Saturday, April 28, 2012

Tagged under: , , , , , , ,

[Part 2] 15 Best Puzzling Plot Movies


Masih merupakan lanjutan dari bagian pertama 15 film puzzling plot atau mindf*** terbaik. Enjoy!






L'Age d'Or merupakan film nyeleneh lagi karya Luis Bunuel. Di film ini, ia masih berkolaborasi dengan Salvador Dali setelah sebelumnya bersama dalam film Un Chien Andalou. Hasilnya? Film komedi yang digabungkan dengan unsur surrealis satu ini berhasil menyajikan tontonan yang menghibur (jarang loh ada film surreal yang menghibur), tapi tetap tak ketinggalan rasa 'Bunuel dan Dali'-nya yang abnormal dan ajaib. Kolaborasi yang emang gak ada matinya! 



Donnie Darko merupakan salah satu film absurd favorit saya. Film yang disutradarai Richard Kelly ini merupakan film yang menyoroti tentang kisah aneh tentang 'akhir dunia' yang terbungkus dalam kisah seorang remaja bermasalah. Donnie Darko merupakan perpaduan antara tema berat dengan tema ringan seperti percintaan remaja. Menarik, aneh, gila, membingungkan, mengharukan, dan mengerikan. Well don(ni)e!



El Topo merupakan film yang disutradarai, ditulis, bahkan juga dibintangi oleh Alejandro Jodorowsky.  Ceritanya kental akan unsur spiritual namun juga kental akan kesadisan dan sensualitas (yang sudah menjadi trademark Jodorowsky). El Topo bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda. El Topo menyajikan tontonan yang religius, penuh kasih sayang, penuh moralitas, sekaligus juga menyajikan tontonan nonmoralitas, mistik, sadis, berdarah, penuh dendam, sensusal, serta tragis dalam satu waktu. Film ini sakit!



Ya, ini memang sebuah trilogi dari Jean Cocteau yang terdiri dari The Blood of a Poet (1932), Orpheus (1950), dan The Testament of Orpheus (1960). Sebenarnya saya ingin menempatkan ketiga film ini dalam list. Namun, hanya saja kalau saya menempatkan ketiga film ini, pastilah akhirnya menjadi lebih dari 15 film. Saya pun tak bisa membuang salah satu film yang lainnya. So, akhirnya jadilah ide memasukkannya dalam bentuk trilogi (hahaha). Menonton tiga karya Jean Cocteau ini tak ubahnya sedang menghadiri sebuah pertunjukan puisi. Trilogi ini merupakan puisinya. Sedangkan Jean Cocteau sendiri merupakan penyairnya. Cantik, indah, dan puitis.



The Exterminating Angel merupakan film karya Luis Bunuel ini memang agak berbeda dari filmnya yang lain. Dengan mengambil tema film 'survival', The Exterminating Angel memang lebih memiliki plot yang lebih jelas dari film-film Bunuel lainnya, namun tentu saja plot itu masih saja surreal. Selain itu, film ini juga sedikit mengingatkan kita dengan L'Age d'Or yang menggabungkan unsur absurd dengan sentuhan komedi. Bercerita tentang para tamu sebuah perjamuan makan malam kelas atas yang entah mengapa mereka terperangkap di dalam ruang musik tanpa alasan yang jelas. Meski bertema 'survival', jangan samakan film ini dengan sejenis film Saw. Secara kasat mata mereka bahkan sama sekali tak terperangkap, bahkan kita bisa melihat bahwa pintu ruangan tersebut terbuka dengan lebarnya. Dengan ditutup ending yang gokil, The Exterminating Angel ternyata berhasil memerangkapkan hati saya (loh?). 
Tagged under: , , , , , ,

[Part 1] 15 Best Puzzling Plot Movies


Puzzling plot, atau bahasa kasarnya film mindf*** merupakan salah satu jenis film yang biasanya mempunyai alur film membingungkan dan sangat sulit untuk diikuti. Yah, bisa (bahkan sangat bisa) dikategorikan sebagai film berat lah. Biasanya, film-film ini termasuk ke dalam film-film surreal, meski tak menutup kemungkinan film ini merupakan film-film dengan plot non-linear ataupun film dengan plot yang memang memusingkan, namun belum sememusingkan film surreal (nah loh? belum apa-apa aja udah bingung duluan) yang biasanya bergenre sci-fi ataupun fantasi. Umumnya (atau mungkin seluruhnya), ide cerita film ini merupakan ide-ide cerita yang out of the box dan nonsense.

