Saturday, September 20, 2014

Tagged under: , , , ,

[Review] Boyhood (2014)

"Samantha! Why don't you say goodbye to that little horseshit attitude, okay, because we're not taking that in the car." ~ Mom

Dari banyaknya sineas bertalenta yang dimiliki Hollywood, rasanya tak akan terlalu sulit mengenali karya seorang Richard Linklater: narasi sederhana yang dibalut dengan permainan waktu. Kegemarannya bermain dengan waktu memang telah dibuktikan dari trilogi 'Before' yang rilis tiap 9 tahun dan masing-masing dari serinya bersetting dalam waktu yang begitu pendek. Di Before Sunrise, ia mengubah waktu sehari di Viena menjadi kisah manis yang tak lekang waktu bagi dua pasang muda mudi. Before Sunset adalah lain cerita, sebuah reuni singkat sederhana, berisi, dan romantis ditengah suasana canggung setelah lama tak bertemu, sekaligus menjadi terbaik di jajarannya. Kemudian 9 tahun kemudian, Before Midnight mengungkap sebuah kisah cinta penuh kerikil konflik bagi yang sudah tak muda lagi.

Kini, dengan Boyhood, Richard Linklater kembali dengan konsep yang lebih matang, lebih segar, dan lebih mencengangkan. Menghabiskan waktu pembuatan 12 tahun, Linklater bukan hanya membuat sebuah film, tapi lebih dari itu, ia 'mendokumentasikan' waktu, membuat penonton tercengang dan mungkin akan setengah percaya bahwa apa yang terjadi di layar benar-benar terjadi, sekalipun semuanya telah tahu bahwa Boyhood tetaplah sebuah film.


Melalui sudut pandang seorang anak berumur 5 tahun, Mason (Ellar Coltrane), kita menyaksikan sebuah kisah tumbuh dan kembang manusia. Bersama saudarinya, Samantha (Lorelei Linklater), Boyhood 'mendokumentasikan' fase ini lewat pembuatannya yang mengahabiskan waktu lebih dari 12 tahun. Mereka diasuh oleh ibu mereka, Olivia (Patricia Arquette) yang merawat kedua bocah ini sendiri setelah perceraiannya dengan Mason Sr. (Ethan Hawke). Dengan durasi yang hampir mencapai 3 jam, Boyhood bertutur tentang kisah yang familiar selagi kita menyaksikan pertumbuhan Mason dan Samantha serta perjuangan Olivia yang begitu berat dalam mengasuh kedua anaknya.

Silakan lihat situs IMDb, dan baca apa yang tertera di situ: "The life of a young man, Mason, from age 5 to age 18." Sebenarnya hanya butuh satu kalimat itu, sudah mampu mendeskripsikan apa yang film ini ceritakan. Bahkan, tak hanya satu kalimat, film ini pun dapat diceritakan lewat satu kata, 'Boyhood', sesuai apa yang anda lihat di judulnya. Ya, Boyhood memang sesederhana itu di kulitnya, tapi ia tak pernah sesederhana yang anda pikirkan di dalamnya, karena apa yang anda lihat sebenarnya cukup complicated: sebuah kisah fiktif yang terbalut dalam konsep realita kehidupan.


Naskah hasil kerja keras Linklater, sekalipun menyorot kehidupan 'sederhana' layaknya kehidupan orang lain pada umumnya, Boyhood bukanlah sebuah karya seperti yang sudah-sudah. Hal yang paling istimewa tentang Boyhood adalah kisahnya merupakan sebuah pandangan lebih jauh mengenai satu fase terpenting dalam kehidupan manusia, dan hebatnya lagi, hadir tanpa embel-embel drama konvensional Hollywood. Tak ada dramatisasi besar dalam caranya bertutur, anda tak akan melihat mereka berubah menjadi remaja psikopat atau remaja kurang ajar dalam We Need to Talk About Kevin dan Spring Breakers. Kisahnya bergulir seperti air yang mengalir di sebuah sungai. Ada kalanya ia berarus lambat dan ada kalanya di mana ia harus 'berlari' kencang, namun kembali lagi, minus apa yang biasa kita lihat dalam Hollywood..

Ya, segala tentang Boyhood adalah segala sesuata yang kita tahu akan terjadi. Seorang single mom yang merawat 2 anaknya, apa yang anda ekspektasikan? Pernikahan, perceraian, romansa monyet, graduation, college, pernikahan lagi, dan perceraian lagi, Sama sekali bukan masalah membeberkan kisahnya dan bahkan tak akan pula merusak pengalaman menonton anda, karena setiap orang juga telah tahu apa yang akan terjadi pada akhirnya. Apakah ini membuat Boyhood adalah karya yang biasa-biasa saja? Sama sekali tidak. Inilah yang membedakan Boyhood dengan yang lainnya, sekalipun kontennya bukan hal yang baru, bagaimana Linklater membuat Boyhood tetap menarik adalah caranya bercerita dengan begitu akrab dan intim kepada penonton. Ini bukan hubungan guru-murid dengan batas di antaranya. ini adalah hubungan yang terjalin persis seperti ketika Patricia Arquette 'mendongengkan' novel Harry Potter kepada 2 anaknya: tulus dan tanpa penghalang.


