Saturday, August 17, 2013

Tagged under: , , , , ,

[Review] Before Midnight (2013)

"Still there. Still there. Still there. Gone." ~ Celeste

Jika ditanya, trilogi-trilogi terbaik yang pernah ada, pasti yang keluar dari mulut ada The Lord of the Rings (kalau yang ini hukumnya wajib), The Godfather, Three Colors, Batman versi Nolan, Evil Dead, hingga trilogi dari seberang Hollywood sana, trilogi Vengeance. Well, tahun ini, kita kedatangan 'anggota' baru, trilogi 'Before' dari Richard Linklater, yaitu Before Sunrise (1995) dan Before Sunset (2004), dan sebagai sang penerus, ada Before Midnight. 'Before' di sini bukanlah metafora, karena memang setiap serinya berakhir sebelum waktu tertentu

Dibandingkan kesemua trilogi sebelum-sebelumnya, rasanya sangat pantas kalau kita menyebut trilogi yang satu ini sebagai trilogi 'sakral. Bagaimana tidak? Setiap film dengan sekuelnya, masing-masing berjarak 9 tahun, dengan cerita yang memang berjarak 9 tahun sejak film pertamanya. Namun, trilogi ini bukan hanya unik dari kesakralannya ditambah penerapan konsep triloginya yang 'real-time', namun juga terletak pada cara berceritanya yang tak kalah unik dan tak pernah diterapkan pada film-film sebelumnya (well, setahu saya). Apa itu? Penasaran?


Khusus kali ini, saya tak mau membeberkan isi cerita terlalu banyak, karena di awalnya nanti ada kejutan kecil. Yang jelas, film ini berkisah 9 tahun setelah pertemuan mereka di Paris. Yang jelas pula, keseluruhan Before Midnight bermula dari naskah garapan Linklaster, serta 2 orang dari lini terdepan departemen aktingnya, Ethan Hawke, dan Julie Delpy. Cerita yang diangkat sebenarnya sederhana, sebuah kisah romansa manis-pahit yang telah bertahan selama 18 tahun lamanya. Namun naskah dengan pondasi cerita sederhana seperti itulah yang menjadi suatu tantangan berat bagi penulis naskah. Tantangannya adalah bagaimana membuat cerita simple, yang akhirnya mampu menjadi naskah kokoh melalu penulisan yang mumpuni. Naskah Before Midnight punya semua yang saya sebutkan tadi. 

Coba tonton, dan lihat apa yang menjadi peluru utama film ini. Tak usah perhatikan dengan seksama, karena anda pun pasti akan menemukan perbedaan mencolok dengan tipikal romansa lain: penggunaan dialog yang sangat, sangat banyak. Bahkan, bisa dibilang keseluruhan film ini terdiri dari dialog. Ya, untuk anda yang telah mengikuti kedua seri sebelumnya, pasti tak akan heran dengan ini, dan yang belum akrab dengan trilogi ini, tenang aja, karena naskah dengan ribuan, atau mungkin jutaan kata ini tak akan pernah membuat penonton menari-nari di tengah kebosanan, apalagi hingga jatuh tertidur. Apa rahasianya?


Rahasia besarnya terletak pada penghadiran rangkaian dialog sehari-hari, hidup, sederhana, namun nyatanya merupakan rangkaian penuh kekuatan magis. Sepanjang 109 menit, Before Midnight menawarkan dialog-dialog kompleks, namun simple guna menyelami perspektif cinta rumit dan karakter-karakter menarik, yang semuanya terangkum dalam sebuah romansa bittersweet cukup minimalis, yang tentunya lebih berliku dan penuh kerikil dibanding cinta monyet dan cinta nostalgia yang ditawarkan Before Sunrise dan Before Sunset. Sepanjang waktu itu pula, anda 'dipaksa' menyimak dialog-dialog cerdas, yang secara bersamaan akan mengajak kita ke sebuah kisah yang manis dan adiktif.

Dengan dialog yang selevel lebih baik dua pendahulunya, Before Midnight tak hanya penuh dialog filosofi mendalam seperti yang duologinya tawarkan. Bagi pengikut kisah cinta Jesse dan Celine, kita juga diajak bernostalgia dengan memori lama nan manis selagi mengingat kisah cinta di sepanjang sungai Paris, atau lebih mundur lagi ke pertemuan secara tak sengaja mereka di kereta api menuju Vienna. Tentunya, semua ini tak hadir lewat kilasan-kilasan flashback, namun masih melalui dialog-dialog manis yang dijamin membuat penonton senyum-senyum sendiri sembari pikiran melanglang buana ke 2 dekade lalu.


Anda tak hanya akan menyunggingkan bibir untuk satu alasan di atas, karena Before Midnight juga menawarkan dialog-dialog witty namun tanpa pernah terlihat terlalu dipaksakan untuk melucu. Semuanya berjalan dengan begitu alamiah dan tenang, setenang arus sungai. Namun seperti sungai yang tak harus sebening kaca dengan arus bersahabat, ada kalanya ketika romansa mulai melewati sungai keruh berarus besar. Ketika memasuki fase tersebut, naskah film ini mulai berubah haluan (namun  tetap tak hilang arah) dengan menyuguhkan dialog-dialog intens, tajam, serta penuh ketegangan. Dengan dialog dan konflik meyakinkan tersebut, kita seakan berada di posisi mereka, layaknya tiba dipersimpangan jalan yang berliku dan penuh lubang..

