Saturday, May 25, 2013

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Oz the Great and Powerful (2013)

"I don't want to be a good man. I want to be a great one." ~ Oscar Diggs

Siapa yang bosan dengan proyek remake, reboot, atau prekuel film yang rasanya tidak perlu lagi diutak-atik? Anda tidak sendiri, saya pun lama-kelamaan jenuh dengan hal seperti. Meskipun, sebenarnya kalau saja ada film yang ingin diobrak-abrik seperti tadi, saya termasuk yang menunggu kehadirannya. Contohnya, proyek yang satu ini, Oz the Great and Powerful, yang merupakan prekuel dari legenda klasik, The Wizard of Oz, yang diangkat dari novel karya L. Frank Baum berjudul The Wonderful Wizard of Oz. Meski The Wizard of Oz sejujurnya merupakan film yang tak tergantikan dan sayang untuk dibongkar-ulang, namun tetap saja saya menunggu prekuelnya.

Prekuel dari film klasik ini sendiri ber-setting 20 tahun sebelum kejadian di The Wizard of Oz terjadi jadi jangan heran jika tak ada Dorothy Gale dalam homage ini. Pihak-pihak yang menggarap prekuel ini pun tak boleh dianggap remeh. Di bangku sutradara, ada Sam Raimi, sutradara yang sukses menghidupkan 2 trilogi hebat dan saling bertolak belakang, The Evil Dead yang berdarah-darah dan kisah si manusia laba-laba dalam Spider-Man. Sebagai penulis naskah, ada kolaborasi antara Mitchell Kapner serta penulis script Rabbit Hole, David Lindsay-Abaire. Dari jajaran cast, Oz versi Raimi ini juga tak mau ketinggalan. Ada beberapa nama beken seperti James Franco, Mila Kunis, Michelle Williams, dan Rachel Weisz


Sebagai prekuel, Oz the Great and Powerful mengisahkan awal kisah Oz atau Oscar yang menjadi pemimpin dari negeri kaya warna ini. Filmnya diawali dengan seorang pesulap ambisius meski karirnya disitu-situ saja, Oscar Diggs atau Oz (James Franco), yang sedang mengadakan pertunjukan di Kansas. Saat badai mulai datang, seorang angkat besi sirkus mengejarnya, karena menemukan bahwa istrinya telah dirayu oleh Oscar dengan memberinya sebuah kotak musik. Saat sedang mencoba lari, ia menemukan sebuah balon udara dan berhasil kabur dengan menerbangkannya. Namun, balon udara tersebut masuk ke dalam tornado yang membuatnya mendarat ke sebuah negeri bernama sama dengannya, Oz.

Di sana, ia bertemu dengan Theodora (Mila Kunis), seorang penyihir baik yang percaya dialah penyihir yang sesuai ramalan, akan mengalahkan wicked witch yang telah membunuh raja sebelumnya. Oscar yang tak tahu apa-apa mengiyakan perkataan Theodora dan akan menuju Emerald City, meski sebenarnya Oscar bukanlah penyihir sama sekali. Dalam perjalanannya menuju Emerald City, Oscar berhasil menyelamatkan seekor monyet terbang, Finley (Zach Braff), dari seekor singa. Untuk membaya jasanya, Finley yang akhirnya menjadi pengikut setianya. Sesampainya di Emerald City, mereka bertemu Evanora (Rachel Weisz), saudari Theodora yang mengatakan bahwa wicked witch yang tinggal di Dark Forest mampu dikalahkan dengan mematahkan tongkatnya. Lalu, ditemani Finley, Oscar pun memulai perjalanannya, meski ia sama sekali tak tahu apa yang ia hadapi.


Apa yang disajikan duo Lindsay-Abaire dan Kapner dalam naskahnya sebenarnya tak ada yang seistimewa judulnya. Kisah yang ada juga seperti kisah yang telah dipakai dalam beberapa buku maupun film fantasi lainnya, baik vs. jahat, dengan akhir yang dapat diprediksi dengan mudah, bukan hanya bagi yang telah menonton The Wizard of Oz, yang belum pun dapat menerkanya dengan cukup mudah. Namun, apa yang menjadi kelebihan naskah ini adalah bagaimana mereka menyisipkan humor-humor segar kedalamnya, meskipun sebenarnya saya berharap akan lebih banyak terdapat dialog-dialog hangat seperti yang dapat kita temui dengan mudah dalam The Wizard of Oz. Selain humornya, script ini juga memiliki kelebihan lain, yaitu keputusan mereka untuk menambahkan berbagai kejutan dalam naskahnya, yang sukses mengurangi kadar ke-predictable-an film ini.

Selaku sutradara, Sam Raimi saya akui mampu mengemas prekuel ini dengan baik. Ia dapat mengeksekusi porsi-porsi humor dengan sangat baik alias mampu membuat humor dalam bentuk naskah tersebut menjadi benar-benar lucu, hingga dengan sukses mampu membuat saya tertawa dengan candaannya. Raimi juga mampu membuat Oz the Great and Powerful menjadi tontonan yang sangat menyenangkan, enjoyable, dan berhasil membuat saya betah berlama-lama menyusurinya, meskipun dengan durasi yang cukup lama, yaitu 130 menit. Saya sendiri lumayan suka dengan kejutan yang dikemas Raimi, meski saya berharap Raimi bisa lebih menambah efek kejut tersebut, sehingga kesannya lebih 'menyetrum' dan nendang.


Sebagai sebuah homage, bagi saya Oz the Great and Powerful mampu membuat sebuah penghormatan yang baik bagi The Wizard of Oz dengan mengadopsi beberapa hal dari film keluaran 1939 ini. Salah satu contohnya adalah bagaimana film ini mengadopsi transisi monochrome-to-color yang tentunya merupakan sebuah penghormatan yang paling mudah dikenali, karena memang film klasik ini sangat dikenal karena inovasi tersebut. Lalu, ada pula kemunculan singa dan orang-orangan sawah yang merupakan refleksi dari karakter The Cowardly Lion dan The Scarecrow dari The Wizard of Oz. Tak hanya itu, masih banyak lagi bentuk homage yang Sam Raimi lakukan, seperti kemunculan 'proyektor', dan masih banyak lainnya.

