkan tumpangan pada mereka. Tapi, ia dihadapi keraguan akan tugasnya ketika ia bertemu dengan seorang calan korban yang merupakan penderita neurofibromatosis. Dari situ, sang alien yang awalnya hanya merupakan alat tanpa emosi, kini perlahan menumbuhkan sifat-sifat manusianya.


Dari distrik penulisan, Under the Skin memiliki screenplay yang rumit. Ia hadir dengan membawa kisah seorang alien di bumi, tapi bukan kisah alien biasa. Bahkan, mungkin saja ini tak berhubungan dengan alien sama sekali. Ya, banyak kemungkinan yang muncul jika membicarakan kisahnya. Bergelimpahan metafora yang kerap membingungkan, yang dibarengi dengan dialog miskinnya yang kalau dihitung-hitung hanya terdiri atas 300 baris saja, Under the Skin jelas mempunyai naskah yang tidak dapat dilahap begitu saja. Naskah gubahan Walter Campbell ini memang butuh tenaga yang benar-benar ekstra untuk dimengerti, tapi tak lantas ini membuat Under the Skin menjadi film yang tak tentu arah hanya karena naskahnya. Justru, naskah ini tahu persis arah yang ia tuju, dan hal ini lah yang mampu membuat Under the Skin bersinar terang, menjadi salah satu film terbaik tahun ini.

Sebenarnya, Walter Campbell memiliki waktu kapan saja untuk memberikan penjelasan bagi tiap anak sungai plotnya. Fortunately, he didn't do it. Sebaliknya, ia lebih memilih untuk bermain-main dengan temanya. Dengan dialog yang sepi, banyak ruang yang terbuka baginya untuk mengembangkan tiap simbolisme yang bukan hanya bekerja sebagai ornamen yang mempercantik cerita, tapi menjadi bagian krusial yang membangun sebuah cerita. Ya, pondasi film ini adalah interpretasi dari tiap mata yang menontonnya, inilah yang membedakan Under the Skin dengan film bertema serupa. Para penonton dituntut untuk terus melihat tiap detail dalam cerita. Apa yang terjadi ketika Johansson memakan cake-nya? Siapa wanita yang pakaiannya ia lucuti? Mengapa ia mengangis? Siapa si pengendara motor itu? Mengapa setelah beberapa waktu ia memutuskan untuk berjalan kaki ketimbang mengendarai vannya? Kita memang tak pernah diberitahu apa yang sedang terjadi, namun hal-hal kecil tersebut sebenarnya dapat menuntun kita dalam perjalanan menelusuri labirin ini.


Di tangan Glazer lah karya jenius itu dapat tercipta. Dimulai sejak opening sequence, Under the Skin telah menghipnotis saya. Dibuka dengan cahaya dari kejauhan, kemudian perlahan tampak seperti rupa gerhana, yang akhirnya menampilkan visual mata manusia, yang ditemani suara Johansson berlatih bahasa manusia. Ya, ini mungkin adalah sekuen penciptaan alien terbaik yang pernah ada. Dengan hanya mengandalkan visual cantik itu, Glazer mencoba menggali imajinasi liar kita tentang sebuah penciptaan alien yang benar-benar lain dari pada yang lain. Ia menuntun kita ke sebuah awal perjalanan epik yang nantinya akan mengawali kisahnya yang misterius dan dingin. Ini mungkin sederhana, tapi di balik itu, pembuka ini menimbulkan sensasi yang luar biasa.

Ketika masuk ke kisah utama, Glazer tak pernah sekalipun kehilangan pesonanya. Dengan diiringi sinematografi tenang serta musik latar mencekam penuh bunyi-bunyi aneh yang siap menciutkan nyali (one of the best soundtracks i've ever heard!), ia memerangkap pikiran kita ke sebuah rollercoaster yang tak henti-hentinya merangsang otak untuk terus berpikir. Dingin, itulah kata yang muncul pertama kali ketika mendeskripsikan arahan Glazer. Glazer memang tak memikirkan akal sehat penonton yang mungkin terus bergejolak sepanjang film, sebaliknya, penonton lah yang harus terus mengikuti menit tiap menit, mengikuti alam liar dalam kepala Glazer, mengikuti alur gila yang akan ia ceritakan. Ia mampu menggambarkan tiap plot hanya dengan visual. Lihat bagaimana transisi Johansson, yang awalnya tak mengindahkan tangisan seorang bayi sekalipun. Tapi, momen terbaik ada ketika Johansson telah menemukan mangsa yang tepat. Seketika itu pula, Under the Skin menghipnotis penonton ke dalam dunia femme fatale yang sunyi, dingin, kaku, dan menghipnotis. Scene-scene ini banyak mengalami pengulangan, namun dengan tambahan ornamen di tiap sekuennya, mampu membuat hal ini begitu menarik dan makin menghipnotis. 


Tapi, siapa pun rasanya akan terhipnotis dengan pesona Scarlett Johansson. Di sini, ia adalah kebalikan dari Samantha dalam Her yang hanya menampilkan suara tanpa wujud. Sebagai seorang alien sekaligus perwujudan femme fatale, ia sangat hemat dalam berbicara, sebaliknya ia benar-benar memanfaatkan tiap bahasa tubuh, lengkap dengan pandangan kosong namun tetap tajam. Sebagai seorang wanita seduktif, ia ganas tanpa harus berkata-kata. Taktiknya cerdas tanpa perlu usaha berlebih. Sebagai seorang alien, ia seperti bayi yang baru lahir. Kita dapat merasakannya terasing di dunia yang ia belum kenali, ia harus beradaptasi dengan tiap perubahan. Tapi, perlahan sifatnya mulai tergerus dengan sifat-sifat manusia. Ia memang masih berlaku layaknya robot yang super kaku, tapi ia juga seperti manusia lain yang memiliki simpati. Dan ketika itu terjadi, pelan-pelan penonton membalasnya dengan simpati pada sang alien, dan merasakan yang ia rasakan. Ini jelas bukan suatu pekerjaan yang mudah dilakukan, namun Johansson mampu membuatnya terlihat begitu mudah. Scarlett Johansson, once again, with this mesmerizing work, she gives us a proof that she's the one to watch in this biz. 

Salah satu yang saya kagumi dari film ini adalah Glazer tak pernah menceritakan apa yang terjadi. Semuanya terjadi mengalir begitu saja. Ia memberikan kuasa bagi kita untuk terus meraba-raba, menerka apa yang sedang ia ceritakan. Kemudian merangkai dengan berbagai petunjuk yang ia berikan. Belum lagi, dengan dialog-dialog miskin di dalamnya, yang membuat penonton hanya mengandalkan visual-visualnya yang absurd. Menonton Under the Skin tak ubahnya sedang menyusun kepingan-kepingan puzzle yang berserakan di mana-mana. Kita harus menemukan tiap kepingan itu terlebih dahulu, mencari dan meraba tiap ruang dan sela, kemudian menyusunnya. Tentu, dalam hal ini, ini merupakan pekerjaan susah-gampang.


Memang, film ini bukan untuk semua orang, segmented, terbatas. Kalau anda salah satu orang yang melakukan walkout ketika menonton Tree of Life, maka ini bukan film untuk anda. Kalau anda adalah orang yang tidur sepanjang menonton 2001: A Space Odyssey, makan anda bukan orang yang tepat. Kalau anda adalah orang yang mencaci maki Holy Motors hanya karena tak mengerti apa yang sedang terjadi, anda juga bukan sasaran film ini. Under the Skin memang membutuhkan kesabaran yang tinggi, tak hanya membutuhkan penonton yang sekadar menonton dan menerima apa yang mereka lihat, film ini  butuh penonton yang siap merasa bosan, bukan hanya mengambil apa yang ada di depan mata, namun dapat memproses setiap pergerakan di dalam layar.

