"Behind my badge is a heart like yours. I bleed, I think, I love, and yes, I can be killed." ~ Brian Taylor
Pamor polisi akhir-akhir ini memang sedang tak baik. Begitu pula dengan pamor mockumentary yang kerap dianggap sebelah mata sebagai salah satu kedok untuk mendapatkan keuntungan lebih dari budget rendah. Ya, kamera-kamera seadanya yang lengkap dengan embel-embel yang meyakinkan penonton bahwa film mocku merupakan film dokumenter nyata ini bagaikan alat kamuflase yang bersembunyi dibalik kata khas strategi marketing, 'untung besar'. Kalau sudah bosan dengan segala film mocku bertema haunted house semacam Paranormal Activity dan antek-anteknya atau exorcism macam The Last Exorcism atau Devil Inside, maka film 'dokumenter jadi-jadian' dari sutradara dan penulis naskah, David Ayer ini sangat sayang untuk dilewatkan.
Entah apa yang dipikirkan David Ayer hingga akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah film berkisah kehidupan polisi. Mungkin saja di Negeri Paman Sam sana pamor polisi juga sedang menurun (seperti halnya di Indonesia), atau apapun itu alasannya. Yang jelas, meski penggunaan sub-genre ini memang sedang merajalela di berbagai belahan dunia (khusunya Hollywood), tapi tetap saja, film berjudul End of Watch ini harus diakui sedikit menambah angin segar dalam perjudian mockumentary Hollywood. Mengingat bahwa End of Watch bukanlah tipe film yang menakut-nakuti penonton lewat sudut pandang yang tidak biasanya. Dari genrenya saja, End of Watch juga bukanlah film horor.
Ini semua berawal dari ide Brian Taylor (Jake Gyllenhaal), yang ingin mendokumentasikan kegiatan sehari-harinya sebagai polisi bersama dengan partner kerjanya, Mike Zavala (Michael Peña). Meski keduanya punya banyak perbedaan mencolok seperti Brian yang kaukasoid dan Mike yang berdarah Hispanik, tapi tak menutup keduanya untuk menjalin persahabatan yang erat. Setiap hari, seperti kehidupan polisi biasa, terjadi kejar-kejaran, penembakan, gangster, hingga kejadian kriminal lain. Dari kasus kriminal biasa hingga kasus yang terlampau luar biasa.
Di sisi lain, polisi tetaplah manusia. Mereka tetaplah punya kehidupan pribadi, dan End of Watch juga mengeruk hal itu. Brian Taylor sendiri sedang menjalin hubungan dengan seorang sarjana hidrolik cair, Janet (Anna Kendrick), sedangakan Mike telah menikah dengan Gabby (Natalie Martinez), yang bahkan sedang menunggu kelahrian anak pertama mereka. Sama seperti Mike dan Brian, Gabby dan Janet juga menjalin hubungan yang sangat baik.
Salah satu faktor mengapa saya menyukai film mockumenter adalah bagaimana David Ayer tak berusaha terlalu keras untuk memperlihatkan bahwa film ini benar-benar nyata seperti film found-footage lain. Dari castnya saja, kita sudah bisa lihat. Ada dua orang yang pernah dinominasikan Oscar, Jake Gyllenhaal dan Anna Kendrick, serta Michael Peña dan America Ferrera yang namanya cukup dikenal di Hollywood. Dan sekali lagi, David Ayer bahkan tak memakai nama asli para aktornya, yah meski memang agak konyol jika membayangkan seorang Jake Gyllenhaal ternyata adalah seorang polisi berkepala plontos dan Anna Kendrick merupakan sarjana hidrolik cair.
Selain itu, End of Watch juga tidak hanya tidak memakai nama asli dari para castnya, film ini juga menawarkan pergerakan kamera yang lain dari biasanya. Tak hanya mengandalkan kamera yang bersudut pandang dari sang kameramen yang kerap shaky, End of Watch juga beberapa kali menampilkan pengambilan sudut gambar dari atas yang menampakkan landscape indah, yang mungkin lebih terasa arahan sinematografer profesional dan bukan arahan asal-asalan.
Tapi, dengan begitu, apakah adil rasanya jika kita memvonis bahwa End of Watch adalah film mocku yang sama sekali tak terasa realistis? Tentu tidak. Kembali lagi, bahwa hal yang dilakukan David Ayer ini adalah yang membuat saya jatuh hati pada End of Watch. Meski dari cast hingga penggunaan kamera tidak berstandar pada formula mocku biasa, namun End of Watch masih dapat tampil realistis, bahkan bisa dibilang lebih terasa realistis ketimbang found-footage yang memakai formula film mocku biasa.
