Thursday, December 20, 2012

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Amour (2012)

"Things will go on as they have done up until now. They'll go from bad to worse. Things will go on, and then one day it will all be over." ~ Georges

Entah bagaimana cara pengucapan nama belakang sang sutradara, yang pasti Michael Haneke adalah seorang sineas hebat dunia. Embel-embelnya sebagai pemenang Palme d'Or sebanyak dua kali rasanya sudah berbicara banyak. Salah satunya, masih lekat di ingatan, film hitam-putihnya yang berjudul The White Ribbon, yang bahkan sempat juga dinominasikan untuk Best Foreign Languange Film dan Best Cinematography dalam Academy Awards 2010. Dan yang terakhir, baru-baru ini saja, saat ia kembali lagi dengan sebuah Oscar-buzz perwakilan Austria yang digadang-gadangkan akan memenangkan Best Foreign Languange tahun depan, Amour. Ia bukan hanya seorang sutradara dalam Amour, ia juga berperan sebagai penulis skenario. 

Tentu, Palme d'Or dalam Cannes Film Festival bukanlah penghargaan main-main. Ini sudah seperti Best Picture dalam Oscar, hanya saja ini ala festival film dunia, dan memenangkan dua kali Palme d'Or juga bukanlah prestasi yang main-main. Ini sudah membuatnya seperti Francis Ford Coppola versi Eropa, meski filmnya tidak ada yang tentang mafia. Malahan Amour atau yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai 'love' atau 'cinta', karya teranyarnya, adalah sebuah drama romansa yang super lembut, dan dibuat dengan sepenuh hati. Emmanuelle Riva, yang pernah meraih nominasi BAFTA tahun 1959, hadir sebagai pemeran utama bersama Jean-Louis Trintignant, yang kian menambah kekuatan hati dalam Amour. 


Amour dibuka oleh sekelompok pemadam kebakaran yang menerobos sebuah apartemen di Paris. Di sana, mereka telah menemukan mayat seorang nenek, Anne (Emmanuelle Riva), yang telah terbujur kaku di atas sebuah tempat tidur yang telah ditaburi bunga-bungaan. Kemudian, kisah mundur ke masa hidup Anne, bukan masa muda, tapi ketika ia telah memasuki usia uzur. Ia memiliki seorang suami bernama Georges (Jean-Louis Trintignant). Mereka berdua sama-sama pensiunan guru musik.

Masalah muncul ketika Anne secara tiba-tiba tidak merespon apapun ketika mereka sedang sarapan. Anne hanya terdiam di tempat duduknya. Georges tentu saja langsung pergi sebentar untuk mencari bantuan, tetapi, tiba-tiba air keran yang sebelumnya ia biarkan mengalir suaranya beranjak hilang. Saat itu pula ia kembali, dan melihat Anne masih dalam keadaan baik-baik saja, dan bahkan tak mengingat kejadian aneh tadi. Tapi, itu bukanlah sebuah akhir, ini hanyalah awal yang menguji kesetiaan cinta mereka.


Salah satu highlight terpenting dalam Amour adalah kisahnya. Kisahnya sederhana, namun sangat menggugah hati. Apa yang lebih patut diapresiasi adalah upaya Michael Haneke untuk tidak menciptakan sebuah melodrama yang cengeng, tapi tetap saja menggugah hati, meski tak ada air mata di sini. Gaya penceritaan Haneke memang bukan untuk semua orang. Bagi sebagian orang, memang terlihat membosankan, tapi itulah letak kehebatan seorang Haneke, itulah yang ia gunakan sebagai kekuatan dramnya yang penuh ketenangan.

Dialog yang Michael Haneke gunakan juga tidaklah cheesy, atau bahkan dialog yang super puitis. Malahan, ia hanya menggunakan dialog sehari-hari, yang malah membuat Amour menjadi drama yang realistis, tanpa kesan dibuat-buat. Kalimat cinta? Ada, tapi hanya 'darling'. Selebihnya? Hanya percakapan sehari-hari dari mereka. Tapi, apa yang membuat manis dialog dalam Amour adalah kehangatannya yang sangat terasa. Bagaimana mereka menceritakan masa lalunya masing-masing, itu semua memberikan kehangatan tersendiri bagi saya.