Pada akhirnya, Under the Skin adalah momentum selebrasi bagi siapapun penggemar jenis film ini. Pengarahan Glazer banyak dipengaruhi para sineas pemikir lain, dari Stanley Kubrick yang penuh metafora, sampai David Lynch yang sudah benar-benar di luar batas kewajaran (meski di sini Glazer tak pernah benar-benar memasuki dunia David Lynch yang luar biasa absurd). Menonton karya Glazer tak ubahnya mendapatkan sensasi absurd dari Holy Motors, menegangkan a la The Shining, sunyi sesunyi Amour, penuh permainan metafora layaknya 2001: A Space Odyssey, hingga kaya musik mencekam seperti Upstream Color. Tapi, sejujurnya, Under the Skin juga lebih dari itu. Hal-hal itu hanyalah impresi yang dihasikan oleh sebuah kisah mencekam yang dapat menceritakan kisahnya tanpa kata-kata. Penuh pemikiran, kental akan esensi-esensi artistik, seduktif, atmosfernya dingin dengan Scarlett Johansson yang tak kalah dingin, Under the Skin berhasil mencerminkan sebuah karya yang menuntut ketelitian dan kesempurnaan di tiap aspek (nearly, at least).

Tagged under: , , , , , , , ,

[Review] How to Train Your Dragon 2 (2014)

 "You have the heart of a chief. And the soul of a dragon." ~ Valka

Kalau saja tak rilis di tahun yang sama, DreamWorks bisa jadi membawa pulang Oscar untuk How to Train Your Dragon. Memang tak bisa disalahkan, karena di tahun itu ada Pixar dengan Toy Story 3 yang amat luar biasa. Tapi, siapa sangka How to Train Your Dragon mampu tampil luar biasa tahun itu, baik secara kualitas dan kuantitas. Meski harus mengalah dengan studio kompetitor terbesarnya, siapa pun tak dapat melupakan bagaimana How to Train Your Dragon, yang dari judulnya saja terdengar aneh, mampu menjelma menjadi salah satu karya terbaik yang pernah studio animasi ini hasilkan.

Kini, mengekor kesuksesan 'sang kakak', DreamWorks Animation menelurkan sekuelnya, How to Train Your Dragon 2. Selama ini kita selalu mendengar asumsi bahwa sekuel selalu buruk dan dibuat hanya untuk mengejar pundi-pundi dollar semata. Well, that's half true, sebagian besar sekuel hadir dengan kualitas menyedihkan dibanding pendahulunya. But, that's also half not-true. Beberapa di antaranya, mampu dikemas dengan kualitas yang dapat menyamai, bahkan dapat melampaui kualitas si predcessor. Aliens, Evil Dead 2, Spiderman 2, X-Men 2, Before Sunset, The Dark Knight, that legendary Godfather: Part II, and the list goes on... Pertanyaannya, mampukan How to Train Your Dragon 2 mengisi daftar sekuel mumpuni lain, atau sebaliknya, makin memperbanyak daftar sekuel gagal yang tak ada habisnya?


How to Train Your Dragon 2 dibuka dengan narasi khas sekuel: sebuah perkenalan yang mengisahkan apa yang terjadi setelah kejadian di prekuelnya. Tepatnya, apa yang 5 tahun kemudian terjadi setelah Hiccup mampu menaklukkan Toothless. Ya, bangsa Viking telah berubah, tak ada lagi 'mindset' 'kill-or-be-killed', mereka telah mampu hidup berdampingan dengan para naga. Tak sampai di situ, sebagai ganti perlombaan menaklukkan naga, diadakanlah perlombaan menangkap domba-domba 'terbang' sembari menunggang naga peliharaan mereka.

Tapi, Hiccup (Jay Baruchel) berbeda dengan Astrid (America Ferrera), Snotlout (Jonah Hill), Fishlegs (Christopher Mintz-Plasse), Tuffnut (T.J. Miller), dan Ruffnut (Kristen Wiig) yang sibuk dengan permainan mereka. Ia lebih memilih menyendiri bersama Toothless, dan asyik sendiri dengan dunianya, menunggangi Toothless sembari memperlihatkan aksi-aksi akrobatik dan menjelajahi dunia yang belum pernah siapapun pijaki. Dunia ini mengarahkannya pada sebuah daerah rahasia tempat naga-naga liar tinggal, di saat itu pula ia mengetahui bahwa ada seorang kejam bernama Drago Bludvist (Djimon Hounsou) yang ingin menguasai seluruh naga itu. Hiccup dan kawan-kawannya pun terjebak dalam sebuah peperangan yang bukan hanya mempertaruhkan kelangsunganhidup para naga, tapi juga dapat mengorbankan nyawa bangsa Viking.


Secara keseluruhan, How to Train Your Dragon 2 memang tak menghadirkan plot yang imaginatif dan out-of-the-box a la saingannya Pixar. Sebaliknya ia memanfaatkan plot yang sebenarnya cukup sederhana mengenai lost parent plus perjalanan bersama naga-naga, namun Dean DeBlois punya langkah-langkah istimewa dan di luar aman untuk menjadikannya sekuel yang dapat menandingi kualitas prekuelnya yang sudah sangat istimewa. DeBlois berhasil dalam bermain-main dengan porsi drama yang lebih digali, selagi makin mengukuhkan nama Hiccup sebagai sang pemberani sekaligus Toothless sebagai naga loyal dan tak kenal rasa takut. Penuh suka cita, dengan suntikan-suntikan emosi yang hadir meyakinkan. Hasilnya, sebuah kisah tak baru namun punya daya magis yang mampu membuat siapapun tak kuasa menolak pesonanya.

Ini adalah eksploitasi drama yang pas, emosional dan mengaduk perasaan penonton, namun dapat diimbangi dengan porsi humor yang menggelitik dan aksi-aksi akrobatik yang menawan. Semuanya hadir dengan dosis rasional, membuat siapapun mampu tertawa terbahak-bahak meski dengan keadaan mata sembab. Mungkin kita dapat mengkritisi plot 'alpha' yang jelas-jelas merupakan sebuah plot device untuk mencapai titik emosional yang diperlukan, tapi toh akhirnya hal itu mampu mengaduk-aduk emosi dengan baik, jadi tak ada yang harus dipermasalahkan. Tapi, di luar itu, sekuel ini juga sebenarnya bukanlah karya sempurna. Karakter Astrid hadir dengan ruang yang kurang untuk berkembang lebih jauh, masalah juga ada pada sifat keras kepala Hiccup, yang kadang memang terasa menyebalkan karena kurangnya penjelasan.


Tapi hal-hal itu tak mengurangi kenyataan bahwa film ini adalah animasi yang solid. Salah satu alasannya, adalah karena DeBlois memegang tiap kuasa di sini. Ia bukan hanya sekadar penulis yang berkutat dengan bagaimana membuat sebuah cerita berkelas, ia juga seorang sutradara, seorang pemegang kunci dan penerjemah tiap lembar naskah dan menjadikannya tontonan istimewa sesuai dengan visinya. Dengan kekuasannya yang 'tak terbatas', DeBlois mampu memanfaatkan itu untuk menjadikan How to Train Your Dragon 2 sebuah perjalanan combo genre, lengkap dengan pacing halus. Letupan-letupan emosi yang mengisi tiap drama mampu dikemas dengan sangat baik, bergantian dengan aksi-aksi yang kian mengokohkan intensitasnya. Dengan kemampuannya pula, ia berhasil mengembangkan konflik yang kian dewasa dan besar, yang tak hanya melibatkan krisis diri Hiccup seorang saja, tapi menampilkan perjalanan karakter luar biasa dari sang tokoh utama, Toothless. Bukan lagi from zero to hero, melainkan from hero to even greater hero. From an exciting adventure to more exciting adventure.