Sebelumnya, inilah random list dari beberapa film yang juga memiliki plot cukup memusingkan, namun sayangnya tak dapat masuk ke 15 film terbaik. So, here we go!
  • Inception (2010) Dir: Christopher Nolan 
  • The City of Lost Children (1995) Dir: Marc Caro & Jean-Pierre Jeunet
  • Open your Eyes/Abre los Ojos (1997) Dir: Alejandro Amenabar
  • Eternal Sunshine of the Spotless Mine (2004) Dir: Michel Gondry
  • Being John Malkovich (1999) Dir: Spike Jonze
  • Synecdoche, New York (2008) Dir: Charlie Kaufman
  • Magnolia (1999) Dir: Paul Thomas Anderson
  • The Matrix (1999) Dir: Andy & Lana Wachowski
  • Opera Jawa (2006) Dir: Garin Nugroho
  • Triangle (2009) Dir: Christopher Smith
Sekarang, mari kita beralih ke top 15, in no particular order too!


The Grandmother merupakan salah satu film pendek karya David Lynch. Ceritanya bisa dibilang benar-benar nyeleneh dan aneh. Bercerita tentang seorang anak yang menanam sebuah bibit aneh diatas kasurnya (ya, dia menanam tanaman di atas kasur, tanpa pot sama sekali). Perlahan, sesuatu yang sangat aneh pun muncul secara tiba-tiba. Absurd!



Dibintangi dua bintang besar Hollywood, Hugh Jackman dan Rachel Weisz serta disutradarai seorang Darren Aronofsky tentu saja menjadikan The Fountain ini begitu istimewa. Merupakan perpaduan absurd dari film drama, fantasi, dan sci-fi yang keren!



The Shining merupakan film horor yang disutradarai oleh Stanley Kubrick. Film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Stephen King. Film horor aneh ini bercerita tentang Jack Torrance (Jack Nicholson) yang baru saja mendapat pekerjaan baru sebagai penjaga hotel yang memaksanaya untuk pindah ke hotel tersebut bersama keluarganya selama 5 bulan. Entah dari mana datangnya, perlahan Jack mulai memperlihatkan perilaku yang aneh, bahkan hinggat terkesan psycho. Bukan hanya penyebab perilakunya tersebut yang membuat bingung, tapi endingnya pun sukses membuat otak saya ini benar-benar bekerja keras. Salah satu ending favorit saya!



Inland Empire merupakan film karya David Lynch yang dibintangi Laura Derm dan Justin Theroux. Ceritanya? Hm, sebenarnya saya bingung kalau mau menceritakan plot film ini dengan tulisan. Film ini mengambil sedikit adegan dari 'sitkom' yang juga karya David Lynch berjudul Rabbits. Jangan tertipu dengan kata 'sitkom', karena 'sitkom' yang satu ini bahkan tak akan pernah membuat anda tertawa, yang ada hanya membuat anda kebingungan. Inland Empire memang merupakan film yang sangat low-budget. Lihat saja sinematografi-nya yang terkesan amatiran. Terlepas dari itu, Inland Empire tetaplah salah satu karya terbaik David Lynch.



Davin Lynch rules! Belum apa-apa saja ia telah mengisi 3 tempat dalam list ini. Dan salah satunya adalah Lost Highway. Lost Highway yang dibintangi Bill Pullman dan Partricia Arquette ini terkesan plotnya agak mirip dengan salah satu film Indonesia (oke, saya gak sebut merk). Berawal dari sepasang suami istri Fred (Bill Pullman) dan Renee (Patricia Arquette) yang kerap mendapat kiriman tape yang berisi rekaman rumah mereka yang sedang diintai. Ya, tentu misterinya tak sampai disitu saja. David Lynch pastinya telah menyiapkan misteri dan kejutan yang lebih absurd dan make no sense pastinya!
Tagged under: , , , , ,

[Review] Pan's Labyrinth/El Laberinto del Fauno (2006)

"You're getting older, and you'll see that life isn't like your fairy tales. The world is a cruel place. And you'll learn that, even if it hurts." ~ Carmen