Yang membuat kita merasa ada di posisi mereka bukanlah berkat naskah kokohnya saja, karena sebagai sutradara, Richard Linklaster berhasil menuntun penonton masuk sedalam-dalamnya ke kisah ini dengan pengarahannya yang presisi. Ia mampu maksimalkan kekuatan magis setiap kata dari naskahnya, yang membuat penonton merasa akrab dengan pasangan ini, sekalipun tak pernah bertemu, dan keduanya hanyalah karakter fiktif. Saya selalu menyukai perubahan tone yang Linklaster lalui dengan begitu halus dan effortless, yang kemudian berubah lagi di menit-menit terakhirnya yang ditutup dengan pengarahan hangat berlimpah dialog charming.


Tapi, keberhasilan seorang Linklaster tak berhenti di situ. Satu lagi merupakan keahliannya yang memang telah terbukti lewat dua pendahulunya, yaitu bagaimana ia membuat penonton percaya bahwa film ini nyata, sekalipun kita tahu bahwa sebenarnya tidak. Ia mampu memberikan kesan meyakinkan, bahwa setiap kata yang keluar dari mulut para karakternya merupakan kata-kata spontan. Semuanya dapat ia hadirkan tanpa kesan scripted, sama sekali.

Feel alami tersebut juga menjalar hingga departemen akting. Kita tahun bahwa Ethan Hawke dan Julie Delpy memiliki chemistry 'anti-gempa' sejak 18 tahun lalu. Dan kini, setelah seri keduanya telah rilis hampir 1 dekade lalu, hal itu masih dapat dirasakan dalam Before Midnight. Gaya romansa keduanya jelas berbeda jauh dibanding ketika mereka pertama bertemu, namun seiring berjalannya waktu, chemistry keduanya makin meyakinkan dan natural. Sebagai individu, dengan bantuan dialog-dialog cerdas dan spontanius, Hawke maupun Delpy berhasil memberikan setiap nyawa bagi Jesse dan Celine.


Hal itu tak melulu terjadi pada Hawke dan Delpy di lini depan. Di belakangnya, cast lain yang terdiri dari Athina Rachel Tsangari, Panos Koronis, Walter Lassally, Xenia Kalogeropoulou, Yiannis Papadopoulos, dan Ariane Labed juga mampu memberikan setiap karakternya kehidupan, sekalipun dengan screentime minim. Semua itu mampu diperoleh berkat setiap penampilan yang natural dan tak dibuat-buat, dan tak lupa penampilan mereka yang kebanyakan diisi dengan berbicara. Lagi-lagi, berbicara tentang Before Midnight dan 'before'-'before' lainnya, adalah pembahasan dialog yang tak akan ada habisnya.

Diisi dengan dialog yang kaya akan feel charming, heart-warming, kadang kocak, intens, dan tajam, Before Midnight mampu menyihir tontonan sederhana menjadi sebuah karya yang menarik dengan cara pengemasan unik dan hidup. Hadir tanpa celah sedikitpun di penyutradaraan, penulisan, hingga departemen akting, Before Midnight juga mampu memberikan sentuhan-sentuhan nostalgia yang begitu manis. Akhirnya, Before Midnight bukan hanya termasuk satu dari sedikit sekuel yang mampu tampil sebaik, bahkan mengungguli pendahulunya saja, tapi juga sebuah romansa penuh liku yang akan membekas sepanjang waktu. Kita memang belum tahu apakah kisah ini akan berlanjut atau tidak, tapi, seandainya berlanjut.... sampai ketemu di tahun 2022! 



Monday, August 12, 2013

Tagged under: , , , ,

[Review] The Conjuring (2013)

"Want to play a game of hide and clap?" ~ The Spirit

Sebenarnya, jarang ada film horor yang mampu dikategorikan sebagai 'film horor'. Bingung? Well, maksud saya, kebanyakan film horor gagal dalam mencapai tujuan utama mereka, memberikan segenap ketakutan bagi penonton. Tahun lalu, untungnya kita kedatangan horor berkualitas, Sinister dari Scott Derrickson. Kali ini, kita kedatangan teror dari salah satu the new master of horror. Kalau berbicara tentang master of horror, kita pasti langsung teringat nama Wes Craven (A Nightmare on Elm Street franchise, Scream series), John Carpenter (Halloween, Assault on Precinct 13), atau Dario Argento (Suspiria, Opera, Deep Red). Lalu, di abad 21 ini, siapa yang bisa kita sebuah sebagai salah satu master horor?  

