Showing posts with label South Korea. Show all posts
Showing posts with label South Korea. Show all posts

Thursday, August 8, 2013

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Sympathy for Lady Vengeance (2005)

"An angel, could that be true? Do you really think an angel resides in me? If so, where was that angel when I was committing such an evil act? I always wondered about this after hearing what the preacher said, and then I realized, that the angel inside me only reveals itself when I invoke it." ~ Lee Geum-ja

Kita pernah disajikan apa saja oleh seorang sutradara berbakat asal Korea Selatan ini. Ia pernah membuat kita ngeri 'hanya' dengan memotong achilles tendon seorang pria berambut hijau, kemudian kita dikejutkan lagi oleh sebuah balas dendam tersakit yang pernah ada, yang kemudian tak hanya menggemparkan perfilman Korea saja, tapi juga Asia, bahkan dunia. Selain itu, ia juga pernah membawa dunia vampir ke ranah Korea. Terakhir, ia hijrah ke Hollywood, sukses menjadikan sebuah naskah thriller berdarah nan familiar menjadi sebuah sajian yang berkelas dan mengagumkan. Siapa dia?

Park Chan-wook! Sutradara yang angkat nama berkat adaptasi lepas sebuah manga berjudul Oldboy ini memang dikenal sebagai salah satu pelopor film penuh kekerasan di Korea. Oldboy sendiri adalah salah satu bagian dari Vengeance Trilogy, tiga film yang bertema balas dendam, namun dengan cerita yang tak terkait satu sama lain. Sebelum Oldboy, ia telah mengarahkan seri pertama, berjudul Sympathy for Mr. Vengeance yang slow-paced, namun efektif dalam membuat gigi ngilu. Setelah Oldboy, ia menutup trilogi ini lewat pacing lebih cepat dan less-glory namun indah, Sympathy for Lady Vengeance.


Sympathy for Lady Vengeance, atau yang dikenal pula dengan Lady Vengeane saja masih berkutat pada misi balas dendam. Kali ini, seorang wanita yang memegang seluruh kendali. Adalah Lee Geum-ja (Lee Yeong-ae), seorang wanita cantik, mantan narapidana yang dihukum penjara selama 13 tahun atas kejahatan yang ia sendiri tak lakukan. Ia dituduh telah menculik dan membunuh seorang anak berusia 6 tahun, bernama Won-mo. Selepas dari tahanan, ia pun akan menuntut balik, sebuah balas dendam yang tak biasa terhadap pelaku sebenarnya, Mr. Baek (Choi Min-sik). 

Sebelum terjebak dalam jurang penuh pujian, mungkin ada baiknya jika kita mulai dari kekurangan dulu. Mungkin kekurangan yang saya rasakan adalah banyaknya karakter yang dihadirkan (sebagian besar merupakan karakter dari masa lalu Geum-ja saat masih di penjara). Sebenarnya, ini mungkin tak akan menjadi kekurangan kalau karakter yang dihadirkan dapat digali dengan cukup dalam. Namun, Park tampaknya mengalami sedikit kesulitan dalam menangani dan menggali karakter-karakter ini jauh lebih dalam. Akibatnya, walau tak bisa dibilang fatal, membuat penonton sedikit kehilangan fokus dengan apa yang Park coba sajikan.


Meski begitu, saya akui film ini memang menghadirkan tokoh sentral dengan karakterisasi yang luar biasa. Lee Geum-ja sudah dijamin merupakan karakter yang amat menarik dan kompleks. Seorang gadis innocent yang harus menghadapi suatu konsekuensi terhadap sesuatu yang tidak ia lakukan, yang akhirnya menjadi gerbang baginya untuk terjun dalam hal penuh kekerasan dan dosa. Belum lagi, ia seorang wanita dan ibu, yang tetap saja memiliki batas-batas emosional. Dengan segala hal yang dimilikinya, Park menyajikan tokoh sentral yang subtle, saling kontradiktif, a victim of society. Mr. Baek, juga hadir dengan karakter absurd dan kontradiktif, seorang guru yang seharusnya merupakan sosok penyayang, di balik semua itu, ia adalah psikopat berdarah dingin tanpa punya rasa iba.