Kualitas voice cast-nya masih hadir dengan kualitas gemilang, di tambah kehadiran beberapa 'pendatang baru' dalam franchise ini. Salah satunya adalah Cate Blanchett, yang hadir dengan performa menakjubkan sebagai the lost mother sekaligus the true badass, seorang pahlawan yang bukan hanya menumpas kegelapan, tapi di sisi lain, ia punya depth dan kekuatan emosi yang tinggi. Salah satu hal yang patut dipuji adalah bagaimana DeBlois perlahan memasukkan karakter ini dalam cerita. Di awal memang canggung, namun perkenalan ini membawa hawa misterius yang begitu sesak sekaligus memancing tanda tanya besar penonton. Suatu hal yang luar biasa dalam memperkenalkan seorang badass! Jangan tanya lainnya, karena yang pasti, semua mampu menjalankan tiap tugasnya begitu baik. Dari Jay Baruchel hingga Gerard Butler, mampu mengisi porsi drama dengan baik, sementara trio Kristen Wiig, Jonah Hil, dan Christopher Mintz-Plasse juga sukses membawa relief-relief komikal yang menghibur dan sesak tawa.


Salah satu peningkatan pesat lain, tentunya ada di tangan teknis. Dibanding kualitas animasi predecessor yang dulu dikritisi kualitasnya karena tak mencerminkan studio sebesar DreamWorks Animation, kini tentu mereka belajar lebih jauh, dengan kualitas yang lebih halus dan eye-candy di atas sang pendahulu. Lihat rupa Hiccup serta Astrid yang kini kian matang dan lebih realistis. Tak berhenti di situ, How to Train Your Dragon juga punya jajaran-jajaran teknis lain yang tak kalah solid. John Powell, komposer langganan DreamWorks nyatanya memiliki ribuan cara yang tak habis-habisnya menemani tiap aksi agar berjalan lebih epik, dengan lantunan nada orkestra megah yang menggebu-gebu dan ornamen etnik di sana-sini.

Ini memang luar biasa. How to Train Your Dragon 2 bukan hanya melulu tentang sebuah animasi penghibur segala umur yang mujarab. Di sisi lain, film ini tetap membawa drama penuh kehangatan dan pesan moral yang tetap kaya, yang semuanya mampu ditata rapi dalam screenplay-nya yang padat dan arahan DeBlois yang memikat. Secara kisah, tak ada sesuatu yang inventif, namun dengan pengemasan mumpuni, How to Train Your Dragon 2 adalah perjalanan menyenangkan dan penuh daya magis, mampu bermain di luar aman dengan ornamen-ornamen yang kian matang dan menyenangkan dengan bantuan jajaran teknis yang jauh di atas level pendahulunya. Yeah, this is an extremely fun ride, and also a proof that 'the sequel curse' is an outdated assumption!


Thursday, June 19, 2014

Tagged under: , , , , ,

[TV Review] Fargo (Season 1)

"He's not gonna stop. You know that, right? A man like that, maybe not even a man." ~ Molly

Tahun ini, jujur merupakan tahun di mana TV series berkualitas tumbuh menjamur. Sekalipun saya tak mengikuti seluruhnya, namun tentu beberapa di antaranya. Salah satunya, adalah Fargo. Dari namanya, tentu anda dapat menebak bahwa series ini didasari dan berlatar sama dengan sebuah film berjudul sama, Fargo, karya Coen Brothers, yang sampai sekarang dikenal sebagai salah satu dark comedy terbaik, if not the best. Well, show ini telah mencapai penghujung episodenya, dan layaknya sang pendahulu, Fargo versi modern adalah salah satu TV show terbaik yang pernah ada, and here's why. Oops, dan satu lagi peringatan, spoilers bertebaran di mana-mana. 

'THIS IS A TRUE STORY. The events depicted took place in Minnesota in 2006. At the request of the survivors, the names have been changed.' Ya, itulah yang akan anda lihat setiap menonton tiap episode dari Fargo, hal yang sama juga dilakukan Fargo versi Coen Brothers. Tapi, jangan tertipu, karena keduanya sebenarnya murni kisah fiktif. Ya, tak ada Lorne Malvo dan Lester Nygaard, yang artinya pula, tak ada Marge Gunderson, Jerry Lundergaard, dan Carl 'funny-looking-guy' Showalter. Jadi, untuk apa ini semua? Well, Coen Brothers are geniuses. Mereka tahu cara agar penonton dapat lebih terhubung ke dalam suatu cerita, and i must say, this is the way, and it's brilliant! But, it's not the only way.


Dari sisi screenplay, Fargo is pretty much the same with the old Fargo: ia menyampaikan kisah sederhana, namun penuh studi karakter yang mempesona mengenai sekumpulan manusia yang menghadapi sesuatu hal yang tak biasa (bahkan tergolong luar biasa), dan memperlihatkan apa yang akan para karakter itu hadapi, dan bagaimana reaksi mereka terhadapnya. Latar belakang suatu lingkungan yang masih cukup konvensional juga berperan besar dalam membangun tone komedi gelap yang juga kaya akan cucuran darah di tengah shock tragedy yang terjadi dalam masyarakat. Ini bukan sebuah kisah kriminal biasa, ini adalah kisah kejatahatan yang down-to-earth, namun penuh kecerdasan yang luar biasa kompleks.

Tapi, Fargo juga bukan Fargo yang lama, mereka masih punya batas yang jelas di antara keduanya. Noah Hawley selaku penulis naskah tak sekadar menciptakan sebuah penceritaan ulang, namun lebih dari itu, menceritakan kisah berbeda namun masih dengan nafas yang sama dengan pendahulunya. Tentu, kisah ini lebih kompleks dengan 10 episodenya, lebih banyak karakter, lebih banyak darah, lebih sadis, tapi apa yang membuat TV series ini begitu istimewa adalah membawa kisah itu dengan nafas Fargo yang dulu, menggabungkan sebuah kisah modern namun dengan tone penuh nostalgia. 


Perlu diingat, kendati merupakan sebuah kisah kriminal, Fargo tetaplah sebuah dark comedy. And, Fargo still has that vibe, sekalipun dengan porsi yang lebih sedikit dibanding pendahulunya. Dialog-dialog hadir dengan pengemasan cerdas, tetap memancarkan sebuah komedi hitam, namun kadang mempertanyakan berbagai pertanyaan yang memutar otak. Di lain sisi, beberapa scene tampil komikal dan awkward khas dark comedy, tapi di saat yang sama, tetap dapat mempertahankan tone kriminalnya. Yeah, hitting a wife with an axe till death has never been this 'funny'. Tapi, berbicara soal humor seperti ini, rasanya tak akan lengkap tanpa membicarakan sang villain, Lorne Malvo. He has such a great sense of humor! What a villain.

Membicarakan Fargo memang berarti membicarakan para karakternya. Ya, apalah arti Fargo tanpa karakter-karakter yang kaya cerita itu. Fargo memusatkan perhatianya kepada Lester Nygaard, yang boleh jadi merupakan orang tersial yang pernah ada. Berangkat dari seorang lelaki biasa dengan istri bermulut lebar, yang kemudian kehidupannya berubah setelah sebuah tragedi secara 'tak sengaja' terjadi, yang membawanya pada satu sisi yang ia pun tak pernah sangka merupakan bagian dari dirinya. Kita dapat melihat definisi 'good guy gone bad' di dalam dirinya. Martin Freeman adalah orang yang tepat melakonkan Lester. Lester tampak seperti Bilbo Baggins, seorang pengecut dengan gaya bicara gagap, namun dengan keadaan yang memaksa keduanya berubah, Bilbo berubah menjadi seorang antihero yang pemberani, sementara Lester perlahan memunculkan sisi monsternya yang makin terasah.


Meskipun begitu, Lorne Malvo-lah yang menguasai semuanya dan pada dia lah semua mata tertuju. Ia merupakan orang yang mengontrol segalanya, penyebab dari tragedi demi tragedi, dan orang yang selalu mampu mengalihkan perhatian penonton. Dimainkan dengan sempurna oleh Billy Bob Thornton, ia layaknya seorang peneliti yang mempraktekkan langsung teorinya tentang sebuah studi karakter manusia. Ia kriminal yang jenius, tahu apa yang ia lakukan, tapi apa yang paling istimewa dari sosok ini adalah bagaimana cara ia berhadapan dengan tiap masalah, ketenangannya, hingga cara bicaranya yang manipulatif. Dandanannya mungkin menyedihkan, tapi dibalik gaya rambut dengan poni yang buruk itu, terselip salah satu otak kriminal terhebat sepanjang sejarah. It's a good thing he's a fictional character.