Hal ini berkat David Ayer yang membuat karakter-karakter dalam film ini lebih humanis dan manusiawi. Meski berkisah tentang polisi yang selalu berhadapan dengan kekerasan yang bahkan bisa terjadi setiap harinya, David Ayer juga menambahkan sisi personal dari kisah kehidupan polisinya ini. Ia menyisipkan sebuah romansa kuat yang tercipta dari hubungan Brian-Janet dan Mike-Gabby. Tak lupa, Ayer juga memberikan hubungan bromance yang tak kalah kuat antara karakter Brian dengan Mike. Selain ada romansa dan buddy-cop-nya yang manis, End of Watch juga merambah drama yang mengalir dengan begitu emosional.
Meski punya unsur drama yang sangat kuat, End of Watch tentu tak melupakan unsur thrilling yang sebenarnya merupakan hal wajib dalam setiap film berkisah serupa. Bahkan, diawal film saja, kita telah disambut adegan kejar-kejaran super seru yang ditemani narasi dengan monolog cerdas dari Jake Gyleenhaal. Suasana menegangkan ini juga ada dalam setiap adegan tembak-tembakannya. Dalam hal kasus kriminal lain, End of Watch juga menampilkan kasus-kasus tak biasa yang bahkan terasa mengejutkan.
Setiap orang pasti tak akan melupakan sebuah film jika film tersebut diakhiri oleh ending yang benar-benar memorable. Sama halnya dengan End of Watch, di akhir film, David Ayer mempersembahkan sebuah klimaks yang benar-benar menegangkan, berdarah, memacu adrenalin, namun tetap emosional dan sekali lagi, terasa lebih humanis. Ending seru yang melibatkan darah bermuncratan, timah panas yang dapat meluncur dari mana saja, hingga suara tembakan memekakkan telinga yang dapat datang tiba-tiba.
Dalam jajaran aktingnya, Jake Gyllenhall dan Michael Peña dapat menjalankan tugas mereka dengan sangat baik. Mereka dapat menghidupkan setiap sisi seorang polisi, waktu dimana saatnya mereka beraksi, hingga di waktu mana mereka dapat menjadi manusia normal kembali dan melupakan segala pekerjaan berat mereka. Chemistry bromance yang mereka bangun juga mampu berjalan dengan sangat kuat dan tak terlepaskan.
Jake Gyllenhaal juga mampu menghadirkan chemistry erat dengan Anna Kendrick yang juga mampu menampilkan penampilan yang sama baiknya, meski memang tidaklah sekuat penampilannya dalam Up in the Air. Hal sama juga mampu dihadirkan Michael Peña dan Natalie Martinez yang dapat menghadirkan chemistry solid yang menghasilkan suasana hangat di antara hubungan suami-istri yang begitu harmonis dan bahagia.
Jika kita lebih menilik End of Watch dari sudut yang lebih dalam, maka dapat terlihat bahwa sebenarnya End of Watch punya segala sesuatu yang lebih dari kata-kata kotor dan senjata tajam. Film ini sebenarnya mengangkat makna yang cukup sensitif, yaitu tentang rasisme, namun dengan cerdasnya, David Ayer mampu menyampaikannya secara inplisit lewat pergulatan dua gangster. Ketika End of Watch berakhir, dapat terlihat juga bagaimana arti sebuah persahabatan yang sebenarnya, kisah kesetiaan cinta, dendam, kepedihan, hingga ketragisan.
End of Watch adalah kisah yang sangat kompleks dalam setiap emosinya. Sebuah drama yang dalam, menyentuh, dan romantis. Sebuah thriller yang memacu adrenalin sekaligus mengundang rasa penasaran. Naskah kuat dengan dialog cerdas, penceritaan yang tak kalah kuat, karakterisasi gemilang, akting dan chemistry solid, seluruhnya telah dimiliki oleh mockumentary ini. Meski memang, gerakan shaky camera membuat sedikit pusing, namun masih dalam kadar dimaafkan, dan sama sekali tak berpengaruh terhadap keseluruhan film. Ini adalah surat cinta dari David Ayer yang menghanyutkan. Salah satu found-footage terbaik yang pernah ada? Sangat mungkin.
8.0/10
0 comments:
Post a Comment