Selain trilogi The Godfather, The Lord of the Rings adalah salah satu dari sedikit trilogi yang dapat terus mempertahankan kualitasnya. The Lord of the Rings merupakan trilogi film fantasi yang diadaptasi dari trilogi novel karya J.R.R. Tolkien yang berjudul sama. Sama seperti novelnya, trilogi ini sendiri terdiri dari The Fellowship of the Ring, The Two Towers, dan The Return of the King. Trilogi yang ketiga serinya disutradarai oleh Peter Jackson ini memang sangat sukses di tangga box-office, bahkan jika ditotal, seluruh pendapatan worldwide-nya mencapai 2,9 milyar dolar dengan The Return of the King yang meraup lebih dari 1 milyar dolar. Tak hanya sukses dalam pundi-pundi dolar, trilogi ini juga sangat sukses dalam kritikan. Dengan selang rilis setahun setiap filmnya, film ini mampu memborong total 17 Oscar dari Academy Awards 2002, 2003, dan 2004.
The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring (2001)
"My dear Frodo. Hobbits really are amazing creatures. You can learn all there is to know about their ways in a month, and yet after a hundred years they can still surprise you." ~ Gandalf
Inilah yang menjadi awal 'dongeng' sukses ini. Kisahnya diawali oleh prolog dari Galadriel (Cate Blanchett) yang menarasikan tentang penempaan cincin sakti yang daat digunakan untuk menaklukkan bangsanya masing-masing. Cincin-cincin itu diberikan pada para peri, kurcaci, dan manusia. Tapi, tanpa mereka ketahui, penguasa kegelapan, Sauron, ternyata telah menempa satu lagi cincin (The One Ring) di kawah Gunung Doom, negeri Mordor. Cincin ini digunakan Sauron untuk mengendalikan dan menguasai cincin lainnya. Satu persatu mulai takluk pada kekuatannya. Persekutuan terakhir antara manusia dengan peri melakukan perlawanan hinga akhirnya Sauron dapat dibunuh dan cincin itu jatuh ke tangan Isildur. Cincin itu terus turun ke tangan-tangan lainnya, mulai dari makhluk menyedihkan, Gollum, seorang Hobbit, Bilbo Baggins (Ian Holm, yang akhirnya turun ke tangan keponakannya, Frodo Baggins (Elijah Wood).
Lewat mulut Gandalf (Ian McKellen), sahabat lama Bilbo, Frodo akhirnya tahu bahwa cincin itu kembali bangun, ia memanggil Sauron, tuannya, yang arwahnya masih terikat dengan cincin itu. Bersama tukang kebun Frodo, Samwise Gamgee (Sean Astin), mereka berdua lari dari Shire agar para pasukan Sauron tak dapat menemukan cincin itu, mengingat Gollum yang ditangkap pasukan Sauron telah membeberkan nama Baggins sebagai pencuri cincin itu. Dari hari ke hari, rintangan semakin berat dan segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Sebagai sebuah pembuka, The Fellowship of the Ring merupakan sebuah film yang luar biasa. Visual yang ditawarkannya benar-benar menakjubkan. Visual-effect yang dipimpin oleh 'empat serangkai', Jim Rygiel Randall William Cook, Richard Taylor, dan Mark Stetson, begitu halus dan tampil hampir tanpa celah sedikit pun. Tak hanya itu, departemen lainnya juga tak kalah baiknya. Makeup (Peter Owen dan Richard Taylor) yang meyakinkan, art-direction (Grant Major dan Dan Hennah) serta kostum (Ngila Dickson dan Richard Taylor) yang kental akan fantasi, juga sinematografi (Andrew Lesnie) yang hadir dengan angle-angle cantik dan tone menawan. Jangan lupakan musik latar dari Howard Shore. Seluruh lapisan melodinya mampu menghantui jiwa dengan segala unsur menggebu-gebu lewat orkestra ajaibnya. Epik!
