Thursday, December 20, 2012

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Amour (2012)

"Things will go on as they have done up until now. They'll go from bad to worse. Things will go on, and then one day it will all be over." ~ Georges

Entah bagaimana cara pengucapan nama belakang sang sutradara, yang pasti Michael Haneke adalah seorang sineas hebat dunia. Embel-embelnya sebagai pemenang Palme d'Or sebanyak dua kali rasanya sudah berbicara banyak. Salah satunya, masih lekat di ingatan, film hitam-putihnya yang berjudul The White Ribbon, yang bahkan sempat juga dinominasikan untuk Best Foreign Languange Film dan Best Cinematography dalam Academy Awards 2010. Dan yang terakhir, baru-baru ini saja, saat ia kembali lagi dengan sebuah Oscar-buzz perwakilan Austria yang digadang-gadangkan akan memenangkan Best Foreign Languange tahun depan, Amour. Ia bukan hanya seorang sutradara dalam Amour, ia juga berperan sebagai penulis skenario. 

Tentu, Palme d'Or dalam Cannes Film Festival bukanlah penghargaan main-main. Ini sudah seperti Best Picture dalam Oscar, hanya saja ini ala festival film dunia, dan memenangkan dua kali Palme d'Or juga bukanlah prestasi yang main-main. Ini sudah membuatnya seperti Francis Ford Coppola versi Eropa, meski filmnya tidak ada yang tentang mafia. Malahan Amour atau yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai 'love' atau 'cinta', karya teranyarnya, adalah sebuah drama romansa yang super lembut, dan dibuat dengan sepenuh hati. Emmanuelle Riva, yang pernah meraih nominasi BAFTA tahun 1959, hadir sebagai pemeran utama bersama Jean-Louis Trintignant, yang kian menambah kekuatan hati dalam Amour. 


Amour dibuka oleh sekelompok pemadam kebakaran yang menerobos sebuah apartemen di Paris. Di sana, mereka telah menemukan mayat seorang nenek, Anne (Emmanuelle Riva), yang telah terbujur kaku di atas sebuah tempat tidur yang telah ditaburi bunga-bungaan. Kemudian, kisah mundur ke masa hidup Anne, bukan masa muda, tapi ketika ia telah memasuki usia uzur. Ia memiliki seorang suami bernama Georges (Jean-Louis Trintignant). Mereka berdua sama-sama pensiunan guru musik.

Masalah muncul ketika Anne secara tiba-tiba tidak merespon apapun ketika mereka sedang sarapan. Anne hanya terdiam di tempat duduknya. Georges tentu saja langsung pergi sebentar untuk mencari bantuan, tetapi, tiba-tiba air keran yang sebelumnya ia biarkan mengalir suaranya beranjak hilang. Saat itu pula ia kembali, dan melihat Anne masih dalam keadaan baik-baik saja, dan bahkan tak mengingat kejadian aneh tadi. Tapi, itu bukanlah sebuah akhir, ini hanyalah awal yang menguji kesetiaan cinta mereka.


Salah satu highlight terpenting dalam Amour adalah kisahnya. Kisahnya sederhana, namun sangat menggugah hati. Apa yang lebih patut diapresiasi adalah upaya Michael Haneke untuk tidak menciptakan sebuah melodrama yang cengeng, tapi tetap saja menggugah hati, meski tak ada air mata di sini. Gaya penceritaan Haneke memang bukan untuk semua orang. Bagi sebagian orang, memang terlihat membosankan, tapi itulah letak kehebatan seorang Haneke, itulah yang ia gunakan sebagai kekuatan dramnya yang penuh ketenangan.

Dialog yang Michael Haneke gunakan juga tidaklah cheesy, atau bahkan dialog yang super puitis. Malahan, ia hanya menggunakan dialog sehari-hari, yang malah membuat Amour menjadi drama yang realistis, tanpa kesan dibuat-buat. Kalimat cinta? Ada, tapi hanya 'darling'. Selebihnya? Hanya percakapan sehari-hari dari mereka. Tapi, apa yang membuat manis dialog dalam Amour adalah kehangatannya yang sangat terasa. Bagaimana mereka menceritakan masa lalunya masing-masing, itu semua memberikan kehangatan tersendiri bagi saya.


Kekuatan utama Amour sebenarnya juga terletak pada jalinan cinta yang terpapar sangat kuat antara Emmanuelle Riva dengan Jean-Louis Trintignant yang diiringi pula dengan kualitas akting menakjubkan dari keduanya. Mereka dapat membentuk sebuah hubungan kokoh, bahkan hal itu kebanyakan tidak disampaikan secara verbal dan terang-terangan. Seperti yang saya bilang tadi, sangat sedikit kata cinta yang diucapkan. Maka dari itu, jalinan kuat antara Riva dan Jean-Louis sangatlah diperlukan. Jangan remehkan mereka, meski sudah sangat berumur, karena apa yang mereka tampilkan sangatlah luar biasa.

Emmanuelle Riva contohnya, ia benar-benar menghanyutkan! Perannya sebagai seorang istri tua yang sakit-sakitan mampu diselami dengan sangat baik olehnya. Transisi yang ia sampaikan dari keadaan sehat hingga jatuh sakit, dari yang tak terlalu parah sampai sangat parah sangat menakjubkan. Lihat bagaimana ia bicara dengan gagap-gagapnya. Kosong, tapi itulah yang harusnya dimiliki Riva, tatapan kosong, namun sangat dalam. Tanpa sepatah dialog pun, kita telah tau apa yang ia rasakan, apa yang ia derita, hanya dengan melihat ekspresi dan tatapan kosong serta hopeless-nya itu. She gives a very mind-blowing performance in Amour. Best Actress untuk Oscar tahun depan? Tak terlalu besar peluangnya, karena Amour adalah film berbahasa asing dan bukan produksi AS, tapi apakah Oscar dapat menyia-nyiakan talenta hebat seperti ini? Terlepas dari itu, Riva memang benar-benar juara!