James Wan. Sutradara Australia yang lahir dan berdarah Malaysia ini memang dikenal karena karya-karya horornya. Saya sendiri, suka dengan Saw yang kaya akan twists and turns. Sebaliknya, saya tak menyukai Dead Silence, apalagi mata saya juga sedikit sakit karena tone-nya yang sangat-sangat gelap (bahkan siang pun dibuat gelap, haha). Tapi, 2010 lalu, James Wan menggebrak industri film horor lewat Insidious yang sukses berat, dan harus saya akui saya sampai sekarang 'sedikit' menunduk ketika menonton momen di mana muka demon merah muncul dibalik kepala Patrick Wilson. Tahun ini, James melalukan comeback dengan merilis 2 film, Insidious: Chapter 2 dan The Conjuring. Jujur, saya tak terlalu tertarik dengan sekuel Insidious, namun The Conjuring? Dengan hype yang begitu besar, film ini tak boleh terlewatkan.


Didasarkan oleh kisah nyata dari duo paranormal terkenal, pasangan suami-istri Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga), film ini menceritakan tentang keluarga Perron di tahun 1971, di mana Roger (Ron Livingston) dan istrinya Carolyn (Lili Taylor), berpindah ke Harrisville, Rhode Island, beserta kelima anaknya, Andrea (Shanley Caswell), Nancy (Hayley McFarland), Christine (Joey King), Cindy (Mackenzie Foy), dan April (Kyla Deaver). Awalnya, tak ada sesuatu yang salah dengan rumah baru mereka, kecuali anjing mereka yang tak mau masuk rumah, dan sebuah basement tersembunyi yang mereka temukan secara tak sengaja. Kian hari, gangguan-gangguan itu mulai muncul, mulai dari anjing mereka yang mati secara misterius, hingga seluruh jam yang berhenti pada 3.07 malam.

Di saat itu, nama Ed dan Lorraine memang dikenal lewat kasus-kasus supranaturalnya. Maka dari itu, ketika gangguan tersebut telah mencapai puncaknya, Carolyn memutuskan untuk memanggil pasangan ini untuk menginvestigasi rumahnya. Ketika menginvestigasi rumah keluarga Perron, Ed dan Lorraine menemukan fakta bahwa di rumah ini pernah menjadi milik seorang penyihir, Bathsheba yang mengorbankan anaknya sebagai persembahan untuk iblis dan akhirnya membunuh dirinya sendiri. Kejadian ini membuat rumah tersebut, hingga sekarang dikuasia oleh arwah-arwah gaib jahat, yang mencoba untuk menyerang keluarga Perron. Di kejar oleh waktu dan resiko nyawa melayang, mereka harus melakukan semuanya dengan cepat.


Dalam The Conjuring, naskah filmnya memiliki andil besar dalam membangun definisi horor yang sebenarnya. Chad dan Carey Hayes, sebagai penulis naskah, berhasil melebur 2 kisah horor konvensional, yaitu kisah 'rumah hantu' dan 'pengusiran setan' dengan hasil yang memuaskan, sembari mengembalikan memori kita terhadap horor 1970an seperti The Amityville Horror dan The Exorcist. Ditambah dengan kejutan-kejutan horor yang seiring menit berlalu, makin diisi oleh intrik-intrik yang melebar dan terus melebar, plus fakta bahwa film ini based on true story, yang dibalut lagi oleh banyaknya feel a la horor klasik. Sebuah naskah homage yang tight dan membuat bulu kuduk merinding!

Tak sampai di situ, naskah ini tak hanya berhenti pada teror-meneror saja. Dengan mengambil hubungan antar anggota keluarga sebagai spotlight, khususnya hubungan ibu dengan anak-anaknya, The Conjuring lewat naskahnya juga menyentuh sisi-sisi emosional. Walaupuan saya rasa di awal hingga menjelang akhir hal-hal ini terasa kurang tergali dan harusnya dapat dikembangkan lagi, namun entah mengapa, saya dapat merasakan feel emosional yang dalam ketika The Conjuring mulai melewati fase klimaks. Namun, seandainya hal itu lebih digali lagi oleh Wan dan Hayes bersaudara, saya yakin hasilnya pasti akan lebih dalam, emosional, dan menyentuh.


Ya, secara materi naskah, memang tak ada yang terbilang benar-benar baru, namun screenplay hasil karya Hayes bersaudara yang didasari rekaman dari Ed Warren ini memang benar-benar efektif untuk sebuah film horor. Lagipula, bukankah sebuah film horor sukses adalah film yang mampu meneror penontonnya, membuat sesak serta nafas tertahan sembari menunggu kejutan yang akan datang, hingga membuat seluruh ruangan bioskop berteriak? Tak perlu hal yang macam-macam, toh penonton pun tak mengharap apa-apa selain berharap akan diteror habis-habisan (yah, kecuali kalau Joss Whedon ada dibalik naskahnya, maka saya berharap akan dicipratkan ide tak terduga sebanyak mungkin).

Bagi saya, film horor yang 'malas' adalah film yang setiap detik menampilkan penampakan. Contohnya seperti hantu 'narsis' dalam film-film horor Indonesia atau hantu berdagu panjang dari Mama (walaupun jujur, Mama adalah horor yang lumayan bagus, dan hantunya pun tak muncul setiap detik, hanya terlalu sering). Lalu, apakah The Conjuring adalah film horor yang 'malas'? Sama sekali tidak. James Wan tak memajang penampakan di sana-sini, penampakan sang hantu pun bisa dihitung dengan jari. Sebaliknya, dengan sabar menunggu waktu tepat bagi 'sang iblis' untuk menampakkan batang hidungnya. Sambil memberikan The Conjuring dengan pengarahan penuh kesabaran itu, James Wan mengisi film ini dengan atmosfer yang kental akan aroma mistis dan kelam, yang dibangun dengan intensitas konsisten, sembari memberikan setiap karakter berjalan dengan perlahan, namun pasti. 