Segala hal dalam naskah Sympathy for Lady Vengeance bukan melulu tentang pembalasan dendam saja. Di balik sisi emosional dan beberapa kekerasan yang ia punya, naskah film ini juga menghadirkan humor-humor gelap. Ada beberapa humor yang hadir lewat dialog-dialog yang witty dan komikal, membuat saya sendiri tak percaya, bahwa saya tertawa menonton film bertema balas dendam. Dengan takaran yang lebih dibanding 2 pendahulunya, humor-humor ini bekerja dengan baik dalam membangun atmosfer film yang menyeret tema berat menjadi lebih bisa dinikmati.


Tak hanya disampaikan dengan begitu gamblang, ada juga beberapa scene, yang entah tujuannya untuk menyalurkan tawa atau bukan, yang jelas momen-momen ini memang cukup komikal. Dalam 'the deer hunter' scene, sekalipun terasa begitu absurd, tetap saja saya sedikit menyunggingkan kedua ujung bibir. Tak sampai disitu, momen di mana para orang tua berfoto bersama juga berhasil membuat saya sejenak melupakan ke-immoral-an film ini. Siapa yang ingin berfoto bersama setelah melakukan suatu kejahatan? Ada satu lagi. Kalau yang satu ini, akan terasa komikalnya kalau sebelumnya anda telah menonton Sympathy for Mr. Vengeance. Apa itu? Well, silakan lihat dan tebak sendiri.

Meski jika dilihat dari cara pengemasan, Sympathy for Lady Vengeance adalah yang paling ringan, namun dibanding kedua 'kakaknya', film inilah yang hadir dengan kadar simbolisme terbanyak. Dalam perjalanannya, Park menyisipkan beberapa simbolisasi untuk menghantarkan tema rumitnya dalam bentuk banyaknya penggunaan 2 warna, putih dan merah yang menyimbolkan kekontradiktifan 2 sifat. Warna putih diwakili lewat salju serta tahu, dan merah yang dilambangkan lewat eyeshadow, interior kamar, dan tentu saja, darah, atau bahkan keduanya sekaligus, seperti yang telah diperkenalkan dalam opening credits. Tapi, yang paling menarik justru terletak dalam bagaimana Park menggabungkan 2 warna ini dalam unsur-unsur religius.


Tak sampai disitu, Park memang terkesan banyak mengebiri unsur agama di sini. Ia memanfaatkan kereligiusan Lee Geum-ja dan menghadirkan 2 periode waktu sebagai simbol dari 2 sifat yang bertolakbelakang dan kemunafikan. Bukan menyalahkan agama itu sendiri, namun lebih berfokus pada pikiran manusia yang rusak dan penuh noda. Namun, jika dilihat lagi dengan sudut pandang yang lebih luas, kita akan melihat apa yang sebenarnya Park inginkan lewat simbolisasi ini, dan mungkin akan menjawab mengapa ia menempatkan Lady Vengeance sebagai penutup trilogi ini. Ia mengawali Lady Vengeance dengan dominasi warna putih yang melambangkan kesucian, yang perlahan mulai dikotori dengan darah dan kekerasan, yang pada akhirnya, ia mengembalikan semua itu ke tempat di mana semua itu pantas mendapatkannya, ia mengakhiri dengan hujan salju dan sebuah tofu.

Sekalipun tak mempunyai kadar kekerasan sebanyak pendahulunya, terlebih Sympathy for Mr. Violence, namun Park, yang terkenal karena kekerasan dalam setiap filmnya, tetap dapat membungkus setiap adegan dengan intensitas tinggi. Tak hanya itu, lain daripada film lain yang hanya menjadikan kekerasan sebagai ajang unjuk gigi dan bersenang-senang, maka Lady Vengeance (serta Mr. Vengeance dan Oldboy) menjadikan kekerasan-kekerasan tersebut sebagai nyawa dalam plotnya. Mereka adalah dua hal yang saling berkegantungan, tanpa kekerasan yang ia bawa, plot akan terasa mentah dan tak hidup, begitu pula sebaliknya.


Jika mengibaratkan ketiga film dari trilogi balas dendam ini dengan satu sifat, maka Sympathy for Mr. Vengeance memiliki mindless violence, Oldboy adalah definisi dari insanity, maka Lady Vengeance merupakan emotional rollercoaster. Ya, Lady Vengeance adalah segalanya tentang wanita, dan wanita tanpa emosinalitas bukanlah sepenuhnya wanita, bukan? Di sini, Park berhasil menyusun esensi-esensi emosional ini tanpa dosis berlebihan. Bukan dengan hasil unsur emosional tanpa emosi sedikitpun, atau sebaliknya, menghasilkan sebuah sajian manipulatif dangkal yang meninggalkan bergalon-galon air mata.