Jean-Louis Trintignant juga tak usah diragukan lagi, meski memang ia tak dapat mengeksplorasi kemampuannya dengan lebih, seperti apa yang dilakukan Riva. Ya, tapi itu juga karena faktor peran Riva lebih challenging dibandingkan Jean-Louis (Don't get me wrong, bukan berarti peran Jean-Louis juga tak menantang. Siapa bilang memerankan seorang suami dengan seorang istri yang sakit keras merupakan hal mudah?). Yang jelas, Jean-Louis telah melakukan pekerjaan hebat. Ia dapat mengimbagi Riva yang berakting maksimal, dengan akting yang juga tak kalah maksimal, membuatnya bahkan tak pernah tenggelam oleh peran Riva.

Sebenarnya, salah satu yang turut membangun atmosfer dingin dalam Amour adalah sinematografi yang mendukung. Coba lihat arahan kamera dari Darius Khondji ini. Arahan sinematografinya ini menimbulkan nuansa yang sangat tenang, sepi, dan sunyi yang benar-benar mendalam, serta kerap tidak menggunakan close-up wajah saat adanya sebuah percakapan, juga tak bergerak secara dinamis. Ada pula scene-scene 'kosong' yang ditampilkan, seakan tak mempunyai arti, tapi sebenarnya mempunyai makna dalam. Hal ini membuat Amour dapat membangun atmosfernya dengan mantap, meskiun dengan konsekuensi, beberapa orang yang tak terbiasa akan merasa jenuh.


Amour itu menakjubkan. Sederhana, namun sangat menakjubkan. Ia memiliki filosofi tersendiri mengenai arti cinta sejati yang sangat menghipnotis. Ia tak butuh alur rumit untuk dapat mengatakan kata cintanya sendiri, karena Amour bukan Eternal Sunshine of the Spotless Mine. Tak butuh seember airmata untuk mengatakan kata cinta, karena Amour juga bukan The Notebook. Tak butuh sebuah kisah kapal karam dengan budget membludak, karena Amour juga bukan Titanic. Lupakan vampir dan manusia, karena Amour juga bukan Twilight, kecuali kalah hasilnya seperti Let the Right One In.

Lalu, bagaimana caranya menjadikan Amour sebuah drama yang tak memiliki plot rumit, drama berember-ember air mata, dan sepasang vampir dan manusia, tapi tetap menghipnotis? Cukup beri sebuah skenario dengan cerita simpel serta Michael Haneke, kemudian sisanya adalah kekuatan akting fantastis dan chemistry manis dari duo aktor Emmanuelle Riva dan Jean-Louis Trintignant untuk dapat mengatakan kata cinta, bahkan tanpa perlu menyebutkannya sekalipun. Ini adalah kisah cinta yang unik, sederhana, manis, menusuk hati, tragis, powerful, juga depressing

Tagged under: , , , , , , , ,

[Part 1] 30 Greatest Twist Endings of All Time


Sebenarnya, random list tentang twist atau shocking ending (ending mengejutkan) ini telah pernah saya buat, namun kali ini ingin saya revisi kembali. Di edisi revisi kali ini, saya menambahkan dan mengurangi beberapa film hingga totalnya menjadi 30 film yang kemudian dipecah menjadi 2 bagian, tidak seperti sebelumnya yang hanya 11 film. Dan bagi yang belum pernah menonton filmnya, tenang saja, karena di sini spoiler free alias tak ada ending yang saya beberkanmeski ada baiknya jika tak membaca deskripsi filmnya sama sekali, mungkin saja ada sesuatu yang anda anggap spoiler dan saya tidak, yang dapat merusak pengalaman menonton anda. So, inilah film-film dengan ending yang paling mengejutkan yang pernah ada, here we go!



Disutradarai Sidney Lumet, Murder on the Orient Express yang bertabur bintang ini sebenarnya merupakan adaptasi dari novel karya Agatha Christie yang berjudul sama. Sesuai judulnya yang tak memiliki metafora apapun, memang bercerita tentang pembunuhan di atas kereta api. Dalam penyelidikannya, detektif berkepala telur dengan sel otak abu-abu, Hercule Poirot, disuguhkan beberapa hal-hal yang terdengar mustahil, seperti wanita berkimono naga yang misterius. Semakin bertambah menit, maka kemustahilan itu makin nampak. Namun, saat itu juga Poirot mengungkapkan dua buah solusi, dan salah satu dari dua solusi itu merupakan kejutan besar yang tak pernah diprediksi orang (kecuali yang sudah membaca novelnya, seperti saya).



Inilah awal dari franchise saingan utama franchise Final Destination, Saw. Sayang, makin berkembang franchise ini, makin memburuklah kualitasnya. Bersyukurlah, karena franchise ini telah berakhir. Sepanjang menit, Saw yang disutradarai sutradara keturunan Malaysia, James Wan, ini hanya dihiasi oleh 2 orang pria yang dikurung di sebuah ruangan jorok entah dimana. Lewat petunjuk-petunjuk yang ada, mereka berusah untuk keluar dari ruangan itu, sembari mengingat apa yang terjadi saat mereka ditangkap dan mengapa? Tapi, itu bukanlah pertanyaan yang tepat jika anda menonton Saw. Pertanyaan yang paling tepat adalah: "Siapakah Jigsaw?"



Kahaani, which means story, adalah salah satu film Bollywood favorit saya sejak 3 Idiots. Berbanding terbalik dengan film Bollywood lain, dalam Kahaani, tak ada tarian, nyanyian, bersembunyi di balik pohon berduaan hingga berlari-lari, atau berhujan-hujanan. Kahaani adalah pure drama thriller seperti yang banyak terdapat dalam Hollywood sana. Tapi, bukan berarti Kahaani tak punya nilai istimewa. Kahaani mampu mencampuradukkan citarasa Hollywood dengan budayanya sendiri. Saya jatuh cinta bagaimana Kahaani mengekspos keindahan budaya India lewat sinematografinya itu. Apalagi? Tentu saja hal yang paling dapat diingat dari Kahaani selain percampuran tadi adalah endingnya yang mengejutkan. Saya pun yang awalnya sedikit bingung dengan judul 'kahaani' atau 'cerita', dapat mengerti maksud judul itu yang sebenarnya.