Dengan cast yang diisi oleh aktor-aktor jempolan, seperti Oscar-nominee James Franco dan Michelle Williams, Golden Globe-nominee Mila Kunis, hingga Oscar-winner Rachel Weisz, cast ini cukup mampu bekerja dengan baik. Di lini depan, terdapat nama James Franco yang saya rasa cukup mampu memerankan karakternya, meski James Franco memang tak dapat menghidupkan karakter Oz sepenuhnya dengan kharisma yang jauh lebih mantap dan menjadi playboy yang lebih nakal, namun usahanya masih patut diapresiasi. Miscast? Hm, bagi saya tidak juga, namun memang masih ada kekurangan di sana sini, apalagi ditambah kenyataan bahwa ternyata James Franco menggantikan Robert Downey Jr. yang sebelumnya direncanakan akan memerankan Oz (yang mungkin akan lebih kharismatik, mengingat perannya sebagai Tony Stark, no offense Franco...).


Di belakangnya, ada Mila Kunis yang tergolong berhasil dalam perannya sebagai Theodora, meski saya rasa mukanya masih terlalu cantik untuk peran seperi itu (LOL). Michelle Williams tentu tak usah dipertanyakan lagi, dengan karakternya yang hangat, saya rasa ia mampu menyamai Glinda versi Billie Burke dalam The Wizard of Oz, ditambah pula dengan durasi Williams yang kali ini jauh lebih banyak. Sedangkan, ada pula Rachel Weisz, yang mampu memerankan Evanora dengan sangat baik, meski bukan penampilan terbaiknya selama ini, dan karakternya tak sesulit peran-peran Weisz sebelumnya.

Jika Alice in Wonderland versi Tim Burton membutuhkan visual effects hebat untuk menggambarkan Wonderland secara apik, hal ini pun tak jauh berbeda dengan Oz the Great and Powerful, apalagi dalam menggambarkan dunia Oz yang penuh warna dan mengingatkan kita pada Wonderlan itu. Di sini, visual effects-nya menurut saya lumayan bagus dan sangat memanjakan mata, meskipun sayangnya pada beberapa bagian, CGI yang dipakai masih terlihat kasar. Tak mengurangi kenyamanan selama menonton memang, namun tetap saja hal ini terasa mengganjal.


Dalam menyajikan score-nya, Oz the Great and Powerful mampu menyajikan score yang bukan hanya dapat menonjolkan sisi kemegahan khas musik orkestra, namun juga dapat menampilkan sisi greatness-nya, sesuai dengan judul fiim. Terang saja, karena original score ini diracik oleh Oscar-nominee yang pernah dinominasikan sebanyak 4 kali, yaitu Danny Elfman. Semua hal yang berkaitan dengan The Wizard of Oz, menjadi suatu hal yang ikonik, termasuk dalam hal lagu. Oz the Great and Powerful pun tak mau kalah, ada lagu Almost Home yang dinyanyikan Mariah Carey, meski rasanya belum dapat mewakilkan 'great and powerful' yang digadang-gadang film ini. Lagu tersebut menurut saya terlalu ringan, apalagi jika dibandingkan lagu Over the Rainbow yang dinyanyikan sendiri oleh pemeran Dorothy Gale, Judy Garland.

Film ini memang belum mampu sehebat dan sekuat apa yang tercantum di judulnya, namun film ini memang tidaklah seburuk yang kritikus bilang. Naskahnya tidak luar biasa, namun humor yang dibawanya patut diacungi jempol, karena seluruh lawakannya berhasil membuat saya tertawa terbahak-bahak. Sam Raimi juga mampu mengemasnya menjadi tontonan yang menghibur, yang tak akan keberatan bagi saya untuk menontonnya sekali lagi. Cast-nya tergolong mampu menyokong filmnya dengan baik, meskipun James Franco tidak terlalu melekat di hati. Bagaimana film ini mengambil kembali hal-hal yang pernah muncul dalam The Wizard of Oz juga berhasil membayar kerinduan terhadap karya klasik ini. Ya, urusan teknis tak terlalu bermasalah, meski visual-nya tak terlalu sempurna, begitu juga dengan original song-nya. Memang, akhirnya Oz the Great and Powerful bukan sebuah kesatuan film yang luar biasa kuat, namun sebagai hiburan, saya berhasil dibuat luar biasa terhibur, sebagai homage pun, film ini memiliki kekuatannya sendiri.


Thursday, May 23, 2013

Tagged under: , , , , ,

[Review] Repulsion (1965)

"I don't like them." ~ Carol Ledoux

Entah mengapa akhir-akhir ini, saya sedang gila-gilanya menonton film horor klasik, dan Repulsion ini adalah horor klasik keempat yang saya tonton (dan ketiga yang saya buat reviewnya). Coba tebak, apa film horor pertama dari Roman Polanski? Rosemary's Baby? Paling populer, mungkin iya, namun jelas bukan yang pertama. Jawabannya adalah Repulsion, yang hadir 3 tahun sebelum Rosemary's Baby yang fenomenal. Repulsion sendiri bukan hanya menjadi film horor pertamanya, film ini juga merupakan film keduanya, yang menjadikan Repulsion sebagai salah satu tonggak terpenting dalam perjalan karir seorang Roman Polanski.  Dan di awal karirnya ini, Polanski telah menunjukkan talentanya yang luar biasa.

Roman Polanski tak hanya hadir sebagai sutradara, bersama dengan Gérard Brach dan David Stone, ia juga muncul sebagai salah seorang penulis naskah. Film ini dibintangi oleh future Oscar nominee, Catherine Deneuve, Ian Hendry, Yvonne Furneaux, John Fraser, Patrick Wymar, dan masih banyak lagi. Di zamannya, Repulsion terbilang sukses menaklukkan hati para kritikus. Film ini mendapatkan 2 penghargaan dari salah satu festival film terbesar di dunia, Berlin International Film Festival 1965, meski gagal mendapatkana penghargaan utama, Golden Bear. Film ini juga mendapatkan 1 nominasi dalam BAFTA 1966, meskipun hanya dinominasikan di kategori teknis, yaitu Best British Cinematography untuk film hitam putih. 


Carol Ledoux (Catherine Deneuve) adalah seorang manicurist asal Belgia yang tinggal di London bersama kakaknya, Helen Ledoux (Yvonne Furneaux). Setiap harinya, Carol sering melamun dan berdiam diri, bahkan dalam kerjanya. Ia juga mencoba menghindari kontak dari Colin (John Fraser), pria yang mencoba mendekatinya. Ia juga tidak menyukai pacar kakaknya yang beristri, Michael (Ian Hendry), apalagi ketika Michael menaruh sikat giginya di dalam gelas milik Carol. Sifatnya yang makin hari makin aneh ini tak hanya mengundang penasaran orang-orang terdekatnya, namun juga memengaruhi aktivitas sehari-hari Carol, seperti pekerjaannya.