Dalam The Conjuring, anda tak akan menemukan adegan gory seperti yang James Wan tampilkan dalam Saw, tak ada pula adegan yang menjurus ke arah seksual, yang ada hanyalah James Wan yang memberikan pendekatan dan gertakan penjatuh mental terhadap penonton. Meski teror yang dihadirkan merupakan homage lewat teror-teror old-school, namun bukan berarti The Conjuring muncul dengan feel horor kadaluarsa. Banyak momen-momen kreatif di sini. Ya, saya tak pernah menyangka, bahwa sebuah tepukan tangan pun dalam membuat satu bioskop berteriak histeris dan menjadi alat efektif dalam menyerang mental. Tak hanya tepukan tangan yang film ini punya. Dari awal sampai akhir, momen-momen penuh histeria ini berhasil James Wan kemas dengan sangat meyakinkan yang membuat ruang bioskop sesak akan injeksi kengerian yang tiada henti dan terjaga rapi. Hasilnya? Creepy as hell!

Keberhasilan film ini bukan hanya bertumpu pada usaha James Wan dan Hayes, departemen akting juga hadir dengan penuh kekuatan di sini. Kita semua tahu bahwa Vera Farmiga adalah aktris yang luar biasa. Dengan sebuah nominasi Oscar di tangannya, maka bukanlah suatu hal yang mengejutkan bahwa Vera berhasil mengerahkan seluruh kemampuannya dengan maksimal. Dengan rosario yang selalu melilit di tangan kirinya, ia hadir karakter yang terlihat kuat dan tak gentar, namun ia mampu menggali ketakutan dan kerapuhan seorang Lorraine Warren dengan baik. Di lain sisi, Lili Taylor adalah seorang scene stealer dari semua lini. Dengan penampilan intens, haunting, dan meledak-ledak yang sedikit mengingatkan kita pada peran legendaris Linda Blair dalam The Exorcist itu, ia mampu menyuguhkan ketakutan tersendiri bagi penonton. Selain itu, cast lainnya, seperti Patrick Wilson, Joey King, dan Ron Livingston pun berhasil menghadirkan akting yang meyakinkan.


Dari Insidious hingga The Conjuring, musik latar merupakan salah satu aspek vital. Dengan musik gubahan Joseph Bishara, orang yang juga bertanggung jawab dalam membuat penonton histeris di Insidious, kita kembali merasakan musik latar yang haunting, agresif, intens, sekaligus besar dan mengagumkan, meski saya sedikit terganggu dengan musik yang hadir saat momen romansa ditampilakan. Soal sinematografi, The Conjuring hadir dalam camerawork yang cantik. Bersama sutradara James Wan, sinematografer John R. Leonetti, berhasil menciptakan angle-angle sesak yang dilengkapi dengan lighting 'manipulatif' (well, anda akan mengerti maksud saya jika telah menontonnya... 'clap-clap'), menghasilkan atmosfer kelam yang tak biasa dan tak beres, membuat penonton bertanya-tanya 'what's behind the door? what's behind you?', dan 'what's behind'-'what's behind' lainnya.

James Wan dengan pengalaman mumpuninya dalam meneror penonton, makin menunjukkan bakatnya yang kian hari makin terasah dengan mengajak penonton menelusuri The Conjuring yang sesak akan kengerian. Didukung oleh naskah khas horor, cast yang luar biasa, hingga teknikal level yang tak kalah memuaskan, menjadikan The Conjuring adalah film horor yang to-the-point dan tak muluk-muluk dalam menawarkan kengerian old-school-nya. Selangkah (atau dua langkah?) lebih maju, lebih mengerikan, dan lebih-lebih lainnya daripada Insidious, ini adalah karya yang benar-benar memuaskan, enjoyable (dalam konteks film horor, tentunya), both emotionally and psychologically disturbing, well-constructed and well-crafted. The Conjuring adalah sebuah surat cinta mengerikan dari James Wan serta duo Hayes terhadap horor 1970an, sekaligus penghapus dahaga bagi yang haus akan horor yang menawarkan teror sebenarnya.


Thursday, August 8, 2013

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Sympathy for Lady Vengeance (2005)

"An angel, could that be true? Do you really think an angel resides in me? If so, where was that angel when I was committing such an evil act? I always wondered about this after hearing what the preacher said, and then I realized, that the angel inside me only reveals itself when I invoke it." ~ Lee Geum-ja

Kita pernah disajikan apa saja oleh seorang sutradara berbakat asal Korea Selatan ini. Ia pernah membuat kita ngeri 'hanya' dengan memotong achilles tendon seorang pria berambut hijau, kemudian kita dikejutkan lagi oleh sebuah balas dendam tersakit yang pernah ada, yang kemudian tak hanya menggemparkan perfilman Korea saja, tapi juga Asia, bahkan dunia. Selain itu, ia juga pernah membawa dunia vampir ke ranah Korea. Terakhir, ia hijrah ke Hollywood, sukses menjadikan sebuah naskah thriller berdarah nan familiar menjadi sebuah sajian yang berkelas dan mengagumkan. Siapa dia?