Cerita Citizen Kane sebenarnya sederhana saja: mencari tahu arti kata terakhir seorang milyuner kenamaan., Charles Foster Kane Kata terakhirnya pun sangatlah simpel, yaitu 'rosebud'. Lewat satu kata itu, kita kembali dibawa ke masa muda hingga kesuksesannya. Saat ia berada dalam sisi atas, hingga sisi bawah sekalipun. Ketika kita sudah seperti putus asa akan pencarian ini, perlahan ia kembali menunjukkan tajinya, mengungkapkan arti kata 'rosebud' yang sebenarnya. Hal yang saya sangat suka dari ending ini adalah bagaimana film ini menyampaikannya tidak secara gamblang melalui verbal, namun membiarkan penonton sejenak berpikir. Sederhana, sangat sederhana bahkan, namun ending ini punya sesuatu dengan arti yang begitu mendalam.



Film karya sutradara Alejandro Amenábar ini memang sangat kelam. Dibintangi oleh Nicole Kidman, awalnya The Others mungkin terlihat seperti film dengan rumah hantu biasa, bahkan hantunya pun tak pernah menampakkan wujudnya. Suasana bertambah creepy ketika Nicole Kidman mempekerjakan tiga orang pembantu yang misterius, seorang wanita bisu, seorang wanita tua, dan seorang kakek berumur. Masih belum cukup creepiness dalam film ini, ditambah lagi dengan keadaan kedua anak Nicole Kidman yang sensitif terhadap cahay matahari, yang membuat rumah tersebut sepanjang hari gelap gulita. Semua hal dalam The Others ini kemudian ditutup oleh ending yang bukan hanya super duper creepy, tapi juga hugely shocking.



Incendies adalah official entry Kanada untuk Best Foreign Languange Oscar 2011, dan berhasil masuk nominasi, meski akhirnya harus mengalah dengan film asal Denmark, In A Better World. Kisahnya tentang  perjalanan dua orang saudara kembar ke Timur Tengah demi memenuhi permintaan terakhir ibu mereka. Tanpa mereka sadari, sebenarnya itu semua mengarahkan dua saudara kembar ini ke sebuah rahasia besar tentang keluarga mereka. Denis Villeneuve, sang sutradara, berhasil mengadaptasi sebuah drama dengan sangat baik. Hasilnya, sebuah thriller misteri dengan jalan cerita yang bahkan tak ada yang tahu akan bermuara kemana cerita itu.



Sepuluh orang secara tak sengaja terjebak di sebuah motel, termasuk John Cusack, John Hawkes, dan Amanda Peet. Namun, masalah besarnya bukanlah itu, semua ini hanyalah sebuah awal. Masalah bertambah besar saat satu persatu dari mereka dibunuh dengan misterius. Sebaliknya, ada kisah lain yang jauh berbeda dari terjebaknya sepuluh orang tersebut, namun akhirnya akan saling bertemu dan berhubungan, dan mungkin akan mengejutkan anda. Tapi, ada yang lebih mengejutkan dibanding itu, sesuatu yang sebenarnya agak sulit dipercaya.



Sebelum memenangkan Oscar karena menjadi seorang suami payah yang doyan ABG di American Beauty, Kevin Spacey pernah menjadi satu-satunya saksi kunci dari sebuah tragedi mengenai seorang kriminal besar bernama Seyzer Koze dalam The Usual Suspects, film drama kriminal arahan Bryan Singer yang mendapatkan sambutan baik, meski poster dengan bayangan-bayangan aneh itu menganggu. Terlepas dari itu, The Usual Suspects tetaplah sebuah film yang tak terlupakan. Mungkin beberapa orang telah memprediksinya (beruntung, itu bukan saya), tapi sebenarnya ada sesuatu yang lebih spesial dan jenius di baliknya. Film ini memiliki jalinan cerita yang cerdas sekaligus kuat, sayangnya semua sudah terlambat ketika mereka menyadarinya.



Saya tak pernah mendapatkan info bahwa pemenang Best Foreign Languange Film perwakilan Argentina dalam Oscar 2010 ini memiliki ending yang sama sekali tak terkira. Cerita dalam The Secret in their Eyes sebenarnya tak terlalu rumit, tentang seorang pensiunan konselor hukum yang akan menulis novel tentang kasus pembunuhan yang dulu ia pernah tangan, tapi sampai sekarang kasus itu belum terpecahkan. Demi menulis novel ini, ia kembali bertemu dengan mantan atasannya yang sejak dulu ia cintai. The Secrect in Their Eyes adalah tipe film yang menjabarkan setiap drama serta misterinya dengan sangat tenang dan dikemas dengan baik dari awal hingga akhir film, saat kita dikejutkan oleh fakta tak terduga.



Kalau yang ini, saya benar-benar tak bisa berkata apa-apaPerasaan aneh, kaget, lucu, dan agak konyol langsung bersatupadu ketika mengetahui rahasia besar dalam The Crying Game. Khusus untuk film ini, memang momen mengejutkannya bukanlah terletak pada ending, melainkan pada bagian pertengahan durasi. Tapi, saking mengejutkannya momen itu, maka untuk kali ini saya beri pengecualian. Shocking moment dari The Crying Game memang berbeda dari yang lainnya. Mengapa? Ah, untuk menjelaskannya saja, saya sudah kebingungan.



Ada Jack Nicholson di sini, bersama dengan Faye Dunaway. Keduanya menciptakan sebuah tontonan hebat dengan jalinan yang kuat diantara keduanya. Roman Polanski sendiri menyuguhkan drama misteri yang tak kalah hebatnya. Kisahnya tentang seorang detektif yang menginvestigasi sebuah kasus pembunuhan yang memiliki hubungan dengan air. Twist yang dihadirkan sendiri tidaklah terlalu megah dan besar, namun tak dapat disangkal lagi, kenyataan itu memang sangat menghentak. Sebuah tamparan besar bagi kita semua, termasuk Jack Nicholson, meskipun, yang mendapatkan tamparan sebenarnya adalah Faye Dunaway.



