Thursday, November 29, 2012

Tagged under: , , , ,

[FFI 2012] Film Kita, Wajah Kita

"The biggest appreciation in Indonesian film industry is about to begin, and here are the nominees..."
Festival Film Indonesia atau yang lebih sering disebut dengan FFI saja kini akan kembali digelar. Wujud apresiasi tertinggi dalam perfilman Indonesia ini akan diselenggarakan pada kali ke-57 pada tanggal 8 Desemberr 2012. FFI sendiri akan bertempat di pelataran Benteng Vredeburg, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan akan hadir dengan tema "Film Kita, Wajah Kita". Dari total 47 film yang ikut berkompetisi dalam proses, akhirnya terpilih 14 film yang masuk dalam tiap kategori. Dari 14 film itu, terdapat 5 film yang menyabet nominasi untuk film terbaik, yaitu Lovely Man, Rumah di Seribu Ombak, Soegija, Tanah Surga... Katanya, serta Demi Ucok. Demi Ucok? Terkejut? Belum pernah dengar? Ya, itu wajar saja, karena Demi Ucok yang meraih 8 nominasi ini, sejatinya belum rilis ke publik ini, dan baru akan tayang pada 3 Januari tahun depan. Tanah Surga... Katanya dan Rumah di Seribu Ombak berhasil meraup nominasi terbanyak, sebesar 9 nominasi, diikuti Lovely Man juga Soegija yang sama-sama mendapatkan 7 nominasi. Pengumuman nominasinya sendiri telah diumumkan pada 26 Novemer lalu, dan inilah nominasinya.

Film Terbaik
-  Demi Ucok
-  Lovely Man
-  Rumah di Seribu Ombak
-  Soegija
-  Tanah Surga... Katanya

Sutradara Terbaik
-  Erwin Arnada - Rumah di Seribu Ombak
-  Hanung Bramantyo - Perahu Kertas
-  Herwin Novianto - Tanah Surga... Katanya
-  Sammaria Simanjuntak - Demi Ucok
-  Teddy Soeriaatmadja - Lovely Man

Pemeran Utama Pria Terbaik
-  Donny Damara - Lovely Man
-  Emir Mahira - Garuda Di Dadaku 2
-  Muhammad Syihab - Cita-Citaku Setinggi Tanah
-  Reza Rahadian - Test Pack You`re My Baby
-  Tio Pakusadewo - Raya "Cahaya Di Atas Cahaya"

Pemeran Utama Wanita Terbaik
-  Acha Septriasa - Test Pack You`re My Baby
-  Atiqah Hasiholan - Hello Goodbye
-  Annisa Hertami - Soegija
-  Geraldine Sianturi - Demi Ucok
-  Jajang C. Noer - Mata Tertutup

Pemeran Pendukung Pria Terbaik
-  Butet Kertaredjasa - Soegija
-  Dedey Rusma - Rumah di Seribu Ombak
-  Fuad Idris - Tanah Surga... Katanya
-  Lukman Sardi - Rumah di Seribu Ombak
-  Rio Dewanto - Garuda Di Dadaku 2

Pemeran Pendukung Wanita Terbaik
-  Christine Hakim - Raya "Cahaya Di Atas Cahaya"
-  Kenes Andari - Hello Goodbye
-  Mak Gondut - Demi Ucok
-  Meriam Bellina - Test Pack You`re My Baby
-  Wulan Guritno - Dilema

Penulis Cerita Asli Terbaik
-  Danial Rifki - Tanah Surga... Katanya
-  Emha Ainun Nadjib - Rayya "Cahaya Di Atas Cahaya"
-  Sammaria Simanjuntak - Demi Ucok
-  Salman Aristo - Garuda Di Dadaku 2
-  Teddy Soeriaatmadja - Lovely Man

Penulis Skenario Terbaik
-  Daniel Rifki - Tanah Surga... Katanya
-  Jujur Pranato - Rumah di Seribu Ombak
-  Sammaria Simanjuntak - Demi Ucok
-  Teddy Soeriaatmadja - Lovely Man
-  Titien Wattimena - Hello Goodbya

Sinematografi Terbaik
-  Anggi Frisca - Tanah Surga... Katanya
-  Faozan Rizal - Perahu Kertas
-  Padri Nadeak - Rumah Di Seribu Ombak
-  Yunus Pasolang - Hello Goodbye
-  Yudi Datau - Dilema

Penyunting Gambar Terbaik
-  Cesa David Luckmansyah - Rumah di Seribu Ombak
-  Robby Barus - Hello Goodbye
-  Sastha Sunu - Dilema
-  Waluyo Ichwandiardono - Lovely Man
-  Wawan I Wibowo - Soegija

Penata Suara Terbaik
-  Adityawan Susanto - Tanah Surga... Katanya
-  Andri Yargana - Demi Ucok
-  Khikmawan Santosa - Modus Anomali
-  Satrio Budiono - Rumah di Seribu Ombak
-  Satrio Budiono dan Trisno - Soegija

Penata Musik Terbaik
-  Andhika Triyadi - Perahu Kertas
-  Djadoek Ferianto - Soegija
-  Thoersi Argeswara dan Gung Alit Bona - Rumah di Seribu Ombak
-  Thoersi Argeswara - Tanah Surga... Katanya
-  Tya Subiakto Satrio - Dilema

Tata Artistik Terbaik
-  Allan Triyana Sebastian - Soegija
-  Ezra Tampubolon - Tanah Surga... Katanya
-  Fauzi - Perahu Kertas
-  Rezki Ridha - Demi Ucok
-  Richard Sibuea - Lovely Man

Film Pendek Terbaik
-  Langka Receh - Miftakhatun & Eka Susilawati, SMP 4 Karangmoncol,                Purbalingga
-  Long Imagine - Satria Adiyasa, Forum Filmmaker Pelajar Bandung
-  Memburu Harimau - Arman Dewarti, Mediatif Film Workshop
-  Rahasia - Nindya Raras Nareswari, Karya Set Film
-  Wan An - Yandy Laurens, FFTV IKJ

Film Dokumenter Terbaik
-  A Short Story of Raden Saleh Syarif Bustaman - Subiyanto, FFTV IKJ
-  Bandung Lintas Masa - Kompas TV
-  Bena Eksotika Megalitik - LPP TVRI
-  Di Batas Kekuasaan - Nur Fitriah Napiz
-  Wae Rebo Menjaga - Kompas TV

Monday, November 26, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Argo (2012)

"The whole country is watching you, they just don't know it." ~ Jack O'Donnell

Hampir semua orang punya bakat terpendam. Tak terkecuali bagi aktor Ben Affleck. Malang melintang di dunia seni peran sejak tahun 1981 hingga akhirnya menjadi salah satu aktor kondang Hollywood. Kemudian, lewat film Good Will Hunting yang rilis 1997, ia mencoba peruntungan menjadi seorang screenwriter bersama dengan Matt Damon. Hasilnya? Di luar dugaan, di debutnya itu, ia langsung diganjar Oscar untuk Best Original Screenplay. Merasa belum puas, ia memulai debutnya menjadi setingkat lebih tinggi, yaitu menjadi seorang sutradara. Dalam debutnya ini, ia menyutradarai film berjudul Gone Baby Gone. Dan sekali lagi, ia mendapat sambutan yang luar biasa hangat. Sambutan yang sama juga diekor oleh film-film Affleck setelahnya, seperti The Town dan yang paling 'bungsu' yang diangkat dari peristiwa sejarah, Argo.