Park Chan-wook! Sutradara yang angkat nama berkat adaptasi lepas sebuah manga berjudul Oldboy ini memang dikenal sebagai salah satu pelopor film penuh kekerasan di Korea. Oldboy sendiri adalah salah satu bagian dari Vengeance Trilogy, tiga film yang bertema balas dendam, namun dengan cerita yang tak terkait satu sama lain. Sebelum Oldboy, ia telah mengarahkan seri pertama, berjudul Sympathy for Mr. Vengeance yang slow-paced, namun efektif dalam membuat gigi ngilu. Setelah Oldboy, ia menutup trilogi ini lewat pacing lebih cepat dan less-glory namun indah, Sympathy for Lady Vengeance.


Sympathy for Lady Vengeance, atau yang dikenal pula dengan Lady Vengeane saja masih berkutat pada misi balas dendam. Kali ini, seorang wanita yang memegang seluruh kendali. Adalah Lee Geum-ja (Lee Yeong-ae), seorang wanita cantik, mantan narapidana yang dihukum penjara selama 13 tahun atas kejahatan yang ia sendiri tak lakukan. Ia dituduh telah menculik dan membunuh seorang anak berusia 6 tahun, bernama Won-mo. Selepas dari tahanan, ia pun akan menuntut balik, sebuah balas dendam yang tak biasa terhadap pelaku sebenarnya, Mr. Baek (Choi Min-sik). 

Sebelum terjebak dalam jurang penuh pujian, mungkin ada baiknya jika kita mulai dari kekurangan dulu. Mungkin kekurangan yang saya rasakan adalah banyaknya karakter yang dihadirkan (sebagian besar merupakan karakter dari masa lalu Geum-ja saat masih di penjara). Sebenarnya, ini mungkin tak akan menjadi kekurangan kalau karakter yang dihadirkan dapat digali dengan cukup dalam. Namun, Park tampaknya mengalami sedikit kesulitan dalam menangani dan menggali karakter-karakter ini jauh lebih dalam. Akibatnya, walau tak bisa dibilang fatal, membuat penonton sedikit kehilangan fokus dengan apa yang Park coba sajikan.


Meski begitu, saya akui film ini memang menghadirkan tokoh sentral dengan karakterisasi yang luar biasa. Lee Geum-ja sudah dijamin merupakan karakter yang amat menarik dan kompleks. Seorang gadis innocent yang harus menghadapi suatu konsekuensi terhadap sesuatu yang tidak ia lakukan, yang akhirnya menjadi gerbang baginya untuk terjun dalam hal penuh kekerasan dan dosa. Belum lagi, ia seorang wanita dan ibu, yang tetap saja memiliki batas-batas emosional. Dengan segala hal yang dimilikinya, Park menyajikan tokoh sentral yang subtle, saling kontradiktif, a victim of society. Mr. Baek, juga hadir dengan karakter absurd dan kontradiktif, seorang guru yang seharusnya merupakan sosok penyayang, di balik semua itu, ia adalah psikopat berdarah dingin tanpa punya rasa iba.

Segala hal dalam naskah Sympathy for Lady Vengeance bukan melulu tentang pembalasan dendam saja. Di balik sisi emosional dan beberapa kekerasan yang ia punya, naskah film ini juga menghadirkan humor-humor gelap. Ada beberapa humor yang hadir lewat dialog-dialog yang witty dan komikal, membuat saya sendiri tak percaya, bahwa saya tertawa menonton film bertema balas dendam. Dengan takaran yang lebih dibanding 2 pendahulunya, humor-humor ini bekerja dengan baik dalam membangun atmosfer film yang menyeret tema berat menjadi lebih bisa dinikmati.


Tak hanya disampaikan dengan begitu gamblang, ada juga beberapa scene, yang entah tujuannya untuk menyalurkan tawa atau bukan, yang jelas momen-momen ini memang cukup komikal. Dalam 'the deer hunter' scene, sekalipun terasa begitu absurd, tetap saja saya sedikit menyunggingkan kedua ujung bibir. Tak sampai disitu, momen di mana para orang tua berfoto bersama juga berhasil membuat saya sejenak melupakan ke-immoral-an film ini. Siapa yang ingin berfoto bersama setelah melakukan suatu kejahatan? Ada satu lagi. Kalau yang satu ini, akan terasa komikalnya kalau sebelumnya anda telah menonton Sympathy for Mr. Vengeance. Apa itu? Well, silakan lihat dan tebak sendiri.