Merupakan suatu hal yang sangat jarang bagi film berbahasa asing untuk dikategorikan 6 Oscar sekaligus. Tapi itulah yang terjadi pada Pan's Labyrinth. Film asal Meksiko yang disutradarai Guillermo del Toro ini berhasil dinominasikan untuk 6 Oscar, yaitu Best Foreign Languange Film, Best Original Score, Best Cinematography, Best Makeup, Best Art Direction, hingga Best Original Screenplay yang kita kenal sangat jarang ada film asing yang dinominasikan di nominasi yang satu ini. Film ini sendiri berhasil memenangkan 3 diantaranya, yang kesemuanya merupakan bidang teknikal, yaitu Best Makeup, Art Direction, dan Cinematography. Meski dikalahkan The Lives of Others dari Jerman di film bahasa asing terbaik, tetap saja 3 Oscar itu merupakan sebuah prestasi yang langka.


Adalah Ofelia (Ivana Baquero), gadis belia yang pikirannya telah 'terkontaminasi' dengan dongeng-dongeng anak. Ia adalah seorang anak yatim yang ditinggal mati oleh ayahnya karena perang. Berlatar jatuhnya fasis di Spanyol pada tahun 1944, saat itu Ofelia dan ibu Ofelia yang sedang hamil, Carmen (Ariadna Gil) terpaksa harus tinggal di pemukiman tentara, tempat Kapten Vidal (Sergi Lopez), suami baru Carmen tinggal. Vidal sendiri dikenal sebagai sosok yang kejam, keji, bahkan terkadang tak berperikemanusiaan.


Suatu hari, saat sedang perjalanan menuju pemukiman tentara tersebut, ia menemukan seekor serangga. Ternyata, serangga itu merupakaan jelmaan dari peri. Ia menuntun Ofelia ke sebuah labirin. Di dalam labirin tersebut, ia bertemu Faun, makhluk tinggi besar bertanduk berwarna biru. Ia mengatakan bahwa Ofelia merupakan Putri Moanna, dan bukan bagian dari bangsa manusia. Faun tersebut menugaskan Ofelia untuk menjalankan 3 misi yang harus diselesaikan seblum bulan purnama terjadi.


Awalnya, mungkin kita akan mengira bahwa film ini akan menjadi tipikal film-film magikal ala anak-anak seperti Spiderwick Chronicles, Narnia, Alice in Wonderland, atau bahkan Harry Potter. Dari posternya saja sudah sangat terlihat film ini pastiah tipe-tipe film anak-anak dengan bumbu-bumbu fantasi dunia khayal. Tapi ternyata saya salah besar. Plot film ini jauh lebih complicated dari itu semua. Bahkan bisa dibilang film ini juga bukanlah tipikal film keluarga sama sekali, mengingat beberapa scene yang mengekspos banyak kekerasan dan darah di sini. 

Ada lagi yang saya suka dari film ini, yaitu endingnya. Endingnya yang (spoiler?) unpredictable dan tragis itu seolah mematahkan tradisi film fantasi anak yang seakan wajib diakhiri dengan ending 'happily ever after'.


Dalam membuat film fantasi, tentu saja urusan costume-design, cinematography, makeup, effect, dan art direction menjadi sorotan. Dan pastinya Pan's Labyrinth mampu memuaskan segala unsur diatas. Makeupnya begitu mumpuni, lihat saja bagaimana tampang Doug Jones ketika telah berubah menjadi Faun ataupun si Pale Man. Lihat pula visual indah dengan cinematography arahan Guillermo Navarro yang berhasil mengantarkan Pan's Labyrinth memenangkan Oscar untuk Best Cinematography.

Untuk urusan tata musik, Pan's Labyrinth juga menjadi juaranya. Tata musik dari Javier Navarrete ini sukses menjadi penggeak mood penontonnya. Menjadi penuntun dalam film menuju klimaksnya seiring dengan bertambahnya degup jantung yang beriringan dengan scoringnya tersebut.


Beralih ke departemen akting. Untuk urusan ini, semua pemerannya mampu memberikan akting yang meyakinkan. Ivana Baquero yang menjadi pemegang karakter terpenting, yaitu Ofelia yang sangat terobsesi dengan dongeng, tentu saja menyajikan akting yang sangat memuaskan. Begitu pula Maribel Verdu yang berperan sebagai Mercedes yang lembut namun memiliki sesuatu dibaling kelembutannya. Tak ketinggalan pula Sergi Lopez sebagai Vidal yang kejam dan keji itu. Jangan lupakan ada Ariadna Gill yang memainkan peran sebagai ibu Ofelia yang penyayang, Carmen.