Sejalan dengan berbagai departemen bidang teknis yang luar biasa, di tonggak utamanya, The Fellowship of the Ring juga dapat memaksimalkan segala aspek yang ada. Ian McKellen dapat bersinar. Viggo Mortensen juga ikut mengekor Ian McKellen dengan penampilan dingin dan serba cool. Begitu pula John Rhys Davies, Elijah Wood, Orlando Bloom, Sean Bean, Billy Boyd, dan Dominic Monaghan yang sama-sama menampilkan performa yang tak kalah baiknya. Tentu saja, film ini tak hadir dengan cerita so-so yang datar. Dengan modal naskah kuat dengan dialog cerdas dari Fran Walsh, Philippa Boyens, dan Peter Jackson sendiri, Peter Jackson mampu menggiring kita ke sebuah awal perjalanan yang sangat mendebarkan. Ya, ini masih awal, dan sudah mendebarkan seperti ini, bagaimana dengan penerusnya?
9.0/10
The Lord of the Rings: The Two Towers (2002)
"He was twitching because he's got my axe embedded in his nervous system!" ~ Gimli
Kisah ini belum berakhir. Para anggota persaudaraan cincin masih punya banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Kisah dalam The Lord of the Rings bahkan terbelah menjadi dua (bahkan tiga). Ada Frodo dan Sam masih harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapai Gunung Doom. Begitu pula lainnya, yang masih harus menyelamatkan Pippin dan Merry. Ceritanya makin berkembang menjadi lebih rumit dan menarik. Juga lebih menegangkan dan menghibur. Bahkan, kini dengan lebih banyak karakter yang kesemuanya mendapatkan porsi dan karakterisasi pas. Untuk menambah ke'greget'-an dalam film, ada pula tambahan kisah cinta segitiga antara Aragorn, Arwen, dan Eowyn. Semua menbuat pondadi cerita dalam The Two Towers menjadi lebih dalam dan kuat.
Peter Jackson masih belum kehilangan citarasanya dalam The Two Towers, bahkan kali ini, semua itu makin menguat. Kemampuannya diuji dalam membuat setiap potongan kisah dalam The Lord of the Rings kedua ini tetap menarik. Ia dapat merangkai ketiga cerita tersebut dengan kekuatannya masing-masing. Meski, tak dapat dipungkiri, kisah Aragorn, Legolas, Gimli, dan kawan-kawannya lah yang paling menarik perhatian. Hadir dengan komedi kocak dari chemistry Gimli dan Legolas dan epic battle seru: pedang, panah, kapak, dan darah di mana-mana, siapa yang akan menolaknya?
Viggo Mortensen, Ian McKellen, Elijah Wood, Orlando Bloom, John Rhys-Davies, dan cast lainnya, seperti biasa, masih dapat membawa penampilan yang sangat baik. Tunggu, ada yang terlupa? Andy Serkis! Meski bersembunyi dibalik kecanggihan teknologi, ia tetap saja punya kekuatan tersendiri dalam menghadirkan karakter ambigu, abu-abu, dan selalu labil, Gollum. Sayang, tampaknya Oscar memang tak memberikan kesempatan bagi aktor motion-capture.
The Two Towers, seperti pendahulunya adalah blockbuster yang mengandalkan teknologi canggih. Dan kali ini, segala hal berbau CGI itu juga masih tampil memuaskan, ah menakjubkan. Sinematografinya masih hebat, meski entah mengapa namanya hilang daftar Oscar 2003 lalu. Musik latarnya bertambah intens yang didukung pula oleh banyaknya adegan yang juga bertambah intens. Hal yang sama menakjubkan juga ada dalam art-direction, kostum, dan makeupnya. Dalam hal editing, The Two Towers juga kuat. Tentu bukanlah sebuah pekerjaan mudah untuk meracik sebuah kisah epik, dan tentu akan lebih sulit lagi jika ada 3 cerita berbeda dengan tetap tidak mengurangi segala ketegangannya?
9.0/10
The Lord of the Rings: The Return of the King (2003)
"My friends, you bow to no one." ~ Aragorn
Setelah melewati perjalan yang begitu panjang, kini tiba akhirnya bagi Frodo dan para anggota persaudaraan cincin lain untuk mengakhiri semua kejahatan dalam The Lord of the Rings: The Return of the King. TLOTR: The Return of the King boleh berbangga, sebab selain merupakan satu-satunya seri The Lord of the Rings yang mencapai penghasilan di atas 1 milyar dolar, film ini juga berhasil menyapu bersih seluruh nominasi Oscar yang ia dapatkan. Dari kesebelas itu, 3 diantaranya merupakan penghargaan paling prestisius dan ditunggu-tunggu dalam Oscar, yaitu Best Picture, Best Director, dan Best Adapted Screenplay, sedangkan sisanya ada Best Visual-Effect, Best Makeup, Best Original Score, hingga Best Costume Design. Ini memperpanjang daftar film yang pernah meraih 11 Oscar dalam satu malam, bersama dengan Ben-Hur dan Titanic.
