"We all have secrets: the ones we keep, and the ones that are kept from us." ~ Peter Parker
Di reboot terbaru ini, tak ada lagi nama Sam Raimi di bangku sutradara. Yang ada merupakan nama Marc Webb yang akhirnya menggantikan Sam Raimi. Tunggu, siapa Marc Webb? Bagi anda penggemar film-film drama komedi romantis atau pun fillm-film indie, mungkin anda sudah pernah menonton salah satu karyanya, (500) Days of Summer, yang mendapat sambutan meriah dari kritikus. Ya, sutradara film independen banting setir menjadi sutradara film blockbuster? Mungkin terdengar sedikit aneh, tapi ingat Rian Johnson? Sutradara Looper yang baru-baru ini rilis juga mengalami hal sama (well, saya memang menonton Looper terlebih dahulu daripada film ini), dan berhasi dengan baik. Akankah Marc Webb melakukan hal yang sama? Atau bahkan lebih baik?
Peter pun akhirnya menyelinap ke OSCORP dan bertemu dengan Connors. Tak hanya Connors, ia juga bertemu dengan teman sekelas sekaligus love-interst-nya, Gwen Stacy (Emma Stone), yang ternyata merupakan kepala magang di sana. Di sana, ia masuk diam-diam ke sebuah laboratorium di mana banyak terdapat laba-laba yang telah dimodifikasi secara genetik. Secara tak sengaja, salah satu laba-laba tersebut menggigit Peter yang akhirnya menjadikannya seorang manusia super.
Siapa? Gwen Stacy? Ya, The Amazing Spider-Man kali ini memang lebih setia terhadapa komiknya. Sebagai contoh adalah Gwen Stacy tadi. Dalam komiknya, pacar Peter semasa SMA adalah Gwen Satcy, berbeda dengan Spider-Man versi Raimi. Dan mungkin, faktor 'lebih setia terhadap komik' inilah yang menjadi salah satu obat ampuh untuk menggaet para penggemar baru yang mungkin saja tak suka terhadap Spider-Man versi Raimi yang mereka anggap sedikit menyimpang.
'Reinkarnasi' saga Spider-Man yang satu ini memang berbeda dengan kakak pendahulunya. Dari cerita, memang hampir sama, tapi dengan beberapa pengubahan. Perbedaan yang paling mencolok di antara keduanya adalah pendalaman cerita. Dalam The Amazing Spider-Man, cerita yang naskahnya kuak lebih mendalam, bahkan hingga ke masa kecil Peter Parker sendiri. Belum lagi usaha Peter untuk menguak kebenaran dari hilangnya kedua orangtua Peter dan karakterisasi yang lebih mendalam bagi Peter Parker. Hasilnya? film ini dapat menyajikan sosok Spider-Man yang jauh lebih manusiawi juga terasa lebih muda dibanding pendahulunya.
Adegan aksi dengan bergelantungan dari satu gedung ke gedung lainnya memang merupakan trademark dari Spider-Man, dan rasanya kurang jika kita tak mengupasnya. Karena naskahnya sendiri lebih mengedepankan unsur drama lewat dalamnya cerita yang ia tawarkan, maka tentu saja aksi yang ditawarkan harus 'mengantri' lebih lama dari biasanya. Namun begitu, bagi saya sah-sah saja, karena apa yang ditawarkan lewat aksinya sudah cukup membuat hati saya puas.
Jika anda pernah menonton film drama komedi Marc Webb berjudul (500) Days of Summer, maka rasanya tak lengkap jika di film terbarunya ini, ia tak menyisipkan humor-humor segar. Untungnya saja, humor ini hadir dalam porsi yang pas dan terasa tak terlalu berlebihan. Dan lebih untung lagi, karena humornya mampu membuat kita tersenyum. Salah satu hal yang sukai adalah bagaimana Marc Webb menyisipkan adegan jenaka yang dilakukan oleh para figuran di belakang para aktor utamnya. Konyol? Tentu. Tapi itulah yang saya suka dari humor sisipan tersebut.
Seluruh aspek yang telah saya sebut di atas tentu tak akan berhasil jika tak didukung oleh departemen akting yang baik. Sebagai sosok baru sang manusia laba-laba, Andrew Garfield berhasil memerankannya dengan baik. Ia juga berhasil memanfaatkan segala ruang yang diberikan oleh naskahnya hingga akhirnya menumbuhkan suatu karakterisasi yang lebih mendalam. Emma Stone, mampu menampilkan penampilan yang baik sebagai Gwen Stacy. Chemistry yang dihasilkan keduanya pun terjalin erat tanpa adanya kesan hambar, mungkin karena didukung fakta pula bahwa mereka berpacaran di dunia nyata.