Kekuatan utama Amour sebenarnya juga terletak pada jalinan cinta yang terpapar sangat kuat antara Emmanuelle Riva dengan Jean-Louis Trintignant yang diiringi pula dengan kualitas akting menakjubkan dari keduanya. Mereka dapat membentuk sebuah hubungan kokoh, bahkan hal itu kebanyakan tidak disampaikan secara verbal dan terang-terangan. Seperti yang saya bilang tadi, sangat sedikit kata cinta yang diucapkan. Maka dari itu, jalinan kuat antara Riva dan Jean-Louis sangatlah diperlukan. Jangan remehkan mereka, meski sudah sangat berumur, karena apa yang mereka tampilkan sangatlah luar biasa.

Emmanuelle Riva contohnya, ia benar-benar menghanyutkan! Perannya sebagai seorang istri tua yang sakit-sakitan mampu diselami dengan sangat baik olehnya. Transisi yang ia sampaikan dari keadaan sehat hingga jatuh sakit, dari yang tak terlalu parah sampai sangat parah sangat menakjubkan. Lihat bagaimana ia bicara dengan gagap-gagapnya. Kosong, tapi itulah yang harusnya dimiliki Riva, tatapan kosong, namun sangat dalam. Tanpa sepatah dialog pun, kita telah tau apa yang ia rasakan, apa yang ia derita, hanya dengan melihat ekspresi dan tatapan kosong serta hopeless-nya itu. She gives a very mind-blowing performance in Amour. Best Actress untuk Oscar tahun depan? Tak terlalu besar peluangnya, karena Amour adalah film berbahasa asing dan bukan produksi AS, tapi apakah Oscar dapat menyia-nyiakan talenta hebat seperti ini? Terlepas dari itu, Riva memang benar-benar juara!


Jean-Louis Trintignant juga tak usah diragukan lagi, meski memang ia tak dapat mengeksplorasi kemampuannya dengan lebih, seperti apa yang dilakukan Riva. Ya, tapi itu juga karena faktor peran Riva lebih challenging dibandingkan Jean-Louis (Don't get me wrong, bukan berarti peran Jean-Louis juga tak menantang. Siapa bilang memerankan seorang suami dengan seorang istri yang sakit keras merupakan hal mudah?). Yang jelas, Jean-Louis telah melakukan pekerjaan hebat. Ia dapat mengimbagi Riva yang berakting maksimal, dengan akting yang juga tak kalah maksimal, membuatnya bahkan tak pernah tenggelam oleh peran Riva.

Sebenarnya, salah satu yang turut membangun atmosfer dingin dalam Amour adalah sinematografi yang mendukung. Coba lihat arahan kamera dari Darius Khondji ini. Arahan sinematografinya ini menimbulkan nuansa yang sangat tenang, sepi, dan sunyi yang benar-benar mendalam, serta kerap tidak menggunakan close-up wajah saat adanya sebuah percakapan, juga tak bergerak secara dinamis. Ada pula scene-scene 'kosong' yang ditampilkan, seakan tak mempunyai arti, tapi sebenarnya mempunyai makna dalam. Hal ini membuat Amour dapat membangun atmosfernya dengan mantap, meskiun dengan konsekuensi, beberapa orang yang tak terbiasa akan merasa jenuh.


Amour itu menakjubkan. Sederhana, namun sangat menakjubkan. Ia memiliki filosofi tersendiri mengenai arti cinta sejati yang sangat menghipnotis. Ia tak butuh alur rumit untuk dapat mengatakan kata cintanya sendiri, karena Amour bukan Eternal Sunshine of the Spotless Mine. Tak butuh seember airmata untuk mengatakan kata cinta, karena Amour juga bukan The Notebook. Tak butuh sebuah kisah kapal karam dengan budget membludak, karena Amour juga bukan Titanic. Lupakan vampir dan manusia, karena Amour juga bukan Twilight, kecuali kalah hasilnya seperti Let the Right One In.

Lalu, bagaimana caranya menjadikan Amour sebuah drama yang tak memiliki plot rumit, drama berember-ember air mata, dan sepasang vampir dan manusia, tapi tetap menghipnotis? Cukup beri sebuah skenario dengan cerita simpel serta Michael Haneke, kemudian sisanya adalah kekuatan akting fantastis dan chemistry manis dari duo aktor Emmanuelle Riva dan Jean-Louis Trintignant untuk dapat mengatakan kata cinta, bahkan tanpa perlu menyebutkannya sekalipun. Ini adalah kisah cinta yang unik, sederhana, manis, menusuk hati, tragis, powerful, juga depressing

0 comments:

Post a Comment