Friday, May 30, 2014

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Oculus (2014)

"I've met my demons and they are many. I've seen the devil, and he is me." ~ Alan Russell


Berapa banyak film yang mengkambinghitamkan benda mati sebagai medium para makhluk supernatural? Sangat banyak. Oculus, adalah salah satunya. Berasal dari Bahasa Latin yang berarti mata, film horor ini mengangkat cermin sebagai highlight-nya. Disutradarai oleh Mike Flanagan, Oculus didasarkan dari sebuah film pendek yang ia sutradarai pula pada 2006 lalu. Naskahnya, adalah karya kolaborasi Flanagan dengan Jeff Howard. Berbekal itu semua, mampukah Oculus muncul sebagai horor berkualitas di tengah ide kisahnya yang jauh dari kata segar?

Semua fokus tertuju pada sebuah cermin. Berawal dari Alan Russell, seorang pengembang komputer yang pindah ke rumah baru bersama istrinya, Marie, dan kedua anaknya, Tim dan kakanya, Kaylie. Alan sendiri membeli sebuah cermin antik sebagai dekorasi dalam ruang kerjanya. Tragedi besar pun terjadi yang menewaskan Alan dan Marie, sementara Tim harus masuk ke instalasi jiwa. Sebelas tahun kemudian, Tim kembali, dan berkumpul lagi dengan sang kakak, Kaylie, yang rupanya telah menghabiskan bertahun-tahun untuk menyelidiki sejarah cermin tersebut. Berkat pekerjaan Kaylie sebagai pegawai dalam rumah pelelangan, mereka berhasil mendapatkan cermin itu kembali. Sekarang, goal-nya terdengar cukup sederhana: menghancurkan si cermin dan memutuskan segala kutukan dalam benda antik itu.


Lihat baik-baik kisahnya: Apa yang baru dari ide cerita Oculus? Nyaris tak ada, sudah banyak film horor yang mengangkat benda-benda semacam ini. Lantas, apa itu membuat Oculus menjadi film horor yang buruk? Sama sekali tidak! Justru, jujur saja, Oculus adalah salah satu horor terbaik tahun ini. Setelah rilisnya The Conjuring (well, setidaknya), definisi horor modern bagus berubah: mampu meneror seisi bioskop, sekalipun menawarkan cerita usang. Oculus pun, melakukan hal yang sama, bahkan lebih dari itu, ada hal istimewa lain yang menjadi alasan kuat mengapa Oculus sangat patut untuk diapresiasi. 

Mengembangkan kisah layaknya Oculus memang bukan pekerjaan mudah. Sepanjang 104 menit, hampir semuanya berada di bawah kendali sebuah cermin antik. Selama itu pula, film ini mengambil setting di tempat yang itu-itu saja. Belum lagi, dengan ide cerita yang sebenarnya bukanlah hal baru dan sangat sederhana. Akibatnya, seluruh ruang gerak untuk mengembangkan film ini menjadi horor yang berbeda menjadi sempit dan sangat terbatas. Salah-salah, ia bisa saja tampil mediocre dan berakhir tanpa kesan. Tapi, akal dari duo screenwriter, Mike Flanagan serta Jeff Howard, memiliki ruang gerak tak terbatas. Lewat hal ini, mereka berhasil menawarkan sebuah trik sulap yang menarik: pengemasan narasi secara paralel.


Dengan menerapkan narasi yang secara hampir bersamaan memaparkan dua garis cerita berbeda, masa lampau dan sekarang, Oculus berhasil menarik minat saya. Ini bukan hanya menambal kisah sederhananya, bahkan mampu menutupinya dan membuat saya melupakan betapa usang ceritanya. Sekali, hal ini pun bukanlah hal baru, tapi dengan eksekusi mendekati sempurna, elemen inilah yang terus 'memaksa' saya untuk terus mengarungi sekaligus menikmati perjalanan dua bersaudara ini. Dengan langkah ini, Flanagan dengan cerdas mampu memompa intensitas, menegakkan atmosfer gelapnya, menipu siapa pun dengan berbagai ilusinya, menyuntikkan letupan-letupan yang efektif dan meledak-ledak, dan tentunya meneror penonton.