Satu hal yang membuat Lady Vengeance mengingatkan saya dengan Oldboy adalah lead yang tak terlupakan. Lee Yeong-ae memberikan kharisma yang luar biasa hebat. Ia berhasil mengeksplorasi seorang karakter wanita yang dingin, tangguh, kharismatik, namun emosional, religius, serta feminin. Dengan karakter kompleks dan absurd tersebut, Yeong-ae berhasil mengisi setiap sisi dengan penampilan oscar-worthy. Choi Min-sik, yang kembali bereuni dengan Park juga mampu berubah menjadi seorang psikopat sakit dengan karakter yang saling kontradiktif. Performa baik ini tak hanya sampai pada lead-nya saja, tapi hingga akar-akarnya. Lihat akting para orangtua korban di klimaks film, lihat pula rekan Geum-ja sesama tahanan.


Secara technical level, film ketiga ini benar-benar menunjukkan tajinya. Dengan konsep multi-layered, editing mumpuni adalah keharusan. Ditemani oleh camerawork super cantik, angle-angle unik, dengan tone-tone indah, editing ini terasa intens, namun tetap moving. Berbeda dengan Mr. Vengeance yang tak terlalu banyak memakai scoring dan tenang, musik latar dalam Lady Vengeance terasa lebih agresif lewat gubahan orkestra barok yang menghipnotis, membuat film ini selevel lebih megah dan grande.

Stylish dan beautifully-shot, Sympathy for Lady Vengeance memang tak se-grande dan setragis Oldboy, namun tetap dengan sukses menutup trilogi balas dendam Park Chan-wook dengan dongeng balas dendam yang masih ditulis dengan baik dan sangat unik dan indah dalam pengemasannya. Dibanding dengan kedua prekuelnya, film ini memang tak sekeras kedua pendahulunya, namun bukan berarti Lady Vengeance hadir tanpa kekerasan. Sympathy for Lady Vengeance tidak memanfaatkan kekerasan sebagai pemanis saja, film ini menjadikan kekerasan itu sendiri menjadi untuk memberikan nyawa bagi plotnya. Diisi dengan karakter kompleks dalam sebuah society berliku, Lee Yeong-ae hadir dengan penampilan menawan, hampir tanpa celah sedikit pun. Cantik, menawan, emosional, dingin, keras, dan absurd, dari awal Sympathy for Lady Vengeance menyajikan dongeng fantastis dari segala sisi, dan ketika ia berakhir, ia melimpahkan banyak hal penuh tanya. Tak perlu dijawab, hanya perlu dipikirkan.


Sunday, June 2, 2013

Tagged under: , , , , , , , , , , , ,

[Cannes 2013] And the Palme d'Or Goes to...

What's the warmest color at the Cannes? Blue.
Cannes Film Festival 2013 telah digelar kurang lebih 1 minggu yang lalu (dan baru saya post kali ini). Festival film terbesar di dunia ini dimulai dari tanggal 15 May hingga 26 May 2013, dengan film The Great Gatsby, sebuah adaptasi dari novel Fitzgerald, sebagai pembuka, dan ditutup oleh Zulu yang dibintangi Orlando Bloom. Dengan Audrey Tautou sebagai host dan Steven Spielberg sebagai ketua juri dari kompetisi utama, Cannes kali ini diakhiri dengan kemenangan dari sebuah film romansa lesbian, Blue is the Warmest Color dalam kategori yang paling ditunggu-tunggu, Palme d'Or. Sementara itu, film lain dari sineas-sineas yang memiliki nama besar sepeti Coen bersaudara serta Asghar Farhadi, juga berhasil memboyong beberapa penghargaan. Tak hanya itu, Cannes kali ini juga merupakan tahun hebat bagi sineas-sineas Asia dengan banyaknya kemenangan yang disabet film-film asal Asia, dan berikut daftar lengkap pemenangnya.

Palme d'Or (Best Film) 
La Vie d'Adele - Chapitre 1 & 2 ("Blue is the Warmest Colour") - Abdellatif Kechiche (France) 

Grand Prix (Runner-up)
Inside Llewyn Davis - Ethan and Joel Coen (U.S.) 

Jury Prize (Third Prize)
Soshite Chichi Ni Naru ("Like Father, Like Son") - Kore-Eda Hirokazu (Japan) 

Camera d'Or (Debut Film)
Ilo Ilo - Anthony Chen (Singapore) 

Best Director 
Heli - Amat Escalante (Mexico) 

Best Screenplay 
Tian Zhu Ding (A Touch of Sin) - Jia Zhangke (China) 

Best Actress 
Bérénice Bejo - Le Passé ("The Past") (France) 

Best Actor
Bruce Dern - Nebraska (U.S.) 