Tentu, mengkonversi sebuah peristiwa sejarah ke dalam 'gulungan' film memang selalu menjadi bahan yang menarik, menantang, sekaligus menjadi pekerjaan berat. Selain butuh hal-hal pokok dalam film non-sejarah lainnya, juga butuh detail yang sebenarnya menjadi nyawa film itu sendiri. Tanpa detail yang mendalam, maka film sejarah ini malah akan terkesan hambar dan mubazir, seakan mengabaikan begitu banyak hal kecil dalam  sebuah perisitwa penting. Chris Terrio, sang penulis naskah, tentu memikul beban berat dalam hal ini. Mampukah ia menjadikan kisah sejarah menarik menjadi suatu hal yang lebih menarik dan intens?


Berlatar di Tehran, Iran, pada akhir 1979, tepatnya 4 November, di saat revolusi Iran telah mencapai puncaknya, militan Iran menyerbu Kedutaan Besar AS di Iran dan menyandera lebih dari 50 staf kedutaan. Namun rupanya, masih ada yang selamat dari peristiwa itu. Mereka adalah Bob Anders (Tate Donovan), Mark Lijek (Christopher Denham) dan istrinya, Cora Lijek (Clea DuVall), Joe Stafford (Scoot McNairy) serta istinya, Kathy Stafford (Kerry Bishé ), dan Lee Schatz (Rory Cochrane). Sebagai tempat pelarian, mereka pun akhirnya bersembunyi di rumah duta besar Kanada, Ken Taylor (Victor Garber).

Dengan situasi yang dirahasiakan, Departemen Luar Negeri AS mencoba mencari cara untuk menngeluarkan 6 orang ini dari Iran. Untuk itu, didatangkalah seorang spesialis CIA, Tony Mendez (Ben Affleck) untuk membantu penyelamatan. Inspirasi Tony Mendez mulai muncul ketika menonton Plante of the Apes di televisi. Dari situ, ia mengeluarkan ide yang sebenarnya agak gila namun cerdas, menyelamatkan sisa 6 orang staf kedutaan tersebut dengan membuat mereka seolah-olah merupakan kru asal Kanada yang berniat membuat sebuah film sci-fi palsu, Argo, yang akan memulai syutingnya di Iran.


Salah satu yang membuat Argo menjadi sangat menarik adalah karena modal ceritanya sendiri, sudahlah menarik. Ya, penyelamatan rahasia lewat dalih sedang dalam proses pembuatan film? Siapa pun tak akan menyangkal bahwa ide itu adalah ide yang sangat cemerlang. Dan ya, itu adalah kisah nyata. Konyol? Mungkin iya. Keren? Mungkin juga. Kreatif? Sangat. Tapi, terlepas dari itu, membuat premis menarik ini menjadi sebuah film tentu merupakan keputusan fatal. Salah sedikit, maka hanguslah seluruh premis menarik itu. Beruntung, film ini ditangani oleh tangan-tangan dingin, sebut saja Ben Affleck, George Clooney, hingga Chris Terrio. Hasilnya pun, sangat memuaskan.

Argo adalah film yang sangat istimewa. Ia merupakan salah satu film yang punya kekuatan emosional tersendiri terhadap penontonnya. Argo dapat mengajak penontonnya untuk merasakan apa yang karakter film itu sendiri rasakan. Bagaimana mereka melewati jalanan Kota Teheran sambil menyembunyikan rasa takutnya. Argo dapat mengajak kita bereuforia bersama 'menikmati' setiap adrenalin, hingga kecemasan dan ketakutan dari setiap 'incinya'.


Ya, itu hanyalah satu dari sekelumit faktor yang membuat Argo istimewa, khususnya bagaimana Ben Affleck mengarahkan film ini. Ben Affleck mampu menghadirkan segala suspense menegangkan yang dipadukan dengan momen historis. Meski merupakan perpaduan fiksi dan non-fiksi, namun Argo tetap dapat tampil dengan detail-detail memukau. Segala momen yang thrilling memang benar-benar dimanfaatkan oleh Ben Affleck dengan baik. Hasilnya? Sebuah porsi suspense yang cool, menegangkan, dan 'nail-biting'.

Segala momen-momen menegangkan ini tentu juga merupakan berkat dari editing cemerlang dari William Goldenberg. William Goldenberg memang sangat tahu bagaimana meramu berbagai scene dan menggabungkannya menjadi satu kesatuan, dan hadirlah sebuah adegan suspenseful yang selalu membuat penasaran, mendebarkan, namun tetap dapat menghibur. Ini semua menjadikan Argo menjadi sebuah thriller yang bukan hanya luar biasa, tapi juga sangat memorable.


Selain itu, tak lupa, screenwriter Chris Terrio juga menambahkan porsi komedi segar dan sukses membuat saya, minimal tersenyum. Komedinya itu ditampilkan lewat dialog-dialog kocak yang sebagian besar 'diambilalih' oleh Alan Arkin juga John Goodman. Naskahnya tak hanya jago dalam membuat orang terhibur dengan line-line humornya, dalam dialog lain, ia juga hadir dengan dialog-dialog nan cerdas. Kembali lagi ke tugas Ben Affleck, ia mampu mengarahkan setiap lembaran naskah dan baris dialog ke dalam bentuk audio visual dengan tetap menarik, namun tak kehilangan setiap esensinya.

Ben Affleck telah berhasil dalam penyutradaraannya, ia pun tak ingin sia-sia dalam hal akting. Ben Affleck dapat menghadirkan sesosok karakter 'muka kayu' yang dingin dan tanpa ekspresi dengan sangat baik. Begitu pula keseluruhan cast. John Goodman sekali lagi menampilkan penampilan classy sebagai John Chambers. Jangan lupakan Alan Arkin yang tampil kocak dengan dialog-dialog ajaibnya. Penampilan dari Clea DuVall, Christopher Denham, Kerry Bishé, Kyle Chandler, Rory Cochrane, dan Tate Donovan juga ikut tampil meyakinkan dalam menginterpretasikan segala ketakutan mereka.


Once again, Ben Affleck membuktikan bahwa ia bukanlah sutradara sembarangan. Ia bukanlah aktor yang sekedar curi-curi kesempatan dalam memulai karirnya sebagai sutradara. Ia bukanlah seorang aktor yang merasa kebosanan dan ingin mencoba hal baru dengan setengah-setengah. Dan, Argo lah puncaknya. Lewat Oscar-Buzz yang satu ini, ia mampu menggabungkan segala sesuatunya dengan takaran serba pas, baik itu humor, suspense, hingga dramanya sekalipun. Tentu, itu bukanlah sebuah pekerjaan mudah. His first Oscar nomination for Best Director? Why not?

Argo adalah dramatisasi sejarah yang luar biasa. Seluruh jajaran akting, naskah, penceritaan, suspense, humor, hingga editing mampu tampil sangat memuaskan tanpa celah berarti. Naskahnya tampil kuat didukung dengan cerita yang unik, terlebih seluruh script-nya mampu diterjemahkan dengan baik oleh Ben Affleck. Ensemble cast juga mampu hadir dengan sangat solid. Suspensenya mampu memacu jantung lebih lagi, yang juga didukung kekuatan editing yang mumpuni. Ya, hanya disini jantung saya berdetak kencang hanya karena  sisa mesin penghancur kertas. Semua itu dipermanis lagi dengan porsi humor pas yang menggelitik. Argo is more than thrilling and entertaining, it's powerful and fantastic.

