"I have to apologize. I was born with a disfigurement where my head is made of the same material as the sun.." ~ Thief
Tahun 2004,
Hollywood sempat digemparkan oleh sebuah film berjudul Primer, yang diarahkan
oleh seorang sutradara muda debutan berbakat, Shane Carruth. Well, mungkin terdengar hiperbola, namun
Primer yang kompleks memang menakjubkan di tangan dingin seorang Shane Carruth.
Ia tak hanya menyutradarai Primer, karena ia juga bertanggung jawab dalam
hampir segala hal dalam film ini, ia adalah produser, penulis naskah, pemeran
utama, komposer musik, hingga editor Primer. Namun, setelah 2004, ia tak
produktif lagi. Kata 'produktif' pun rasanya tak tepat, kerena setelah Primer,
ia tak pernah menelurkan film lagi.
Setelah 9 tahun
lamanya, barulah Shane Carruth membuat sebuah comeback-nya
dengan sebuah film berjudul Upstream Color. Sama seperti Primer, Upstream Color
masih merupakan sebuah film eksperimental, dengan struktur yang begitu
kompleks. Dan lagi, layaknya Primer, ia juga bertanggung jawab dalam hampir
seluruh aspek dalam Upstream Color. Selain ada dirinya sendiri dalam jajaran cast, ia juga berkolaborasi dengan
beberapa aktor seperti Amy Seimetz, Thiago Martins, dan Andrew Sensenig.
Upstream Color
diawali oleh scene-scene yang cukup membingungkan, karena
hadir tanpa dialog dan disajikan dengan cukup abstrak. Namun, secara keseluruhan
film ini bercerita tentang sepasang kekasih, Jeff (Shane Carruth) dan Kris (Amy
Seimetz), di mana kehidupan serta perilaku mereka dipengaruhi oleh suatu
parasit kompleks. Perlahan, mereka terjebak dalam sebuah siklus kehidupan yang
rumit dan kompleks.
Semua ini
bermula saat Kris, seorang graphics
production designer, dibius oleh seorang pencuri (Thiago Martins) di
suatu klub. Pencuri tersebut menggunakan berbagai trik aneh dan sugesti untuk mengendalikan pikirannya sekaligus menyembunyikan fakta bahwa ia mengambil sejumlah uang dari Kris. Suatu pagi,
Kris bangun dan menemukan nematoda hidup merangkak dibawah kulitanya, yang
memang terdapat dalam obat yang digunakan pencuri. Dengan bantuan seorang
peternak babi (Andrew Sensenig), ia berhasil mentransfusikan cacing-cacing itu
ke dalam tubuh seekor babi. Keesokan harinya, Kris bangun di sebuah van tanpa
mengetahui apa yang baru saja terjadi. Ia pun menjalani kehidupan kembali,
meski ia harus dipecat karena bolos kerja tanpa informasi. Namun, kehidupan
barunya ini baru bermulai, ketika di sebuah kereta, ia bertemu dengan seorang
lelaki bernama Jeff.
Apa yang anda
rasakan di menit pertama film ini mulai berjalan? Cantik, itu pasti jawaban
semua orang. Layaknya The Tree of Life atau Beasts of the Southern Wild,
Upstream Color menggunakan hand-held
camera, yang pada beberapa
titik, membuat visualnya sedikit shaky. Namun, itulah yang membuat film
independen ini menjadi sebuah film yang istimewa secara visual. Kombinasi
sinematografi shaky serta warna-warna cantik makin
menambah dan mempertebal atmosfer film yang penuh tanda tanya. Sinematografi ciamik ini hadir pula dengan angle-angle rupawan, menangkap momen-momen penuh bahasa tubuh dengan sangat baik.
Dengan visual
yang kecantikannya tak terbantahkan lagi, memang pada beberapa sudut, Upstream
Color terkesan memasuki teritori seorang Terrence Malick. Namun, tentu saja
Shane Carruth bukanlah Terrence Malick, dan mereka juga memiliki identitasnya
masing-masing. Berbeda dengan Malick yang biasanya tak terlalu terpaku pada
naskah dan lebih sering bermain-main dengan gaya penuyutradaraannya, namun
dapat membuatnya menjadi tontonan powerful, maka sedari awal, Upstream Color
telah memiliki pondasi naskah sekuat baja dan semenjanjikan... well, entah apa yang lebih menjanjikan
dari naskah film ini sendiri.
Berbicara lebih
lanjut mengenai naskah film ini, selain hadir dengan cerita yang di luar
pemikiran setiap manusia, naskah dari Shane sendiri ini juga memiliki cerita
yang langka dan segar. Naratif yang ia bawa sangatlah kompleks sekaligus
abstrak, namun dengan cerdasnya, Shane mampu membawakannya tanpa terlalu banyak
dialog. Sebaliknya, ia lebih banyak menggunakan hal-hal imaginatif dengan
sedikit dialog (atau bahkan tanpa dialog sama sekali) dalam mengungkapkan apa
yang sebenarnya terjadi dalam naskahnya. Ketika naskah ini memilih untuk
menampilkan dialog pun, dialog-dialog ini kerap muncul dengan penuh
dengan surrealisme. Dengan naskah sekompleks ini, Upstream Color butuh penyutradaraan
yang detail dan tidak main-main. Lantas, apakan Shane mampu mengemas naskah
eksperimentalnya ini menjadi sebuah karya yang tak terlupakan?