Short Film
Safe - Moon Byoung-Gon (South Korea)

Friday, January 4, 2013

Tagged under: , , , , , , , , , , ,

[Part 2] 30 Greatest Twist Endings of All Time


Dalam bagian pertama, ada Murder on the Orient Express, Citizen Kane, The Others, hingga Arlington Road. Kini, random list ini masih berlanjut ke 15 film lain dengan ending paling mengejutkan. Dari suspense klasik hingga thriller modern, dari horor jadul hingga horor masa kini, dari Alfred Hitchcock hingga David Fincher, dan dari pembalasan dendam sampai pembunuh berantai, bahkan menjulur sampai rasa gengsi. Darah, kera, alkitab, ibu, sabun, penjara, hotel, kolam renang, serangan jantung. Semuanya ada di sini. So, here they are... Oh, sebelumnya, happy new year!





Planet of the Apes sesungguhnya memiliki premis yang sangat menarik. Empat orang astronot berkelana ke sebuah planet, meski akhirnya salah satu dari mereka harus meninggal dalam perjalanan. Di planet itu terdapat banyak sekali keanehan. Bukan hanya atmosfirnya yang dapat dihirup manusia, tapi juga bagaimana kehidupan di sana begitu terbalik jika dibandingkan dengan bumi. Ya, di sana ada manusia memang, tetapi manusia tidak lagi menjadi makhluk tertinggi tingkatannya, melainkan para kera lah yang menguasai planet tersebut. Anehnya lagi, kera tersebut dapat berbicara dan bernalar, sedangkan manusia? Berbicara saja tak bisa, bagaimana mau bernalar? Pada akhirnya, Planet of the Apes membawa kita ke kesimpulan mengejutkan (tips: jika ingin menontonnya, jangan sekali-kali melihat poster film ini). What a conclusion!




Oldboy mungkin adalah film asal Korea Selatan terbaik yang pernah saya tonton (atau kalau ingin lebih lebar, Asia?). Kali ini bukan soal romansa komedi, tapi soal pembalasan dendam. Merasa seorang maniak film bertema sama, tapi belum pernah menonton Oldboy? Kalau begitu, anda tidaklah semaniak itu. Saran? Segera tonton ini, karena Oldboy adalah sebuah keharusan. Plot yang diberikan benar-benar cerdas dan sama sekali tak dapat diterka, menghasilkan sebuah tamparan hebat yang menyedihkan. Ini adalah pencapaian terbaik yang pernah ada dalam film bertemakan balas dendam... and guess what? It's not Hollywood.



Sama seperti Psycho, ending film ini memang sudah seperti legenda tersendiri. Ini adalah masa ketika M. Night Shyamalan masih belum dicerca para penikmat film dunia, saat ia disangka-sangka akan menjadi salah satu sutradara terhebat dalam sejarah. Lupakan saja The Last Airbender atau The Happening, The Sixth Sense berkali-kali lipat lebih baik. Dalam film ini, Bruce Willis bukan lagi seorang yang susah mati seperti Die Hard, ia sudah bertransformasi menjadi seorang yang lebih lembut. Ada pula Haley Joel Osment yang tampil gemilang. M. Night Shyamalan berhasil mengelabui kita semua. Ia membuat hal-hal yang kita kira sebenarnya terjadi, namun sebenarnya, kenyataannya bukanlah seperti itu.




The Prestige memang merupakan salah satu film terbaik Christopher Nolan, yang seluruh filmnya, memang terbaik, tanpa terkecuali. The Prestige adalah ketika kawan menjadi lawan. Dibintangi oleh dua aktor kenamaan Hollywood, Hugh Jackman dan Christian Bale sebagai dua magician, The Prestige tampil sebagai film misteri thriller yang menakjubkan. Siapa pun rasanya tak akan bisa mengungkapkan trik sulap Bale, bahkan rivalnya sendiri, Jackman, juga tak pernah tahu trik dibalik sulapnya, sampai ketika Nolan memilih untuk mengakhiri kisahnya, mengejutkan semua orang. Bukan hanya semua orang, Hugh Jackman pun pastinya juga terkejut.