Sebagai sutradara, the 5 directors did a great job. Mereka sukses dalam menyeimbang dua tone Fargo yang saling bertolakbelakang. Ini bukan melulu soal kejahatan, ini adalah gabungan dari banyak genre yang saling terdepan dalam tiap sisi. Intensitas mampu terjaga dengan cukup konsisten, meski tak bisa dipungkiri lows itu tetap ada. Tapi, lihat bagaimana semua itu dikemas. Lihat bagaimana (oops, spoiler) Lorne membantai sebuah gedung dengan kamera yang hanya mengikutinya dari luar gedung, bergerak dari lantai ke lantai, hingga diakhiri klimaks fantastis. Lalu, lihat pula bagaimana Lorne mengelabui para pihak berwajib dengan sebuah masterplan luar biasa. Belum cukup, ini hanyalah dua dari banyaknya eksekusi brilian penuh ledakan intens yang mewarnai 10 episode Fargo ini.


Well, Fargo bukan berarti hadir tanpa cacat. Sekalipun screenplay racikan Noah Hawley memang cerdas, padat, dan merupakan salah satu yang terbaik di tahun ini, namun ini tidak membebaskannya dari beberapa detil yang tertinggal dan terasa janggal. Ada beberapa karakter di awal yag terlihat cukup krusial, namun nyatanya memang tak sekrusial itu. Selain itu, mungkin ada beberapa aspek di klimaks yang tak ditemani oleh detail yang lebih jelas. Sure, i'm not going to tell you which aspect. Meski begitu, terlepas dari kekurangan minor tersebut, Fargo tetaplah sebuah penghidupan karya klasik yang sangat berhasil. 

Ya, Fargo telah bangkit kembali, lewat sebuah lika liku kriminalitas yang tak hanya kompleks dan unpredictable seperti kisah crime yang lain, namun juga cerdas sembari tetap sukses dalam menggali tiap sisi humornya. Tone-nya terjaga baik, dengan sisi gelap dan terang yang cukup seimbang, membawa penonton kembali pada karya Coen Brothers. Karakter-karakter hadir dengan ciri tersendiri, lekat di ingatan, dan mampu berkembang dengan baik, dengan Billy Bob Thornton serta Martin Freeman yang berada pada lampu sorot. Lewat screenplay-nya yang berlatar sederhana di tengah masyarakat yang tak terbiasa kasus serupa, ini membuat penonton mudah terhubung dengan kisahnya yang cukup kompleks. Belum lagi, setiap kisah mampu dikemas dengan brilian yang disertai kemampuan teknis level atas, thanks to the wonderful directors. Hats off!


Monday, June 16, 2014

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Edge of Tomorrow (2014)

"Come find me when you wake up!" ~ Rita Vrataski

Siapa bilang membuat sebuah blockbuster merupakan hal mudah? Bermodal budget besar, dan voila! Semuanya bisa terwujud. Well, mungkin kalau ingin membuat suatu blockbuster murahan ber-budget besar, that's the way. Tapi, jika ingin suatu hidangan yang berhasil pada dua sisi: menghibur luar biasa serta cerdas dalam bercerita, itu adalah urusan lain. Tak sedikit memang blockbuster yang hanya menghibur tapi tak memiliki apa-apa di dalamnya. Contohnya? Yang jelas, bukan film ini, Edge of Tomorrow, yang datang dari sutradara The Bourne Identity, Doug Liman.

Diangkat dari light novel asal Jepang, All You Need is Kill, karangan Hiroshi Sakurazaka, Edge of Tomorrow mengisahkan tentang ras alien bernama Mimics telah mengambil alih daratan Eropa. Mayor William Cage (Tom Cruise), adalah seorang mayor yang tak pernah terjun langsung ke pertempuran, tiba-tiba dipanggil untuk bertemu Jendral Brigham (Brenda Gleeson). Ia memerintahkan Cage untuk ikut misi bunuh diri dalam menumpas ras alien tersebut. Cage yang belum berpengalaman dalam pertempuran tentu menolak dan memeras Jendral Brigham. Namun, usahanya sia-sia, karena segera setelahnya, ia langsung dilucuti pangkatnya dan dikirim paksa ke Bandara Heathrow, di mana ia bertemu Sersan Farell (Bill Paxton) dan skuad barunya, Skuad J.


Cage harus menerima kenyataan bahwa ia tak dapat mengubah keadaan, meski beragam cara konyol untuk kabur telah dilakukannya. Dengan rasa takut luar biasa, ia terjun ke pertempuran, tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. Sesaat setelahnya, ia diserang oleh makhluk raksasa bernama Alpha, meski akhirnya ia berhasil menghancurkannya dengan bom. Ketika Alpha mulai roboh, darahnya bercucuran di tubuh Cage, menyebabkannya 'tewas' dan terbangun kembali di depan Bandara Heathrow. Tanpa ia sadari, ia telah masuk sebuah mesin waktu yang akan terus mengulang pertempuran yang sama, kemudian tewas, bertempur, dan tewas lagi. Keadaan ini memaksa Cage menerima bahwa hanya dialah yang dapat menghentikan serangan musuh, dengan belajar dari kesalahannya, mati, dan memulainya dari awal lagi.

Baca sinopsis di atas, teringat sesuatu? Bagi para penggemar science fiction, Source Code jelas muncul di ingatan. Bagi yang menggemari genre horor yang tergolong cult, mungkin mengingatkan dengan horor Inggris, Triangle. Tapi, yang jelas, semuanya berakar dari Groundhog Day. Namun, di balik idenya yang bukanlah hal baru lagi, Edge of Tomorrow nyatanya bukanlah sekadar pengekor Groundhog Day, ia juga tidak sekadar mengikuti Starship Troopers. Ya, ada pula unsur Starship Troopers di dalamnya, menjadikan Edge of Tomorrow bagaikan Starship Troopers yang terjebak dalam dunia Groundhog Day. Tapi, kalau anda menganggap film ini sebagai pengekor keduanya pun, maka ini adalah pengekor yang sangat bagus, dan ini sama sekali bukanlah hal buruk.


Lewat premis gabungan ini, Edge of Tomorrow mendapatkan poin plusnya. Ia adalah film yang terus berulang, terjebak dalam 24 jam dan hanya bisa kembali ketika menghadapi kematian, membuat Edge of Tomorrow menjadi tontonan yang unik. Tak sampai di situ, memanfaatkan pola ini, Christopher McQuarrie, Jez Butterworth, dan John-Henry Butterworth melakukan sebuah kawin silang antara (tentunya) science fiction dan action, dengan banyak kromosom dari romansa dan komedi. Hasilnya, ini bukan hanya kisah tentang menumpas alien dan menyelamatkan dunia belaka, lebih dari itu, naskah ini kaya akan humor menyegarkan yang memanfaatkan pola Groundhog Day dan Tom Cruise yang sebagai perwira canggung, dan romansanya absurd dengan Cage yang merasa telah mengenal Rita ribuan kali, meski mereka sebenarnya baru saja bertemu. Namun, naskah yang kelihatannya menyenangkan ini bisa menjadi angan belaka jika berada di tangan yang salah.

Ya, melihat naskahnya, Edge of Tomorrow bisa berakhir di dua kemungkinan: repetitif dan membosankan, atau kesenangan yang tak berujung. Beruntung, proyek ini jatuh di tangan yang tepat, Doug Liman. Well, you can't mess with Jason Bourne, huh? Lewat tangan Doug Liman, Edge of Tomorrow bukanlah sebuah ripoff dari Groundhog Day, ini menjadi sesuatu 'baru', segar, dan menyenangkan. Liman berhasil mengarahkan semuanya. Yang anda lihat sepanjang 113 menit sebenarnya berada di set yang sama, kisah yang kurang lebih sama, dan tujuan yang sama persis: menyelamatkan dunia. Tapi, di sini lah peran seorang Liman. Ia membawa Edge of Tomorrow menjadi perjalanan melawan waktu dan tak kenal kata 'membosankan', dengan mencampuradukkan semuanya dengan kadar yang pas dan tak menjemukkan.