Selepas Gigli yang dicerca habis-habisan, Ben Affleck memulai 'kehidupan' barunya, sebagai seorang sutradara, dan secara mengejutkan, itu berhasil. Ben Affleck mendaulat adiknya sendiri, Casey Affleck sebagai detektif khusus orang hilang bersama Michelle Monaghan yang menyelidiki kasus hilangnya seorang anak perempuan dari seorang ibu pecandu narkoba, yang diperankan dengan sangat istimewa oleh Amy Ryan. Ben Affleck membawa kita ke sebuah thriller misteri menegangkan, dan ketika kita kira semuanya telah berakhir, ternyata itu semua masih setengah jalan, dan ketika kita kira semuanya telah berakhir lagi dengan cara yang mengejutkan, ternyata itu masih tiga perempat jalan, hingga akhirnya Affleck kembali menutupnya dengan penuh kejutan istimewa.



We always love Nolan's work! Dan Memento, karyanya yang bergaya neo-noir ini adalah salah satu masterpiece milknya, dengan menampilkan Guy Pearce sebagai pria penuh tato yang ingin balas dendam atas kematian istrinya. Uniknya, di sini Guy Pearce diceritakan mengalami short-term memory loss, yang membuatnya tak dapat mengingat apapun setelah sekita 10 menit kejadian itu terjadi. Tato-tato di tubuhnya pun, bukanlah tato sembarangan. Itu adalah satu-satunya petunjuk yang dapat membawanya ke pembunuh sang istri. Ada yang lebih unik, yaitu dengan editing film ini, yang membuat kita seperti merasakan apa yang karakter Pearce rasakan. Oh, belum terlalu unik? Tunggu hingga endingnya tiba, dan anda akan menghadapi sebuah mimpi buruk.



Film yang berjudul asli El Orfanato ini merupakan salah satu misteri thriller asal Spanyol yang paling populer (dan salah satu yang terbaik). The Orphanage memang sedikit mengingatkan saya dengan The Others, bukan karena cerita atau twist yang sebenarnya berbeda jauh, namun karena film ini memiliki creepiness yang luar biasa. Sambili membangun atmosfer kelam dan gelap itu, The Orphanage tampil dengan sangat misterius, sembari ada Belén Rueda mencari-cari anaknya yang hilang entah kemana. Lalu, ke mana anaknya hilang? Itu adalah misteri terbesar dalam film ini, yang semuanya akan terjawab yang membuat siapa saja mungkin takkan siap dengan jawabannya.



Salah satu keistimewaan film ini adalah bintangnya, ada Jeff Bridges, Tim Robbins, dan Joan Cusack. Ceritanya sendiri sedikit mengingatkan saya terhadap film Alfred Hitchcock, Rear Window. Kisahnya dimulai ketika Jeff menyelamatkan nyawa anak Tim, yang membuat kedua keluarga mereka menjadi dekat, namun suatu hari, Jeff Bridges mencurigai tetangganya sendiri sebagai seorang teroris. Tentu, ketakutan utamnya, terletak pada anaknya yang sangat akrab dengan anak Tim dan bahkan sangat sering bermain di rumah keluarga Tim Robbins. Ia pun menyelidiki riwayat Tim, dan penulusurannya tersebut membawa penonton ke akhir yang sama sekali tak terduga.

_______________________________________________________________


Sunday, December 16, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Beasts of the Southern Wild (2012)

"In a million years, when kids go to school, they gonna know: Once there was a Hushpuppy, and she lived with her daddy in The Bathtub." ~ Hushpuppy

Beasts of the Southern Wild, adalah sebuah film independen bergenre drama fantasi yang disutradarai oleh Benh Zeitlin serta naskahnya ditulis oleh Beh Zeitlin pula dan Lucy Alibar. Film ini diangkat dari drama Lucy Alibar sendiri, yang berjudul Juicy and Delicious. Awalnya, film yang menamilkan kemiskinan penduduk ini tampil di beberapa festival-festival bergengsi dunia, seperti Sundance dan Cannes, sebelum dirilis pada 27 Juni lalu di New York dan Los Angeles dan mendapat sambutan yang sangat baik dari kritikus dunia.

Di Cannes Film Festival yang ke 65, Beasts of the Southern Wild sempat menggempar festival film ini dengan memenangkan salah satu penghargaan bergengsi bagi sutradara pendatang baru, Camera d'Or. Begitu ula dalam Sundance Film Festival ke 28, dimana film ini memenangkan Dramatic Grand Jury Prize. Sebagian besar kritik memuji akting aktris belia dalam film ini, Quvenzhané Wallis, pendatang baru yang terpilih dari sekitar 4000 peserta audisi. Ya, kebanyakan dari cast film ini, merupakan pendatang baru, bahkan yang tak punya latar belakang akting sekalipun, seperti Dwight Henry yang memiliki sebuah toko roti.


Film ini berkisah tentang seorang anak perempuan Afro-Amerika, Hushpuppy (Quvenzhané Wallis). Ia tinggal berdua dengan ayahnya, Wink (Dwight Henry) yang keras. Mereka tinggal di Louisiana bagian selatan, di sebuah komunitas di daerah rawa (bayou) yang disebut 'Bathtub' oleh penduduk setempat. Meski tempat tinggal mereka diliputi kemiskinan, namun mereka selalu berada dalam kegembiraan dan suka cita. Suatu hari, sebuah badai menerjang komunitas mereka. Begitu banyak penduduk yang memilih untuk melarikan diri. Tapi, tidak dengan Hushpuppy dengan ayahnya. Bersama dengan beberapa penduduk lain yang lebih memilih untuk tetap tinggal, mereka berusaha untuk bertahan hidup dari badai tersebut. Di lain pihak, si kecil Huchpuppy juga harus mulai belajar tentang hidup lewat sudut pandangnya sebagai seorang gadis belia berumur 6 tahun. Selain badai, juga ada satu hal lagi yang mengancam tempat tinggal Hushpuppy. Es-es di Kutub Utara telah mencair, ini membuat makhluk purba raksasa bernama aurochs akhirnya bermigrasi ke Bathtub.