Hingga second act-nya, semua terasa baik-baik saja. Arahan dari Flanagan mengalir cukup lancar dan sukses menggiring film ini menjadi pemacu adrenalin mujarab. Oculus mampu menawarkan apa yang harusnya ditawarkan oleh sebuah horor, khususnya horor psikologis: bukan hanya ampuh dalam menakut-nakuti, tapi juga sukses membuat penonton terlarut dalam lautan teka-teki yang penuh tanda tanya sekaligus tertipu dengan trik-triknya. Dengan kejutan yang datang lapis demi lapis, membuat penonton sedikit menutupi mata dengan kedua tangan, tapi secara bersamaan, mata tetap setia menatap layar dengan rasa penasaran yang kian menit makin terusik dan menggebu-gebu. 


Tapi, menjelang akhir, Flanagan terasa kebingungan membawa Oculus ke titik puncak. Ilusi maupun trik-triknya mulai menjadi repetitif dengan narasi yang dibawanya juga mulai berputar-putar. Ini tentu berakibat pada setiap kejutan menjadi less surprising dan ketegangan yang tadinya telah terjaga cukup baik, perlahan mengendur. Pada akhirnya, dengan intensitas yang perlahan menurun, Oculus masih bisa berakhir dengan kejutan yang saya kira cukup mengejutkan, namun sayangnya terlampau sederhana dan straight-forward, sehingga tak mampu menyamai apa yang telah dibangun dengan susah payah dalam first hingga second act-nya. Meskipun, ending seperti ini malah makin menegaskan peran mengerikan cermin keramat ini.

Keseluruhan Oculus memang berada dalam kendali benda mati: sebuah cermin, namun tak berarti departemen cast-nya dapat kita lupakan. Justru, masing-masing dari mereka berhasil besar dalam melakonkan setiap perannya. Karen Gillan tampil meyakinkan sebagai pemimpin cast yang tangguh, penuh persiapan, dan ambisius. Di sisi lain, Annalise Basso serta Garrett Ryan tak kalah andal dalam memainkan duo Russell kecil bersaudara. Tapi, penampilan magnetik datang dari Katee Sackhoff, yang gemilang sebagai seorang ibu dengan dua sisi: sisi lembut dan sisi garang yang ia tampakkan ketika makhluk supernatural mulai merasukinya.


Dari segala hal mengenai Oculus, ada satu hal lain yang begitu krusial bagi film ini. Bukan cermin, cast, naskah, ataupun penyutradaraan. Jika anda telah menonton film ini, pasti anda akan sadar akan hal itu: editing. Ya, film ini memang bergantung banyak pada porsi tersebut, terutama dalam hal menjaga intensitas ketegangan. Dengan suntingan gambar yang dilakukan dari bangku sutradara sendiri, yaitu Mike Flanagan, ia hadir dengan cemerlang dalam membungkus Oculus menjadi sebuah perjalanan 'menyenangkan' penuh lompatan waktu dengan transisi amat halus, bahkan kita bisa saja tak menyadarinya. Bravo!

Memadukan kisah konvensinal dan mengemasnya dalam sebuah konsep yang sebenarnya bukan hal baru, Oculus berhasil menjadi suatu angin segar dengan eksekusinya yang matang. Penampakan hantunya jujur tak terlalu menakutkan, namun arahan dari Flanagan lah yang berhasil membuat Oculus menjadi mesin teror efektif lewat ilusi dan trik-trik tipuannya dengan naskah ditulis mumpuni dan kreatif dengan segala keterbatasan ruang geraknya. Dengan kejutan yang berlapis-lapis, letupan-letupan intens, atmosfer yang begitu dingin di tengah kegelapan, cast-nya yang bertalenta hebat, hingga bintang utamanya, sang cermin, terus menerus mengeluarkan aura misteriusnya, Oculus bukanlah sekadar horor kemarin sore yang sama sekali buta tentang cara menakuti-nakuti, terlepas dari segala kekurangannya, ini adalah horor yang dipupuk dengan cukup solid dan sepenuh hati.

Thursday, May 29, 2014

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] X-Men: Days of Future Past (2014)

"You're afraid. I remember." ~ Professor Charles Xavier

Pamor X-Men, dengan tokoh andalannya Wolverine, boleh jadi tak seterang Spider-Man, Superman, Batman, atau komik superhero lainnya. Tapi, perlu diingat, eksistensi selama 13 tahun dalam industri perfilman itu bukan main-main. Di mulai dari X-Men (2000) yang pertama kali mempertemukan kita dengan Wolverine, Professor X, dan Magneto, kemudian berlanjut pada sekuel-sekuelnya hingga dihidupkannya kembali franchise ini lewat X-Men: First Class (2011), dan yang teranyar, sebuah standalone dari Wolverine dan tentunya sekuel bagi X-Men: First Class dan X-Men: The Last Stand sekaligus, yaitu X-Men: Days of Future Past.