Guillermo del Toro berhasil menggabungkan fantasi anak dengan unsur-unsur dark. Ya, menonton film ini bagaikan menonton Alice in Wonderland tapi dalam versi yang lebih gelap, lebih berdarah, dan tentunya penuh dengan kekerasan (untuk ukuran film tipe seperti ini pastinya).

8.5/10

Sunday, April 22, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Adaptation (2002)

 "Sometimes bad things happen and darkness descends" ~ John Laroche

Rasanya tak ayal lagi, nama Charlie Kaufman dikenal sebagai salah satu penulis naskah terbaik (sekaligus terkreatif) saat ini. Film-film yang naskahnya ia tulis, sebut saja seperti Eternal Sunshine of the Spotless Mine, Adaptation, Being John Malkovich, hingga Synochdoche, New York (ini bukan judul dari dua film, tapi hanya dari satu film yang memang berjudul Synochdoche, New York. Judul yang aneh haha). Dari kesemuanya yang telah saya sebutkan tadi, memang keempat-empatnya memiliki naskah film yang sangat kreatif. Dan Adaptation merupakan salah satu karya naskahnya yang terbaik (tapi tetep paling suka sama naskah Eternal Sunshine of the Spotless Mine). 


Film dibuka dengan scene proses shooting dalam film Being John Malkovich, sekaligus pengenalan karakter utamanya, Charlie Kaufman (Nicolas Cage). Di tengah shooting tersebut, Kaufman ditawari untuk mengadaptasi sebuah novel karya Susan Orlean (Meryl Streep), The Orchid Thief. Tapi, novel ini berbeda dari biasanya. Hampir tak adanya cerita yang menarik dan konflik menjadi penghalang terbesarnya. Untuk itu, ia meminta bantuan saudaranya, Donald Kaufman (Nicolas Cage) yang saat itu juga sedang menulis naskah sebuah film berjudul 'The 3'. Alurnya sendiri dibagi menjadi dua, yaitu saat Susan menulis bukunya serta saat Charlie menulis naskahnya.

Adalah sebuah kejeniusan memasukkan karakter dirinya sendiri (Charlie Kaufman) serta karakter kembaran fiksi Charlie, Donald ke dalam film ini. Terkesan agak narsistik memang. Tapi disitulah letak keistimewaannya. Tak hanya itu saja, Kaufman juga memasukkan unsur-unsur fiksi lain yang cukup mengejutkan (endingnya!) disamping unsur-unsur non fiksi (karakter Kaufman dan dari novelnya itu sendiri).


Cara Kaufman mengadaptasi sebuah novel kedalam film ini memang sangat unik. Kaufman berhasil mengadaptasi sebuah novel yang miskin cerita dan konflik yang kemudian akhirnya menjadi sebuah film dengan cerita unik serta konflik dan ending yang menegangkan sekaligus mengejutkan. Dan (sepertinya ini termasuk spoiler, meski sedikit banget), sebenarnya saja, ada beberapa dialog yang menyinggung akan dibawa kemana alur cerita ini (spoiler berakhir, haha). Cerita ini memang sangat berbeda dengan versi novelnya, tapi ternyata itu tak masalah bagi Oscar untuk menghadiahinya sebuah nominasi Best Adapted Screenplay (meski kesannya agak aneh ya?).

Oke, kita beralih ke departemen akting. Selama ini, saya menganggap Nicolas Cage hanyalah seorang aktor biasa, nothing special about him (ya, mungkin karena saya juga belum pernah nonton film yang pernah memenangkannya piala Oscar, Leaving Las Vegas, kali kali ya?). Tapi, tentu saja itu saat sebelum menonton Adaptation ini. Adaptation berhasil merubah persepsi saya terhadap Nicolas Cage selama ini. Bukan saya saja, Oscar pun mengapresiasi aktingnya dalam Adaptation ini. Terbukti, ia berhasil meraih nominasi Oscar lewat  perannya ini. Cage berhasil menghidupkan dua karakter sekaligus dengan dua sifat yang saling bertolakbelakang pula, yaitu Charlie yang pemurung serta Donald yang selalu ceria.