Benh Zeitlin benar-benar tahu bagaimana menggambarkan sebuah film dengan sudut seorang anak kecil. Ia mencampuradukkan segala isu sosial menjadi satu, kemudian digabungkan dengan fantasi luas seorang Hushpuppy. Coba lihat ketika Hushpuppy berbicara dengan baju peninggalan ibunya sendiri (dan ya, baju itu mengeluarkan suara), atau ketika ia bertemu dengan hewan purbakala mirip babi, aurochs. Semua itu hanyalah usaha Benh Zeitlin dan Lucy Alibar untuk menyampaikan segala isi film yang mereka kenalkan pada penonton. Cara hushpuppy yang hampir tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, dan caranya pula untuk mengatasi rasa takut. Saya akui, itu bukan hanya sebuah cara yang berbeda dari yang lainnya, tapi juga cerdas dan kreatif.


Meski dalam setiap menitnya film ini menampilkan kemiskinan dan kekumuhan, Beasts of the Southern Wild bukan tipe film yang selalu ingin meminta untuk dikasihani. Film ini bukanlah tipe film melodrama yang selalu berakhir dengan seember penuh air mata. Beasts of Southern Wild bahkan tak memanfaatkan faktor Wallis yang sebenarnya, sangat cocok untuk sebuah melodrama. Sebenarnya, memang punya beberapa momen mengharukan, namun tak pernah terjerumus dalam sebuah melodrama berlebihan. Sebaliknya, Beasts of the Southern Wild adalah film yang memaparkan sisi yang lebih kuat dan kokoh, lihat bagaimana Hushpuppy, ayahnya, dan para penduduk kampung yang tersisa melewati segala tantangan, terus berusaha agar dapat terus hidup di Bathtub, apapun yang terjadi.

Narasi yang dibawakan oleh Quvenzhané Wallis menjadi salah satu bagian terkokoh dalm film ini. Bahasa dari monolog yang disampaikan sebenarnya sederhana, namun lugas dan imaginatif. Tak hanya itu, faktor bahwa narasinya disampaikan seorang anak kecil seperti Wallis lah yang juga membuatnya istimewa. Narasi yang disampaikannya begitu lugu dan polos. Salah satu momen terbaiknya adalah saat opening, saat Hushpuppy mencoba merasakan detak jantung hewan-hewan peliharaannya, atau saat Hushpuppy membicarakan tentang para scientist dari masa depan. Sweet and cute! Ya, bagaimana Hushpuppy menjelaskan hal-hal tentang dan yang berada di sekitar kehidupannya yang ia sampaikan lewat narasi itu selalu memikat hati.


Saya rasa, nuansa kekeluargaan erat yang ada dalam Beasts of the Southern Child juga merupakan sebuah satir bagi isu perbedaan warna kulit atau rasisme. Film ini tidak menyampaikannya lewat diskriminasi ras seperti yang dilakukan The Help yang punya ensemble cast gemilang itu, tetapi ia lebih mencoba untuk menciptakan suasana kekeluargaan antara kulit putih dan kulit hitam. Dalam film ini, mereka semua berbaur menjadi satu dan saling bahu-membahu. Tak peduli ras dan warna kulit apa. Misi mereka hanya satu, untuk tetap tinggal di Bathtub, meski bencana menimpa perkampungan mereka. Sungguh suatu kekeluargaan yang manis. 

Performa para castnya merupakan salah satu yang paling menarik untuk dibahas. Quvenzhané Wallis tampil sangat gemilang. Menampilkan akting hebat lewat baris-baris dialog tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Hal yang sama, bahkan lebih sulit lagi, menampilkan akting hebat tanpa perlu berkata-kata, alias hanya melakukan pendekatan lewat ekspresi dan tatapan mata. Sebagai contoh, lihat akting mengagumkan dari Holly Hunter sebagai Ada, seorang wanita bisu di The Piano. Mau contoh lagi? Tak usah jauh-jauh, Quvenzhané Wallis juga menghadirkan kualitas itu. Satu hal yang harus digarisbawahi lagi, bahwa kedua aspek itu mampu dibawakan oleh aktris cilik ini tanpa harus mengorbakan sisi anak kecilnya. Sangat sulit dipercaya, bahwa ini merupakan debut film pertamnya. Dengan itu semua, Wallis memang punya kans yang sangat besar untuk setidaknya, mendapat nominasi Oscar tahun depan. Lupakan Golden Globe yang tak memberi film ini satupun nominasi termasuk bagi Wallis, kita masih punya Oscar yang mungkin saja lebih berbaik hati. 


Bicara tentang Beasts of the Southern Wild, jangan hanya membicarakan tentang Wallis. Film ini juga punya Dwight Henry yang tak kalah gemilangnya. Meski harus tampil di belakang pesona Wallis yang sangat cemerlang, bukan berarti pesona Dwight Henry harus memudar dan terbayangi Wallis. Karakternya sebagai seorang ayah alkoholik serta sakit-sakitan dengan kemauan dan didikan keras memang kadang sedikit membuat kita tak simpati terhadapnya, namun itulah wujud cintanya terhadap sang anak. Itulah cara dia mengungkapkan rasa sayangnya. Dalam hal ini, Dwight Henry benar-benar berhasil menghidupkan perannya itu dengan sangat baik. Apalagi, hal tersebut juga didukung oleh fakta bahwa di film inilah ia memulai debut akting di layar lebar. Agak sulit dipercaya memang. Jika keduanya disatukan pun, mereka saling berbaur dalam sebuah jalinan chemistry kuat ayah-anak yang bisa dibilang unik.

Kamera yang shaky? Wajar saja, karena film ini menggunakan handheld camera dalam merekam setia scenenya, hal yang sama yang digunakan pula dalam salah satu film Terrence Malick, The Tree of Life (meski dalam The Tree of Life, lebih artistik dan 'wah'). Namun jangan permasalahkan penggunaan kamera ini. Justru, dengan penggunaan kamera seperti ini, malah membuat Beasts of the Southern Wild lebih down-to-earth lagi dalam membawa kisah yang juga tak kalah down-to-earth-nya. Lewat sinematografinya inilah, film ini mampu tampil lebih sederhana dan manis, yang juga menjadikannya lebih bisa menangkap setiap esensi emosional, kemirisan, dan kekeluargaan dalam sebuah perkampungan kumuh yang disajikan Benh Zeitlin di Beasts of the Southern Wild ini. Membuat kita selangkah lebih dekat (atau dua langkah?) ke materi yang Benh coba tawarkan.