Saturday, November 24, 2012

Tagged under: , , , , , , , ,

[Review] End of Watch (2012)

"Behind my badge is a heart like yours. I bleed, I think, I love, and yes, I can be killed." ~ Brian Taylor

Pamor polisi akhir-akhir ini memang sedang tak baik. Begitu pula dengan pamor mockumentary yang kerap dianggap sebelah mata sebagai salah satu kedok untuk mendapatkan keuntungan lebih dari budget rendah. Ya, kamera-kamera seadanya yang lengkap dengan embel-embel yang meyakinkan penonton bahwa film  mocku merupakan film dokumenter nyata ini bagaikan alat kamuflase yang bersembunyi dibalik kata khas strategi marketing, 'untung besar'. Kalau sudah bosan dengan segala film mocku bertema haunted house semacam Paranormal Activity dan antek-anteknya atau exorcism macam The Last Exorcism atau Devil Inside, maka film 'dokumenter jadi-jadian' dari sutradara dan penulis naskah, David Ayer ini sangat sayang untuk dilewatkan.

Entah apa yang dipikirkan David Ayer hingga akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah film berkisah kehidupan polisi. Mungkin saja di Negeri Paman Sam sana pamor polisi juga sedang menurun (seperti halnya di Indonesia), atau apapun itu alasannya. Yang jelas, meski penggunaan sub-genre ini memang sedang merajalela di berbagai belahan dunia (khusunya Hollywood), tapi tetap saja, film berjudul End of Watch  ini harus diakui sedikit menambah angin segar dalam perjudian mockumentary Hollywood. Mengingat bahwa End of Watch bukanlah tipe film yang menakut-nakuti penonton lewat sudut pandang yang tidak biasanya. Dari genrenya saja, End of Watch juga bukanlah film horor.


Ini semua berawal dari ide Brian Taylor (Jake Gyllenhaal), yang ingin mendokumentasikan kegiatan sehari-harinya sebagai polisi bersama dengan partner kerjanya, Mike Zavala (Michael Peña). Meski keduanya punya banyak perbedaan mencolok seperti Brian yang kaukasoid dan Mike yang berdarah Hispanik, tapi tak menutup keduanya untuk menjalin persahabatan yang erat. Setiap hari, seperti kehidupan polisi biasa, terjadi kejar-kejaran, penembakan, gangster, hingga kejadian kriminal lain. Dari kasus kriminal biasa hingga kasus yang terlampau luar biasa. 

Di sisi lain, polisi tetaplah manusia. Mereka tetaplah punya kehidupan pribadi, dan End of Watch juga mengeruk hal itu. Brian Taylor sendiri sedang menjalin hubungan dengan seorang sarjana hidrolik cair, Janet (Anna Kendrick), sedangakan Mike telah menikah dengan Gabby (Natalie Martinez), yang bahkan sedang menunggu kelahrian anak pertama mereka. Sama seperti Mike dan Brian, Gabby dan Janet juga menjalin hubungan yang sangat baik.


Salah satu faktor mengapa saya menyukai film mockumenter adalah bagaimana David Ayer tak berusaha terlalu keras untuk memperlihatkan bahwa film ini benar-benar nyata seperti film found-footage lain. Dari castnya saja, kita sudah bisa lihat. Ada dua orang yang pernah dinominasikan Oscar, Jake Gyllenhaal dan Anna Kendrick, serta Michael Peña dan America Ferrera yang namanya cukup dikenal di Hollywood. Dan sekali lagi, David Ayer bahkan tak memakai nama asli para aktornya, yah meski memang agak konyol jika membayangkan seorang Jake Gyllenhaal ternyata adalah seorang polisi berkepala plontos dan Anna Kendrick merupakan sarjana hidrolik cair.

Selain itu, End of Watch juga tidak hanya tidak memakai nama asli dari para castnya, film ini juga menawarkan pergerakan kamera yang lain dari biasanya. Tak hanya mengandalkan kamera yang bersudut pandang dari sang kameramen yang kerap shaky, End of Watch juga beberapa kali menampilkan pengambilan sudut gambar dari atas yang menampakkan landscape indah, yang mungkin lebih terasa arahan sinematografer profesional dan bukan arahan asal-asalan.


Tapi, dengan begitu, apakah adil rasanya jika kita memvonis bahwa End of Watch adalah film mocku yang sama sekali tak terasa realistis? Tentu tidak. Kembali lagi, bahwa hal yang dilakukan David Ayer ini adalah yang membuat saya jatuh hati pada End of Watch. Meski dari cast hingga penggunaan kamera tidak berstandar pada formula mocku biasa, namun End of Watch masih dapat tampil realistis, bahkan bisa dibilang lebih terasa realistis ketimbang found-footage yang memakai formula film mocku biasa. 

Hal ini berkat David Ayer yang membuat karakter-karakter dalam film ini lebih humanis dan manusiawi. Meski berkisah tentang polisi yang selalu berhadapan dengan kekerasan yang bahkan bisa terjadi setiap harinya, David Ayer juga menambahkan sisi personal dari kisah kehidupan polisinya ini. Ia menyisipkan sebuah romansa kuat yang tercipta dari hubungan Brian-Janet dan Mike-Gabby. Tak lupa, Ayer juga memberikan hubungan bromance yang tak kalah kuat antara karakter Brian dengan Mike. Selain ada  romansa dan buddy-cop-nya yang manis, End of Watch juga merambah drama yang mengalir dengan begitu emosional.


Meski punya unsur drama yang sangat kuat, End of Watch tentu tak melupakan unsur thrilling yang sebenarnya merupakan hal wajib dalam setiap film berkisah serupa. Bahkan, diawal film saja, kita telah disambut adegan kejar-kejaran super seru yang ditemani narasi dengan monolog cerdas dari Jake Gyleenhaal. Suasana menegangkan ini juga ada dalam setiap adegan tembak-tembakannya. Dalam hal kasus kriminal lain, End of Watch juga menampilkan kasus-kasus tak biasa yang bahkan terasa mengejutkan.

Setiap orang pasti tak akan melupakan sebuah film jika film tersebut diakhiri oleh ending yang benar-benar memorable. Sama halnya dengan End of Watch, di akhir film, David Ayer mempersembahkan sebuah klimaks yang benar-benar menegangkan, berdarah, memacu adrenalin, namun tetap emosional dan sekali lagi, terasa lebih humanis. Ending seru yang melibatkan darah bermuncratan, timah panas yang dapat meluncur dari mana saja, hingga suara tembakan memekakkan telinga yang dapat datang tiba-tiba.


Dalam jajaran aktingnya, Jake Gyllenhall dan Michael Peña dapat menjalankan tugas mereka dengan sangat baik. Mereka dapat menghidupkan setiap sisi seorang polisi, waktu dimana saatnya mereka beraksi, hingga di waktu mana mereka dapat menjadi manusia normal kembali dan melupakan segala pekerjaan berat mereka. Chemistry bromance yang mereka bangun juga mampu berjalan dengan sangat kuat dan tak terlepaskan. 

Jake Gyllenhaal juga mampu menghadirkan chemistry erat dengan Anna Kendrick yang juga mampu menampilkan penampilan yang sama baiknya, meski memang tidaklah sekuat penampilannya dalam Up in the Air. Hal sama juga mampu dihadirkan Michael Peña dan Natalie Martinez yang dapat menghadirkan chemistry solid yang menghasilkan suasana hangat di antara hubungan suami-istri yang begitu harmonis dan bahagia.