Meski jika dilihat dari cara pengemasan, Sympathy for Lady Vengeance adalah yang paling ringan, namun dibanding kedua 'kakaknya', film inilah yang hadir dengan kadar simbolisme terbanyak. Dalam perjalanannya, Park menyisipkan beberapa simbolisasi untuk menghantarkan tema rumitnya dalam bentuk banyaknya penggunaan 2 warna, putih dan merah yang menyimbolkan kekontradiktifan 2 sifat. Warna putih diwakili lewat salju serta tahu, dan merah yang dilambangkan lewat eyeshadow, interior kamar, dan tentu saja, darah, atau bahkan keduanya sekaligus, seperti yang telah diperkenalkan dalam opening credits. Tapi, yang paling menarik justru terletak dalam bagaimana Park menggabungkan 2 warna ini dalam unsur-unsur religius.


Tak sampai disitu, Park memang terkesan banyak mengebiri unsur agama di sini. Ia memanfaatkan kereligiusan Lee Geum-ja dan menghadirkan 2 periode waktu sebagai simbol dari 2 sifat yang bertolakbelakang dan kemunafikan. Bukan menyalahkan agama itu sendiri, namun lebih berfokus pada pikiran manusia yang rusak dan penuh noda. Namun, jika dilihat lagi dengan sudut pandang yang lebih luas, kita akan melihat apa yang sebenarnya Park inginkan lewat simbolisasi ini, dan mungkin akan menjawab mengapa ia menempatkan Lady Vengeance sebagai penutup trilogi ini. Ia mengawali Lady Vengeance dengan dominasi warna putih yang melambangkan kesucian, yang perlahan mulai dikotori dengan darah dan kekerasan, yang pada akhirnya, ia mengembalikan semua itu ke tempat di mana semua itu pantas mendapatkannya, ia mengakhiri dengan hujan salju dan sebuah tofu.

Sekalipun tak mempunyai kadar kekerasan sebanyak pendahulunya, terlebih Sympathy for Mr. Violence, namun Park, yang terkenal karena kekerasan dalam setiap filmnya, tetap dapat membungkus setiap adegan dengan intensitas tinggi. Tak hanya itu, lain daripada film lain yang hanya menjadikan kekerasan sebagai ajang unjuk gigi dan bersenang-senang, maka Lady Vengeance (serta Mr. Vengeance dan Oldboy) menjadikan kekerasan-kekerasan tersebut sebagai nyawa dalam plotnya. Mereka adalah dua hal yang saling berkegantungan, tanpa kekerasan yang ia bawa, plot akan terasa mentah dan tak hidup, begitu pula sebaliknya.


Jika mengibaratkan ketiga film dari trilogi balas dendam ini dengan satu sifat, maka Sympathy for Mr. Vengeance memiliki mindless violence, Oldboy adalah definisi dari insanity, maka Lady Vengeance merupakan emotional rollercoaster. Ya, Lady Vengeance adalah segalanya tentang wanita, dan wanita tanpa emosinalitas bukanlah sepenuhnya wanita, bukan? Di sini, Park berhasil menyusun esensi-esensi emosional ini tanpa dosis berlebihan. Bukan dengan hasil unsur emosional tanpa emosi sedikitpun, atau sebaliknya, menghasilkan sebuah sajian manipulatif dangkal yang meninggalkan bergalon-galon air mata.

Satu hal yang membuat Lady Vengeance mengingatkan saya dengan Oldboy adalah lead yang tak terlupakan. Lee Yeong-ae memberikan kharisma yang luar biasa hebat. Ia berhasil mengeksplorasi seorang karakter wanita yang dingin, tangguh, kharismatik, namun emosional, religius, serta feminin. Dengan karakter kompleks dan absurd tersebut, Yeong-ae berhasil mengisi setiap sisi dengan penampilan oscar-worthy. Choi Min-sik, yang kembali bereuni dengan Park juga mampu berubah menjadi seorang psikopat sakit dengan karakter yang saling kontradiktif. Performa baik ini tak hanya sampai pada lead-nya saja, tapi hingga akar-akarnya. Lihat akting para orangtua korban di klimaks film, lihat pula rekan Geum-ja sesama tahanan.


Secara technical level, film ketiga ini benar-benar menunjukkan tajinya. Dengan konsep multi-layered, editing mumpuni adalah keharusan. Ditemani oleh camerawork super cantik, angle-angle unik, dengan tone-tone indah, editing ini terasa intens, namun tetap moving. Berbeda dengan Mr. Vengeance yang tak terlalu banyak memakai scoring dan tenang, musik latar dalam Lady Vengeance terasa lebih agresif lewat gubahan orkestra barok yang menghipnotis, membuat film ini selevel lebih megah dan grande.

Stylish dan beautifully-shot, Sympathy for Lady Vengeance memang tak se-grande dan setragis Oldboy, namun tetap dengan sukses menutup trilogi balas dendam Park Chan-wook dengan dongeng balas dendam yang masih ditulis dengan baik dan sangat unik dan indah dalam pengemasannya. Dibanding dengan kedua prekuelnya, film ini memang tak sekeras kedua pendahulunya, namun bukan berarti Lady Vengeance hadir tanpa kekerasan. Sympathy for Lady Vengeance tidak memanfaatkan kekerasan sebagai pemanis saja, film ini menjadikan kekerasan itu sendiri menjadi untuk memberikan nyawa bagi plotnya. Diisi dengan karakter kompleks dalam sebuah society berliku, Lee Yeong-ae hadir dengan penampilan menawan, hampir tanpa celah sedikit pun. Cantik, menawan, emosional, dingin, keras, dan absurd, dari awal Sympathy for Lady Vengeance menyajikan dongeng fantastis dari segala sisi, dan ketika ia berakhir, ia melimpahkan banyak hal penuh tanya. Tak perlu dijawab, hanya perlu dipikirkan.