Bukan hanya berperan sebagai seorang sutradara dan scenario writer bersama Lucy Alibar, Benh Zeitlin juga berperan sebagai komposer musik latar dalam film ini. Bersama dengan Dan Romer, ia menciptakan sebuah rangkaian musik sederhana dan membumi, benar-benar cocok dengan kehidupan dalam Beasts of the Southern Wild. Musik latar favorit saya jatuh pada saat penduduk Bathtub berpesta pora, bersenang-senang, dan bermain kembang api. Musik hasil racikan duo Dan Romer dan Benh Zeitlin tersebut dapat menangkap segala euforia dan nuansa kekeluargaan penduduk perkampungan. 

Beasts of the Southern Wild adalah salah satu masterpiece tahun ini, sebuah fantasi kelam tentang gadis belia dengan sedikit sentuhan Pan's Labyrinth. Benh Zietlin dapat dengan sukses membuat film yang sebenarnya cukup rumit kalau dipikir-pikir, namun dapat disampaikannya lewat sudut  pandang seorang anak kecil yang lugu dan polos. Wallis? She did a very fantastic job. Ia mampu membawa sebuah penampilan akting kelas A dengan natural dan sempurna. Dwight Henry juga tak mau kalah, dengan penampilannya, ia mampu keluar dari bayang-bayang Wallis yang bisa kapan saja menenggelamkan karakternya. Sebuah surat cinta yang manis dengan gaya 'gado-gado', berhasil menyampurkan segalanya: fantasi seorang anak kecil, bencana alam, kekeluargaan, hingga pertahanan hidup; menjadikannya sebuah karya yang sangat, sangat menakjubkan, liar, penuh imajinasi, sekaligus indah, meski harus tampil dibalik kehidupan yang penuh kumuh. Merupakan sebuah 'dosa' besar jika anda melewatkannya. 

Thursday, December 13, 2012

Tagged under: , , , , , ,

[List] Nominees for the 70th Golden Globe Awards

"The biopic leads, fake movie and spaghetti western follow."
Setelah selesai dengan penghargaan tertinggin bagi insan perfilman Indonesia, mari kita beralih ke ajang penghargaan tertinggin kedua bagi insan perfilman Hollywood, Golden Globe Awards. Dalam Golden Globe yang ke 70 kalinya ini, pemenang akan diumumkan pada 13 Januari mendatang, sedangkan nominasinya sendiri baru diumumkan kemarin, 13 Desember 2012. Untuk kategori film, Lincoln berhasil merebut 7 nominasi, diikuti Argo dan Django Unchained yang meraih 5 nominasi. Les Misérables, Silver Linings Playbook, dan Zero Dark Thirty mengekor dengan 4 nominasi. Front-runner lainnya, Life of Pi, The Master, dan Salmon Fishing in the Yemen mendapatkan 3 nominasi. Untuk televisi, Game Change meraih nominasi terbanyak dengan total 5 nominasi, sedangkan Homeland meraih 4 nominasi.

FILM

Best Picture, Drama
-  Argo
-  Django Unchained
-  Life of Pi
-  Lincoln
-  Zero Dark Thirty

Best Picture, Musical or Comedy
-  The Best Exotic Marigold Hotel
-  Les Miserables
-  Moonrise Kindgom
-  Salmon Fishing in the Yemen
-  Silver Linings Playbook

Best Director
-  Ben Affleck - Argo
-  Kathryn Bigelow - Zero Dark Thirty
-  Ang Lee - Life of Pi
-  Steven Spielberg, Lincoln
-  Quentin Tarantino, Django Unchained

Best Actor, Musical or Comedy
-  Jack Black - Bernie
-  Bradley Cooper - Silver Linings Playbook
-  Hugh Jackman - Les Miserables
-  Ewan McGregor - Salmon Fishing in the Yemen
-  Bill Murray - Hyde Park on Hudson

Best Actress, Musical or Comedy
-  Emily Blunt - Salmon Fishing in the Yemen
-  Judi Dench - The Best Exotic Marigold Hotel
-  Jennifer Lawrence - Silver Linings Playbook
-  Maggie Smith - Quartet
-  Meryl Streep - Hope Springs

Best Actress, Drama
-  Jessica Chastain - Zero Dark Thirty
-  Marion Cotillard - Rust and Bone
-  Helen Mirren - Hitchcock
-  Naomi Watts - The Impossible
-  Rachel Weisz - The Deep Blue Sea

Best Actor, Drama
-  Daniel Day-Lewis - Lincoln
-  Richard Gere - Arbitrage
-  John Hawkes - The Sessions
-  Joaquin Phoenix - The Master
-  Denzel Washington - Flight


Best Supporting Actress
-  Amy Adams - The Master
-  Sally Field - Lincoln
-  Anne Hathaway - Les Miserables
-  Helen Hunt - The Sessions
-  Nicole Kidman - The Paperboy

Best Supporting Actor
-  Alan Arkin - Argo
-  Leonardo DiCaprio - Django Unchained
-  Philip Seymour Hoffman - The Master
-  Tommy Lee Jones - Lincoln
-  Christoph Waltz - Django Unchained

Best Screenplay
-  Mark Boal - Zero Dark Thirty
-  Tony Kushner - Lincoln
-  David O. Russell - Silver Linings Playbook
-  Quentin Tarantino - Django Unchained
-  Chris Terrio - Argo

Best Animated Feature
-  Brave
-  Frankenweenie
-  Hotel Transvylvania
-  Rise of the Guardians
-  Wreck-It Ralph

Foreign Language Film
-  Amour
-  A Royal Affair
-  The Intouchables
-  Kon-Tiki
-  Rust and Bone

Best Original Score
-  Mychael Danna - Life of Pi
-  Alexandre Desplat - Argo
-  Dario Marianelli - Anna Karenina
-  Tom Tywker - Reinhold Heil - Johnny Klimek - Cloud Atlas
-  John Williams - Lincoln