Ensembel akting Adaptation memang luar biasa. Meryl Streep tak usah dipertanyakan lagi. Berkat perannya sebagai Susan Orlean ini, ia akhirnya dinominasikan Oscar untuk yang ke tiga belas kalinya (lagi dan lagi) untuk kategori Best Supporting Actress. Prestasi yang lebh gemilang lagi dimiliki oleh Chris Cooper sebagai John Laroche yang berhasil memenangkan Oscar untuk Best Supporting Actor. Ada pula aktris kawakan Tilda Swinton yang berperan sebagai Valerie Thomas yang sayangnya tak dapat mengeksplorasi aktingnya  karena memang ia hanya kebagian porsi yang sedikit. 


Adaptation merupakan film adaptasi novel yang lain daripada yang lain. Ceritanya benar-benar berbeda dengan novel aslinya yang minim cerita dan konflik, namun tetap saja memukau. Kaufman berhasil membuktikan bahwa mengadaptasi novel yang bisa dibilang tak memiliki cerita dan konflik yang kuat bukanlah halangan baginya. Ditambah lagi dengan ensembel aktingnya yang luar biasa. Meryl Streep, Chris Cooper, bahkan hingga Nicolas Cage pun berhasil menghasilkan kualitas akting luar biasa. Tentu saja saya tak akan ketinggalan menyebutkan nama Spike Jonze yang berhasil mengarahkan naskah Kaufman menjadi sebuah film yang luar biasa. Ternyata diluar posternya yang aneh itu, Adaptation berhasil menjadi sebuah tontonan berkualitas sekaligus menghibur, terlebih dengan kehadiran komedinya itu.

8.5/10

Friday, April 6, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Shutter Island (2010)

"There's no moral order as pure as this storm. There's no moral order at all. There's just this: can my violence conquer yours?" ~ Warden McPherson

Berbicara tentang seorang Martin Scorsese memang tak akan ada habisnya. Siapa pun (para movigoer pastinya) pasti tahu sosoknya. Yah, setidaknya kalau pun tak tahu orangnya, pastilah tahu film-filmnya. Sebut saja Casino, Taxi Driver, The Departed, Goodfellas, The Aviator, Gangs of New York, Shutter Island, hingga proyek teranyarnya, Hugo, dan masih banyak lagi. Beralih ke Shutter Island. Dalam film ini, Martin Scorsese kembali mendaulat Leonardo DiCaprio sebagai pemeran utama, setelah sebelumnya bekerja sama dalam film The Aviator dan Gangs of New York. Shutter Island sendiri merupakan adaptasi dari novel karya Dennis Lehane berjudul sama.


Adalah Teddy Daniels (Leonardo DiCaprio), seorang U.S. Marshal bermasa lalu kelam yang menjadi tokoh sentral dalam film ini. Bersama partnernya, Chuck Aule (Mark Ruffalo), dua orang U.S. Marshal ini  ditugaskan untuk menyelidiki hilangnya seorang pasien bernama Rachel Solando (Emily Mortimer) di Ashecliffe, sebuah rumah sakit jiwa khusus para kriminal yang terletak di sebuah pulau terpencil, bernama Pulau Shutter. Hilangnya Rachel ini memang sangat misterius. Ia hilang tanpa satu pun jejak yang tertinggal kecuali sebuah catatan kecil bertuliskan "THE LAW OF 4. WHO IS 67?".  


Tak ada yang aneh tentang pulau tesebut, kedatangan mereka saja disambut dengan baik oleh seorang deputi ramah bernama McPherson (John Carrol Lynch). Sampai akhirnya mereka bertemu dengan Dr. Crawley (Ben Kingsley), kepala rumah sakit jiwa tersebut yang makin hari makin menunjukkan gerak-gerik mencurigakan. Dr. Crawley seakan menyimpan sebuah rahasia terpendam. Rahasia yang malah membawa Teddy terperangkap ke sebuah dunia kelam dimana tak akan ada jalan keluar.

Dengan latar tahun 1954, Teddy dan Chuck berusaha mengungkap rahasia tersebut, membuka kotak pandora yang selama ini disembunyikan. Bersamaan dengan itu, Teddy juga berusaha untuk melawan segala halusinasi dan mimpi buruknya tentang mendiang istrinya, Dolores (Michelle Williams) yang selama ini menguasai pikiran Teddy. 