Temponya dinamis dan bergelora, meski pada dasarnya ini semua hanyalah pola yang terus berulang. Tapi, tak hanya berulang-ulang pada satu titik, karena pada tiap pola, film ini menambahkan ornamen-ornamen berbeda yang berhasil mengurangi tingkat repetitif dan rasa bosan dengan efektif, yang semuanya bergantung pada keputusan Cage. Sikapnya yang pelan-pelan belajar dari kegagalan membawa Edge of Tomorrow ke titik keseruan level dahsyat. Memang, sifatnya sebagai perwira payah dan tak tahu apa yang harus ia lakukan mengganggu di awal, tapi di lain sisi, hal inilah yang membuat Edge of Tomorrow makin kaya akan lapisan cerita, dan makin kaya akan ketegangan dan... tawa. Kita mungkin bisa mengkritisi bagaimana film ini mengakhiri kisahnya dengan cara yang sangat 'Hollywood'. Tapi, di luar itu, Edge of Tomorrow tetap mampu menjalankan 2 sisinya dengan sangat baik: entertaining as ever and thought-provoking as hell.

Edge of Tomorrow bisa jadi merupakan film di mana para penggemar dan haters Tom Cruise bersatu dan akur dalam gedung bioskop. Kalian bisa setia melihat wajahnya yang terus terpampang selama 113 menit, atau melihat (dan menertawannya) yang terus mati konyol dengan frekuensi yang tak terhitung lagi. Dan, jika anda tertawa, itu artinya Tom Cruise berhasil sebagai Cage yang pengecut dan komikal berkat kepayahannya. Ya, melihat Tom Cruise sebagai seorang pahlawan badass memang sudah biasa, tapi di sini, kita akan melihat bagaimana sang badass berasal, seorang perwira menyebalkan yang tak tahu apa-apa. Awalnya ketidaktahuan Cage mengganggu, tapi lama-kelamaan, ini terasa menyenangkan.


Tapi, sekeras apapun usaha Cruise, rasa-rasanya tak akan mampu menutupi pesona the real badass, the Full Metal B**ch, the Angel of Verdun, Rita Vrataski, yang dengan gemilang diperankan oleh Emily Blunt. Yes, the ice-cold office b**ch from The Devil Wears Prada is now the 'Full Metal B**ch'! Kemunculannya misterius, komikal, dingin, dan tak terlupakan. Ia boleh jadi not a fan of talking, but she's definitely a fan of stealing. Tepat, ia adalah pencuri momen yang selalu berhasil mengambil setiap lampu sorot di mana pun ia berada. Karakternya dingin dengan pedang raksasa yang selalu siaga, namun karismanya begitu appealing hanya lewat sekali push upChemistry Blunt dengan Cruise juga berlangsung canggung, aneh, ganjal, (dan memang seharusnya seperti itu) tapi tetap kokoh, menghasilkan romansa tak biasa, manis namun tetap dingin.

Ini mungkin adalah peranakan Groundhog Day dengan Starship Troopers, tapi ini keturunan istimewa, with the good genes, and it's totally okay. Justru, bermain dengan waktu a la Groundhog Day memberikan film ini banyak waktu untuk membangun apa saja, dari sekuen aksi, romansa unik, karakterisasi, hingga komedi pengundang tawa besar. Ia membawa nama besar Tom Cruise dan Emily Blunt yang mampu bersatu membentuk departemen akting matang. Kisah yang dibawa memang tak orisinal, namun pengemasannya cerdas dan menyenangkan dengan plotting berulang namun kompleks dan tak menjemukkan. Akhirnya, Edge of Tomorrow memang presentasi yang penuh keseruan, lucu, cerdas, blockbuster tak ber-otak yang dikawinkan dengan kisah penuh otak. Salah satu yang terbaik tahun ini!

Friday, June 13, 2014

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Maleficent (2014)

"Oh dear, what an awkward situation." ~ Maleficent

Siapa tak kenal tahu Sleeping Beauty? Kisah klasik yang pernah difilmkan oleh Disney pada tahun 1959 ini sampai sekarang memang dikenang sebagai salah satu film terbaik Disney. Tahun ini, kisah itu kembali, namun hadir dengan sudut pandang berbeda. Bukan lagi berpusat pada kisah Aurora, melainkan memusatkannya pada perspektif sang antagonis, Maleficent. Dengan kulit hijau, penampilan gothic, serta rasa tak kenal ampunnya, Maleficent memang dikenal sebagai salah satu villain tersohor dari universe Disney. Dan, kini ia hadir lewat naskah dari Linda Woolverton dan arahan dari sutradara Robert Stromberg.

Di awal kisah, narasi yang dibacakan Janet McTeer memperkenalkan penonton dengan seorang peri kecil baik hati bernama Maleficent (Isobelle Molloy) yang tinggal di Moors, wilayah penuh makhluk aneh yang memisahkan mereka dengan dunia manusia. Suatu hari, ia bertemu seorang anak manusia bernama Stefan, di mana hubungan mereka akhirnya berkembang dari pertemanan menjadi percintaan. Tapi, ketika keduanya telah dewasa, ambisi Stefan untuk menaklukkan kerajaan manusia membuatnya berhenti mengunjungi Maleficent (Angelina Jolie). Tak sampai disitu, demi menjadi seorang raja dan membalaskan dendam King Henry yang sakit-sakitan kepada Maleficent yang menggagalkan langkahnya dalam menaklukkan Moors, ia akhirnya memotong sayap Maleficent dan meninggalkan Maleficent dalam dendam.


Maleficent yang kehilangan sayap, kini larut dalam sakit hati dan kesedihan, yang membuat hatinya menjadi hitam dan penuh dendam terhadap manusia, khususnya King Stefan. Rasa sakit hati dan dendamnya makin menjadi, saat Stefan menikah dengan putri King Henry, apalagi ketika ia diberitahu oleh tangan kanannya, Diaval (Tom Riley), bahwa kerajaan akan mengadakan pembaptisan besar-besaran terhadap Aurora, anak King Stefan yang baru saja lahir. Di tengah meriahnya acara, Maleficent datang secara tiba-tiba dan memberikan 'hadiah' kepada Aurora, bahwa ia akan jatuh tertidur selamanya dan hanya dapat dibangunkan oleh true love's kiss.

Breaking the rules dalam industri film sekarang ini memang sedang marak. Lihat Frozen, Despicable Me, atau yang sangat ekstrim: The Cabin the Woods. Hal yang sama dilakukan pula oleh Maleficent, meski reaksinya memang campur aduk. Yeah, i mean, it's Maleficent. Who's supposed to be evil as hell, who's supposed to have no heart, who's supposed to be a villain. Perubahan signifikan yang ada dalam filmnya mungkin mengganggu bagi sebagian orang, tapi mungkin yang ingin melihat Maleficent sebagai sosok antihero yang belum pernah kita lihat sebelumnya, pasti dapat menerimanya. Lagipula, perubahan ini dimaksudkan untuk mencapai nilai moralnya tentang true love dan sebelumnya kita telah diwarnai latar belakang sang peri jahat yang dulunya merupakan seorang innocent little fairy. Bagaimana dengan saya? Well, i don't really mind it anyway, it's kind of fun to see Maleficent as a nicer person, as a human, and as a villain, all at once. Am i the only one? 


But, here's one thing. Kalau menarik ide aslinya yang berasal dari Sleeping Beauty, idenya mungkin terlampau lancang dan berani dalam membongkar-pasang kisah Maleficent yang telah kita kenal selama ini. Tapi, kembali lagi, hal itu sebenarnya kembali ke penilaian penonton yang bisa menerimanya maupun tidak. Saya sendiri, cukup menerima kelembutan yang ditawarkan Maleficent, meski sayangnya, hal itu terkesan ditambahkan dalam porsi yang berlebihan, hingga banyak merenggut sisi villain kejam yang selama ini selalu (dan harus) identik dengan sosok Maleficent. Ya, sekalipun tapi Maleficent tetap saja berhasil meraih simpati saya sebagai sisi hero maupun sisi villain, penampilan sangar dari sang villain sejati terkesan terabaikan dengan sisi humanis yang mungkin terlalu manis.