Saya menonton film ini tanpa ekspektasi apa-apa. Satu-satunya alasan saya menonton film ini hanya karena Witness for the Prosecution ini diangkat dari salah satu karya Agatha Christie. Dan alangkah terkejutnya, ketika kita mulai digiring ke akhir film, di saat Witness for the Presecution membuka lembaran-lembaran rahasia miliknya secara perlahan. Itu pun, bukan hanya satu, tapi dua! Ya, anda akan dikejutkan oleh dua lapisan twist yang sangat spektakuler. Konklusi hebat ini juga masih dihias oleh satu lagi hal yang begitu tragis. 



Psycho adalah salah satu pelopor twist ending dalam perfilman dunia. Bahkan, hingga sekarang masih banyak film yang memakai ending serupa. Saking populernya film ini (terutama endingnya), adalah sebuah keajaiban jika anda berhasil menonton Psycho tanpa bocoran atau spoiler sama sekali. Ya, thriller karya seorang Alfred Hitchcock ditambah dengan sebuah akhir yang unpredictable? Karya yang rasanya sangat sempurna. Sepanjang durasinya, Psycho terus menjalar menjadi sebuah 'pembunuh' psikologis yang amat menakjubkan. Psycho adalah satu-satunya film yang membuat siapa saja tak pernah berani membiarkan pintunya tak terkunci ketika sedang mandi. Siapa tahu...



Vertigo adalah salah satu film terbaik persembahan Alfred Hitchcock. Memang masih kalah pamor dengan Psycho, karyanya yang paling populer. Padahal, saya pribadi menganggap Vertigo sedikit lebih baik daripada Psycho, lengkap dengan ending yang tak kalah mengejutkannya. Dalam Vertigo, Alfred Hitchcock membawa kita ke sebuah 'peranakan' genre, yaitu romansa dan suspense. Hasilnya pun, benar-benar menakjubkan dan semuanya mampu mendapat porsi dan bercamur dengan sangat baik. Perpaduan ini menghasilkan salah satu plot terkompleks yang pernah ada, yang kemudian ditutup dengan one of the greatest conclusion ever.




Dalam hal perfilman tanah Eropa, Prancis memang surganya film-film juara. Dari klasik Diabolique hingga romansa zaman sekarang, Rust and Bone, semuanya memiliki kualitas juara. Di antara rentang waktu kedua film ini yang begitu panjang, Tell No One merupakan salah satunya. Film ini merupakan sebuah adaptasi novel karya Harlan Coben yang disutradarai oleh Guillaume Canet dan dibintangi  François Cluzet. Tell No One merupakan sebuah thriller yang intens dan solid, dramanya miris dan manis, dan penuh dengan misteri. Secara keseluruhan, cerita yang dituturkan Tell No One benar-benar di luar dugaan. Sama seperti judul filmnya, jangan katakan apapun kepada siapapun mengenai isi film ini, kecuali kalau anda ingin mengatakan bahwa François Cluzet mirip dengan Dustin Hoffman.



Pernah menonton Psycho dari Alfred Hitchcock? Terserah sudah pernah atau belum, tapi sekedar info saja, Diabolique lah film yang membantu inspirasi seorang Hitchcock hingga akhirnya ia berhasil dengan Psycho-nya. Diabolique juga merupakan suspense favorit dari penulis novel Psycho, Robert Bloch. Kalau boleh jujur, saya sebenarnya lebih menyukai Diabolique ketibang Psycho. Diabolique memiliki sebuah misteri yang benar-benar menggiurkan. Siapa yang tidak penasaran, membuang mayat dalam sebuah kolam renang, namun beberapa hari kemudian, mayat itu menghilang secara tiba-tiba? Kemana perginya mayat itu? Apakah mayat tersebut berubah menjadi zombie yang siap menerkam siapa saja? Ataukah ada orang lain yang mengambilnya? Berbagai macam spekulasi tentang misteri ini terus bermunculan seiring misteri yang dituturkan, tapi tak ada satupun dari spekulasi itu yang benar...



Brad Pitt dan Morgan Freeman dalam satu frame, sepasang partner detektif! Ah, hampir lupa, ada pula Kevin Sacey! Gwyneth Paltrow! Who's excited?! Ya, meski judulnya sedikit alay, tapi Se7en memiliki ensemble cast berkelas dengan sutradara kelas A, David Fincher. Se7en sendiri terinspirasi dari salah satu kisah dalam alkitab, Seven Deadly Sins, yang menjadi sebuah 'modus operandi' seorang pembunuh berantai dalam film ini. Ya, kita ditampilkan para mayat yang bertebaran dalam Se7en, dengan embel-embel sifat -sifat alami setiap manusia. Namun, ada sesuatu yang kita semua tak ketahui, termasuk Brad Pitt dan Morgan Freeman sendiri. "What's in the box?!"