Tak hanya dibintangi Jennifer Lawrence, James McAvoy, dan Michael Fassbender dari X-Men: First Class, kini bergabung pula Hugh Jackman, Ian McKellen, Patrick Stewart, dan Halle Berry dari X-Men sebelum-sebelumnya. Untuk menangani proyek krusial ini, mengingat ada beban berat yang dipikulnya, tentu bukan sembarang orang yang dipilih. Dengan menggaet kembali Bryan Singer, orang yang berada di balik kesuksesan X-Men serta X-Men 2, di bangku sutradara, dan gagasan cerita dari trio Jane Goldman, Simon Kinberg, dan Matthew Vaughn, yang sebelumnya berjasa dalam menghasilkan X-Men: First Class, ini adalah winning team yang benar-benar ampuh. Namun, benarkah?


Dibuka dengan penuh ketegangan, kita diperkenalkan dengan dunia dystopian di mana mesin pembunuh bernama Sentinel berkeliaran untuk membasmi para mutan serta menindas para keturunan mutan-manusia. Ketika populasi mutan telah terancam, sekelompok kecil mutan, yang terdiri dari Bishop (Omar Sy), Blink (Fan Bingbing), Sunspot (Adan Canto), Warpath (Booboo Stewart), Colossus (Daniel Cudmore), serta Iceman (Shawn Ashmore), selamat berkat bantuan Kitty Pryde (Ellen Page), mutan yang mampu memproyeksikan pikiran seseorang ke masa lalu.

Untuk menyelatkan mutan dari ancaman Sentinel, kelompok ini kemudian bertemu dengan Wolverine (Hugh Jackman), Professor X (Patrick Stewart), Magneto (Ian McKellen), serta Storm (Halle Berry) di sebuah biara di Cina. Caranya, adalah dengan mengirim kesadaran Wolverine kembali ke tahun 1973 dan menggagalkan usaha Mystique (Jennifer Lawrence) untuk membunuh Dr. Bolivar Trask (Peter Dinklage), otak dibalik terciptanya Sentinel, yang sebenarnya tercipta berkat DNA Mystique yang diambil setelah ia membunuh Trask. Untuk mencegah Sentinel diciptakan dan mencegah kepunahan para mutan di masa mendatang, Wolverine juga membutuhkan bantuan versi muda dari Professor X (James McAvoy) dan Magneto (Michael Fassbender).


Goal-nya sederhana: menghentikan langkah Raven yang dapat membahayakan dunia mutan di masa depan. Tapi, tak sesederhana kedengarannya: narasi sesak akan puzzle yang terpecah, penuh layer, dan lompatan waktu di sana-sini. Dalam merangkai tiap bagian dalam naskahnya, upaya Simon Kinberg terbilang sukses besar dengan mengangkat drama matang yang dikelilingi kekuatan super plus humor-humor komikal, sekalipun tak sepenuhnya mulus. Tak sampai di situ, upayanya untuk membuat para fanboy berteriak histeris patut diacungi jempol, dari mengirim Wolverine, karakter paling dikenal dari universe X-Men, ke masa lalu ketimbang Kitty seperti dalam komik aslinya, merangkul karakter-karakter lintas generasi sekaligus, hingga mempertemukan Charles Xavier dengan Charles Xavier dalam 1 frame! Dengan mengambil latar belakang perjalanan waktu yang dihiasi suasana dystopian yang juga membawa banyak aroma humanity di dalamnyaX-Men: Days of Future Past hadir tidak hanya dengan narasi menghentak dan serba besar a la film superhero tipikal, tapi juga cerdas dan thought-provoking. The smartest X-Men film to date!