Suatu hari, Helen dan Michael memutuskan untuk berlibur mengunjungi Menara Pisa di Italia, dan meninggalkan Carol seorang diri. Dalam kesendiriannya ini, perilaku aneh Carol makin menjadi-jadi. Ia mulai merasakan hal-hal aneh dalam apartemennya, seperti dinding yang tiba-tiba retak dengan sendirinya, dan berbagai hal tak masuk akal lainnya. Perlahan, sikap Carol menjadi makin tertutup, ia menjadi anti-sosial, makin sering murung, dan selama beberapa hari, ia pun tak masuk kerja. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?


Dalam salah satu debut karirnya ini, Roman Polanski dengan (sangat) sukses membangun atmosfer yang bukan hanya creepy tapi juga dingin, sunyi, dan kosong, yang bahkan dapat dirasakan dari detik pertama nya, dimana Carol sedang berdiam diri saat sedang bekerja. Bagaimana Polanski membangun intensitasnya juga terbilang unik. Di awal film, ia tak pernah menunjukkan hal-hal yang biasanya menjadi pakem horor pada umumnya. Polanski lebih memilih cara yang tak biasa, salah satunya hanya dengan menggambarkan Carol yang murung dan desperate. Hal ini pada akhirnya memang menjadikan pengarahan dari Polanski menjadi terkesan dingin dan sulit diikuti, namun saya sangat yakin hal inilah yang memang ingin ditampilkan oleh Polanski, karena begitulah seharusnya Repulsion dibuat.

Salah satu keunikan Repulsion adalah Polanski tak pernah memberi penjelasan sedikit pun, namun malah memberikan banyak sentuhan-sentuhan imajinatif yang menakjubkan, yang mulai muncul pada pertengahan film.  Dalam bermain dengan imajinasinya, sesekali ia juga menampilkan momen mengagetkan, yang jujur saja memang sangat efektif dan berhasil membuat saya melompat sejenak dari tempat duduk. Keefektifan tersebut tak terlepas dari bagaimana cara ia membawakan Repulsion. Dengan ritme pelan dan tanpa adanya tanda apa-apa, tiba-tiba saja Polanski mengagetkan saya dengan sebuah adegan yang sama sekali tak saya kira. Seiring perjalanannya menuju klimaks, Polanski makin tajam dalam memberikan sentuhannya, yang bahkan terkadang menjurus ke arah absurd dan surreal. Semua hal ini membuat perasaan penonton mampu tenggelam dalam karakter Carol, sekaligus mengajak penonton untuk menggunakan otaknya.


Lewat sentuhan-sentuhan detail ini pulalah, Polanski mencoba memberikan berbagai petunjuk mengenai  Carol, termasuk masa lalunya yang (kemungkinan) kelam. Bagaimana ia menghindari kontak dengan Colin,  halusinasi dan delusinya, bagaimana ia begitu membenci Michael, membuang barang-barangnya, bahkan sampai jijik menyium baunya, lalu hingga foto masa kecil Carol bersama keluarganya yang memang menunjukkan ada sesuatu yang salah, yang kemudian mengantarkan penonton ke sebuah kesimpulan mengenai masa lalu kelam Carol (saya tak akan memberitahu, tentunya). Sekali lagi, hal ini sama sekali tak pernah disampaikan Polanski secara gamblang, melainkan melalui petunjuk-petunjuk cerdas yang ia berikan.

Repulsion juga hadir dengan penggambaran karakter yang amat baik. Dalam hal ini, tentu saya membicarakan cara jeniusnya menggambarkan Carol. Carol memang seorang gadis baik-baik, tentu merupakan protagonis dalam film, namun ia juga menggambarkan sisi gelapnya, seperti (spoiler!) bagaimana seorang gadis sepertinya malah berani membunuh seseorang, bukan hanya pada orang yang berbuat buruk padanya, bahkan pada yang peduli sekalipun (spoiler berakhir). Sepanjanng film, penonton tentu akan merasa simpati padanya, namun di sisi lain, penonton juga dapat kehilangan simpatinya pada karakter abu-abu ini. Dan karena faktor inilah, yang menjadi bukti mengapa Polanski membawakan karakterisasinya dengan sukses.


Bukan hanya itu, bagaimana cara Polanski mengemas Repulsion dalam dimensi abu-abu juga patut diacungi jempol. Ia sengaja tak memberikan batas jelas antara realitas dengan fantasi, (membiarkan penonton kebingungan dengan apa yang terjadi) dan membuat kedua dimensi ini menyatu dalam sebuah ruang yang saling melengkapi, lalu pada akhirnya malah membuat film ini menjadi jauh lebih superior lagi. Hal ini  justru memperkuat posisi Repulsion sebagai sebuah horor psikologis yang mengedepankan sebuah gejala schizophrenia. 

Dalam memimpin lini departemen aktingnya, Catherine Deneuve berhasil memukau. Deneuve dengan lihai mampu merasuki karakter Carol tanpa celah. Bagaimana gesture-nya, cara ia menunduk, matanya yang sayu, sampai caranya menatap dengan tatapan kosong, semua itu dilakukan Deneuve dengan hasil yang bukan hanya believable, namun juga bernyawaDi belakang aktris yang pernah dinominasikan Oscar lewat film Indochine ini, ada beberapa nama seperti Ian Hendry, Yvonne Vorneaux, John Fraser, Patrick Wymark, serta Helen Fraser yang mampu memperkuat dan mendukung Catherine Deneuve dengan sangat baik.


Kekuatan Repulsion bukan hanya dalam bagaimana Polanski menceritakan naskah film ini menjadi sebuah tontonan penuh imajinasi dan fantasi, namun juga bagaimana departemen teknisnya berperan besar dalam kesuksesan Repulsion. Sinematografi dari Gilbert Taylor mampu menangkap setiap esensi horor yang ingin ditampilkan. Score dari Chico Hamilton terasa begitu sempurna dalam memberikan sentuhannya dalam film ini. Tak hanya memanfaatkan perkusi sebagai musik andalannya, ia juga menggunakan bebunyian yang terus menerus direpetisi, seperti bunyi lonceng dan dentingan jam, yang justru saya akui lebih efektif penggunaanya ketimbang harus repot-repot memakai orkestra nan megah.

Repulsion adalah horor yang tentu tak dapat dinikmati oleh semua orang. Atmosfer kosong, penyutradaraan Polanski yang begitu dingin, naskah cerdas yang penuh sentuhan detail yang imajinatif, batasan abu-abu dalam realitas dan fantasi, caranya bercerita lewat jalan absurd dan surreal, mungkin membuat sebagian orang beranggapan bahwa Repulsion adalah film yang tak jelas, namun sebaliknya, bagi saya inilah nilai plusnya. Film ini mampu memberikan sebuah horor psikologis dengan cara yang aneh namun tetap cerdas dan anti-mainstream. Penuh imajinasi, namun tetap hadir dengan cara yang menakutkan. Pada akhirnya, Repulsion tak hanya menawarkan sebuah kisah sexual abuse biasa. Ini adalah kisah yang thought-provoking, sesak, puzzling, dan brilliant. Sebuah karya yang bukan hanya makin mengukuhkan nama Polanski sebagai salah satu sutradara terhebat sepanjang masa, namun karyanya sendiri juga tak akan tergerus sepanjang zaman.

