Sunday, December 16, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Beasts of the Southern Wild (2012)

"In a million years, when kids go to school, they gonna know: Once there was a Hushpuppy, and she lived with her daddy in The Bathtub." ~ Hushpuppy

Beasts of the Southern Wild, adalah sebuah film independen bergenre drama fantasi yang disutradarai oleh Benh Zeitlin serta naskahnya ditulis oleh Beh Zeitlin pula dan Lucy Alibar. Film ini diangkat dari drama Lucy Alibar sendiri, yang berjudul Juicy and Delicious. Awalnya, film yang menamilkan kemiskinan penduduk ini tampil di beberapa festival-festival bergengsi dunia, seperti Sundance dan Cannes, sebelum dirilis pada 27 Juni lalu di New York dan Los Angeles dan mendapat sambutan yang sangat baik dari kritikus dunia.

Di Cannes Film Festival yang ke 65, Beasts of the Southern Wild sempat menggempar festival film ini dengan memenangkan salah satu penghargaan bergengsi bagi sutradara pendatang baru, Camera d'Or. Begitu ula dalam Sundance Film Festival ke 28, dimana film ini memenangkan Dramatic Grand Jury Prize. Sebagian besar kritik memuji akting aktris belia dalam film ini, Quvenzhané Wallis, pendatang baru yang terpilih dari sekitar 4000 peserta audisi. Ya, kebanyakan dari cast film ini, merupakan pendatang baru, bahkan yang tak punya latar belakang akting sekalipun, seperti Dwight Henry yang memiliki sebuah toko roti.


Film ini berkisah tentang seorang anak perempuan Afro-Amerika, Hushpuppy (Quvenzhané Wallis). Ia tinggal berdua dengan ayahnya, Wink (Dwight Henry) yang keras. Mereka tinggal di Louisiana bagian selatan, di sebuah komunitas di daerah rawa (bayou) yang disebut 'Bathtub' oleh penduduk setempat. Meski tempat tinggal mereka diliputi kemiskinan, namun mereka selalu berada dalam kegembiraan dan suka cita. Suatu hari, sebuah badai menerjang komunitas mereka. Begitu banyak penduduk yang memilih untuk melarikan diri. Tapi, tidak dengan Hushpuppy dengan ayahnya. Bersama dengan beberapa penduduk lain yang lebih memilih untuk tetap tinggal, mereka berusaha untuk bertahan hidup dari badai tersebut. Di lain pihak, si kecil Huchpuppy juga harus mulai belajar tentang hidup lewat sudut pandangnya sebagai seorang gadis belia berumur 6 tahun. Selain badai, juga ada satu hal lagi yang mengancam tempat tinggal Hushpuppy. Es-es di Kutub Utara telah mencair, ini membuat makhluk purba raksasa bernama aurochs akhirnya bermigrasi ke Bathtub.

Benh Zeitlin benar-benar tahu bagaimana menggambarkan sebuah film dengan sudut seorang anak kecil. Ia mencampuradukkan segala isu sosial menjadi satu, kemudian digabungkan dengan fantasi luas seorang Hushpuppy. Coba lihat ketika Hushpuppy berbicara dengan baju peninggalan ibunya sendiri (dan ya, baju itu mengeluarkan suara), atau ketika ia bertemu dengan hewan purbakala mirip babi, aurochs. Semua itu hanyalah usaha Benh Zeitlin dan Lucy Alibar untuk menyampaikan segala isi film yang mereka kenalkan pada penonton. Cara hushpuppy yang hampir tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, dan caranya pula untuk mengatasi rasa takut. Saya akui, itu bukan hanya sebuah cara yang berbeda dari yang lainnya, tapi juga cerdas dan kreatif.


Meski dalam setiap menitnya film ini menampilkan kemiskinan dan kekumuhan, Beasts of the Southern Wild bukan tipe film yang selalu ingin meminta untuk dikasihani. Film ini bukanlah tipe film melodrama yang selalu berakhir dengan seember penuh air mata. Beasts of Southern Wild bahkan tak memanfaatkan faktor Wallis yang sebenarnya, sangat cocok untuk sebuah melodrama. Sebenarnya, memang punya beberapa momen mengharukan, namun tak pernah terjerumus dalam sebuah melodrama berlebihan. Sebaliknya, Beasts of the Southern Wild adalah film yang memaparkan sisi yang lebih kuat dan kokoh, lihat bagaimana Hushpuppy, ayahnya, dan para penduduk kampung yang tersisa melewati segala tantangan, terus berusaha agar dapat terus hidup di Bathtub, apapun yang terjadi.

Narasi yang dibawakan oleh Quvenzhané Wallis menjadi salah satu bagian terkokoh dalm film ini. Bahasa dari monolog yang disampaikan sebenarnya sederhana, namun lugas dan imaginatif. Tak hanya itu, faktor bahwa narasinya disampaikan seorang anak kecil seperti Wallis lah yang juga membuatnya istimewa. Narasi yang disampaikannya begitu lugu dan polos. Salah satu momen terbaiknya adalah saat opening, saat Hushpuppy mencoba merasakan detak jantung hewan-hewan peliharaannya, atau saat Hushpuppy membicarakan tentang para scientist dari masa depan. Sweet and cute! Ya, bagaimana Hushpuppy menjelaskan hal-hal tentang dan yang berada di sekitar kehidupannya yang ia sampaikan lewat narasi itu selalu memikat hati.