Sebagai sebuah film action, aksinya begitu infeksius. Tak sekadar menghancurkan apapun yang ada di depan mata, tapi lebih dari itu, ketegangan ditingkatkan pula secara intensif. Bryan Singer secara cerdas berhasil menawarkan porsi berimbang bagi aksinya, tanpa menutupi narasinya secara keseluruhan. Mencapai bagian klimaks, mungkin tak akan ada pertarungan yang benar-benar masif seperti film-film sejawatnya (sekalipun pertarungan itu tetap ada dan melibatkan sebuah stadion), namun tak berarti klimaks yang dihadirkan begitu mentah. Bukan Bryan Singer namanya kalau ia tak dapat mengemasnya secara apik dan epic. Dengan pengemasan penuh lapisan dari 2 waktu sekaligus serta suntikan emosional yang bertubi-tubi, klimaks ini tak hanya mampu dibungkus dengan penuh keseruan, tapi juga meninggalkan emosi yang mendalam. Sebuah hal yang mungkin jarang kita temui di tengah serbuan film pahlawan super akhir-akhir ini yang meninggalkan penonton hanya dengan keseruan belaka.


Adalah tugas berat bagi Bryan Singer untuk menggabungkan sebuah cast raksasa dalam 131 menit. Bahkan lebih berat ketimbang The Avengers yang menggabungkan 6 pahlawan super sekaligus, X-Men menawarkan jauh lebih banyak mutan, dan tak tanggung-tanggung, mereka hadir dalam 2 generasi yang berbeda. Ya, dan Bryan Singer sukses memberi ruang bagi para aktornya untuk berkembang, meski halangan itu tak bisa dipungkiri. Ada banyak aktor langganan Oscar di sini. Dari Wolverine, Magneto, Mystique, Kitty, Storm, hingga Rogue, beberapa dari mereka setidaknya hampir merasakan rasanya memegang Oscar statue, bahkan beberapa telah membawanya pulang (Jennifer Lawrence, Halle Berry, dan Anna Paquin), meski sayang, Halle Berry dan Anna Paquin terkesan dihadirkan hanya untuk menghapus rasa haus para diehard fans

Jennifer Lawrence, tentu menjadi fokus, karena posisi vitalnya dalam narasi. Sebagai Raven/Mystique yang hidup dalam ketakutan dan kehilangan arah, ia dingin, manipulatif, tangguh, dan tak banyak omong. Hugh Jackman sebagai si easy-going Wolverine, James McAvoy sebagai Professor X versi putus asa, Michael Fassbender sebagai mutan abu-abu, hingga Peter Dinklage si villain mungil juga hadir memuaskan. Namun, dari sekian banyak mutan berseliweran, Quicksilver alias Evan Peters adalah sang scene stealer. Dengan pembawaan eksentrik, penampilan komikal, hingga kemampuannya yang membuat siapapun berdecak kagum, ia mungkin merupakan everybody's favorite now. Mungkin hanya satu kekurangannya: screentime yang harusnya lebih banyak!


Sedikit berbeda dengan film superhero pada umumnya, tak ada karakter yang benar-benar berada di jalur hitam. Mystique, sekalipun ia merupakan ancaman besar bagi dunia mutan, ia tetaplah tak lebih dari sekedar gadis yang kehilangan jati dirinya. Sama halnya dengan Magneto, di luar mindset 'kill-or-be-killed'-nya, kita selalu tahu hubungan frenemy-nya dengan Professor X. Sedangkan villain lain dalam film ini, Bolivar Trask, pria di balik mesin pembunuh Sentinel, juga tak bisa dikatakan sebagai villain sejati. Di balik tubuh 4 kakinya, ia bukan seseorang yang benar-benar hidup dalam area hitam. Ia hanyalah seorang manusia yang tak mampu memahami para mutan, dan terperangkap dalam ketakutan. Dengan memanfaatkan batas hitam-putih ini, Bryan Singer dengan cerdik mampu meraih simpati dari siapapun karakternya, termasuk dari sang antagonis itu sendiri.

Lewat Days of Future Past, X-Men kembali membuktikan eksistensinya di tengah serbuan para karakter Marvel Comics lain seperti Avengers, Guardians of the Galaxy, hingga si individualis Spider-Man. Tajam, namun menyenangkan. Garang, namun emosional. Ini jelas bukan lah kualitas Bryan Singer yang kita temukan pada Superman Returns apalagi Jack the Giant Slayer, ini adalah Bryan Singer baru yang pernah kita lihat di karya-karya terdahulunya. Didampingi departemen teknikal kelas wahid dan labelnya yang serba lebih; lebih besar hingga lebih kacau (in a good way), X-Men kali ini bukan hanya sebuah pengeruk dollar di tengah musim panas, di saat yang sama ia juga menawarkan keseruan tak terbatas dalam drama mutannya yang kompleks dan penuh pemikiran serta emosi, pacing cepat dan tepat dari Bryan Singer, sampai mega-cast bertabur bintang yang mampu bersinar tanpa henti. Epic, epic, epic!