The Return of the King masih mempertahankan apa yang telah 'diwariskan' oleh para 'pendahulunya'. Visual-effect menawan, makeup ajaib, sinematografi cantik, musik latar menusuk, kostum dan art-direction yang lebih meyakinkan. Bedanya, kali ini semuanya diolah dengan lebih matang. Kali ini pula, The Lord of the Rings hadir dengan original song, Into the West, yang dinyanyikan Annie Lennox, yang juga menulis lagu ini bersama Fran Walsh dan Howard Shore. Into the West sendiri mempunyai suasana yang sangat sunyi, syahdu, damai, namun poweful dan magical dengan vokal lembut sesekali garang dari Annie Lennox dan alunan gitarnya yang menawan. Sederhana, emosional, dan indah.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, Ian McKellen, Vigo Mortensen, Elijah Wood, Sean Bean, Billy Boyd, dan Dominic Monaghan tetap dapat mempertahankan sinarnya. Begitu pula John Rhys Davies yang menjadi favorit dengan dialog kocak khas dengan segala keangkuhannya. Bersama Orlando Bloom, Davies rupanya dapat pula menghadirkan sebuah bromance yang unik (aneh?) dan kocak. Lupakan Sauron, Gollum rules again! Ya, meski hanyalah villain 'tambahan', namun kharisma Andy Serkis yang bersembunyi di balik Golum memang tak terhindarkan. Selain dapat membuat siapa saja merasa iba dibalik fisiknya yang menyedihkan, ia juga dapat membuat siapa saja tersulut amarah. Ia sukses mengocok-ngocok emosi penonton lewat karakternya itu. Manipulatif, bermulut racun, penuh memori pahit, egois, namun juga manis. Ah, sungguh sifat yang sangat manusia.
Tapi, kredit besar tentu harus disematkan pada para screenwriter juga sutradara. Dengan cerita yang makin bertambah kuat, segmen-segmen cerita yang bertambah menarik, dan konflik berlipat ganda, membuat The Return of the King menjadi sebuah klimaks yang mendebarkan, nikmat, heroik, sekaligus membuat siapa saja sedih dengan berakhirnya trilogi ini. Satu lagi, Jamie Selkirk sebagai editor film memang harus diberi kredit lebih. Seperti yang kita tahu, The Lord of the Rings ini punya duan cerita penting. Lewat tangan Jamie Kirk, ia mampu meracik segala segmen tersebut dan menumbuhkan rasa penasaran penonton, dan hingga akhirnya tiba, seluruh cerita itu akan bersatu dan 'meledak' bersamaan. Secara keseluruhan, The Lord of the Rings: The Return of the King adalah paket komplit, bahkan hampir sempurna. Sebuah blockbuster yang bukan hanya menawarkan keindahan visual maupun audio, tapi juga membawa cast yang bersinar serta penceritaan apik dari sebuah akhir kisah epik yang menakjubakan dan heroik.
9.0/10
______________________________________________________________
The Lord of the Rings merupakan karya yang benar-benar hebat. Peter Jackson dan departemen lainnya mampu mempertahankan kekuatan magisnya dari tahun ke tahun, bahkan makin membaik. Jangan lupakan juga, akhir tahun ini, akan dirilis prekuel The Lord of the Rings berjudul The Hobbits: An Unexpected Journey, yang juga akan dijadikan sebuah trilogi. Mungkin tak akan semegah trilogi The Lord of the Rings, tapi tentu sangat patut ditunggu dan sayang untuk dilewatkan. Sambil menunggu rilisnya The Hobbits, ada baiknya kita menonton kembali trilogi menakjubkan ini, terlebih setelah munculnya versi extended yang menambahkan banyak scene yang tak ditampilkan dalam versi bioskopnya. Jadi, theatrical atau extended version? Extended version for sure!
0 comments:
Post a Comment