Jika kita lebih menilik End of Watch dari sudut yang lebih dalam, maka dapat terlihat bahwa sebenarnya End of Watch punya segala sesuatu yang lebih dari kata-kata kotor dan senjata tajam. Film ini sebenarnya mengangkat makna yang cukup sensitif, yaitu tentang rasisme, namun dengan cerdasnya, David Ayer mampu menyampaikannya secara inplisit lewat pergulatan dua gangster. Ketika End of Watch berakhir, dapat terlihat juga bagaimana arti sebuah persahabatan yang sebenarnya, kisah kesetiaan cinta, dendam, kepedihan, hingga ketragisan. 

End of Watch adalah kisah yang sangat kompleks dalam setiap emosinya. Sebuah drama yang dalam, menyentuh, dan romantis. Sebuah thriller yang memacu adrenalin sekaligus mengundang rasa penasaran. Naskah kuat dengan dialog cerdas, penceritaan yang tak kalah kuat, karakterisasi gemilang, akting dan chemistry solid, seluruhnya telah dimiliki oleh mockumentary ini. Meski memang, gerakan shaky camera membuat sedikit pusing, namun masih dalam kadar dimaafkan, dan sama sekali tak berpengaruh terhadap keseluruhan film. Ini adalah surat cinta dari David Ayer yang menghanyutkan. Salah satu found-footage terbaik yang pernah ada? Sangat mungkin.

8.0/10



Sunday, November 18, 2012

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] The Amazing Spider-Man (2012)

"We all have secrets: the ones we keep, and the ones that are kept from us." ~ Peter Parker

Apa reaksi anda jika sebuah saga yang baru seumur jagung di-reboot kembali? Tentu akan banyak mengundang reaksi banyak orang yang menganggap sebelah mata bahwa reboot ini hanyalah sebagai alat pengeruk dollar sebanyak-banyaknya, terlebih saga tersebut masih punya banyak penggemar. Dan itu pulalah yang terjai pada saga superhero Marvel, Spiderman milik Sam Raimi, yang baru 5 tahun lalu menggenapkan triloginya lewat Spider-Man 3. Dan apakah benar bahwa reboot yang berjudul The Amazing Spider-Man ini hanyalah akal-akalan Sony Pictures Entertainment untuk kembali menggaet para fanboy, setelah proyek Spider-Man 4 sebelumnya terpaksa telah dibatalkan? 

Di reboot terbaru ini, tak ada lagi nama Sam Raimi di bangku sutradara. Yang ada merupakan nama Marc Webb yang akhirnya menggantikan Sam Raimi. Tunggu, siapa Marc Webb? Bagi anda penggemar film-film drama komedi romantis atau pun fillm-film indie, mungkin anda sudah pernah menonton salah satu karyanya, (500) Days of Summer, yang mendapat sambutan meriah dari kritikus. Ya, sutradara film independen banting setir menjadi sutradara film blockbuster? Mungkin terdengar sedikit aneh, tapi ingat Rian Johnson? Sutradara Looper yang baru-baru ini rilis juga mengalami hal sama (well, saya memang menonton Looper terlebih dahulu daripada film ini), dan berhasi dengan baik. Akankah Marc Webb melakukan hal yang sama? Atau bahkan lebih baik?


The Amazing Spider-Man dibuka dengan flashback kehidupan Peter Parker di masa kecil (Max Charles). Diceritakan, ayahnya yang merupakan seorang ilmuwan, Richard Parker (Campbell Scott) dan ibunya, Mary Parker (Embeth Davidtz) menghilang setelah menitipkan Parker ke paman dan bibinya, Ben (Martin Sheen) dan May (Sally Field) karena alasan yang misterius. Ketika beranjak dewasa, tepatnya di masa SMA, Peter Parker (Andrew Garfield) secara tak sengaja menemukan sebuah tas peninggalan ayahnya. Di dalamnya terdapat dokumen yang ternyata merupakan petunjuk yang mungkin akan mengarahkannya ke jawaban mengapa orang tuanya selama ini menghilang. Dari dokumen-dokumen itu pula, ia menemukan bahwa ayahnya pernah bekerja sama dengan Dr. Curt Connors (Rhys Iffans) dari OSCORP.

Peter pun akhirnya menyelinap ke OSCORP dan bertemu dengan Connors. Tak hanya Connors, ia juga bertemu dengan teman sekelas sekaligus love-interst-nya, Gwen Stacy (Emma Stone), yang ternyata merupakan kepala magang di sana. Di sana, ia masuk diam-diam ke sebuah laboratorium di mana banyak terdapat laba-laba yang telah dimodifikasi secara genetik. Secara tak sengaja, salah satu laba-laba tersebut menggigit Peter yang akhirnya menjadikannya seorang manusia super.


Siapa? Gwen Stacy? Ya, The Amazing Spider-Man kali ini memang lebih setia terhadapa komiknya. Sebagai contoh adalah Gwen Stacy tadi. Dalam komiknya, pacar Peter semasa SMA adalah Gwen Satcy, berbeda dengan Spider-Man versi Raimi. Dan mungkin, faktor 'lebih setia terhadap komik' inilah yang menjadi salah satu obat ampuh untuk menggaet para penggemar baru yang mungkin saja tak suka terhadap Spider-Man versi Raimi yang mereka anggap sedikit menyimpang.

'Reinkarnasi' saga Spider-Man yang satu ini memang berbeda dengan kakak pendahulunya. Dari cerita, memang hampir sama, tapi dengan beberapa pengubahan. Perbedaan yang paling mencolok di antara keduanya adalah pendalaman cerita. Dalam The Amazing Spider-Man, cerita yang naskahnya kuak lebih mendalam, bahkan hingga ke masa kecil Peter Parker sendiri. Belum lagi usaha Peter untuk menguak kebenaran dari hilangnya kedua orangtua Peter dan karakterisasi yang lebih mendalam bagi Peter Parker. Hasilnya? film ini dapat menyajikan sosok Spider-Man yang jauh lebih manusiawi juga terasa lebih muda dibanding pendahulunya.


Adegan aksi dengan bergelantungan dari satu gedung ke gedung lainnya memang merupakan trademark dari Spider-Man, dan rasanya kurang jika kita tak mengupasnya. Karena naskahnya sendiri lebih mengedepankan unsur drama lewat dalamnya cerita yang ia tawarkan, maka tentu saja aksi yang ditawarkan harus 'mengantri' lebih lama dari biasanya. Namun begitu, bagi saya sah-sah saja, karena apa yang ditawarkan lewat aksinya sudah cukup membuat hati saya puas.

Jika anda pernah menonton film drama komedi Marc Webb berjudul (500) Days of Summer, maka rasanya tak lengkap jika di film terbarunya ini, ia tak menyisipkan humor-humor segar. Untungnya saja, humor ini hadir dalam porsi yang pas dan terasa tak terlalu berlebihan. Dan lebih untung lagi, karena humornya mampu membuat kita tersenyum. Salah satu hal yang sukai adalah bagaimana Marc Webb menyisipkan adegan jenaka yang dilakukan oleh para figuran di belakang para aktor utamnya. Konyol? Tentu. Tapi itulah yang saya suka dari humor sisipan tersebut.


Seluruh aspek yang telah saya sebut di atas tentu tak akan berhasil jika tak didukung oleh departemen akting yang baik. Sebagai sosok baru sang manusia laba-laba, Andrew Garfield berhasil memerankannya dengan baik. Ia juga berhasil memanfaatkan segala ruang yang diberikan oleh naskahnya hingga akhirnya menumbuhkan suatu karakterisasi yang lebih mendalam. Emma Stone, mampu menampilkan penampilan yang baik sebagai Gwen Stacy. Chemistry yang dihasilkan keduanya pun terjalin erat tanpa adanya kesan hambar, mungkin karena didukung fakta pula bahwa mereka berpacaran di dunia nyata.