Sunday, May 4, 2014

Tagged under: , , , , , ,

[Review] The Raid 2: Berandal (2014)

"Sini bolanya." ~ Baseball Bat Man

Apa yang telah dicapai The Raid adalah pencapaian yang begitu luar biasa. Sebuah pencapaian yang mendekati sempurna dari kacamata genre action. Dengan lingkup sempit, The Raid mampu membangkitkan kembali gairah action negeri, bahkan dunia hanya lewat 10 lantai penuh ketegangan. Tentu, membuat sebuah sekuel dari pendahulu yang begitu kuat adalah pekerjaan yang jauh dari kata mudah. Tapi, Gareth Evans punya sejuta cara untuk menyempurnakan kesempurnaannya. Tapi, bagaimana?

Dimulai dua jam setelah film pertamanya berakhir, The Raid 2 meneruskan kisah Rama (Iko Uwais) yang berhasil selamat dari operasi penyerbuan sarang gembong narkoba yang berakhir gagal. Selepas kemenangan 'kecil'-nya, ia mengira ia dapat meneruskan hidupnya seperti biasanya, tapi rupanya apa yang terjadi sebelumnya hanyalah umpan yang mengarahkannya pada dunia kriminal besar-besaran yang dipimpan dua kekuatan masif: keluarga Bangun serta keluarga Jepang, Goto. Cepat atau lambat, nyawa keluarganya ada di ujung tanduk. Ia tak punya pilihan selain menyamar dan masuk sendiri ke dalam dunia kejam yang haram itu demi menciduk kepala kriminal-kriminal kelas kakap.


Mau tidak mau, ia harus berganti identitas dengan memakai nama 'Yuda', dan memulai segalanya dari awal: penjara. Tujuannya kala itu hanya untuk mendapatkan kepercayaan Uco (Arifin Putra), putra dari Bangun (Tio Pakusadewo), kepala geng kriminal terbesar di Jakarta, dan berusaha menyusup ke dalam sarang mematikan. Artinya? Sama saja ia menjerumuskan dirinya sendiri ke dunia brutal tak kenal ampun, sebuah kekuatan besar yang membayangi Kota Jakarta selama puluhan tahun.

Ya, inilah langkah Evans dalam menyempurnakan kesempurnaannya, meluaskan segala lingkup. Bukan lagi menawarkan mega-action ditengah cerita yang setipis kertas, tapi menawarkan cerita yang lebih kaya dan besar, meski tidaklah baru. Tapi, ini adalah sebuah film action, yang jelas bergantung pada semua adegan pemacu adrenalin, dan Gareth Evans telah terbukti kredibilitasnya dalam karya-karya sebelumnya. Memanfaatkan 150 menit yang ia punya, Evans tak pernah setengah-setengah mengerahkan kemampuannya, apalagi didukung duo koreografer, Yayan Ruhiyan dan Iko Uwais, yang tak pernah kehabisan ide dalam menciptakan gerakan-gerakan indah namun mematikan. Mereka menghiasi 150 menit dengan keseruan tiada tara, keseruan setelah keseruan. Tak tanggung-tanggung, baru pada menit pertamanya, kita telah disajikan darah, dan darah.


Makin jauh, imajinasi seorang Evans makin liar. Sambil menggelitik kita dengan satir-satir tentang negeri sendiri dan juga dengan black comedy-nya, kita makin dibawa ke sebuah wadah imajinasi penuh darah. Semuanya berskala besar di sini, dari lingkup hingga pertarungan. Adegan kejar-kejaran mobilnya mungkin merupakan salah satu yang terbaik yang pernah dibuat, subway scene mengantarkan kita ke gerbong berdarah dipimpin karakternya yang dingin, muddy fight yang kotor, brutal, dan 'messy' mendefinisikan istilah 'break a leg' dalam arti sebenarnya, hingga pertarungan klimaksnya yang berlapis-lapis. Digarap penuh kesempurnaan dengan production design apik serta cinematography cantik, Evans seakan tak memberikan waktu bagi penonton untuk bernapas, dan itu berarti pula, ia tak membiarkan kata 'menjemukkan' keluar dari mulut penonton.