Martin Sheed dan Sally Field yang memerankan paman dan bibi Peter Parker juga dapat menyelesaikan tugasnya tanpa celah berarti. Mereka mampu menyajikan hubungan 'orangtua-anak' dengan Peter yang erat, meski beberapa konflik memang tak bisa terhindarkan. Tak hanya itu, si pemeran rekan kerja ayah Peter terdahulu alias Dr. Connor yang diperankan oleh Rhys Iffans berhasil menampilkan sosok seorang ilmuwan dua sisi.
Salah satu hal yang tak terlupakan dari The Amazing Spider-Man adalah visualnya yang luar biasa. Adegan aksinya yang banyak melibatkan visual-effect hadir dengan kualitas yang maksimal. Tak hanya unggul dalam CGI-nya, film ini juga unggul dalam hal sinematografi yang merupakan arahan dari John Schwartzman yang dulu pernah mendapat nominasi Oscar lewat film tahun 2003, Seabiscuit. Dari momen-momen romantis, menegangkan, hingga menyedihkan dapat ditangkap dengan indah lewat sinematografinya.
Dalam hal musik latar, bidang ini digarap oleh James Horner. Sosoknya sendiri bukanlah orang sembarangan dalam meng-compose berbagai musik scoring untuk film. Bukan hanya pernah mendapatkan 8 nominasi Oscar saja, tapi juga pernah menyabet 2 Oscar untuk Titanic yang fenomenal itu. Dalam The Amazing Spider-Man pun, sekali lagi ia membuktikan tajinya lewat penyajian musik yang tak hanya megah, tapi juga begitu menusuk.
The Amazing Spider-Man adalah reboot yang tergolong baik. Memang tak sebaik Batman Begins versi Christopher Nolan, namun apa yang disajikan Marc Webb lewat penyutradaraannya juga naskah yang digarap oleh trio James Vanderbilt, Alvin Sargent, dan Steve Kloves serta bagian cast dan teknisnya yang mampu bertugas dengan baik sangat patut diacungi jempol. Segala usaha yang mereka hasilkan memang berhasil untuk menghidupkan kembali sang superhero dari 'mati surinya' yang baru seumur jagung. Jadi, apakah The Amazing Spider-Man adalah ajang pengerukan dollar sebanyak-banyaknya? Tentu, tapi kali ini hadir dengan kualitas yang sangat mumpuni.
Lalu, mana yang lebih baik? Versi Sam Raimi atau Marc Webb? Well, menurut saya, kualitas keduanya hampir imbang dan punya kekurang-kelebihannya masing-masing. Namun, jika anda pengagum aksi-aksi yang super cool dengan segala aksi loncatan-loncata supernya, maka Spider-Man ala Sam Raimi tentu merupakan pilihan terbaik. Namun, jika anda lebih suka kepada pendalaman cerita atau film yang lebih setia terhadap komiknya, maka tentu saja The Amazing Spider-Man ala Marc Webb merupakan keputusan yang cermat sekaligus cerdas.
Siapa? Gwen Stacy? Ya, The Amazing Spider-Man kali ini memang lebih setia terhadapa komiknya. Sebagai contoh adalah Gwen Stacy tadi. Dalam komiknya, pacar Peter semasa SMA adalah Gwen Satcy, berbeda dengan Spider-Man versi Raimi. Dan mungkin, faktor 'lebih setia terhadap komik' inilah yang menjadi salah satu obat ampuh untuk menggaet para penggemar baru yang mungkin saja tak suka terhadap Spider-Man versi Raimi yang mereka anggap sedikit menyimpang.
'Reinkarnasi' saga Spider-Man yang satu ini memang berbeda dengan kakak pendahulunya. Dari cerita, memang hampir sama, tapi dengan beberapa pengubahan. Perbedaan yang paling mencolok di antara keduanya adalah pendalaman cerita. Dalam The Amazing Spider-Man, cerita yang naskahnya kuak lebih mendalam, bahkan hingga ke masa kecil Peter Parker sendiri. Belum lagi usaha Peter untuk menguak kebenaran dari hilangnya kedua orangtua Peter dan karakterisasi yang lebih mendalam bagi Peter Parker. Hasilnya? film ini dapat menyajikan sosok Spider-Man yang jauh lebih manusiawi juga terasa lebih muda dibanding pendahulunya.