Sunday, May 19, 2013

Tagged under: , , , , , ,

[Review] What Ever Happened to Baby Jane? (1962)

"Oh... Blanche? You know we've got rats in the cellar?" ~ Baby Jane Hudson

Tahun 1962 tentu merupakan salah satu tahun penting bagi perfilman Hollywood. Lihat saja para nominator Oscar dalam kategori Best Picture kala itu. Ada The Music Man, The Longest Day, Mutiny on the Bounty, dan tentu saja dua film yang mungkin paling diingat, To Kill a Mockingbird serta pemenang film terbaik kala itu, Lawrence of Arabia. Tak hanya sampai nominator Best Picture saja, beberapa film diluar nominasi pun tak bisa dianggap sebelah mata. Di tahun ini pula, Stanley Kubrick merilis sebuah drama romansa Lolita, dan tentu saja film psychological thriller horror ini, What Ever Happened to Baby Jane?

'What Ever Happened to Baby Jane?' merupakan sebuah adaptasi novel berjudul sama karya Henry Farrell. Nama Robert Aldrich hadir sebagai sutradara, sementara naskah film ini ditulis oleh Lukas Heller. Filmnya sendiri menandai kolaborasi 2 aktris besar pemenang Oscar, Bette Davis dan Joan Crawford, yang kabarnya memang berseteru di dunia nyata, bahkan jauh sebelum dibuatnya film ini. Film ini membawa pulang 1 Oscar dalam kategori Best Costume Design khusus film hitam-putih, dan hampir saja menggondol piala emas kategori Best Actress untuk Bette Davis, setelah dikalahkan oleh Anne Bancroft dalam film The Miracle Worker. 


Apa yang pernah terjadi terhadap Baby Jane? Tunggu dulu, sebelum menjawab pertanya tersebut, mungkin seharusnya dibuka dengan pertanyaan seperti ini, "Siapa Baby Jane?". Di masa kecilnya, Baby Jane Hudson (Julie Allred), adalah seorang bintang cilik yang terkenal. Saking terkenalnya nama Baby Jane, bahkan pernah dirilis sebuah boneka yang hampir seukuran dirinya dengan wajah dan penampilan yang sama. Namun, ketenaran Baby Jane tak diiringi dengan sifatnya yang baik. Di sisi lain, Baby Jane juga memiliki seorang saudari, Blanche Hudson (Gina Gillespie) yang ternyata menyimpan rasa iri terhadapnya.

Ketika beranjak dewasa, Baby Jane dan Blanche tumbuh menjadi aktris. Namun, nasib telah berbalik, Blanche menjadi seorang aktris yang lebih sukses dan tenar, sementara film-film yang dibintangi Baby Jane gagal di pasaran. Hal ini tentu kembali menumbuhkan tabiat buruk Jane, puncaknya, saat ia menabrak Blanche dengan mobil, yang mengakibatkan Blanche menjadi lumpuh. Sampai hari tuanya pun, Jane (Bette Davis) yang telah menjadi alkoholik berat, ternyata masih menyimpan dendam besar terhadap Blanche (Joan Crawford), terlebih saat ia harus repot-repot mengurus saudaranya itu. Ditambah dengan kondisi kejiwaan Jane yang goyah, ia pun mulai melakukan tindakan-tindakan kasar terhadap Blanche.


Plot dalam What Ever Happened to Baby Jane? sebenarnya tak terlalu berliku. Sepanjang film, ia hanya menyorot kehidupan 2 bersaudari yang salah satunya menderita gangguan jiwa akut. Namun, kita harus berterima kasih pada Lukas Heller, yang menulis naskah hebat untuk film ini. Berbekal naskah tanpa celahnya ini, What Ever Happened to Baby Jane? pun berhasil melenggang mulus dalam setiap durasinya. Satu-satunya yang saya rasakan sebagai kelemahan dari naskah garapan Heller ini adalah naskahnya yang terasa terlalu berlama-lama dalam 2/3 bagiannya yang lebih cenderung ke psychological drama, sebelum beralih tone menjadi lebih menegangkan. Ya, meski begitu, tentu hal ini juga makin mempertajam karakterisasi, khususnya bagi karakter Baby Jane serta Blanche, dan akhirnya malah berbalik menjadi suatu kekuatan tersendiri.

Bagaimana Robert Aldrich mengarahkan film ini juga begitu luar biasa. Dibalik kisahnya yang sebenarnya tak terlalu kompleks, ia berhasil mengubahnya menjadi sebuah tontonan drama thriller yang lumayan panjang,  namun tetap dapat membuat saya duduk setia hingga akhir film, dan yang terpenting, selama 133 menit, film ini tak kehilangan its depth. Perubahan tone yang ia lakukan dari bagian drama ke porsi thriller/horror juga dilakukannya dengan sangat meyakinkan, namun tetap dengan pergerakan yang halus dan cukup perlahan. Penggambaran Aldrich guna membangun intensitas juga harus diacungi jempol. Tak ada banyak darah yang ia ekspos, namun dengan lebih memfokuskan kisahnya pada konflik dan hal-hal psikologis.


Film berjudul panjang ini juga didukung oleh cast yang hampir sempurna (kalau tak mau dibilang sempurna). Bette Davis mencuri setiap scene di mana ia muncul, apalagi didukung oleh karakternya yang sangatlah memorable. Bette Davis bukan lagi memerankan seseorang antagonis dengan mental goyah, manipulatif, pembual, obsesif, egois, diktator, dan tampak kuat (meski sebenarnya rapuh), namun ia sudah mampu menjadikan tabiat-tabiat buruk itu layaknya telah menjadi bagian dari dirinya, terlihat dari pergerakan mata, mimik wajah, gesture, gaya bicara, dan segalanya. Seandainya saja The Miracle Worker (di mana Anne Bancroft memenangkan Oscar untuk Best Actress) dirilis di tahun yang berbeda dengan film ini, maka sudah pasti Bette Davis akan memenangkan Oscar ketiganya dalam nominasi Oscar terakhirnya ini. Anyway, you nailed it, Ms. Davis!