Shutter Island memang merupakan tipe film yang 'cerdas' alias film yang selalu mengajak penontonnya untuk berpikir dan berpikir lagi, atau bahasa kasarnya 'memutar otak'. Kolaborasi antara naskah dari Laeta Kalogridis dan arahan dari Martin Scorsese lah yang paling berperan disini. Apalagi ditambah editing mumpuni dari Thelma Scoonmaker.

Lewat Shutter Island, Martin Scorsese mencoba membawa kita ke atmosfer yang begitu kelam, sekelam perjalanan Teddy ke sebuah pulau yang penuh dengan misteri yang tak terungkap itu. Apalagi didukung oleh tata suara maha megah yang siap untuk membuat jantung anda berdetak lebih kencang. Jangan lupakan juga sinematografinya yang membawa kesan mencekam itu. Ya, tampaknya memang Martin Scorsese tak pernah gagal dalam urusan ini.


Tak adil rasanya jika kita tak menyinggung penampilan para aktor dan aktrisnya. Yah, dan seperti biasa, memang Martin Scorsese juga tak pernah gagal dalam urusan ini. Dengan menggandeng nama-nama besar Hollywood seperti Leonardo DiCaprio, Mark Ruffalo, Ben Kingsley, dan Michelle Williams, Shutter Island berhasil menyuguhkan pertunjukan kemampuan akting yang luar biasa. Tak hanya mereka saja, seluruh pemerannya patut untuk diacungi jempol, termasuk karakter George Noyce yang berhasil diperankan dengan sangat baik oleh Jackie Earle Haley meski hanya mendapat porsi yang sedikit.

Shutter Island juga ditutup oleh ending yang cukup mengejutkan (meski sebenarnya agak pasaran dan sebelum menontonnya, saya sudah tahu bagaimana endingnya, haha). Tapi, terlepas dari endingnya yang agak pasaran atu mungkin agak predictable, ternyata saya masih bisa menikmatinya, bahkan bisa dibilang sangat menikmati plot yang dibangun Scorsese ini. Tapi, bagaimana pun, masih kalah mengejutkannya dengan fakta bahwa film ini tak masuk satu pun nominasi Oscar. 


Sekali lagi, Martin Scorsese mampu menunjukkan totalitasnya sebagai seorang sutradara. Semua elemen yang ada dalam Shutter Island memang tampil nyaris sempurna tanpa lubang sedikit pun, mulai dari cerita, penyutradaraan, naskah, akting, hingga ke bagian teknis seperti sinematografi dari Robbie Robertson, tata musik dari Robert Richardson, serta editingnya dari Thelma Scoonmaker. Semuanya mampu tempil dengan memukau. Satu lagi karya jenius dari Martin Scorsese.

8.5/10


Thursday, April 5, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Pulp Fiction (1994)

"Whether or not what we experienced was an According to Hoyle miracle is insignificant. What is significant is that I felt the touch of God. God got involved" ~ Jules

Nama Quentin Tarantino mulai dikenal sejak ia merilis 'Reservoir Dogs' di tahun 1992. Film yang sempat memenangkan International Critics' Award di Toronto International Film Festival 1992 ini sempat menuai banyak pujian dari kritikus-kritikus dunia. Tahun 1994, ia muncul kembali lewat Pulp Fiction, proyek filmnya yang lebih dahsyat dari filmnya terdahulu. Oscar pun sempat meliriknya. Di tahun 1995, Pulp Fiction membawa pulang satu Oscar untuk  Best Original Screenplay serta sempat dinominasikan untuk 6 nominasi lainnya, termasuk Best Director dan Best Picture. Tak hanya itu, penghargaan tertinggi di Cannes Film Festival, Palme d'Or juga sempat diraih Pulp Fiction.


Agak susah sebenarnya menceritakan plot Pulp Fiction ini karena memang alurnya sendiri yang diacak menjadi  potongan-potongan rapi. Yang jelas, film ini menceritakan kisah tentang dua pembunuh bayaran, Vincent Vega (John Travolta) dan Jules Winnfield (Samuel L. Jackson) serta kisah seorang bos mafia Marsellus Wallace (Ving Rhames) dan istrinya, Mia Wallace (Uma Thurman). Tak ketinggalan pula kisah seorang petinju, Butch (Bruce Willis) juga sepasang kekasih sekaligus perampok, Pumpkin (Tim Roth) dan Honey Bunny (Amanda Plummer). 