Tapi, masalah utama bagi saya bukanlah datang dari lancang atau tidaknya perubahan yang dilakukan, namun terlalu bertele-telenya naskah racikan Linda Woolverton. Narasi yang dibacakan Janet McTeer dengan berwibawa di awal film memang amat memikat, bagian awalnya memperlihatkan sisi Maleficent kecil yang tentu masih asing bagi kita terasa manis, kisah bagaimana seorang Maleficent kehilangan sayapnya penuh kepedihan, hingga di saat sang villain mengutuk Aurora di acara pembaptisannya dengan bahasa tubuh khas villain. Tapi, dari situ Linda mulai menawarkan rangkaian kisah yang cukup bertele-tele. Entah mungkin maksudnya hanya untuk mengisi durasi 97 menitnya atau menumbuhkan chemistry Aurora-Maleficent, namun memang cukup mengganggu melihat Maleficent yang hanya duduk dan melihat Aurora kecil yang tumbuh sambil mengerjai 3 peri kecil yang merawatnya (it's funny though).


Hal repetitif ini jelas dapat menghalangi banyak hal, terutama dalam memberikan ruang bagi karakter lain untuk berkembang. Pangeran Phillip yang diperankan Brendon Thwaites hanya sekedar muncul dan 'sekali lewat' saja. Akibatnya, chemistry yang terjalin dengan Aurora pun hanya 'sekali lewat' pula, dan twist yang coba dihadirkan pun dapat diterka sebelumnya (meski twist-nya sendiri memang tak baru dan ide dibaliknya memang pernah dipakai dalam salah satu film Disney). Sementara itu, King Stefan yang harusnya menjadi villain sebenarnya dan menjadi motivasi terkuat Maleficent dalam membalaskan dendamnya, hadir dengan waktu yang kurang dalam menunjukkan tajinya sebagai seorang raja haus kekuasaan.

Ya, dan banyaknya kekurangan ini, kekuatan seorang Angelina Jolie bekerja. Ia jelas merupakan bagian terbaik dari semua yang Maleficent bisa tawarkan. Lengkap dengan penampilan yang begitu mendukung: tanduk spiral panjang berbalut headdress hitam yang menawan, mata tajamnya yang cantik namun menunjukkan citranya sebagai seorang villain, lipstick merah merona yang makin menegaskan posisinya, hingga tulang pipi menonjol itu, Jolie jelas tak menyia-nyiakan hal itu dengan menunjukkan performa luar biasa, yang kalau boleh jujur, performa terbaik yang pernah saya lihat di tahun ini, dan pastinya salah satu performa terbaik yang pernah pemenang Oscar ini tawarkan (even though i haven't watched Changeling and Girl, Interrupted yet, what a shame).


Angelina Jolie adalah nyawa dan bintang yang bersinar terang. Ya, tak ada yang mampu menghidupkan setiap dialog, termasuk dialog sesederhana 'Well, well,' dan memberikan aroma gloomy yang luar biasa. Di awal, kita diperlihatkan ketangguhan Jolie dengan gaya bicaranya yang tegas dan garang namun tetap anggun dengan kedua sayap cantiknya. Kita dapat melihat dengan jelas betapa pedihnya ia ketika harus menerima kenyataan bahwa sayapnya telah dicuri, tapi bukan sekadar itu, kita juga dapat melihat kepedihan setelah dirinya dikhianati. Lalu, lihat bagaimana ia bertransformasi menjadi peri jahat berbalut pakaian serba hitam, dengan tatapan tajam dan senyumnya yang infeksius, lengkap dengan intonasi yang mampu membuat siapapun bergidik hanya dengan mendengarnya. A+ for you, Jolie!

Sekalipun saya tak terlalu mempermasalahkan langkah Linda Woolverton dalam mengubah konstruksi kisah aslinya, sayangnya langkah untuk mengubah Maleficent menjadi antihero ini terlalu jauh dengan porsi yang mampu menutupi sisi jahat Maleficent itu sendiri. Tapi, masalah utama ada dalam cara film ini mengantarkan penonton menuju konklusinya. Awalnya tergolong sukses, namun lama-kelamaan, langkahnya sangat repetitif dan bertele-tele, yang mengakibatkan beberapa karakter menjadi mentah dan twist-nya cukup predictable, karena keputusan Robert Stromberg yang terlalu asyik bermain-main dengan Maleficent-nya. But, thank God, ada Angelina Jolie yang bermain sangat apik dan magical sebagai Maleficent yang didukung pula oleh kekuatan CGI yang megah. Ya, potensinya begitu besar: sebuah penghidupan kembali kisah klasik yang diambil dari perspektif berbeda, bukan sembarang sudut pandang, namun datang dari perspektif sang antagonis. Sayang, potensinya terenggut dengan naskah mentah, tapi, untungnya Angelina Jolie hadir sebagai penyelamat di tengah potensi yang tak berhasil dieksekusi dengan baik.


Wednesday, June 4, 2014

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] The Grand Budapest Hotel (2014)

"I go to bed with all my friends." ~ M. Gustave

Tak banyak film yang dapat kita ketahui secara langsung siapa sutradara di baliknya hanya dengan menontonnya dengan cukup seksama. Salah satu di antaranya adalah Quentin Tarantino. Selama ini, Tarantino memang dikenal dengan dialog-dialognya yang ceplas-ceplos, penuh dengan humor hitam, dan yang pasti: penuh kekerasan. Sementara Alfred Hitchcock, di samping film-filmnya yang kebanyakan melibatkan 3 formula wajib: intensitas tinggi, romansa matang, dan wanita pirang, ia juga dikenal cukup narsistik, karena sering muncul sebagai cameo di sebagian besar film-filmnya. Tapi, mungkin ada lagi sutradara lain yang dapat dikenali karyanya bukan lagi dengan menontonnya secara seksama, melainkan cukup dengan melihatnya saja: Wes Anderson.

Bagi para penggemar karyanya, pasti tahu mengapa film-film hasil racikannya mampu diidentifikasi dengan sangat mudah. Bagi yang belum, kami akan membicarakannya nanti. Yang jelas, ia memang dikenal lewat komedi-komedi yang digarapnya. Ia adalah orang dibalik suksesnya Fantastic Mr. Fox, The Royal Tenenbaums, hingga Rushmore. Dua tahun yang lalu, ia sempat kembali lewat salah satu film terbaik di tahun itu, Moonrise Kingdom, komedi tentang anak pramuka yang kabur bersama kekasihnya, di mana filmnya dipuji habis-habisan berkat kemasana dan komedinya yang unik dan memanjakan mata. Kini, masih setia dengan komedinya yang khas, ia hadir lagi dengan The Grand Budapest Hotel.


Jangan tertipu namanya, The Grand Budapest Hotel bukan terletak di Budapest, melainkan sebuah republik bernama Republik Zubrowka. Dikelola oleh seorang concierge profesional bernama Monsieur Gustave (Ralph Fiennes), di tangannya ia mampu menjadikan hotel ini menjadi hotel kenamaan dengan fasilitas bintang lima. Dengan ketertarikannya dengan wanita yang jauh (sangat jauh) lebih tua, ia menjalin hubungan dengan nenek berusia 84 tahun, Madame D. (Tilda Swinton). Tragedi datang ketika Madame D. ditemukan tewas diracun, dan anak Madame yang gila harta, Dmitri (Adrien Brody), menuduh Gustave telah membunuhnya. Bersama anak buah kepecayaannya, seorang lobby boy baru bernama Zero Moustafa (Tony Revolori), mereka memulai petualangan dan lari dari kejaran sang pembunuh berdarah dingin suruhan Dmitri, Jopling (Willem Dafoe).