Joan Crawford yang tampil lebih emosional juga mampu menghidupkan karakternya dengan sangat baik. Meski kerap kali Bette Davis terlihat lebih menonjol ketika mereka berdua muncul di layar, namun Joan Crawford tetap dapat mengimbanginya dengan kemampuan akting yang tak perlu diragukan lagi. Joan Crawford pun dengan sukses mampu menjalin chemistry kokoh dengan Bette Davis. Dengan karakter yang harus berada di atas kursi roda hampir sepanjang film, tentu membatasi ruang gerak Joan Crawford, karena tak bisa melakukan beberapa gesture yang mungkin akan membuatnya tampil lebih baik dan emosional, namun nyatanya, tanpa harus meninggalkan kursi rodanya. Dan apa yang terjadi saat Crawford meninggalkan kursi rodanya dan mengeluarkan seluruh kemampuannya? Even better!


Selain Davis dan Crawford, ada pula doplegänger dari Jason Segel, Victor Buono, yang memerankan Edwin Flagg, juga tak kalah bagusnya. Chemistry yang dibangunnya bersama Bette Davis juga terjalin dengan sangat erat. Porsinya sendiri memang kecil, namun kontribusi yang perannya berikan dalam film ini sangatlah besar, terutama dalam pengokohan karakter Baby Jane. Hasilnya pun memuaskan, ia berhasil membuahkan sebuah nominasi Oscar untuk Best Supporting Actor. Jangan lupakan pula Maidie Norman sebagai pembantu mereka, Elvira Stitt, serta Marjorie Bennett sebagai ibu Edwin Flagg, Dehlia Flagg. Meski sekali lagi, perannya kecil, tetapi saja mereka tetap dapat menunaikan tugasnya dnegan sangat baik.

What Ever Happened to Baby Jane? tak hanya berhasil membuat tontonan berkualitas berkat cast, pengarahan, dan naskah saja. Ia juga berhasil dalam urusan-urusan yang bagi sebagian orang mungkin tak terlalu penting, teknis. Desain kostumnya tentu tak usah dibacarakan, kemenangan Oscarnya telah berbicara banyak, walaupun kostumnya mungkin akan dianggap biasa saja kalau filmnya rilis akhir-akhir ini. Namun, hal yang paling outstanding dari film ini tentu saja dari original score karya Frank De Vol. Seperti kebanyak film klasik, film ini memang menggunakan score-score yang bukan hanya dramatis, namun juga menghentak. 


Apa yang dicapai Robert Aldrich dalam What Ever Happened to Baby Jane? tentu merupakan pencapaian yang luar biasa, film ini mampu me-raise the bar high dengan pendekatan psikologisnya yang digabungkan dengan atmosfer horor, namun tanpa adanya kemunculan makhluk halus sama sekali, serta tak menawarkan terlalu banyak darah dan hanya mengandalkan isi otak seorang manusia, namun hasilnya malah mampu membuat sebuah drama thriller horor psikologis yang sangat efektif. Dibarengi oleh naskah solid, membuat film ini selangkah lebih maju dalam keefektifannya.

Ya, secara keseluruhan memang tidak terlalu sempurna, namun pengarahan dan naskahnya saja sudah lebih dari cukup untuk membuat What Ever Happened to Baby Jane menjadi salah satu film terbaik dalam genrenya. Belum cukup? Hampir saja lupa dengan penampilan cast yang benar-benar memuaskan. Bette Davis bersinar sepanjang film, sementara Crawford, Buono, Norman, serta yang lainnya mampu mengimbangi dengan sangat baik. Karya yang solid, namun sakit. Jadi, setelah mengenal diri Jane lebih dalam, dapatkah kita menanyakan pertanyaan ini sekarang? What ever happened to Baby Jane? 

8.0/10

Friday, May 17, 2013

Tagged under: , , , , , , , ,

[Review] Don't Look Now (1973)

"Christine is dead. She is dead! Dead! Dead! Dead! Dead! Dead!" ~ John Baxter

Awal tahun 1960 hingga akhir 1980 mungkin merupakan tahun-tahun terbaik bagi film-film horor. Ya, sebagian besar film horor legendaris memang berasal dari dekade ini. Dari kisaran 1960, kita mengenal karya-karya Hitchcock seperti Psycho serta The Birds, ada pula The Innocents, The Haunting, atau What Ever Happened to Baby Jane, di mana Bette Davis menggila di dalamnya. Kisaran 1970, mungkin lebih banyak lagi. Selain Jaws yang legendaris, ada The Exorcist, Carrie, The Halloween, The Texas Chainsaw Massacre, hingga Alien yang sukses menggabungkan sci-fi dengan horor. Tak banyak berbeda dengan 1970, 1980 juga memiliki banyak horor legendaris, termasuk karya horor pertama dari Stanley Kubrick, The Shining. Di dekade 1980 pulalah trilogi epik Evil Dead bermula, ada pula A Nightmare on Elm Street, Poltergeist, dan The Thing.

Don't Look Now, juga termasuk di antara film-film legendaris ini. Sebenarnya, Don't Look Now tidak hanya dikenal sebagai salah satu thriller/horor terbaik yang pernah ada, karena Don't Look Now sejujurnya lebih dikenal karena satu hal, well, if you know what i mean..Back to topic, film ini sendiri didasari dari sebuah cerita pendek karya Daphne Du Maurier. Don't Look Now disutradrai oleh Nicolas Roeg, sedangkan naskahnya ditulis oleh duo Allan Scott dan Chris Bryant. Di departemen aktingnya, ada dua nama besar yang memimpin lininya, yaitu aktris pemenang Oscar 1966 (dan hampir memenangkan Oscar 2008 lalu), Julie Christie, serta pemenang 2 Golden Globe, Donald Sutherland.


Sepasang suami-istri, John (Donald Sutherland) dan Laura Baxter (Julie Christie), baru saja mengalami salah satu kejadian yang paling tak terlupakan. Anak perempuan mereka, Christine Baxter (Sharon Williams), ditemukan meninggal karena tenggelam di sebuah kolam di pekarangan rumah mereka. Tentu saja, mental mereka seketika goyah. Namun, dampak terbesar pastinya dialami sang istri, Laura Baxter. Karenanya, ia pun sampai harus meminum beberapa obat dari dokter guna mengurangi depresinya.

Untuk itu, John dan Laura akhirnya memutuskan untuk berlibur ke Venesia, Italia, agar dapat sejenak melupakan kisah kelam tersebut. Namun, bukannya tenang, kehidupan mereka malah diusik oleh dua nenek bersaudara, Heather (Hilary Mason) dan Wendy (Clelia Matania). Heather sendiri mengalami kebutaan, meskipun ia mengaku sebagai seorang psychic. Awalnya, ia mengatakan kepada Laura, bahwa Christine bahagia di alam sana. Tentu, mental goyah Laura lama-kelamaan mulai stabil kembali karena mempercayai kata-katanya. Namun, Heather juga mengatakan hal lain, bahwa ada suatu hal buruk yang akan menimpa suaminya, John. Namun, apakaha John dengan mudahnya langsung percaya perkataan nenek yang bahkan belum pernah mengenalnya?