Martin Sheed dan Sally Field yang memerankan paman dan bibi Peter Parker juga dapat menyelesaikan tugasnya tanpa celah berarti. Mereka mampu menyajikan hubungan 'orangtua-anak' dengan Peter yang erat, meski beberapa konflik memang tak bisa terhindarkan. Tak hanya itu, si pemeran rekan kerja ayah Peter terdahulu alias Dr. Connor yang diperankan oleh Rhys Iffans berhasil menampilkan sosok seorang ilmuwan dua sisi.


Salah satu hal yang tak terlupakan dari The Amazing Spider-Man adalah visualnya yang luar biasa. Adegan aksinya yang banyak melibatkan visual-effect hadir dengan kualitas yang maksimal. Tak hanya unggul dalam CGI-nya, film ini juga unggul dalam hal sinematografi yang merupakan arahan dari John Schwartzman yang dulu pernah mendapat nominasi Oscar lewat film tahun 2003, Seabiscuit. Dari momen-momen romantis, menegangkan, hingga menyedihkan dapat ditangkap dengan indah lewat sinematografinya.

Dalam hal musik latar, bidang ini digarap oleh James Horner. Sosoknya sendiri bukanlah orang sembarangan dalam meng-compose berbagai musik scoring untuk film. Bukan hanya pernah mendapatkan 8 nominasi Oscar saja, tapi juga pernah menyabet 2 Oscar untuk Titanic yang fenomenal itu. Dalam The Amazing Spider-Man pun, sekali lagi ia membuktikan tajinya lewat penyajian musik yang tak hanya megah, tapi juga begitu menusuk.


The Amazing Spider-Man adalah reboot yang tergolong baik. Memang tak sebaik Batman Begins versi Christopher Nolan, namun apa yang disajikan Marc Webb lewat penyutradaraannya juga naskah yang digarap oleh trio James Vanderbilt, Alvin Sargent, dan Steve Kloves serta bagian cast dan teknisnya yang mampu bertugas dengan baik sangat patut diacungi jempol. Segala usaha yang mereka hasilkan memang berhasil untuk menghidupkan kembali sang superhero dari 'mati surinya' yang baru seumur jagung. Jadi, apakah The Amazing Spider-Man adalah ajang pengerukan dollar sebanyak-banyaknya? Tentu, tapi kali ini hadir dengan kualitas yang sangat mumpuni.

Lalu, mana yang lebih baik? Versi Sam Raimi atau Marc Webb? Well, menurut saya, kualitas keduanya hampir imbang dan punya kekurang-kelebihannya masing-masing. Namun, jika anda pengagum aksi-aksi yang super cool dengan segala aksi loncatan-loncata supernya, maka Spider-Man ala Sam Raimi tentu merupakan pilihan terbaik. Namun, jika anda lebih suka kepada pendalaman cerita atau film yang lebih setia terhadap komiknya, maka tentu saja The Amazing Spider-Man ala Marc Webb merupakan keputusan yang cermat sekaligus cerdas.

8.0/10


Saturday, November 17, 2012

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Ted (2012)

"Back off, Susan Boyle!" ~ Ted

Ted, dari judulnya saja telah tertebak, bahwa film ini merupakan film tentang teddy bear, bedanya teddy bear di sini hidup! Tapi, jangan lupakan, bahwa hampir seluruh departemen utama Ted diisi oleh nama seorang Seth MacFarlane. Bagi anda penggemar animasi serial TV nyeleneh Family Guy maupun American Dad! tentu tahu siapa sosok dan bagaimana tipe film-filmnya. Lalu, bagaimana jika Seth MacFarlane membuat sebuah film tentang teddy bear? Tentu hasilnya akan nyeleneh dan di luar dugaan pula.

Seperti yang saya bilang tadi, Seth MacFarlane memang banyak ambil bagian dalam film ini. Bukan hanya sebagai produser, tapi juga sutradara, penulis naskah, bahkan hingga salah seorang pemeran utama. Selain dibintangi oleh Seth MacFarlane sendiri, film ini juga dibintangi oleh Mila Kunis, Jessica Barth, Giovanni Ribisi, serta Joel McHale. Tapi, yang menjadi sorotan tentunya adalah sang pemeran utama, Mark Wahlberg yang biasanya membintangi film aksi maupun thriller, namun kali ini bermain dalam film komedi kotor.


John Bennett (Bretton Manley) merupakan seorang bocah yang tak pernah merasakan persahabatan sekalipun. Teman pun, ia tak pernah punya. Ia selalu dijauhi oleh anak-anak di lingkungannya. Sampai suatu saat, ia akhirnya mempunyai sebuah sahabat. Ya, bukan seorang, melainkan sebuah, karena sahabatnya itu hanyalah sebuah boneka teddy bear. Tentu, ia tak bisa diajak mengobrol seperti sahabat lainnya. Suatu malam, John membuat sebuah harapan agar Ted berubah menjadi hidup. Keajaiban pun terjadi, Ted berubah menjadi beruang lucu nan menggemaskan. Seluruh dunia menyorotnya dan menjuluki Ted sebagai sebuah keajaiban.

Tapi, semua orang makin hari bertambah dewasa, itu pula yang terjadi pada Ted. Sampai John (Mark Wahlberg)  berusia 35 tahun pun, Ted (Seth MacFarlane) masih setia menjadi sahabatnya. Namun, Ted bukanlah satu-satunya 'orang' dalam kehidupan John, ada pula Lori Collins (Mila Kunis) yang tak lain merupakan kekasih Lori. Mereka bertiga tinggal di apartemen milik Lori. Masalah datang ketika Lori merasa terganggu kehidupan cintanya karena kehadiran Ted yang ia rasa selalu merusak momen-momennya dengan John. Lori pun membuat sebuah pilihan kepada John: pilih Ted atau dirinya.


Jangan pernah tertipu dengan openingnya yang lebih mirip sebuah film fantasi anak-anak. Jangan pula pernah mengira bahwa film ini akan menjadi sebuah film keluarga menjelang natal dengan boneka teddy bear hidup yang bersikap manis, ramah, nan, menggemaskan. Mengapa? Karena setelah opening itu kita akan disuguhkan sajian yang sangat bertolak belakang dengan segmen awalnya. Tak ada lagi Ted yang imut dan bersuara lembut.

Ted yang awalnya merupakan boneka ramah dan lucu, berubah menjadi boneka, yah memang masih lucu dan menggemaskan. Tapi tunggu sampai dia membuka mulutnya dan mengeluarkan kata-kata ajaibnya. Lihat pula kelakuannya yang sembrono bahkan terkesan vulgar. Ya, Seth MacFarlane memang harus diacungi jempol karena ini. Layaknya Hercule Poirot yang punya jutaan sel kelabu di otaknya, ia juga punya pikiran-pikiran liar yang ia tunjukkan dalam film ini, khususnya dialog-dialog cerdas nan ajaib ciptaannya yang sering kali menyentil berbagai hal namun dapat membuat kita tertawa terbahak-bahak.


Dari awal hingga akhir durasinya, Ted selalu menyajikan komedi yang sangat sukses untuk mengocok perut penonton. Segala komedi kotor dan jorok memang ada di dalamnya. Ya, dan hampir semuanya merupakan andil dari kelakuan Ted yang aneh-aneh. Bagaimana ia diterima di tempat kerjanya, bagaimana ia dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi, dan segala joke-joke dan ucapan-ucapan kotor darinya memang sangat menghibur.