Saturday, August 3, 2013

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Upstream Color (2013)

"I have to apologize. I was born with a disfigurement where my head is made of the same material as the sun.." ~ Thief

Tahun 2004, Hollywood sempat digemparkan oleh sebuah film berjudul Primer, yang diarahkan oleh seorang sutradara muda debutan berbakat, Shane Carruth. Well, mungkin terdengar hiperbola, namun Primer yang kompleks memang menakjubkan di tangan dingin seorang Shane Carruth. Ia tak hanya menyutradarai Primer, karena ia juga bertanggung jawab dalam hampir segala hal dalam film ini, ia adalah produser, penulis naskah, pemeran utama, komposer musik, hingga editor Primer. Namun, setelah 2004, ia tak produktif lagi. Kata 'produktif' pun rasanya tak tepat, kerena setelah Primer, ia tak pernah menelurkan film lagi.

Setelah 9 tahun lamanya, barulah Shane Carruth membuat sebuah comeback-nya dengan sebuah film berjudul Upstream Color. Sama seperti Primer, Upstream Color masih merupakan sebuah film eksperimental, dengan struktur yang begitu kompleks. Dan lagi, layaknya Primer, ia juga bertanggung jawab dalam hampir seluruh aspek dalam Upstream Color. Selain ada dirinya sendiri dalam jajaran cast, ia juga berkolaborasi dengan beberapa aktor seperti Amy Seimetz, Thiago Martins, dan Andrew Sensenig.


Upstream Color diawali oleh scene-scene yang cukup membingungkan, karena hadir tanpa dialog dan disajikan dengan cukup abstrak. Namun, secara keseluruhan film ini bercerita tentang sepasang kekasih, Jeff (Shane Carruth) dan Kris (Amy Seimetz), di mana kehidupan serta perilaku mereka dipengaruhi oleh suatu parasit kompleks. Perlahan, mereka terjebak dalam sebuah siklus kehidupan yang rumit dan kompleks. 

Semua ini bermula saat Kris, seorang graphics production designer, dibius oleh seorang pencuri (Thiago Martins) di suatu klub. Pencuri tersebut menggunakan berbagai trik aneh dan sugesti untuk mengendalikan pikirannya sekaligus menyembunyikan fakta bahwa ia mengambil sejumlah uang dari Kris. Suatu pagi, Kris bangun dan menemukan nematoda hidup merangkak dibawah kulitanya, yang memang terdapat dalam obat yang digunakan pencuri. Dengan bantuan seorang peternak babi (Andrew Sensenig), ia berhasil mentransfusikan cacing-cacing itu ke dalam tubuh seekor babi. Keesokan harinya, Kris bangun di sebuah van tanpa mengetahui apa yang baru saja terjadi. Ia pun menjalani kehidupan kembali, meski ia harus dipecat karena bolos kerja tanpa informasi. Namun, kehidupan barunya ini baru bermulai, ketika di sebuah kereta, ia bertemu dengan seorang lelaki bernama Jeff.


Apa yang anda rasakan di menit pertama film ini mulai berjalan? Cantik, itu pasti jawaban semua orang. Layaknya The Tree of Life atau Beasts of the Southern Wild, Upstream Color menggunakan hand-held camera, yang pada beberapa titik, membuat visualnya sedikit shaky. Namun, itulah yang membuat film independen ini menjadi sebuah film yang istimewa secara visual. Kombinasi sinematografi shaky serta warna-warna cantik makin menambah dan mempertebal atmosfer film yang penuh tanda tanya. Sinematografi ciamik ini hadir pula dengan angle-angle rupawan, menangkap momen-momen penuh bahasa tubuh dengan sangat baik.

Dengan visual yang kecantikannya tak terbantahkan lagi, memang pada beberapa sudut, Upstream Color terkesan memasuki teritori seorang Terrence Malick. Namun, tentu saja Shane Carruth bukanlah Terrence Malick, dan mereka juga memiliki identitasnya masing-masing. Berbeda dengan Malick yang biasanya tak terlalu terpaku pada naskah dan lebih sering bermain-main dengan gaya penuyutradaraannya, namun dapat membuatnya menjadi tontonan powerful, maka sedari awal, Upstream Color telah memiliki pondasi naskah sekuat baja dan semenjanjikan... well, entah apa yang lebih menjanjikan dari naskah film ini sendiri. 


Berbicara lebih lanjut mengenai naskah film ini, selain hadir dengan cerita yang di luar pemikiran setiap manusia, naskah dari Shane sendiri ini juga memiliki cerita yang langka dan segar. Naratif yang ia bawa sangatlah kompleks sekaligus abstrak, namun dengan cerdasnya, Shane mampu membawakannya tanpa terlalu banyak dialog. Sebaliknya, ia lebih banyak menggunakan hal-hal imaginatif dengan sedikit dialog (atau bahkan tanpa dialog sama sekali) dalam mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam naskahnya. Ketika naskah ini memilih untuk menampilkan dialog pun, dialog-dialog ini kerap muncul dengan penuh dengan surrealisme. Dengan naskah sekompleks ini, Upstream Color butuh penyutradaraan yang detail dan tidak main-main. Lantas, apakan Shane mampu mengemas naskah eksperimentalnya ini menjadi sebuah karya yang tak terlupakan?