Apa yang paling melekat dari Don't Look Now adalah naskah Allan Scott dan Chris Bryant yang cerdas dan penuh tipuan mengejutkan. Tentu, naskah ini banyak dipenuhi dengan sentuhan horor supranatural yang menjadi inti dari film ini. Namun, demi menyampaikan sentuhan pembuat bulu kuduk merinding ini, naskah Don't Look Now juga memberikan banyak sentuhan khas thriller psikologis yang menegangkan. Kedua unsur ini pun dapat menyatuh dengan baik di naskah hasil tangan Scott dan Bryant ini.

Selaku sutradara, Nicolas Roeg juga mampu mengemasnya dengan sangat tepat, yaitu lewat pengeksekusian yang bukan hanya membuat jantung berdegup kencang karena ketegangannya, namun juga atmosfer horor mengerikan yang ia buat sepanjang film. Ia juga memilih langkah tepat dalam membangun intensitas film. Nicolas Roeg lebih memilih untuk tak terburu-buru, ia membangunnya dengan perlahan-lahan lewat penggambaran mencekam dan berbagai scene yang mind-twisting, shocking, sekaligus creepy.


Seperti yang saya bilang tadi, plot Don't Look Now memang penuh dengan kejutan. Dan dalam hal itu, Nicolas Roeg dengan penyutradaraanya yang cerdas mampu mengelabui kita dengan sangat baik, padahal sebelumnya ia telah memberikan berbagai clue yang sebenarnya cukup jelas, namun ia mengaburkannya dengan berbagai trik-trik psikologis yang dengan mudahnya menipu kita. Jujur, setiap kali film ini memberikan beberapa misteri-misterinya, saya selalu saja tak dapat menebaknya dengan tepat, dan itu terjadi hingga film ini berakhir. Misteri utama yang disimpan dari awal film pun dapat dipaparkan dengan sangat baik oleh Roeg, menghasilkan twist ending yang nendang, padahal, clue terpenting misteri ini telah ia beberkan dari awal durasi.

Selain dapat membuat plot dalam Don't Look Now lebih terasa menggigit, creepy, dan thrilling, Nicolas Roeg juga mampu mengembangkan unsur drama ke dalam filmnya ini, seperti bagaimana pasangan suami-istri Baxter menghadapi kematian anak perempuannya. Kisah drama ini juga tak terasa sebagai tempelan dan pemanis belaka, karena pada akhirnya, seluruh horor dan drama ini memang saling berhubungan drama, dan karena drama inilah semuanya bermula. Porsi drama ini bukan lagi dapat dikembangkan oleh Roeg dengan baik, namun unsur ini juga dapat membaur dengan sangat padu terhadap unsur horor dan thriller-nya.


Tak hanya karena naskah dan penggarapannya yang membuat film ini berhasil dengan sangat baik. Departemen akting yang diisi Donald Sutherland dan Julie Christie di lini depan ini juga memegang peranan yang sangat penting. Tentu dari kedua nama besar mereka ini, tak ada yang bisa dicela. Julie Christie mampu memerankan karakter yang goyah dengan meyakinkan, tak jauh berbeda dengan Donald Sutherland yang memerankan suami yang tak percaya dengan takhayul. Tak jauh berbeda, pemeran dua nenek bersaudara, Clelia Matania dan khususnya pemeran Heather, Hilary Mason, juga dapat mengerjakan bagiannya dengan sangat baik.

Departemen akting yang nyaris tanpa cela ini juga didukung oleh penggambaran karakter baik dari Nicolas Roeg. Tak ada yang ia perlihatkan sebagai karakter yang benar maupun salah. Terlebih bagaimana ia menggambarkan karakter Heather dan Wendy. Sangat tidak mudah menentukan apakah kedua karakter yang bersaudara ini memang benar-benar memiliki 'kekuatan' tersebut, atau sebaliknya, itu hanyalah bualan belaka. Karakter yang dimainkan Julie Christie dan Donald Sutherland pun mendapat treatment yang sama, penonton sulit menerka manakah diantara suami-istri ini yang salah atau benar, terlebih ketika muncul lagi misteri yang kemunculannya tak saya kira.


Penyutradaraan cerdas dari Nicolas Roeg juga didukung oleh score dari Pino Donaggio yang begitu mencekam, penempatan setiap musik ini juga selalu berada di tempat yang tepat. Tak selalu mencekam dan psychedelic, kadang juga bersifat lebih dramatis. Tak hanya itu, penempatan editing yang cukup cepat juga terasa pas dalam menaikkan tensi ketegangan dan dapat disajikan dengan cukup rapi. Sinematografinya pun hadir ciamik, meski bagi beberapa orang akan sedikit terganggu dengan gaya zoom in tiba-tiba yang memang biasanya terdapat dalam film-film klasik.

Overall, Don't Look Now adalah sebuah film horor/thriller yang berhasil dalam setiap misinya. Misteri yang dibawakan sulit diterka, nuansa thriller yang disajikan sangatlah menegangkan, horor supranaturalnya juga mencekam, serta porsi drama yang dapat dieksekusi dengan baik. Tak lupa pula dengan penggambaran-penggambaran mengerikan yang sangat efektif juga dengan banyaknya kejutan di sana-sini. Ditunjang lagi oleh departemen akting dan teknis yang kokoh, menghasilkan sebuah tontonan horor yang tak hanya menakutkan dan menegangkan, tapi juga thought-provoking dan mind-twisting, sebuah sajian horor yang sangat jarang kita temukan saat ini.


Thursday, May 16, 2013

Tagged under: , , , ,

[Coming Soon] Gravity (2013)

"Beautiful, don't you think?" ~ Matt Kowalsky

Setelah 7 tahun lamanya tak produktif dalam industri layar perak, Alfonso Cuarón, kini sutradara serta penulis naskah dari beberapa critical acclaimed films seperti Children of Men, Y Tu Mamá También, serta Harry Potter and the Prisoner of Azkaban ini kembali lewat sebauh film science-fiction thriller berjudul Gravity. Tak hanya menggaet 2 aktor peraih Oscar, Sandra Bullock (yang baru kali ini membintangi sebuah film science-fiction) dan George Clooney, dalam penulisan naskah, ia juga berkolaborasi dengan anaknya sendiri, Jonás Cuarón. Awalnya, Gravity direncanakan akan rilis akhir tahun lalu, meski akhirnya dimundurkan pada akhir 2013.