Berbalik ke kisah yang diangkatnya: sebuah kota besar, dikendalikan pula oleh 2 rival mafia besar dan bengis. Tentu, hal seperti ini tidaklah asing lagi bagi telinga. Sineas kawakan layaknya Martin Scorsese dan Francis Ford Coppola sudah pernah menggunakan formula mafia macam ini, bahkan sudah sejak 42 tahun yang lalu. Ya, anda memang tak salah jika menemukan kemiripan saga The Godfather atau Goodfellas di dalamnya, namun Berandal tetaplah Berandal. Meski Evans telah mempunyai modal cerita yang lebih besar, ia tak mau membuat Berandal hanyut dalam cerita kompleks dan kita berlari meninggalkan tujuan utama Evans: menghadirkan bela diri heboh dengan kekerasan di mana-mana. So, inilah The Raid: Berandal: sebuah kisah yang menonjolkan kekerasan dan darah dalam lingkup mafia-mafia bengis, and it's a good thing, really.



Setiap hal memiliki konsekuensi, termasuk untuk langkah ini. Tapi, Gareth Evans bukanlah sineas bodoh yang tak pernah berpikir ke arah situ. Well, yes, Evans memang bukanlah pencerita expert, namun ia punya kunci ampuh: menciptakan karakter-karakter eksentrik dan 'sakit jiwa' (literally and figuratively) yang mampu membuat kisah mafia ini jauh lebih menarik. Dari situ, lahirlah karakter-karakter baru yang gila: duo pembunuh kakak beradik yang terdiri dari pria yang doyan menyeret bat metalnya dan wanita tuna wicara yang selalu membawa kapak di tangan kanan-kirinya, seorang assassin misterius tak bernama dan bahkan tak pernah berbicara, namun punya tatapan tajam dan kemampuan matang, hingga titisan Mad Dog yang bergaya gembel.

Mereka bukan sekedar pemanis. Baseball Bat Man, dengan kemampuan memukul bola yang impresif, mampu membuat semua berlari kencang hanya karena mendengar bunyi seretan metal bat-nya. Hammer Girl, adalah gadis unik yang masa bodoh ketika semua orang melihatnya mengeluarkan dua kapaknya di tengah keramaian subway dan dengan tenangnya menghabisi jajaran pria berjas hitam (what.. a.. scene!). Prakoso, family-oriented man (well, kind of) yang mungil adalah titik emosional di tengah sunyi dan dinginnya salju Jakarta yang tropis. Sementara, The Assassin adalah pemegang puncak kebrutalan, grand finale yang digarap maksimal selama 6 minggu, yang membuat dahaga setiap orang akan kebrutalan terbayar lunas.


The Raid 2 punya amunisi tangguh dalam cast-nya, tentu kita memiliki Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan yang telah kita kenal ke-badass-annya di The Raid pertama. Cecep Arif Rahman mampu mempertahankan kemisteriusannya dan memberikan duel maha dahsyatnya di klimaks film. Very Tri Yulisman, dengan satu quote-nya yang begitu memorable, mampu membawa Baseball Bat Man ke puncak keberingasannya (dan ketenangannya). Julie Estelle, yang mungkin tidak asing lagi dengan bau anyir darah (Rumah Dara), namun benar-benar buta tentang silat, berhasil menyajikan kejutan menyenankan dengan bermain apik sebagai si wooden face Hammer Girl yang sedingin es. Di lain sisi, selain para penendang bokong ini, The Raid 2 mempunyai cast impresif lain. Tio Pakusadewo tentu tak menemui masalah sedikit pun, luar biasa seperti biasanya. Arifin Putra mendapatkan lampu sorot lebih di sini, dengan porsi yang lebih banyak serta didukung kemampuannya mengubah Uco menjadi mafia haus kekuasaan.

Besar, mencengangkan, dan meledak-ledak, ini jauh lebih agresif dan matang ketimbang pendahulunya. Evans tahu betul bagaimana membuat sebuah sekuel yang dengan mudah lepas dari bayang prekuelnya yang tak kalah membabibutanya. Ini jelas membuat penggemar action garis keras bersorak-sorai gembira dan menjadikan siapa pun jatuh hati pada setiap adegan 'bag big bug' untuk pertama kalinya. Keseruannya tak terbantahkan, dengan storyline yang meski tidaklah baru, namun yang jelas bukan lagi setipis kertas. Selepas The Raid yang memunculkan gairah baru dalam action genre, sekuelnya hadir kembali tak ubahnya zombie kelaparan yang siap 'menelurkan' korban baru hanya dengan sekali gigitan, dan salah satu 'korbannya' adalah anda.