Brad Pitt kembali beraksi, namun kali ini, tak ada Morgan Freeman, Kevin Spacey, ataupun Gwyneth Paltrow. Sebagai gantinya, ada Edward Norton dan Helena Bonham Carter. Setelah Brad Pitt pensiun sebagai seorang detektif, kini ia banting setir menjadi seorang sales sabun dan mengganti namanya menjadi Tyler Durden. Sedangkan Edward Norton adalah seorang pekerja kantoran tak bernama yang bosan hidup,  dan Helena Bonham Carter adalah wanita semrawut yang tak takut mati. Brad Pitt dan Edward Norton kemudian secara tak sengaja bertemu dan membentuk sebuah klub tinju bawah tanah yang super gila. Akhirnya? Bahkan jauh lebih gila lagi.





Rosemary's Baby sebenarnya mengambil tema yang kontroversial dan sangat berani. Mengambil sebuah tema satanisme atau pemujaan setan, Roman Polanski sebagai sutradara mampu menggiring kita ke sebuah horor klasik berkelas yang dipimpin oleh aktris Mia Farrow yang diceritakan baru saja menikah dan sedang mengalami kehamilan. Tapi, ada satu rahasia besar yang ia tak ketahui. Mungkin beberapa orang telah tahu bagaimana Rosemary's Baby akan mengalir, tapi ketika satu-persatu rahasianya mulai terbuka dengan perlahan, ternyata apa yang terjadi malah melebihi perkiraan. Tak salah lagi jika menobatkan Rosemary's Baby sebagai salah satu film dengan ending yang paling memorable yang pernah ada.



Inilah awal masa bersinarnya seorang Edward Norton. Lewat film yang berhasil membuahkannya sebuah nominasi Oscar ini, ia memerankan seorang anak altar yang dituduh telah menghabisi nyawa uskupnya sendiri. Ia sendiri dibantu oleh seorang pengacara ambisius yang diperankan Richard Gere. Primal Fear berhasil tampil gemilang dengan dialog-dialog cerdas dan akting memukau Ed, meski sebenarnya, pertanyaan dalam film ini cukup sederhana: "Apakah benar ia membunuh sang uskup, atau tidak? Lalu, siapa yang melakukannya?" Dan pada akhirnya, Primal Fear menjawab segala pertanyaan itu dengan sebuah fakta menghenyakkan.




Stanley Kubrick kini mencoba ranah horor, dengan mengungkapkan sebuah misteri aneh tentang sebuah hotel besar yang dibintangi aktor beralis aneh pula, Jack Nicholson. Apa yang membuat ini lebih istimewa? Stephen King! Ya, The Shining adalah sebuah adaptasi dari novel kenamaan milik Stephen King. Dengan membawa angin yang agak bernuansa puzzling dan surreal, Stanley Kubrick mampu membuktikan bahwa dirinya memanglah salah seorang sutradara hebat, bukan hanya pada masanya, tapi juga sepanjang zaman. Jack Nicholson tampil gemilang dalam menampilkan peran ayah yang penuh ambigu. Saya bukan hanya berbicara bagaimana transformasinya menjadi seorang ayah berdarah dingin, tapi juga bagaimana film ini mengungkapkan sebuah akhir yang mengundang tanda tanya besar.



Star Wars episode ke-5 yang sejatinya merupakan film Star Wars kedua setelah episode 4 (episode 1 hingga 3 difilmkan sekitar tahun 2000an karena teknologi yang ada lebih memungkinkan) ini berhasil menjadi film science fiction paling memorable dengan salah satu villain paling memorable pula sepanjang sejarah Hollywood, Darth Vader, yang terkenal dengan kostum khasnya itu. Di sini, Putri Leia, Han Solo, dan Luke Skywalker kembali beraksi ditemani R2-D2, Chewbacca, dan (lagi), salah satu robot paling memorable, si android cerewet C-3PO. Oh, jangan lupa, Star Wars episode ini juga diakhiri oleh (lagi dan lagi) salah satu ending paling memorable, juga sama sekali tak terduga, kecuali bagi yang fasih berbahasa Jerman (well, if you know what i mean).
_______________________________________________________________