Dari teaser trailer yang baru-baru ini rilis, Gravity berkisah tentang Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock), yang untuk pertama kalinya menjalani misi ulang alik, ditemani oleh seorang astronot veteran bernama Matt Kowalsky (George Clooney). Berbanding terbalik dengan Dr. Stone, misi ulak alik ini adalah misi terakhirnya sebelum ia akhirnya pensiun. Awalnya, segalanya terlihat menyenangkan, apalagi dapat melihat pemandangan cantik planet bumi dari kejauhan. Namun, semuanya tak berjalan sesuai rencana. Pesawat ulang alik mereka hancur, mereka tak tahu apa yang harus dilakukan, kecuali hanya berputar-putar dalam kepanikan di gelapnya angkasa.


Dilihat dari teaser trailer-nya (atau ini sudah bukan teaser lagi? Entahlah), tentu Gravity akan penuh dengan visual-effect 'wah'. Meski begitu, saya rasa film ini tak akan meninggalkan departemen lainnya yang lebih penting, seperti naskah, penyutradaraan, dan akting. Dari akting, tentu Sandra Bullock dan George Clooney tak usah dipertanyakan. Untuk dua aspek sisa tersebut, juga saya rasa tak perlu dikhawatirkan, karena.. hey, it's Alfonso Cuarón! Pemegang 3 nominasi Oscar, dimana dua diantaranya karena penulisan naskah briliannya. Meskipun, saya sendiri sedikit bingung, dengan cast yang sangatlah sedikit (dilihat dari IMDb, selain kedua aktor kondang ini, hanya ada 2 aktor lain di cast list-nya) dan teaser trailer, yang sebagian besar berputar-putar di angkasa luas, saya juga tak tahu apa yang akan Cuarón lakukan di sepanjang film ini.

Meskipun begitu, tentu saja film ini harus masuk waiting list dan salah satu anticipated movies tahun ini. Bukan hanya ditunggu karena visual yang (mungkin) akan mewah serta embel-embel 3D yang ia bawa, namun juga ketegangan yang dijual, dan satu lagi, saya penasaran dengan naskah dari duo Cuarón ini. Sayangnya, film ini baru liris pada 4 Oktober nanti. Namun, untuk seorang sutradara layaknya Alfonso Cuarón, saya rasa saya dapat menunggu selama itu. Well, check out this video first!

Thursday, May 9, 2013

Tagged under: , , , , ,

[Review] Side Effects (2013)

"I loved everything about him, his hands, the way he smells. He swept me off his feet. I told him I would wait for him. I wanted to have a life with my husband." ~ Emily Taylor

Kita semua tahu Steven Soderbergh adalah sutradara hebat. Sejak kemunculannya dalam film Sex, Life, and Videotape pada 1989, dan dalam 24 tahun ke depan, ia masih menasbihkan dirinya sebagai 'one of the greates living directors & writers'. Karyanya pernah sekali dianugrahi sebuah Oscar 2001 dalam menyutradarai film yang mengangkat beberapa kisah tentang narkoba, Traffic, bahkan mengalahkan dirinya sendiri yang dinominasikan juga atas film Erin Brockovich. Hebatnya, di tahun yang sama pula, ia pernah mengantarkan nama Julia Roberts ke atas podium Oscar untuk kategori Aktris Terbaik lewat Erin Brockovich (tough Ellen Burstyn deserved it more (IMO), sorry Ms. Vivian..).

Setelah menelurkan Contagion dan Haywire pada 2011, dan Magic Mike pada 2012, kini Soderbergh kembali hadir lewat sebuah thriller psikologis, Side Effects, yang menandakan kolaborasi ketiganyanya dengan penulis naskah Scott Z. Burns setelah The Informant! dan Contagion. Mendengarnya saja, kita telah mengetahui bahwa film ini merupakan film tentang obat-obatan. Meskipun begitu, Side Effects benar-benar berbeda dengan Contagion, karena dalam Side Effects, Soderbergh lebih memfokuskan film pada thriller psikologis, berbeda dengan Contagion yg berfokus pada medical thriller disaster. Meski, ada satu hal yang hampir sama dengan Contagion: cast kelas A. Memang tak ada Kate Winslet, Gwyneth Paltrow, atau Marion Cotillard, namun ada nama-nama kondang seperti Rooney Mara, Jude Law (yang juga membintangi Contagion), Channing Tatum, dan Catherina Zeta-Jones.


Setelah empat tahun ditahan karena insider trading, Martin Taylor (Channing Tatum), akhirnya dibebaskan. Namun, tak lama kemudian, Emily Taylor (Rooney Mara), istrinya, malah melakukan percobaan bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya ke dinding sebuah parkiran. Meski hampir saja kehilangan nyawanya, Jonathan Banks (Jude Law), psikiater dari Emily, memperbolehkan Emily pulang atas permintaan dari Emily sendiri karena karena suaminya baru saja bebas dari penjara, apalagi Martin masih belum bisa bekerja dulu, sehingga Emily lah yang harus bekerja.

Untuk mengobati rasa depresinya, Emily mencoba berbagai obat anti-depresan. Sayangnya, tak ada satu pun dari obat itu yang bekerja. Jonathan pun akhirnya menghubungi psikiater Emily sebelumnya, Victoria Siebert (Catherine Seta-Jones), dan Victoria menyarankan Jonathan untuk memberikan obat baru kepada Emily, Ablixa. Awalnya, Jonathan menolak, sampai akhirnya Emily mencoba untuk bunuh diri lagi dengan menabrakkan diri ke sebuah kereta. Obat ini akhirnya bekerja, membuat Emily dapat kembali normal, namun ada satu kekurangan dari Ablixa, yaitu efek samping mimpi berjalan atau sleepwalking. Dan tanpa disadari, ada sesuatu besar yang akan terjadi dan merubah hidup Emily dan orang terdekatnya, selamanya.


Apa hal yang paling menempel dalam ingatan tentang Side Effects selain cast bersinarnya? Tentu saja kemampuan Soderbergh mengolah naskah Scott Z. Burns menjadi sebuah tontonan yang haram dilewatkan. Pastinya, naskah awal Scott Z. Burns memang sudah tak diragukan lagi kualitasnya dengan plot rapi dan karakterisasi yang berkembang baik. Namun, dengan naskah rapi, namun tanpa diiringi penyutradaraan dan eksekusi tepat tentu tak akan berarti apa-apa. Di sinilah, peran mereka berdua harus saling mengisi, dan Steven Soderbergh berhasil melakukan tugasnya dengan baik.