Jangan lupakan pula bahwa film ini punya narasi yang disuarakan Patrick Stewart dengan gemilang. Sesuai genrenya yang memang komedi, tentu narasi dari Patrick Stewart ini juga punya joke-joke andalannya. Memang hanya muncul di awal dan ending filmnya saja, namun harus diakui narasi ini memang benar-benar juara untuk menghibur penonton, khususnya ketika di akhir film.


Tapi, Ted tidak sepenuhnya merupakan komedi, film ini juga punya porsi drama dan romance. Dramanya sendiri sebenarnya cukup klise dan tak sekuat porsi komedinya yang pol-polan. Di bagian dramanya, ia punya romansa antara John dan Lori, meski sebenarnya bukanlah jualan utama seperti komedinya, namun dapat dinikmati dengan baik, karena chemistry antara Mark Wahlberg dan Mila Kunis yang terjalin kuat. Bukan hanya John yang bisa punya kekasih, Ted juga tak ingin kalah. Ted sendiri menjalin asmara dengan Tami-Lynn yang sama-sama bekerja di supermarket. Lain dari hubungan asmara John dan Lori yang lebih romantis, maka dapat dipastikan bahwa hubungan Ted dan Tami-Lynn akan lebih nyeleneh dan vulgar.

Seth MacFarlane juga menyisipkan sebuah side-story mengenai penculikan Ted. Dan yah, penculiknya juga sudah pasti menyimpang dari penculik biasanya. Side-story ini sebenarnya terkesan agak dipaksakan, meski komedi yang terselip di antaranya tetap dapat menghibur. Bahkan, salah satu dialog terbaiknya terdapat dalam segmen ini. Beruntung, Giovanni Ribisi yang memerankan sang penculik bermuka preman namun punya kelakuan agak menyimpang dapat berakting dengan baik.


Giovanni Ribisi tentu tak sendiri. Di depannya, ada Mark Wahlberg yang juga dapat memberikan penampilan yang memuaskan. Bersamanya, ada pula Mila Kunis yang juga mampu tampil baik. Dan sebagai orang yang bersembunyi di balik Ted si mulut kotor, tentu Seth MacFarlane benar-benar berhasil memberikan nyawanya kepada Ted, yang membuat kita merasakan bahwa Ted benar-benar nyata dan hidup. Ya, meski kita hanya dapat mendengar suaranya. Ada pula beberapa cameo seperti Ryan Reynolds, Tom Skerritt, dan Norah Jones.

Ted adalah film drama komedi yang sangat menarik. Dengan berkamuflase sebagai teddy bear yang menggemaskan, ia dapat keluar dengan menyebarkan setumpuk lelucon-lelucon segar yang didukung pula oleh departemen akting yang baik. Ted mampu membuktikan bahwa film komedi kasar dan kotor tak hanya melulu melibatkan hal yang itu-itu saja. Berangkat dari ide basi, Ted dapat merombaknya kembali dan tetap mampu menjadi sebuah alat pengocok perut yang benar-benar efektif.

8.0/10

Thursday, November 15, 2012

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000)

"No growth without assistance. No action without reaction. No desire without restraint." ~ Li Mu Bai

Jika di tahun ini Ang Lee akan merilis film terbarunya, Life of Pi, maka marilah sejenak kita pergi 12 tahun ke belakang, di saat Ang Lee merilis film wuxia alis seni bela diri ala Cina yang berjudul Crouching Tiger, Hidden Dragon atau WòhÇ” Cánglóng dalam judul aslinya. Semenjak rilisnya, film asal Cina ini sukses besar dalam kuantitas maupun kualitas.Crouching Tiger, Hidden Dragon bahkan berhasil meraup keuntungan sebesar $213.525.736 dari seluruh dunia. Soal kualitas pun tak usah diragukan lagi, film ini bahkan memenangkan 4 Oscar yang salah satunya merupakan Best Foreign Languange Film, dan juga sempat dinominasikan untuk Best Picture dan Best Director, suatu hal yang jarang bagi film berbahasa asing, karena film ini sendiri juga merupakan produksi Negeri Paman Sam tersebut.

Selain ada nama Ang Lee dalam daftar sutradaranya, ia juga duduk di kursi produser bersama Hsu Li-Kong dan William Kong. Dalam daftar penulis naskahnya, juga ada beberapa nama seperti Wang Hui-Ling, James Schamus, dan Tsai Kuo-Jung yang bertugas menerjemahkan film ini dari sebuah bentuk novel berjudul sama ke dalam bentuk naskah film. Novelnya sendiri merupakan novel keempat dari pentalogi Crane-Iron karya Wan Dulu yang ditulisnya dari 1938 hingga 1942. Crouching Tiger, Hidden Dragon ini dibintangi para aktor kelas A asal Negeri Tirai Bambu, seperti Michelle Yeoh, Chow Yun-Fat, Zhang Ziyi, dan Chang Chen.


Film ini bercerita tentang Li Mu Bai (Chow Yun-Fat), seorang pendekar yang namanya sudah dikenal seantero negeri. Ia punya ambisi untuk memburu pembunuh gurunya, Jade Fox, meski akhirnya hasilnya nihil.  Saat itu, ia berniat untuk mundur dari dunia bela diri yang selama ini ditekuninya. Karenanya, ia pun memberikan pedangnya yang terkenal akan kesaktiannya, Green Destiny, kepada salah satu teman baik wanitanya yang juga merupakan seorang pendekar, Lien Yu Shu (Michelle Yeoh), yang nantinya akan mereka beri kepada teman mereka sebagai hadiah, Sir Te (Lung Sihung) di Kota Peking. Sesampainya di sana, saat Lien Yu Shu memberikan hadiah itu kepada Sir Te, ia juga bertemu dengan putri Gubernur Yu (Fa Zeng Li), yaitu Jen (Zhang Ziyi), yang nantinya akan akrab dengannya. Namun, suatu malam, sebuah tragedi terjadi. Pedang legendaris itu ternyata telah dicuri oleh seorang wanita yang misterius.

Naskah terjemahan novel dari ketiga screenwriter tadi dapat berjalan kuat. Wang Hui-Ling, James Schamus, dan Tsai Kuo-Jung mampu mencampuradukkan unsur action, drama, hingga romansa menjadi sebuah kesatuan kuat dan tak dapat terpisahkan. Aksinya sudah jelas, mampu berjalan dengan sangat mulus. Dramanya? Saya sendiri suka dengan porsi dramanya yang muncul dengan emosi kuat, meski awalnya agak terganggu bagaimana Yu Shu Lien tak mengetahui pencuri pedang Green Destiny. Untungnya, dipertengahan film kita diberitahu jawaban yang memuaskan tentang itu. 


Tak hanya itu, Crouching Tiger, Hidden Dragon juga punya dialog-dialog ciamik. Dengan dialognya yang terasa sangat cantik dan puitis, namun dengan kadar yang tak berlebihan, mampu menghasilkan jalinan dialog yang seimbang satu sama lain, dan tak terasa corny sama sekali. Dan sekedar saran saja, ada baiknya jika menonton film ini dalam audio yang original alias berbahasa Mandarin, karena saya sendiri lebih menyukai versi ini ketimbang versi dubbingnya.

Romansa mungkin merupakan slaah satu bagian yang terkuat pula dalam film ini. Romansa 'malu-tapi-mau' antara Li Mu Bai dengan Yu Shu Lien dapat ditampilkan dengan lumayan baik, meski sebenarnya tak terlalu menarik perhatian saya. Yang lebih menarik perhatian justru adalah kisah cinta antara Jen dengan Lo, karena memang keduanya tidaklah malu mengungkapkan isi hati, juga karena romansa keduanya ditampilkan mulai dari pertemuan pertama mereka hingga akhirnya saling jatuh cinta. Romansa mereka juga muncul citarasa yang lebih muda ketimbang Li Mu Bai-Yu Shu Lien yang lebih dewasa.