Pulp Fiction ini memang bukanlah tipikal film crime biasa. Semuanya serba diputarbalikkan di film ini. Tarantino agaknya mencoba untuk mematahkan segala formula klisa film-film Hollywood, dan itu berhasil dengan sangat baik. Itu pulalah yang menjadi salah satu faktor yang membuat film ini menjadi sangat istimewa. 


Lihat saja saat Vincent mengantar Mia Wallace, istri Marsellus untuk makan malam.  Sepulangnya mereka ke rumah, mereka hanya berdua di rumah, tak ada orang lain. Namun, layaknya sebuah film dengan ending yang twist, Tarantino berhasil menghancurkan pikiran kebanyakan penontonnya (tahu dong maksud saya?) saat ternyata Mia overdosis heroin diakhirnya. Ada pula pasangan kekasih, Pumpkin dan Honey Bunny yang notabene merupakan seorang perampok. Tak seperti kebanyakan perampok lainnya yang mungkin lebih memilih untuk merampok bank atau pun toko perhiasan, mereka malah lebih memilih untuk merampok sebuah coffeeshop.

Belum lagi pasangan hit-man, Vincent dan Jules yang mematahkan image pembunuh bayaran yang kita kenal  lewat film-film lain hanya dalam waktu 150 menit. Ya, mereka memang sadis, namun juga ceroboh. Lihat bagaimana cerobohnya mereka saat Vincent tak sengaja menembak kepala seseorang di dalam mobil dan akibatnya, tentu saja seluruh isi dalam mobil tersebut berlumuran darah.


Jangan lupakan pula naskah filmnya yang agak nyeleneh ini. Ya, naskah yang disusun oleh Quentin Tarantino sendiri serta Roger Avary ini memang dipenuhi dengan celetukan-celetukan yang dihiasi kata-kata kotor. Ingat saja scene 'jam tangan' yang awalnya memang terlihat serius yang seketika dihancurkan hanya karena satu kata itu.

Porsi komedi yang menggelitik juga muncul karena dialognya yang aneh dan nyeleneh tadi. Unsur komedi dalam film ini memang lebih mengalir dan tidak terlihat dipaksakan, yang mungkin jika di film lain malah menjadi garing di akhirnya. Tak lupa pula, Tarantino juga menyelipkan unsur satir ke dalam ceritanya ini.


Tak lengkap rasanya jika kita membahas soal Pulp Fiction jika tidak membahas soal akting para pemainnya. Seluruh cast-nya mampu tampil dengan sangat baik. John Travolta dan Samuel L. Jackson sukses memerankan pembunuh bayaran sadis namun ceroboh. Akting Uma Thurman sebagai Mia Wallace pun juga patut untuk diapresiasi. Tak heran jika Oscar saja mengganjarnya dengan 3 nominasi sekaligus di bidang akting, yaitu Best Actor (John Travolta), Best Supporting Actor (Samuel L. Jackson), dan Best Supporting Actress (Uma Thurman).

Seperti yang sudah saya bilang tadi, tak mudah menceritakan plot Pulp Fiction secara gamblang. Ini semua karena film editingnya yang begitu mumpuni. Hampir sama seperti Memento yang mengacak scene-scenenya kemudian merapikan dan menempatkannya lagi di tempat yang tidak semestinya (meski harus diakui soal film editing, Memento lebih unggul). 


Tak butuh waktu lama untuk mengakui kemampuan Quentin Tarantino. Hanya dalam waktu 150 menit saja, rasanya sudah cukup untuk membuktikan bahwa Tarantino merupakan sutradara yang jenius. Pulp Fiction berhasil menggebrak formula klise Hollywood, yang mungkin hampir selalu ada dalam film Hollywood lain. Dengan didukung akting memukau para pemainnya, dialog-dialog nyetrum, dan komedi menggelitik, plus ending yang unik (yang mungkin akan anda sadari saat kedua atau ketiga kalinya menonton film ini), Pulp Fiction berhasil menjadi sebuah kesatuan yang amat solid.

9.5/10