Tapi, jangan lupakan satu lagi langkah menarik dari Linklater yang sukses membuat penonton merasakan apa yang telah terjadi selama 12 tahun pembuatannya. Ya, jangan kaget ketika ia menyisipkan begitu banyak referensi kultur pop yang erat hubungannya dengan zaman tertentu yang membuat banyak senyum simpul tercipta: dari demam Harry Potter, Britney Spears' ...Baby One More Time, Aaliyah's Try Again, Lady Gaga's Telephone, hingga Gotye's Somebody That I Used to Know, Boyhood rupanya bukan hanya sukses berkat betapa revolusioner narasinya, tapi juga berkat nilai nostalgianya yang begitu besar dalam alurnya yang dinamis dengan waktu, Semua itu, berhasil mengembalikan waktu, layaknya mesin waktu yang membuat para penonton tumbuh lagi untuk kedua kalinya.

Tidak sulit menentukan apa saja hal yang membuat kita berdecak kagum akan Boyhood. Dari kisah, nostalgia, hingga kesederhanaannya, tapi jangan lupakan bagaimana Boyhood menghadirkan tiap jajaran karakternya. Ada chemistry kokoh yang terjalin dari tiap karakter. Ya, waktu 12 tahun itu tentu berkontribusi banyak, tapi tak sampai di situ, karena berkat hal ini, ada hubungan erat yang terjalin antara karakter dengan penonton. Akting dua objek dari studi karakter ini memang bukanlah akting terbaik yang anda lihat dalam dekade ini, bukan hal luar biasa namun bukan itu yang kita cari. Semua tentang Boyhood adalah kesederhanaan, dan kejujuran berakting dari Ellar Coltrane dan Lorelei Linklater serta apa yang terjalin di antara mereka adalah apa yang dibutuhkan dalam kisah seperti ini.


Tapi, seberapa besar fokus film tertuju pada proses menuju dewasa seorang remaja, penampil terbaik tetaplah dipegang oleh sang ibu, diperankan aktris indie veteran, Patricia Arquette, yang mampu membuat judul alternatif 'motherhood' sebenarnya merupakan ide yang bagus. Sebagai single-mom Olivia, Patricia tak hanya mampu tampil memukau dengan akting kelas satu saja, di tengah keterbatasan waktunya, ia bahkan berhasil membuat tema 'motherhood' hadir dengan tegas tanpa harus tertutupi porsi 'boyhood'-nya yang jauh lebih dominan. Selain anggota keluarga Arquette tersebut, Ethan Hawke, aktor langganan Richard Linklater juga hadir memberi warna. Ia, keceriaan, selera humor, dan kegemarannya terhadap musik hadir menyeimbangkan kisah, membuatnya mungkin merupakan salah satu sosok ayah terkeren dalam sejarah perfilman.

Ya, Boyhood bukan lah sekedar film coming-of-age indie biasa. Berangkat dari idenya yang luar biasa, Linklater membawa tema sederhananya mencapai level baru dalam industri perfilman yang belum pernah dicapai sebelumnya, menyentuh realitas dengan caranya yang sederhana namun berbeda. Boyhood mampu membuat bubuhan makeup terasa begitu old-fashioned dan penuaan alami merupakan trend terbaru, membuat siapapun tersenyum simpul lewat nostalgia yang Linklater tabur sekaligus menegaskan bahwa Boyhood adalah film ter-up-to-date yang pernah ada. Nafasnya sederhana, kisahnya pernah (atau setidaknya akan dialami) oleh 7 milyar manusia di bumi. Tapi, apa yang mampu membuat Boyhood berada di zona berbeda adalah bahwa Richard Linklater tahu semua itu, membiarkannya mengalir begitu saja tapi tanpa pernah membiarkan ritme kisah jatuh, dan masih dengan dihiasi konflik-konflik tajam meski konteksnya tetaplah sederhana. Ini semua, sukses membuat 3 jam durasinya sama sekali bukanlah pengalaman yang melelahkan, melainkan menawarkan sebuah pengalaman sinematik penting yang jarang, atau bahkan tak akan pernah anda temui lagi. Ya, Boyhood dinamai 'Boyhood' karena suatu alasan, dan itu sama sekali bukan alasan yang salah, karena sesuai judulnya, Boyhood mampu membawa kembali waktu, dan membuat kita terjun ke dalamnya. Simply amazing.