Jawabannya sudah pasti. Shane Carruth berhasil membawa Upstream Color menjadi karya yang lebih berharga. Dengan naskah minim dialog hasil racikannya, ia mampu mengeksekusi Upstream Color bagaikan karya seni bisu. Indah dan well-crafted, namun disajikan tanpa perlu banyak omong. Dengan gayanya sendiri, Shane Carruth memang banyak menghadirkan scene-scene yang hanya diisi oleh bahasa tubuh para cast-nya. Terlihat 'kosong', namun sebenarnya scene-scene inilah yang sebenarnya berbicara dan hal ini begitu berarti. Jelas, pada akhirnya ini kerap menimbulkan tanda tanya dan membuat Upstream Color menjadi tontonan yang sulit untuk dicerna. Namun, apakah itu menjadi suatu hal buruk? Sama sekali tidak.


Sebenarnya, kalau saja Shane mau menggunakan gaya lain dalam penyutradaraanya, bisa saja film ini menjadi lebih mudah dicerna. Beruntung, ia tak memilih jalan pintas tersebut. Malah, ia membuat Upstream Color dengan penuh tanda tanya dan simbolisasi di sana-sini. Resikonya memang besar, film ini menjadi sebuah film yang sulit dicerna penonton yang lebih menyukai film ringan. Namun, dengan hal ini pula, ia menjadikan Upstream Color sebagai tontonan yang sangat, sangat thought-provoking, bagaikan susunan puzzle setengah jadi. Ia telah menceritakan Upstream Color dengan gayanya yang berat, alias ia telah menyelesaikan setengah dari kumpulan potongan puzzle tersebut. Tugas kita, sebenarnya hanya dengan menyelesaikan sisanya, perhatikan setiap detail dan gunakan otak. Kalau ingin lebih menantang, coba saja menonton tanpa membaca sinopsis. Meskipun resikonya, kemungkinan besar saat film telah berakhir, yang hanya anda bisa lakukan hanyalah geleng-geleng kepala.

Upstream Color sendiri hadir dengan cast yang menawan. Selain Shane Carruth sendiri yang mengisi cast utama dengan baik, ada Amy Seimetz yang bagaikan bintang bersinar. Saya memang belum pernah mendengar namanya sebelum ini dan entah siapa dia, namun penampilannya begitu intens dan memikat. Dengan karakternya yang sangat kompleks, ia dapat menghipnotis siapa saja dengan begitu meyakinkan. Selagi penonton ikut mempertanyakan kondisi kejiwaannya berkat akting memukau Seimetz, ia juga mampu membangun chemistry kuat dengan Shane Carruth.


Selain visual menakjubkan seperti yang telah digubris di atas, film ini juga memiliki jajaran teknis lainnya yang tak kalah fantastisnya. Dalam urusan teknis pun, nama Shane Carruth juga ada dimana-mana. Selain sebagai sinematografer, ia jugalah yang berjasa dalam film editing serta scoring. Dari segi musik latar, Shane Carruth mampu menghasilkan musik-musik minimalis namun haunting dan penuh emosi, membangun atmosfer film dengan begitu sempurna. Soal film editing, mungkin Upstream Color merupakan salah satu film dengan editing paling efektif yang pernah saya lihat. Shane menerapkan gaya editing unik, surealis, dan tajam yang dikemas dengan hasil yang tertata rapi serta brillian, memberikan efek yang sangat besar dalam perjalanan emosi Jeff dan Kris.

Sekali lagi, Shane berhasil menjadikan Upstream Color menjadi karya yang tak terlupakan. Film ekperimental yang tak mempunyai rapor merah di setiap sisinya. Naskahnya berhasil merangkul romansa, drama, fiksi sains, dan misteri bersama dalam menciptakan sebuah kisah yang mungkin hanya ada dalam kepala seorang Shane Carruth. Bagaimana ia mengemas film ini malah menjadikan Upstream Color  berlipat-lipat kali lebih berharga. Ia mengubah naskah racikannya sendiri menjadi kumpulan potongan puzzle, yang mungkin tak akan dapat terpecahkan (kecuali kalau anda membuka Google...). Menjadi lead juga bukan perkara yang sulit untuknya, bersama dengan Amy Seimetz yang intens, mereka mampu membangun sebuah chemistry kokoh. Ditambah pula dengan scoring dan visual gemilang, rasanya Upstream Color bukan hanya sebuah eksperimen sukses saja, ini juga merupakan ajang unjuk gigi Shane Carruth (dan berhasil) lewat sebuah karya penuh keanehan yang disajikan lewat cara yang unik namun indah. Menonton Upstream Color boleh jadi merupakan pengalaman yang cukup melelahkan, namun pada saat yang sama pula, menontonnya merupakan pengalaman yang sangat berharga.