Hal yang paling dapat kita rasakan dari penyutradaraan Soderbergh adalah bagaimana cara ia menempatkan angle-angle serta tone yang agak mengingatkan dengan sinematografi Contagion ini mungkin berbeda dari film lain, selain film Soderbergh tentunya (by the way, dia memang director of cinematography dari Side Effects, meski memakai nama ayahnya, Peter Andrews, dalam kredit). Bagi saya, angle-angle dan tone yang dipilih Soderbergh sangatlah tepat. Ini membangun suatu atmosfer yang creepy, misterius, dingin, sunyi, sedikit angkuh, plus menimbulkan opini janggal bagi penonton, 'there's something wrong...'. Adegan pembuka dimana saat film ini menampilkan sebuah bangunan apartemen dari kejauhan, hingga mendekat ke salah satu jendela apartemen, itu saja sudah menimbulkan kesan misteri kuat, hingga akhirnya kita diperlihatkan jejak-jejak darah, malah membuat makin pembuka ini makin kental misterinya.


Tentu saja, atmosfer ini tercipta bukah hanya karena faktor sinematografi saja. Bagaimana Soderbergh mengantarkan kita masuk dalam misterinya benar-benar tak dapat dilupakan. Scene-scene vital seperti saat dimana Emily hendak menabrakkan mobil ke sebuah tembok mampu dieksekusinya dengan baik. Eksekusinya yang terkesan tenang di awal ketika Emily menatap tembok hingga perlahan-lahan menanjak seiring kecepatan mobil yang kian bertambah dan semua berakhir dengan begitu cepat dan tiba-tiba, namun ia tidaklah langsung beranjak ke scene lainnya, melainkan membiarkannya dengan menampilkan blank screen. Dari sini, ia tak hanya menaikkan tensi film, namun juga dapat meng-capture karakter Emily dengan sangat baik. Mungkin terdengar sepele, namun hanya dengan contoh kecil ini, dapat dilihat bahwa Soderbergh memang benar-benar membangun setiap tensi psikologi dengan eksekusi yang sangat baik.

Side Effects juga banyak dihiasi oleh beragam lapis twist yang cerdas. Soderbergh dengan jeli berhasil menyembunyikan setiap fakta, hingga nantinya semua akan terungkap dengan efek kejut yang lumayan mengejutkan. Satu-satunya hal pengganggu yang saya rasakan mengapa efek kejut yang seharusnya bisa lebih nendang lagi adalah, (SPOILER!) karena sebelumnya Burns lewat naskahnya telah menunjukkan kepada penonton beberapa kemungkinan yang akan terjadi, dan saat di akhir ia mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya, ternyata tak jauh-jauh dari kemungkinan yang ia berikan. Berbeda dengan The Sixth Sense contohnya, karena Shyamalan sama sekali tak menawarkan opsi apapun tentang yang sebenarnya terjadi, atau Arlington Road dan Murder on the Orient Express, yang mengarahkan kita ke beberapa kemungkinan, namun hasilnya di luar dugaan. Untungnya, sekali lagi Soderbergh masih mampu untuk mengelabui penonton dengan eksekusi sangat baik, dan Burns juga mampu menciptakan fakta cerdas dalam endingnya itu.


Satu lagi, pemilihan Channing Tatum benar-benar tepat. (SPOILER lagi!) Sebenarnya, formula seperti ini pernah diterapkan Soderbergh dalam Contagion pada Gwyneth Paltrow dan Kate Winslet, namun tetap saja saya tak akan mengira bahwa Tatum akan mendapat perlakuan yang sama. Tentu saja, untuk ukuran aktor sebeken Channing Tatum semua akan mengira (termasuk saya), 'He's Channing Tatum, there's no way he will die early in this movie!', meskipun Soderbergh telah memberikan kita clue tentang apa yang akan terjadi, tapi kebanyakan penonton akan menghiraukan fakta ini mengingat ia adalah Tatum, meski memang akhirnya hal itu terjadi juga. Dan bagi saya, ini seperti bonus twist yang kembali Soderbergh berikan dalam Side Effects (walaupun sepertinya Soderbergh harus mengurangi hal ini dalam karya-karya berikutnya, karena kemungkinan hal ini sudah tidak menjadi kejutan lagi).

Kalau anda membuat sebuah film dengan cast yang terdiri dari aktor papan atas Hollywood seperti Rooney Mara, Jude Law, Catherine Zeta-Jones, atau Channing Tatum, maka tak perlu ada hal yang dikhawatirkan soal departemen akting. Di lini depan, Rooney Mara masil tampil dengan penampilan bravura, dan  mengikrarkan namanya sebagai salah satu aktris muda terbaik di generasinya. Dengan bantuan dari naskah Burns dan penyutradaraan Soderbergh yang menciptakan karakter kompleks seorang Emily, Rooney Mara berhasil total dan meyakinkan dalam setiap scene-nya. Mara mampu terlihat rapuh dan emosional, namun juga mampu menampilkan aura misterius dan sulit ditebak yang begitu kental. Salah satu penampilan terbaik darinya, you nailed it, Mara!


Di belakangnya ada Jude Law yang masih menunjukkan penampilan baik seperti biasanya, meskipun perannya memang tak seliku karakter dari Rooney Mara. Sedangkan aktris peraihnya Oscar lewat film Chicago, Catherine Zeta-Jones juga mampu menunaikan tugasnya dengan sangat baik lewat karakternya yang begitu dingin. Lalu ada Channing Tatum yang ikut meramaikan departemen akting bertabur bintang ini dengan akting yang sama baiknya. Ya, perannya memang kecil, namun sangatlah penting bagi keseluruhan cerita film ini. Ada pula Ann Dowd yang angkat nama berkat Compliance, memerankan peran yang bahkan lebih kecil (dan tak sevital Tatum), tapi tetap memanfaatkan waktu singkatnya itu dengan sebaik-baiknya.

Memang masih tak bisa disamakan dengan Traffic, namun Side Effects berhasil menambah daftar panjang film berkualitas dari Soderbergh. Secara keseluruhan, Side Effects adalah thriller psikologis yang cerdas, dengan sentuhan kental ala Hitchcock yang diikuti eksekusi hebat dari Soderbergh dan naskah kuat dari Burns yang berlimpah-ruah dengan lapisan twist pintar. Tak lupa dengan salah satu penampilan Rooney Mara terbaik dalam filmografinya setelah The Girl with the Dragon Tattoo, yang didukung pula oleh Jude Law, Catherine Zeta-Jones, serta Channing Tatum yang masing-masing mampu mengisi karakter mereka dengan sangat baik. Sebuah film yang bukan hanya menceritakan seseorang dengan mental goyah, namun juga memiliki kekuatan magis untuk menggoyahkan mental penonton, menjadikannya salah satu this year's best movies, without hesitation. Bravo Soderbergh!