Crouching Tiger, Hidden Dragon memang menampilkan aksi bela diri yang sangat indah. Koreografi yang diciptakan oleh Yuen Wo Ping terasa begitu dinamis, cepat, dan sedap dipandang mata. Terlebih ditambah dengan aksi loncatan-loncatan yang mungkin terkesan tak masuk akal bagi yang tak terbiasa dengan film bela diri khas Cina. Hebatnya lagi, aksi loncatan-loncatan yang melawan hukum gravitasi ini benar-benar nyata, dilakukan tanpa efek CGI, hanya bermodalkan kabel pengaman yang mengikat para aktornya, dan hampir tanpa stuntman sekalipun. Tentu itu menambah esensi bela diri yang terkandung dalam Crouching Tiger, Hidden Dragon.

Aksi-aksi indah ini juga didukung oleh sinematografi yang mumpuni dan fantastis. Setiap menitnya kita disuguhkan angle-angle yang sangat cantik dan sesekali berjalan dinamis seiring dengan adegan-adegan aksi yang datang silih berganti. Visual yang indah itu juga dapat dirasakan ketika sesekali film ini menyorot indahnya bentangan alam dari pegunungan hingga gurun pasir sekalipun. Hasilnya, sinematografi arahan Peter Pau ini diganjar Best Cinematography dalam Academy Awards tahun 2001 lalu.


Tak hanya unggul dalam urusan visualnya, musik latar hasil racikan Tan Dun yang juga berhasil meraih Oscar berkat film ini juga tak dapat diremehkan sama sekali. Dengan menggabungkan berbagai musik megah ala orkestra dengan unsur-unsur musik etnik yang kental, Tan Dun berhasil menyajikan sebuah musik latar yang bukan hanya indah, namun dapat membius siapa saja yang mendengarnya. 

Dalam ceritanya sendiri, Crouching Tiger, Hidden Dragon mempunyai hakikat mendalam dalam setiap segmennya. Setiap unsur-unsur yang dibawa oleh film ini melalu naskahnya mampu diinterpretasikan dengan baik oleh Ang Lee. Bagaimana Ang Lee meracik berbagai issue seperti kesetaraan gender, tipu daya, dendam, pengkhianatan, rasa bersalah, kesetiaan, hingga sikap pengecut ke dalam waktu yang bersamaan tentu merupakan hal yang tak mudah untuk dilakukan, namun nyatanya ia dapat menggabungkannya dengan sangat gemilang.


Dalam departemen akting, Crouching Tiger, Hidden Dragon juga tak menemui kendala berarti. Zhang Ziyi hadir dengan akting paling bersinar diantara kesemua cast, muncul dengan karakter yang manis, tapi juga punya rasa pemberontak di dalamnya. Michelle Yeoh dan Chow Yun-Fat juga mampu memerankan karakter pendekar protagonis yang dingin. Chang Chen juga mampu memerankan seorang bandit yang kerap berkelakuan konyol.

Crouching Tiger, Hidden Dragon merupakan contoh film aksi yang baik, dengan tidak meninggalkan cerita.  Antara aksi dan dramanya mampu berbaur dengan sangat baik. Setiap esensi cerita dari naskah mampu diantarkan dengan baik oleh Ang Lee ke para penonton. Adegan aksinya sangat menakjubkan namun juga indah. Sinematografinya membuat sebuah pengalam sinematik tak terlupakan untuk siapa saja. Castnya juga dapat hadir tanpa masalah yang begitu berarti. Indah, lembut, dinamis, dan dingin, itulah 4 kata yang rasanya pas untuk mendeskripsikan film ini.

8.5/10

Wednesday, November 14, 2012

Tagged under: , , , ,

[Coming Soon] Life of Pi (2012)

"It was a time filled with wonder that I'll always remember." ~ Pi

Masih ingat sutradara ini? Ia pernah sukses dengan film martial-arts nya, Crushing Tiger, Hidden Dragon yang berjaya dan menjadi box-office di mana-mana, bahkan sempat membawa pulang 4 Oscar, termasuk Best Foreign Languange Film, serta film cowboynya yang bertema tentang biseksual, Brokeback Mountain, yang berhasil membawa namanya memenangkan Best Director dalam ajang Oscar dan menjadikannya sebagai satu-satunya sutradara Asia yang pernah memenangkan penghargaan bergengsi itu. Ialah Ang Lee, yang kini kembali dengan sebuah film drama petualangan, yang berjudul Life of Pi.

Film yang akan dirilis 21 November di wilayah Amerika Serikat ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Yann Martel dan dipublikasikan paa tahun 2001. Nantinya, film yang naskahnya ditulis oleh David Magee ini akan dirilis alam format 3D. Life of Pi ini merupakan debut aktor pendatang baru berdarah India, Suraj Sharma yang memerankan pemeran utama. Bukan hanya Suraj Sharma saja yang merupakan aktor berdarah India dalam film ini, ada pula Irrfan Khan, Tabu, hingga Adil Hussain.


Life of Pi bukanlah sekuel dari Pi milik Darren Aronofsky. Jelas, karena Pi di sini bukanlah sebuah konstanta matematika yang sampai sekarang misterinya belum terpecahkan itu. Dalam Life of Pi, Pi adalah nama seorang remaja 16 tahun (Suraj Sharma) yang menjadi satu-satunya orang yang berhasil bertahan hidup dari kecelakaan tenggelamnya sebuah kapal barang. Dengan sebuah sekoci, ia berusaha untuk terus bertahan. Mungkin terdenger biasa. Namun, apa yang terjadi jika dalam sekoci itu Pi tidaklah seorang diri? Dia memang satu-satunya manusia yang selamat, tapi dia bukanlah satu-satunya makhluk yang selamat dari kecelakaan tersebut, masih ada orangutan, hyena, zebra, dan harimau bengal!

Bagaimana? Menarik? Menilik dari berbagai kritikan dari para kritikus dunia yang menyambut positif film yang sebelumnya telah wara-wiri di berbagai festival film dunia ini, rasanya karya teranyar Ang Lee tersebut akan menjadi salah satu film terbaik tahun ini. Best Picture? Best Adapted Screenplay? Best Director lagi? Mungkin akan dicapai oleh film ini di Academy Awards nantinya dengan cukup mudah. Well, let's see the trailer first. And hey! We can watch it in 3D too! Wanna try?

Saturday, November 10, 2012

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Looper (2012)

"Loopers are well paid, they lead a good life." ~ Joe

Sedari awal, saya sudah sangat mengharapkan ekspektasi lebih ke film ini. Dari ceritanya, sangat menarik,  idenya termasuk segar, meski dari temanya, yaitu tentang perjalanan waktu sudah banyak kali difilmkan. Poster? Menarik. Tapi yang lebih menjadi daya tarik film ini adalah kolaborasi dua aktor beda generasi, Joseph Gordon-Levitt dan Bruce Willis. Siapa yang tak ingat aksi Bruce Willis di film action Die Hard yang fenomenal itu? Siapa pula yang tak ingat aksi Levitt di science fiction milik Nolan, Inception? Nah, bagaimana kalau Levitt dan Willis dipertemukan dalam satu frama, yang juga merupakan gabungan science fiction dan action.