Adegan aksi dengan bergelantungan dari satu gedung ke gedung lainnya memang merupakan trademark dari Spider-Man, dan rasanya kurang jika kita tak mengupasnya. Karena naskahnya sendiri lebih mengedepankan unsur drama lewat dalamnya cerita yang ia tawarkan, maka tentu saja aksi yang ditawarkan harus 'mengantri' lebih lama dari biasanya. Namun begitu, bagi saya sah-sah saja, karena apa yang ditawarkan lewat aksinya sudah cukup membuat hati saya puas.
Jika anda pernah menonton film drama komedi Marc Webb berjudul (500) Days of Summer, maka rasanya tak lengkap jika di film terbarunya ini, ia tak menyisipkan humor-humor segar. Untungnya saja, humor ini hadir dalam porsi yang pas dan terasa tak terlalu berlebihan. Dan lebih untung lagi, karena humornya mampu membuat kita tersenyum. Salah satu hal yang sukai adalah bagaimana Marc Webb menyisipkan adegan jenaka yang dilakukan oleh para figuran di belakang para aktor utamnya. Konyol? Tentu. Tapi itulah yang saya suka dari humor sisipan tersebut.
Seluruh aspek yang telah saya sebut di atas tentu tak akan berhasil jika tak didukung oleh departemen akting yang baik. Sebagai sosok baru sang manusia laba-laba, Andrew Garfield berhasil memerankannya dengan baik. Ia juga berhasil memanfaatkan segala ruang yang diberikan oleh naskahnya hingga akhirnya menumbuhkan suatu karakterisasi yang lebih mendalam. Emma Stone, mampu menampilkan penampilan yang baik sebagai Gwen Stacy. Chemistry yang dihasilkan keduanya pun terjalin erat tanpa adanya kesan hambar, mungkin karena didukung fakta pula bahwa mereka berpacaran di dunia nyata.
Martin Sheed dan Sally Field yang memerankan paman dan bibi Peter Parker juga dapat menyelesaikan tugasnya tanpa celah berarti. Mereka mampu menyajikan hubungan 'orangtua-anak' dengan Peter yang erat, meski beberapa konflik memang tak bisa terhindarkan. Tak hanya itu, si pemeran rekan kerja ayah Peter terdahulu alias Dr. Connor yang diperankan oleh Rhys Iffans berhasil menampilkan sosok seorang ilmuwan dua sisi.
Salah satu hal yang tak terlupakan dari The Amazing Spider-Man adalah visualnya yang luar biasa. Adegan aksinya yang banyak melibatkan visual-effect hadir dengan kualitas yang maksimal. Tak hanya unggul dalam CGI-nya, film ini juga unggul dalam hal sinematografi yang merupakan arahan dari John Schwartzman yang dulu pernah mendapat nominasi Oscar lewat film tahun 2003, Seabiscuit. Dari momen-momen romantis, menegangkan, hingga menyedihkan dapat ditangkap dengan indah lewat sinematografinya.
Dalam hal musik latar, bidang ini digarap oleh James Horner. Sosoknya sendiri bukanlah orang sembarangan dalam meng-compose berbagai musik scoring untuk film. Bukan hanya pernah mendapatkan 8 nominasi Oscar saja, tapi juga pernah menyabet 2 Oscar untuk Titanic yang fenomenal itu. Dalam The Amazing Spider-Man pun, sekali lagi ia membuktikan tajinya lewat penyajian musik yang tak hanya megah, tapi juga begitu menusuk.
The Amazing Spider-Man adalah reboot yang tergolong baik. Memang tak sebaik Batman Begins versi Christopher Nolan, namun apa yang disajikan Marc Webb lewat penyutradaraannya juga naskah yang digarap oleh trio James Vanderbilt, Alvin Sargent, dan Steve Kloves serta bagian cast dan teknisnya yang mampu bertugas dengan baik sangat patut diacungi jempol. Segala usaha yang mereka hasilkan memang berhasil untuk menghidupkan kembali sang superhero dari 'mati surinya' yang baru seumur jagung. Jadi, apakah The Amazing Spider-Man adalah ajang pengerukan dollar sebanyak-banyaknya? Tentu, tapi kali ini hadir dengan kualitas yang sangat mumpuni.
Lalu, mana yang lebih baik? Versi Sam Raimi atau Marc Webb? Well, menurut saya, kualitas keduanya hampir imbang dan punya kekurang-kelebihannya masing-masing. Namun, jika anda pengagum aksi-aksi yang super cool dengan segala aksi loncatan-loncata supernya, maka Spider-Man ala Sam Raimi tentu merupakan pilihan terbaik. Namun, jika anda lebih suka kepada pendalaman cerita atau film yang lebih setia terhadap komiknya, maka tentu saja The Amazing Spider-Man ala Marc Webb merupakan keputusan yang cermat sekaligus cerdas.
8.0/10
0 comments:
Post a Comment