Best Original Song
-  "For You" by Monty Powell, Keith Urban - Act of Valor
-  "Not Running Anymore" by Jon Bon Jovi - Stand Up Guys
-  "Safe and Sound" by Taylor Swift, John Paul White, Joy Williams, T-Bone           Burnett - The Hunger Games
-  "Skyfall" by Adele, Paul Epworth  - Skyfall
-  "Suddenly" by Claude-Michel Schönberg, Alain Boublil, Herbert Kretzmer -         Les Miserables

TELEVISI

Best Television Comedy or Musical
-  The Big Bang Theory
-  Episodes
-  Girls
-  Modern Family
-  Smash

Best Actress, Television Drama
-  Connie Briton - Nashville
-  Glenn Close - Damages
-  Claire Danes - Homeland
-  Michelle Dockery - Downton Abbey
-  Juliana Margulies - The Good Wife

Best Miniseries or Television Movie
-  Game Change
-  The Girl
-  Hatfields & McCoys
-  The Hour
-  Political Animals

Best TV Drama
-  Breaking Bad
-  Boardwalk Empire
-  Downton Abbey
-  Homeland
-  The Newsroom

Best Actor, Television Drama
-  Bryan Cranston - Breaking Bad
-  Jon Hamm - Mad Men
-  Damien Lewis - Homeland
-  Steve Buscemi - Boardwalk Empire
-  Jeff Daniels - The Newsroom

Best Actor, Television Comedy or Musical
-  Don Cheadle - House of Lies
-  Alec Baldwin - 30 Rock
-  Louis C.K. - Louie
-  Matt LeBlanc - Episodes
-  Jim Parsons - The Big Bang Theory

Best Actress, Television Comedy or Musical
-  Zooey Deschanel - New Girl
-  Julia-Louis Dreyfus - Veep
-  Lena Dunham - Girls
-  Tina Fey - 30 Rock
-  Amy Poehler - Parks and Recreation

Best Actress, Miniseries
-  Nicole Kidman - Hemingway & Gelhorn
-  Jessica Lange - American Horror Story 
-  Sienna Miller - The Girl
-  Julianne Moore - Game Change
-  Sigourney Weaver - Political Animals

Best Actor, Miniseries
-  Kevin Costner - Hatfields & McCoys
-  Benedict Cumberbatch - Sherlock 
-  Woody Harrelson - Game Change 
-  Toby Jones - The Girl
-  Clive Owen - Hemingway & Gelhorn

Best Supporting Actress 
-  Hayden Panettiere - Nashville 
-  Archie Punjabi - The Good Wife 
-  Sarah Paulson - American Horror Story
-  Maggie Smith - Downton Abbey 
-  Sofia Vergara - Modern Family

Best Supporting Actor 
-  Max Greenfield - New Girl 
-  Ed Harris - Game Change 
-  Danny Huston - Magic City
-  Mandy Patinkin - Homeland 
-  Eric Stonestreet - Modern Family

Wednesday, December 12, 2012

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Pitch Perfect (2012)

"Even though some of you are pretty thin, you all have fat hearts, and that's what counts." ~ Fat Amy

Pitch Perfect, mendengar judulnya saja pasti telah terbayangkan bagaimana film ini. Tentu saja musikal dan selama durasinya, tentu juga dipenuhi banyaknya penampilan musikal. Tapi, kali ini sedikit berbeda. Pernah dengar accapella? Ya, menyanyi tanpa intrumen musik apapun, semuanya hanya dari mulut, bahkan hingga musik pengiring sekalipun. Dan kali ini serta untuk pertama kalinya (CMIIW), Pitch Perfect membawa gaya menyanyi tersebut. Pitch Perfect yang disutradarai oleh Jason Moore ini sendiri diadaptasi dari novel karya Mickey Rapkin yang berjudul sama.

Selain Jason Moore yang memulai debut film bioskopnya lewat Pitch Perfect, ada juga nama Kay Cannon yang juga memulai debut scriptwriting-nya dalam film bioskop setelah menulis script untuk serial TV, 30 Rock, dan bahkan pernah dinominasikan untuk 3 Emmy Awards. Sedangkan, Jason Moore juga pernah dinominasikan untuk Best Dircetor dalam Tony Award dalam teater musikal berjudul Avenue Q. Dalam jajaran cast, Pitch Perfect memiliki nama besar Anna Kendrick yang pernah tampil cemerlang dalam Up in the Air yang membuahkan nominasi Oscar untuk Best Supporting Actress. Ada pula Brittany Snow yang telah punya pengalaman dalam musikal Hairspray, Skylar Astin, Rebel Wilson, dan Anna Camp.


Pitch Perfect dibuka oleh penampilan memukau dari Treblemakers, grup accappela pria dari Universitas Barden yang mengikuti kompetisi International Championship of Collegiate A Cappella (ICCA) di Lincoln Center. Penampilan itu dilanjutkan oleh peserta lain yang juga berasal dari Universitas Barden, The Barden Bellas, yang kesemua anggotanya merupakan wanita. Berbanding terbalik dengan penampilan Treblemakers yang mengundang tepuk tangan penonton, kali ini dalam penampilan Barden Bellas, penonton malah dikejutkan dengan sebuah tragedi memalukan.

Satu tahun kemudian, kisah beralih ke Beca (Anna Kendrick), seorang freshman di Universitas Bardem. Iaadalah seorang DJ yang dengan terpaksa masuk kuliah karena dorongan ayahnya. Suatu saat, ia memutuskan untuk bergabung dengan Berden Bellas, bersama dengan dua senior Aubrey (Anna Camp) dan Chloe (Brittany Snow), serta Fat Amy (Rebel Wilson), Cynthia Rose (Ester Dean), Stacie (Alexis Knapp), dan lainnya. Sampai saat itu, Treblemakers, yang dipimpin Bumper (Adam DeVine) si menyebalkan, masih menjadi rival terberat. Untuk membayar kesalahan Barden Bellas tahun lalu, Aubrey, yang menjadi pemimpin dalam grup ini bertekad untuk mengikuti kompetisi ICCA dan berniat kembali ke final di Lincoln Center hingga akhirnya meraih juara dalam kompetisi tersebut. Tapi, tentu saja mereka harus melewati jalan berliku dan menyingkirkan Treblemakers terlebih dahulu untuk menjadi juara.


