Sunday, July 29, 2012

Tagged under: , , , ,

[Review] Pi (1998)

"Restate my assumptions: One, Mathematics is the language of nature. Two, Everything around us can be represented and understood through numbers. Three: If you graph the numbers of any system, patterns emerge. Therefore, there are patterns everywhere in nature." ~ Max Cohen

Siapa yang tak tahu pi? Salah satu konstanta dalam matematika ini sampai sekarang masih menjadi misteri. Konstanta yang merupakan perbandingan antara keliling lingkaran dengan diameternya ini telah dipakai selama lebih dari 4000 tahun. Anehnya, sampai sekarang belum diketahui siapa penemunya. Menarik bukan? Ah, itu belum ada apa-apanya. 

Selama ini, kita mengenal pi hanya dengan 3,14 saja. Tetapi, sebetulnya 3,14 itu hanyalah pembulatan. Mau tau berapa angka yang sebenarnya? Sampai sekarang pun, belum ada yang berhasil memecahkannya. Hingga saat ini, rekor perhitungan nilai pi 'hanyalah' 5 triliun angka di belakang koma. Setelah itu? Tak ada yang tahu, bahkan mungkin saja pi ini memanglah tak berujung. 


Misteri inilah yang menarik seorang matematikawan yahudi, Maximilian Cohen (Sean Gullette) untuk menyingkap misteri ini. Max sangat yakin bahwa semua yang ada disekitar kita, dapat dijelaskan dengan alam, karena itu, baginya matematika adalah bahasa alam. Bisa dibilang, Max adalah orang jenius yang sangat terobsesi dengan angka. Bayangkan, ia mampu menghitung perkalian ratusan hanya dalam waktu 2 detik. Tanpa kalkulator,  tanpa menghitungnya di kertas, hanya dengan otaknya saja.


Tapi kehidupan Max tidaklah sesempurna itu. Ia adalah pengidap paranoid dan sering berhalusinasi mengenai hal-hal aneh. Ia juga merupakan tipe orang yang anti bersosialisi. Beralih ke pi. Ternyata, Max bukanlah satu-satunya orang yang ingin mengetahui angka pi sebenarnya. Ada Lenny Meyer (Ben Shenkmen) dan Marcy Dawson (Pamela Hart). Tentu saja tujuan mereka berbeda-beda. Marcy merupakan seorang wanita berjas yang menginginkan angka itu untuk (mungkin) tujuan ekonomi (karena memang tak pernah disebutkan tujuan ia sebenarnya. Sebaliknya, Lenny, seorang yahudi taat menginginkan angka itu untuk mengungkap nama asli Tuhan yang akan digunakan dalam sebuah ritual agama. Di sisi lain, ada pula Sol Robeson (Mark Margolis), mentor Max yang juga pernah berusaha menyingkap misteri pi ini, namun menyerah pada akhirnya.


Adalah sebuah perpaduan yang cerdas dari Aronofsky, yaitu ia menyelipkan tentang hal berbau mistis (dalam hal ini merupakan agama yahudi) di antara ilmu pasti (matematika) yang menjadi topik utama. Merupakan cara yang cerdas pula bagaimana Aronofsky menggambarkan karakter utamanya, Max yang super jenius, namun anti sosial dan paranoid. Di sini, ia menggambarkan tokoh yang mungkin terlihat sempurna, namun ternyata kenyataannya ia hidup dalam kesengsaraan, hal yang sama dengan apa yang kita lihat di film Black Swan. Keberhasilan ini tentu saja tak terlepas dari andil dari Sean Gullette.

Melalui alur cerita serta editing yang cepat, tata musik yang.. (entah apa namanya) berhasil menggiring kita ke   rasa paranoid Max. Ke sebuah dilema yang dihadapinya. Belum lagi penggunaan warna hitam putih yang juga menambah kesan kelam dalam film. Yah, menonton film ini bagaikan menyelam sedalam-dalamnya ke dalam otak Max, merasakan apa yang dia rasakan, merasakan pula apa yang ia pikirkan.


Pi adalah film yang cerdas tanpa harus berpura-pura cerdas. Aronofsky berhasil menyajikan semua yang ada dalam film ini tanpa harus berpikir terlalu keras (yah, meski 'berpikir' itu tetap ada). Kelam, hitam, sengsara, cerdas, namun menarik. Itulah kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan debut film panjang Darren Aronofsky ini. Tak ada kekurangan yang saya cium dari film ini, kecuali (mungkin) satu-satunya kekurangan yang saya sadari dalam film ini adalah bagaimana 'HCl' (dengan L kecil), dilafalkan dengan 'HCI' (dengan i kapital), LOL.

9.0/10