Salah satu kekuatan Wes Anderson dalam mengemas setiap filmnya adalah visual storytelling. Tak sekadar dengan naskah baik dan cast yang mumpuni, setiap aspek dalam film terasa begitu krusial. Setiap unsur dalam film turut ambil bagian dalam menceritakan setiap kisah. Jadi, bagi anda yang masih asing dengan namanya, jangan heran kalau The Grand Budapest Hotel dikemas dengan visual tingkat tinggi. Ya, bukan hanya dikenal karena narasinya yang identik dengan kata 'quirky', signature work khas Anderson juga memiliki hal lain yang begitu mencolok, yaitu visualnya yang memanjakan mata, tapi tanpa meninggalkan kata 'quirky' itu sendiri.


Sekalipun Budapest memang merupakan ibukota Hungaria, tapi Grand Budapest Hotel memang hotel fiktif di wilayah fiktif, Republik Zubrowka. Dari sini, itu hanyalah awal bagi Anderson untuk menghidupkan dunia fiktifnya menjadi sebuah dunia yang sesak akan imajinasi liar. Ya, dunia dongeng a la Anderson dalam The Grand Budapest Hotel lagi-lagi hadir dengan tone yang unik, terkesan vintage namun digarap secara fresh dan hangat. Sinematografinya melibatkan angle-angle rupawan yang menawarkan banyak side tracking shot cantik dengan proporsi simetris sempurna. Production design hingga costume design dikemas dengan penuh warna dan seksama. Musiknya muncul untuk memeriahkan suasana '60an yang telah kental dengan lantunan nada orkestra penuh permainan musik old-fashioned Eropa karya Alexander Desplat yang makin mengukuhkan suasananya. Hasilnya? Sebuah perpaduan visual menawan, cantik, antik, tapi tetap unik.

Tapi, semua tentang Grand Budapest Hotel tak terbatas pada bagaimana ia mengemas visual film ini dengan imajinasi ajaib Wes Anderson. Ini juga bagaimana ia menciptakan sebuah kisah komikal tak biasa yang berbalut kemasan absurd. Narasinya cukup unik yang dibuka dengan seorang wanita yang membaca sebuah novel, kemudian point-of-view akan terus berganti, hingga mencapai mata seorang lobby boy bernama Zero. Komedinya menawan dengan dry humor yang offbeat dan unik, ampuh menghasilkan banyak tawa dalam atmosfer yang awkward serta plot yang hadir tanpa memikirkan akal sehat. Porsi 'kucing-kucingan' mampu dibubuhi dengan petualangan menyenangkan dan humor yang meledak-ledak. Ada sedikit kegelapan di dalamnya, di mana Wes melibatkan beberapa kekerasan dan tragedi: dari darah, pembunuhan, potongan jari, hingga kepala yang terpenggal. Tapi, di samping semua itu, ada drama yang emosional dan jujur, memancarkan kehangatan dan hati yang sebenarnya dalam kisah ini.


Goal-nya bukan untuk membuat film dengan kisah serealistis mungkin, melainkan membuatnya seimajinatif mungkin, menyesuaikan dunia liar ajaib yang dibentuk oleh Wes Anderson. Hasilnya, seperti yang kita lihat pada Moonrise Kingdom, beberapa subplot memang tampil nonsense dan terkesan mengabaikan akal sehat. Namun, tentu ini sama sekali bukan masalah, dan bukan pula berarti ia lantas meninggalkan nalar. Ada satu waktu ketika ia membangun suasana satirikal, dengan tetap mempertahankan atmosfer komikal, namun pada akhirnya sukses menyentil isu-isu nyata tersebut dengan lembut. Ya, The Grand Budapest Hotel memang tak hanya bertumpu pada dry humor yang efektif, ia punya segudang amunisi: ide-idenya yang dihiasi parodi, satir komikal, petualangan menyenangkan, tragedi kelam, sejarah hitam Eropa, romansa melankoli, hingga drama jujurnya. Sekalipun tak menghadirkan plot yang benar-benar baru, namun setiap lapisan kisahnya begitu menggigit dengan imajinasi liar dan pacing lembut yang membuat keseluruhan film meniupkan hawa segar.

Tak sampai di situ, ada hal lain yang membuat The Grand Budapest Hotel tampil kokoh: karakter. Lewat narasinya kita diperkenalkan dengan Zero, seorang lobby boy canggung berdarah India yang sangat patuh dengan topi bertuliskan 'lobby boy' yang selalu setia berda di kepalanya, berhasil diperankan dengan baik oleh aktor remaja Tony Revolori. Lewat mata Zero pula, kita dikenalkan dengan sang karakter utama yang lovable, Monsieur Gustave, seorang cocierge sebuah hotel kenamaan, The Grand Budapest Hotel, yang merupakan pribadi tangkas, penuh perhitungan, profesional, harum, dengan gaya bicara cepat dan ceplas-ceplos, namun dengan intonasi yang begitu lembut. Mampu dipotret dengan sempurna oleh Ralph Fiennes, ia adalah sosok charming, eksentrik, sopan meski mulutnya penuh lontaran F-bomb, hati dari keseluruhan film



Sisanya, anda akan melihat para cast langganan Wes Anderson. Nama pertama tentunya adalah Bill Murray, yang entah sudah berapa kali mendapat tempat di film karya Anderson. Porsinya kecil, namun tetap menonjol dengan pembawaan tenangnya. Ada pula Tilda Swinton yang penuh make up, dengan menakjubkan berhasil memerankan seorang nenek 84 tahun, Madame D. yang mencuri perhatian, yang tak lain merupakan kekasih M. Gustave. Di lain pihak, ada Saoirse Ronan, aktris muda pemegang nominasi Oscar yang baru pertama kali ambil bagian dalam film garapan Wes, sebagai Agatha, love interest Zero yang tangguh dengan tanda lahir berbentuk negara Meksiko (yes, literally!). Tak perlu dibahas satu-persatu, tapi dengan cast yang begitu besar dan penuh akan talenta, Wes Anderson mampu memberikan ruang cukup bagi para karakternya. Salah satu ensemble cast terbaik tahun ini!

Kembali, Wes Anderson menghadirkan sebuah karya yang berbalut dunia ciptaannya yang kaya visual maha cantik dan imajinasi tingkat tinggi. Narasinya unik dengan pengemasan quirky yang diisi oleh karakter-karakter loveable dan eksentrik yang mampu dimainkan dengan baik oleh para cast-nya. Sebagai komedi, ia menawarkan sense of humor khas Wes Anderson yang penuh warna dan tak biasa. Katakanlah aneh, tapi berkat keanehannya pula, komedi ini mampu bersinar terang dibanding lainnya. Petualangannya begitu seru dengan segala keabnormalannya yang berhasil dengan gemilang. Namun, dibalik itu semua, ada drama yang memikat, emosional dan penuh cinta, yang menjadi pondasi kokoh dari segala yang Anderson angkat dalam film ini. Nonsense, liar, imaginatif, aneh, cerdas, menyenangkan, memikat, hingga infeksius, itu hanyalah sekian dari banyak alasan mengapa The Grand Budapest Hotel pantas dikatakan sebagai salah satu komedi terbaik yang pernah ada.

Sunday, June 1, 2014

Tagged under: , , , , , , , ,

[Review] Godzilla (2014)

"Look, Mommy! Dinosaurs!" ~ Sam Brody

Berbicara tentang karakter monster fiktif, maka tak akan ada habisnya. Kita mengenal Graboid dari Tremors, Kraken dari Clash of the Titans, Clover dari Cloverfield, hingga Mr. Stay Puft dari Ghostbusters yang begitu menggemaskan. Sementara Korea memiliki Gwoemul yang muncul di The Host, Swedia juga memiliki Trollhunter dengan monsternya Troll. Tapi, dari semua itu, maka dapat dipastikan ada 2 nama dari 2 industri film berbeda yang tak akan tertinggal: Hollywood dengan King Kong-nya dan Jepang dengan Gojira (atau yang lebih dikenal sebagai Godzilla di Hollywood). Kali ini, tentu kita tak akan membicarakan King Kong, tapi salah satu reboot summer blockbuster yang paling ditunggu untuk tahun ini: Godzilla.