Saya rasa, nuansa kekeluargaan erat yang ada dalam Beasts of the Southern Child juga merupakan sebuah satir bagi isu perbedaan warna kulit atau rasisme. Film ini tidak menyampaikannya lewat diskriminasi ras seperti yang dilakukan The Help yang punya ensemble cast gemilang itu, tetapi ia lebih mencoba untuk menciptakan suasana kekeluargaan antara kulit putih dan kulit hitam. Dalam film ini, mereka semua berbaur menjadi satu dan saling bahu-membahu. Tak peduli ras dan warna kulit apa. Misi mereka hanya satu, untuk tetap tinggal di Bathtub, meski bencana menimpa perkampungan mereka. Sungguh suatu kekeluargaan yang manis. 

Performa para castnya merupakan salah satu yang paling menarik untuk dibahas. Quvenzhané Wallis tampil sangat gemilang. Menampilkan akting hebat lewat baris-baris dialog tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Hal yang sama, bahkan lebih sulit lagi, menampilkan akting hebat tanpa perlu berkata-kata, alias hanya melakukan pendekatan lewat ekspresi dan tatapan mata. Sebagai contoh, lihat akting mengagumkan dari Holly Hunter sebagai Ada, seorang wanita bisu di The Piano. Mau contoh lagi? Tak usah jauh-jauh, Quvenzhané Wallis juga menghadirkan kualitas itu. Satu hal yang harus digarisbawahi lagi, bahwa kedua aspek itu mampu dibawakan oleh aktris cilik ini tanpa harus mengorbakan sisi anak kecilnya. Sangat sulit dipercaya, bahwa ini merupakan debut film pertamnya. Dengan itu semua, Wallis memang punya kans yang sangat besar untuk setidaknya, mendapat nominasi Oscar tahun depan. Lupakan Golden Globe yang tak memberi film ini satupun nominasi termasuk bagi Wallis, kita masih punya Oscar yang mungkin saja lebih berbaik hati. 


Bicara tentang Beasts of the Southern Wild, jangan hanya membicarakan tentang Wallis. Film ini juga punya Dwight Henry yang tak kalah gemilangnya. Meski harus tampil di belakang pesona Wallis yang sangat cemerlang, bukan berarti pesona Dwight Henry harus memudar dan terbayangi Wallis. Karakternya sebagai seorang ayah alkoholik serta sakit-sakitan dengan kemauan dan didikan keras memang kadang sedikit membuat kita tak simpati terhadapnya, namun itulah wujud cintanya terhadap sang anak. Itulah cara dia mengungkapkan rasa sayangnya. Dalam hal ini, Dwight Henry benar-benar berhasil menghidupkan perannya itu dengan sangat baik. Apalagi, hal tersebut juga didukung oleh fakta bahwa di film inilah ia memulai debut akting di layar lebar. Agak sulit dipercaya memang. Jika keduanya disatukan pun, mereka saling berbaur dalam sebuah jalinan chemistry kuat ayah-anak yang bisa dibilang unik.

Kamera yang shaky? Wajar saja, karena film ini menggunakan handheld camera dalam merekam setia scenenya, hal yang sama yang digunakan pula dalam salah satu film Terrence Malick, The Tree of Life (meski dalam The Tree of Life, lebih artistik dan 'wah'). Namun jangan permasalahkan penggunaan kamera ini. Justru, dengan penggunaan kamera seperti ini, malah membuat Beasts of the Southern Wild lebih down-to-earth lagi dalam membawa kisah yang juga tak kalah down-to-earth-nya. Lewat sinematografinya inilah, film ini mampu tampil lebih sederhana dan manis, yang juga menjadikannya lebih bisa menangkap setiap esensi emosional, kemirisan, dan kekeluargaan dalam sebuah perkampungan kumuh yang disajikan Benh Zeitlin di Beasts of the Southern Wild ini. Membuat kita selangkah lebih dekat (atau dua langkah?) ke materi yang Benh coba tawarkan.


Bukan hanya berperan sebagai seorang sutradara dan scenario writer bersama Lucy Alibar, Benh Zeitlin juga berperan sebagai komposer musik latar dalam film ini. Bersama dengan Dan Romer, ia menciptakan sebuah rangkaian musik sederhana dan membumi, benar-benar cocok dengan kehidupan dalam Beasts of the Southern Wild. Musik latar favorit saya jatuh pada saat penduduk Bathtub berpesta pora, bersenang-senang, dan bermain kembang api. Musik hasil racikan duo Dan Romer dan Benh Zeitlin tersebut dapat menangkap segala euforia dan nuansa kekeluargaan penduduk perkampungan. 

Beasts of the Southern Wild adalah salah satu masterpiece tahun ini, sebuah fantasi kelam tentang gadis belia dengan sedikit sentuhan Pan's Labyrinth. Benh Zietlin dapat dengan sukses membuat film yang sebenarnya cukup rumit kalau dipikir-pikir, namun dapat disampaikannya lewat sudut  pandang seorang anak kecil yang lugu dan polos. Wallis? She did a very fantastic job. Ia mampu membawa sebuah penampilan akting kelas A dengan natural dan sempurna. Dwight Henry juga tak mau kalah, dengan penampilannya, ia mampu keluar dari bayang-bayang Wallis yang bisa kapan saja menenggelamkan karakternya. Sebuah surat cinta yang manis dengan gaya 'gado-gado', berhasil menyampurkan segalanya: fantasi seorang anak kecil, bencana alam, kekeluargaan, hingga pertahanan hidup; menjadikannya sebuah karya yang sangat, sangat menakjubkan, liar, penuh imajinasi, sekaligus indah, meski harus tampil dibalik kehidupan yang penuh kumuh. Merupakan sebuah 'dosa' besar jika anda melewatkannya. 

0 comments:

Post a Comment