Menilik nama seorang Rian Johnson, sutradara sekaligus penulis naskah Looper, sebenarnya ia bukanlah sutradara film-film blockbuster dengan budget yang bahkan terhitung banyaknya. Sebaliknya, ia merupakan seorang sutradara indie yang memulai debutnya lewat film misteri, Brick. Berkat Brick, ia banyak mendapatkan penghargaan dari sana sini. Dalam lika-liku perfilman Indie, saya rasa dia sudah cukup berpengalaman lewat Brick-nya. Lantas, bagaimana dengan Looper, yang tak lain merupakan blockbuster pertamanya? Apakah akan sebaik Brick yang juga merupakan debut filmnya sebagai sutradara indie?


Looper? Ya, inilah sebutan untuk kaum pembunuh gila di tahun 2044 yang dibayar dengan bar-bar perak yang terikat di setiap punggung korbannya. Cara kerjanya sangat unik. Memanfaatkan teknologi perjalanan waktu. Tapi, tunggu dulu, karena di tahun 2044, belum ditemukan teknologi semacam ini. Lantas, bagaimana mereka bekerja? Looper ini tinggal membunuh targetnya yang telah dikirimkan dari tahun 2074 lewat mesin waktu, meski sebenarnya teknologi itu dilarang. Ketika target telah mereka bunuh, mereka dapat langsung menikmati bar-bar perak yang menjadi 'gaji' mereka. Tak heran, hanya dengan bekerja sebagai looper, seseorang mampu menjadi kaya raya.

Dari banyaknya looper yang ada pada tahun itu, salah satunya adalah Joe Simmons (Joseph Gordon-Levitt). Sebagai seorang looper, tentu saja ia telah menyimpan ratusan bar perak yang ia simpan dalam brankas bawah tanahnya. Namun, malam itu kehidupannya tak seperti biasanya. Salah seorang rekan sesama looper,  Seth (Paul Dino) tiba-tiba saja datang ke rumahnya dalam penuh ketakutan dan mengatakan bahwa ia baru saja membebaskan seorang targetnya, yang tak lain merupakan dirinya sendiri dari masa depan. Suatu hari, ia juga harus bernasib sama seperti Joe, ia dihadapkan bahwa ia harus membunuh dirinya sendiri dari masa depan. Apa yang harus dilakukannya? 


Kembali lagi, Looper merupakan film yang unik. Rian Johnson berhasil melebur unsur aksi, drama, romansa, dan fiksi sains dengan sangat baik. Meski memang, transisi yang dipilih Rian untuk beralih dari aksi ke drama terasa membosankan di awalnya (dan jujur, saya tertidur), karena dari aksinya yang melibatkan senjata-senjata api, kemudian kita langsung dialihkan ke drama yang sunyi. Namun, lambat laun, dramanya mampu berkembang menjadi sebuah drama yang kuat dengan romansa yang tumbuh setapak demi setapak. Di sisi lain, unsur fiksi sains yang Rian Johnson tonjolkan, yaitu perjalanan waktu dan telekinesis juga mampu mendorong kuatnya seluruh jajaran kisah-kisah dalam Looper yang saling mengisi.

Menelusuri porsi action-nya, sesungguhnya Looper tidaklah menawarkan aksi yang benar-benar nendang. Karena, Rian Johnson memang tidaklah ingin meng-highlight adegan aksi tersebut. Sama halnya dengan science fiction, Johnson juga tak ingin membuat film blockbuster pertamanya ini terjebak dalam  Sekelumit unsur yang Johnson tambahkan itu hanyalah semacam jembatan yang akan mengantarkan kita ke makna Looper sebenarnya. Lebih dari sekedar film aksi yang hanya mengandalkan adrenalin yang terpacu atau sci-fi yang menjual teknologi aneh-aneh, Looper punya esensi yang lebih kental dan kuat di balik kisah kucing-kucingannya itu.


Seperti yang telah saya bilang tadi, drama dalam Looper terasa lebih leluasa dieksplorasi oleh Rian Johnson. Dramanya terbangun dengan atmosfer yang sangat dalam dan sunyi. Diantara dramanya, Johnson juga sengaja menyelipkan unsur-unsur misteri yang menambah kekompleksan drama itu sendiri, sehingga terbangunlah intensitas yang tetap terjaga. Dengan bumbu-bumbu romansa yang didukung oleh chemistry kuat Levitt dengan Blunt, Looper berhasil menghadirkan sebuah drama kuat yang penuh dengan dilema, cinta, dan pengorbanan tanpa harus mengorbankan berliter-liter air mata, namun tetap dapat mengharukan.

Duo aktor dua generasi, Joseph Gordon-Levitt dan Bruce Willis mampu menjalankan setiap tugasnya dengan baik. Joseph Gordon-Leitt, meski muncul dengan make-up yang ugh, cukup mengganggu tetap dapat menampilkan performa yang baik seperti biasanya. Begitu pula Bruce Willis yang terpaksa harus melawan dirinya sendiri dalam film. Ada pula Emily Blunt, seorang ibu yang tangguh dan sanggup berkorban apapun untuk anaknya. Sang anak pun, Kamden Beauchamp mampu menampilkan performa menawan.


Karakterisasi mungkin merupakan salah satu nilai positif dalam film ini. Tak ada satu pun dari keempat karakter yang paling banyak disorot tersebut merupakan karakter antagonis. Sebaliknya, tak ada pula yang Rian Johnson gambarkan sebagai karakter serba baik-baik alias protagonis. Keempat karakter tersebut berada dalam garis persimpangan yang abu-abu, yang malah menjadi salah satu daya tarik terbesar dari Looper. Sayangnya, ada beberapa karakter yang mendapat porsi sangat sedikit, sehingga tak mampu membuat kontribusi banyak untuk ceritanya sendiri.

Selain unggul dalam cerita dan castnya, film yang satu ini juga unggul dalam urusan teknis. Visualnya diolah  dengan penggunaan angle yang sangat indah dengan penambahan tone yang sangat pas dengan atmosfer film ini sendiri. Berbeda dengan film action lain, Looper malah banyak menghadirkan scoring-scoring lembut nan melankolis yang relaxing. Tentu saja, Looper juga tak pernah absen menghadirkan scoring yang terkesan megah pula.


Selain itu, rasanya keadaan masa depan versi Johnson juga cukup menarik untuk dikupas. Sangat berbeda dengan  sci-fi lainnya, Looper tak menggambarkan masa depan bumi yang serba futuristik, modern, dan selalu menimbulkan kesan wah. Sebaliknya, Looper menggambarkannya dengan cukup sederhana, dengan tidak memvisualisasikan penggambaran bumi yang terlalu berlebihan. Bahkan, kita masih bisa merasakan kentalnya suasana pedesaan, lengkap dengan rumah klasik ala amerika dan ladang jagungnya.

Looper memang punya beberapa kekurangan kecil, namun tak mampu membendung bahwa Looper tetaplah karya yang luar biasa. Rian Johnson berhasil memadukan berbagai unsur genre di dalamnya menjadi sebuah perpaduan cantik. Dengan cerita yang sangat menarik namun sedikit membingungkan (bagi beberapa orang), kisahnya tetap bergulir rapi, meski ada kalanya terasa agak membosankan. Perjalanan menegangkan Looper ini kemudian diakhiri oleh ending dengan makna mendalam. Sebuah film aksi plus fiksi sains yang tidak biasanya: tragis, dramatis, dan menyentuh. Ya, Looper adalah blockbuster dengan berbagai sentuhan indie di setiap sudutnya. Hasilnya? Karya yang indah namun tetap dapat tampil megah.

8.0/10