Tenang, bukan nama Roland Emmerich yang kali ini bertanggung jawab dalam membangunkan makhluk yang sudah terlalu sering dibangunkan di industri perfilman ini. Adalah Gareth Edwards yang menduduki bangku sutradara, bersama Max Borenstein dan Dave Callaham yang bertanggungjawab dalam menangani naskahnya. Tapi tunggu, siapa Gareth Edwards? Tenang, anda bukan satu-satunya, karena ia memang baru menelurkan 1 film sebelumnya, sebuah critically acclaimed science fiction bertema alien invasion, Monsters. Dibintangi Aaron Taylor-Johnson, Elizabeth Olsen, Ken Watanabe, hingga Juliette Binoche, can this reboot live up to its high expectation?


Tahun 1954, sebuah proyek nuklir Amerika Serikat rupanya membangunkan sesosok raksasa yang belum teridentifikasi yang sempat muncul ke permukaan. Maju ke tahun 1999, dua ilmuwan Projek Monarch, Dr. Ishiro Serizawa (Ken Watanabe) dan Dr. Vivienne Graham (Sally Hawkins), berhasil menemukan sebuah fosil radioaktif di sebuah pertambangan di Filipina. Sementara itu, di Jepang, reaktor nuklir Janjira mengalami aktivitas seismik aneh berupa gempa bumi yang berpola, yang akhirnya berakhir pada tragedi besar yang menewaskan Sandra Brody (Juliette Binoche) di depan mata suaminya sendiri, seorang fisikawan Joe Brody (Bryan Cranston).

Lima belas tahun kemudian, Joe kembali untuk menuntaskan apa yang dulu ia tinggalkan. Bersama sang anak yang telah dewasa dan menjadi perwira United States Navy, Ford Brody (Aaron Taylor-Johnson), mereka kembali dan menemukan bahwa daerah karantina bekas reaktor Janjira ternyata tak terkontaminasi radioaktif seperti yang telah dilaporkan sebelumnya. Kejadian aneh ini bukanlah salah satunya, karena ini hanyalah segelintir 'peringatan' yang menuntun kita pada bangunnya makhluk besar bersayap yang siap memporakporandakan apapun. Godzilla? Bukan, ini baru sekadar pemanasan untuk bertemu sang monster abadi.


Size does matter, dan itulah yang Gareth Edwards terapkan pada Godzilla: expand the scope. Ia menambah segalanya. Godzilla sudah bukan monster yang sekadar menitipkan telurnya di Madison Square Garden New York, sekarang ia adalah makhluk serupa stegosaurus versi karnivor setinggi lebih dari 100 meter. Melebarkan cakupan wilayahnya, kita akan berkelanana dari Filipina, Jepang, Las Vegas, hingga San Fransisco, ditemani pula dengan 2 makhluk raksasa mirip serangga yang makin menambah bombardirnya Godzilla versi Gareth Edwards ini. Tentu, CGI sangat vital di sini, dan dengan kualitas CGI mengagumkan, sosok Godzilla itu sendiri kembali hadir sebagai salah satu monster fiksi mengerikan yang pernah ada.

Dari opening film, kita ditawarkan bukan hanya ketegangan, tapi juga drama yang dipresentasikan dengan cukup menarik. Hanya dengan durasi sekitar 12 menit, duo Bryan Cranston dan Juliet Binoche mampu memberikan koneksi matang pada tiap karakternya. Berkat ruang gerak yang Edwards berikan pula, mereka dapat menyajikan porsi yang cukup efektif dalam kadar emosionalnya, di tengah ruang waktu yang begitu terbatas. Di dalam singkatnya waktu itu juga, Gareth Edwards mampu memompa intensitas, memberikan combo yang cukup berhasil dalam dua sisi: menghentak secara emosi sekaligus menghentak dalam adrenalinnya. Tapi, apakah ini akan bertahan lama? Sayangnya tidak.


Masalah besar datang ketika Edwards mulai menggiring penonton pada drama intinya, kolaborasi antara Aaron Johnson dengan Elizabeth Olsen. Walaupun memiliki waktu yang jauh lebih banyak, sayangnya kemampun Edwards perlahan melempem dan terlihat tak memberikan ruang yang cukup bagi para karakternya untuk berkembang lebih, sebaliknya ia terkesan lebih menikmati bermain-main dengan sang monster, dan mengacak-acak seluruh penjuru kota Honolulu, Las Vegas, dan San Fransisco. Hasilnya, sebuah drama prematur yang masih terasa masam dengan ikatan emosi yang kurang menonjol, porsi yang tak terlalu menarik dan terkesan menjemukkan. Tapi, dibalik timpangnya drama ini, seperti yang saya bilang tadi, Edwards sukses besar dalam menghidupkan kembali sosok Godzilla dan mengembalikannya menjadi makhluk garang nan gagah.

Tsunami, 'gempa bumi', ledakan masif, kereta hancur, hingga pertarungan para raksasa, itu masih segelintir kecil dari banyak kehancuran yang Gareth Edwards tawarkan. Ya, sebagai sebuah film tentang Godzilla, semua terasa sempurna. Setiap langkah dalam memperkenalkan raksasa ini begitu tepat. Di paruh awalnya, anda tak akan melihat sesosok Godzilla. Sebagai gantinya, Edwards 'menyentil' penonton dengan kehadiran raksasa lain, M.U.T.O (Massive Unidentified Terrestrial Organism). Dengan menyembunyikan sang tokoh utama, tentu Edwards mempunyai banyak waktu untuk menyiapkan moment of the truth. Dan ketika waktunya tiba, boom! Sebuah 'reinkarnasi' masif dan fantastis, diiringi kehancuran dan pompaan intensitas maksimal yang mampu mengernyitkan mata dan meninggalkan penggemar dalam kekaguman. Ada kata 'God' dalam Godzilla, dan Gareth Edwards tahu betul bahwa ia harus memperlakukan Godzilla layaknya dewa.


Sisanya, adalah one-man-show, di mana Godzilla mendominasi frame dan mengendalikan semuanya. Ada peran manusia di baliknya, tapi tak terlalu krusial. Pada satu sisi, hal ini berimbas pada peran para karakter yang 'terbuang', namun di sisi lain, ini adalah kesempatan bagi bintang utama untuk bersinar terang. Dan, memang, kesempatan bagi Gojira untuk bersinar terbuka lebar dan Edwards berhasil mempertahankan itu. Hingga pada akhirnya, ia membawa kita pada konklusi yang membuat siapapun bersorak sorai gembira sekaligus makin mengagumi monster Jepang ini. Well, meski Gareth tak berhasil mengangkat drama humanisnya, tapi yang terpenting, ia sukses membawa kita pada kecintaan terdalam terhadap sang bintang utama. And it's a good thing!

Katakanlah dramanya setengah matang, tapi coba tutup sebelah mata dan lihat Godzilla sebagai sebuah paket blockbuster penuh: keseruannya bertubi-tubi, kehancuran yang tiada henti, Sang Gojira pun tampak gagah berani, ditambah ending cheerful yang makin menyiratkan bahwa ini jelas adalah sebuah surat cinta sekaligus obat hati bagi para penggemar Gojira yang sebelumnya pernah sakit hati berkat Godzilla versi Roland Emmerich yang memperlakukan sang monster abadi seenaknya. Dengan skala serba raksasa, Godzilla versi Gareth Edwards ini tentu adalah presentasi yang pas bagi sosok Godzilla. Di sini, Edwards bukan hanya mengandalkan kekuatan komputer semata, tapi juga mengandalkan hati seorang penggemar Godzilla sejati. Jauh dari sempurna, tapi jika anda adalah orang yang mengutamakan hiburan di atas segalanya atau seorang penggemar Godzilla yang tak mau dikecewakan lagi, maka film ini adalah untuk anda, karena dijamin, it's one hell of a ride!