Jawabannya sudah
pasti. Shane Carruth berhasil membawa Upstream Color menjadi karya yang lebih
berharga. Dengan naskah minim dialog hasil racikannya, ia mampu mengeksekusi
Upstream Color bagaikan karya seni bisu. Indah dan well-crafted, namun disajikan tanpa perlu banyak
omong. Dengan gayanya sendiri, Shane Carruth memang banyak menghadirkan scene-scene yang hanya diisi oleh bahasa tubuh
para cast-nya. Terlihat
'kosong', namun sebenarnya scene-scene inilah yang sebenarnya berbicara
dan hal ini begitu berarti. Jelas, pada akhirnya ini kerap menimbulkan
tanda tanya dan membuat Upstream Color menjadi tontonan yang sulit untuk
dicerna. Namun, apakah itu menjadi suatu hal buruk? Sama sekali tidak.
Sebenarnya,
kalau saja Shane mau menggunakan gaya lain dalam penyutradaraanya, bisa saja
film ini menjadi lebih mudah dicerna. Beruntung, ia tak memilih jalan pintas
tersebut. Malah, ia membuat Upstream Color dengan penuh tanda tanya dan
simbolisasi di sana-sini. Resikonya memang besar, film ini menjadi sebuah film
yang sulit dicerna penonton yang lebih menyukai film ringan. Namun, dengan hal
ini pula, ia menjadikan Upstream Color sebagai tontonan yang sangat, sangat thought-provoking, bagaikan susunan puzzle setengah jadi. Ia telah
menceritakan Upstream Color dengan gayanya yang berat, alias ia telah
menyelesaikan setengah dari kumpulan potongan puzzle tersebut. Tugas kita, sebenarnya
hanya dengan menyelesaikan sisanya, perhatikan setiap detail dan gunakan
otak. Kalau ingin lebih menantang, coba saja menonton tanpa membaca
sinopsis. Meskipun resikonya, kemungkinan besar saat film telah berakhir, yang
hanya anda bisa lakukan hanyalah geleng-geleng kepala.
Upstream Color
sendiri hadir dengan cast yang menawan. Selain Shane Carruth
sendiri yang mengisi cast utama dengan baik, ada Amy Seimetz
yang bagaikan bintang bersinar. Saya memang belum pernah mendengar namanya
sebelum ini dan entah siapa dia, namun penampilannya begitu intens dan memikat.
Dengan karakternya yang sangat kompleks, ia dapat menghipnotis siapa saja
dengan begitu meyakinkan. Selagi penonton ikut mempertanyakan kondisi kejiwaannya
berkat akting memukau Seimetz, ia juga mampu membangun chemistry kuat dengan Shane Carruth.
Selain visual
menakjubkan seperti yang telah digubris di atas, film ini juga memiliki jajaran
teknis lainnya yang tak kalah fantastisnya. Dalam urusan teknis pun, nama Shane
Carruth juga ada dimana-mana. Selain sebagai sinematografer, ia jugalah yang
berjasa dalam film editing serta scoring. Dari segi musik latar, Shane
Carruth mampu menghasilkan musik-musik minimalis namun haunting dan penuh emosi, membangun
atmosfer film dengan begitu sempurna. Soal film
editing, mungkin Upstream
Color merupakan salah satu film dengan editing paling efektif yang pernah saya
lihat. Shane menerapkan gaya editing unik, surealis, dan tajam yang dikemas dengan hasil yang tertata rapi serta brillian, memberikan efek yang sangat besar dalam perjalanan emosi Jeff dan Kris.
Sekali lagi, Shane berhasil menjadikan Upstream Color
menjadi karya yang tak terlupakan. Film ekperimental yang tak mempunyai rapor
merah di setiap sisinya. Naskahnya berhasil merangkul romansa, drama, fiksi
sains, dan misteri bersama dalam menciptakan sebuah kisah yang mungkin hanya
ada dalam kepala seorang Shane Carruth. Bagaimana ia mengemas film ini
malah menjadikan Upstream Color berlipat-lipat kali lebih berharga. Ia
mengubah naskah racikannya sendiri menjadi kumpulan potongan puzzle, yang mungkin tak akan dapat
terpecahkan (kecuali kalau anda membuka Google...). Menjadi lead juga bukan perkara yang sulit
untuknya, bersama dengan Amy Seimetz yang intens, mereka mampu membangun sebuah chemistry kokoh. Ditambah pula dengan scoring dan visual
gemilang, rasanya Upstream Color bukan hanya sebuah eksperimen sukses saja, ini
juga merupakan ajang unjuk gigi Shane Carruth (dan berhasil) lewat sebuah karya penuh keanehan yang disajikan lewat cara yang unik namun indah. Menonton Upstream
Color boleh jadi merupakan pengalaman yang cukup melelahkan, namun pada saat
yang sama pula, menontonnya merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Overrated sih kl nurut sya. Dia egois nyiptain film cuma utk dirinya sndiri. Sya ga anggap dia jenius, mlainkan hnya trlalu ambisius utk trliat jenius. Sya sdh tonton Primer jg. Sama aja. Dlm kedua filmnya byk scene dieditnya jd sdmikian ga nyambungnya. Byk kok film jenius laen yg sulit dimengerti tp pd akhirnya pnonton bs mmahami, sprti 2001 oddisey, Fountain, Dr. Parnassus, Enemy ato Under The Skin. Tp tidak film2 Carruth ini, ga mmberikan kesan apa2 sprti angin lalu.
ReplyDelete