Salah satu hal yang patut diacungi jempol dalam Pitch Perfect adalah dialog. Skenario hasil racikan Kay Cannon yang diadaptasi dari novel non-fiksi Mickey Rapkin ini dapat menghadirkan dialog-dialog cemerlang dan segar sepanjang durasinya. Berterimakasih juga lah pada Rebel Wilson, yang kali ini memegang peranan terpenting dalam menyampaikan setiap dialog-dialog kocak tersebut, apalagi sebelumnya ia telah mendapatkan pengalaman lewat Bridesmaids. Tentu saja, siapa yang tak mengingat perannya dalam Bridesmaids? Perannya memang kecil, tapi sangat mudah untuk diingat.

Sayang, karakterisasi yang ada dalam Pitch Perfect sendiri tergolong terbatas. Para karakternya tak diberi ruang lebih untuk dapat digali lebih dalam. Belum lagi dengan karakter-karakter yang stereotip yang berseliweran, meski yah, karakter mereka sangat menarik. Plot dalam film ini juga sebenarnya sangat khas film musikal zaman sekarang dan predictable. Namun, meski terasa seperti mash-up antara Glee dan Step Up, tapi tetap saja Pitch Perfect adalah film yang sangat mudah untuk dicintai, atau bahkan diputar berulang-ulang.


Terlepas betapa stereotipnya karakter-karakter yang ada dan terbatasnya karakterisasi, tapi tetap saja tak dapat menghalangi departemen aktingnya. Rebel Wilson (Rebel, it's her real given name. What a name!) muncul sebagai scene stealer. Dengan dialog-dialog ajaib, kelakuan-kelakuan aneh dan konyol, serta kharisma kuatnya, membuat siapa saja jatuh hati dengan karakternya. Karakter ini benar-benar mengingatkan saya dengan Melissa McCarthy dalam Bridesmaids. Fisik yang sama, dialog yang juga sama-sama cerdasnya. Untungnya, Anna Kendrick, sang pemeran utama, juga tak tenggelam, meski Rebel Wilson sangat cemerlang dalam film ini. Ia juga dapat mengimbangi Rebel Wilson yang konyol.

Karakter yang memerankan seorang pemimpin yang terlalu terobsesi dengan kemenangan hingga akhirnya malah bergaya  bak diktator berhasil digambarkan dengan sangat baik oleh Anna Camp. Brittany Snow juga ikut mengekor Anna Camp, dengan memerankan senior yang ramah dan selalu baik kepada siapa saja, meski di beberapa momen saya sempat bingung dengan karakternya yang rasanya terlalu perhatian terhadap Beca. Kalau di Barden Bellas ada Rebel Wilson sebagai Fat Amy yang konyol, maka di Treblemakers ada Utkarsh Ambudkar sebagai Donald yang juga sangat menarik perhatian. Karakter yang cool, ditambah lagi dengan dialog kaya humor namun tak kalah dinginnya.


Pitch Perfect tak hanya berbicara tentang pitch sempurna dan humor cerdas, ia juga berbicara tentang kisah cinta. Dalam hal ini, Pitch Perfect menghadirkan kisahnya dengan cukup baik, meski kisahnya sendiri tak terlalu istimewa. Chemistry yang dibentuk Anna Kendrick dan Skylar Astin dapat terjalan dengan kuat, yang menjadikannya kekuatan utama dalam porsi romansa ini. Selain itu, jangan lupakan chemistry ayah-anak antara Anna Kendrick dengan John Benjamin Hickey yang juga berjalan tak kalah kuatnya.

Tentu, setiap penampilan musikal dalam film ini tak boleh dilupakan.sedikitpun. Dari opening, kita sudah dipukau oleh penampilan dari Treblemakers, meski akhirnya harus diakhiri dengan tragedi tak terlupakan Barden Bellas. Penampilan musikal mulai dari audisi, riff-off, hingga final ICCA dapat dengan mudah memukau kita. Setiap aransemen dan medleynya benar-benar matangBeberapa performance juga dilengkapi dengan koreografi yang sama-sama sangat dipersiapkan dengan baik. Pilihan lagunya juga tergolong tepat dan seimbang, tak hanya berakar pada pop masa kini. Ada pula lagu-lagu jadul, seperti Mickey, Hit Me with Your Best Shot, sampai Like A Virgin yang legendaris itu.


Simak bagaimana para peserta audisi menyanyikan 'Since U Been Gone' milik Kelly Clarkson, Barden Bellas yang menyanyikan 'No Diggity' dari Backstreet Boys feat. Dr. Dre dan Queen Pen yang super groovy dengan sedikit sentuhan perkusi yang mengingatkan saya dengan 'Rolling in the Deep', atau bagaimana mereka meramu 'Price Tag', 'Don't You', 'Party in the USA', 'Give Me Everything', 'Just the Way You Are', dan 'Turn the Beat Around' menjadi sebuah medley yang benar-benar cool. Semua itu tentu merupakan sihir mujarab yang dapat dengan mudahnya membuat kepala bergoyang menikmati setiap alunan lagu. Extremely ear-catching!

Pitch Perfect memang belum sempurna, ibaratnya dalam hal menyanyi, masih ada beberapa bagian yang pitchy, meski film ini sendiri memilik banyak momen dengan 'pitch' sempurna. Plotnya juga tergolong sudah dipakai ratusan kali. Namun, dengan departemen akting memukau yang dipimpin Anna Kendrick serta Rebel Wilson yang mencuri perhatian, dialog humor nan cerdas, dan berbagai penampilan musikal dengan pilihan lagu catchy yang dikemas, diaransemen, lalu di-mash-up dengan sangat baik, membuat Pitch Perfect menjadi salah satu musikal paling menghibur yang pernah ada. Sangat formulatic dan predictable, tapi juga sangat menyenangkan. Are you ready to get pitch slapped?!