"You have the heart of a chief. And the soul of a dragon." ~ Valka
Kalau saja tak rilis di tahun yang sama, DreamWorks bisa jadi membawa pulang Oscar untuk How to Train Your Dragon. Memang tak bisa disalahkan, karena di tahun itu ada Pixar dengan Toy Story 3 yang amat luar biasa. Tapi, siapa sangka How to Train Your Dragon mampu tampil luar biasa tahun itu, baik secara kualitas dan kuantitas. Meski harus mengalah dengan studio kompetitor terbesarnya, siapa pun tak dapat melupakan bagaimana How to Train Your Dragon, yang dari judulnya saja terdengar aneh, mampu menjelma menjadi salah satu karya terbaik yang pernah studio animasi ini hasilkan.
Kini, mengekor kesuksesan 'sang kakak', DreamWorks Animation menelurkan sekuelnya, How to Train Your Dragon 2. Selama ini kita selalu mendengar asumsi bahwa sekuel selalu buruk dan dibuat hanya untuk mengejar pundi-pundi dollar semata. Well, that's half true, sebagian besar sekuel hadir dengan kualitas menyedihkan dibanding pendahulunya. But, that's also half not-true. Beberapa di antaranya, mampu dikemas dengan kualitas yang dapat menyamai, bahkan dapat melampaui kualitas si predcessor. Aliens, Evil Dead 2, Spiderman 2, X-Men 2, Before Sunset, The Dark Knight, that legendary Godfather: Part II, and the list goes on... Pertanyaannya, mampukan How to Train Your Dragon 2 mengisi daftar sekuel mumpuni lain, atau sebaliknya, makin memperbanyak daftar sekuel gagal yang tak ada habisnya?
How to Train Your Dragon 2 dibuka dengan narasi khas sekuel: sebuah perkenalan yang mengisahkan apa yang terjadi setelah kejadian di prekuelnya. Tepatnya, apa yang 5 tahun kemudian terjadi setelah Hiccup mampu menaklukkan Toothless. Ya, bangsa Viking telah berubah, tak ada lagi 'mindset' 'kill-or-be-killed', mereka telah mampu hidup berdampingan dengan para naga. Tak sampai di situ, sebagai ganti perlombaan menaklukkan naga, diadakanlah perlombaan menangkap domba-domba 'terbang' sembari menunggang naga peliharaan mereka.
Tapi, Hiccup (Jay Baruchel) berbeda dengan Astrid (America Ferrera), Snotlout (Jonah Hill), Fishlegs (Christopher Mintz-Plasse), Tuffnut (T.J. Miller), dan Ruffnut (Kristen Wiig) yang sibuk dengan permainan mereka. Ia lebih memilih menyendiri bersama Toothless, dan asyik sendiri dengan dunianya, menunggangi Toothless sembari memperlihatkan aksi-aksi akrobatik dan menjelajahi dunia yang belum pernah siapapun pijaki. Dunia ini mengarahkannya pada sebuah daerah rahasia tempat naga-naga liar tinggal, di saat itu pula ia mengetahui bahwa ada seorang kejam bernama Drago Bludvist (Djimon Hounsou) yang ingin menguasai seluruh naga itu. Hiccup dan kawan-kawannya pun terjebak dalam sebuah peperangan yang bukan hanya mempertaruhkan kelangsunganhidup para naga, tapi juga dapat mengorbankan nyawa bangsa Viking.
Secara keseluruhan, How to Train Your Dragon 2 memang tak menghadirkan plot yang imaginatif dan out-of-the-box a la saingannya Pixar. Sebaliknya ia memanfaatkan plot yang sebenarnya cukup sederhana mengenai lost parent plus perjalanan bersama naga-naga, namun Dean DeBlois punya langkah-langkah istimewa dan di luar aman untuk menjadikannya sekuel yang dapat menandingi kualitas prekuelnya yang sudah sangat istimewa. DeBlois berhasil dalam bermain-main dengan porsi drama yang lebih digali, selagi makin mengukuhkan nama Hiccup sebagai sang pemberani sekaligus Toothless sebagai naga loyal dan tak kenal rasa takut. Penuh suka cita, dengan suntikan-suntikan emosi yang hadir meyakinkan. Hasilnya, sebuah kisah tak baru namun punya daya magis yang mampu membuat siapapun tak kuasa menolak pesonanya.
Ini adalah eksploitasi drama yang pas, emosional dan mengaduk perasaan penonton, namun dapat diimbangi dengan porsi humor yang menggelitik dan aksi-aksi akrobatik yang menawan. Semuanya hadir dengan dosis rasional, membuat siapapun mampu tertawa terbahak-bahak meski dengan keadaan mata sembab. Mungkin kita dapat mengkritisi plot 'alpha' yang jelas-jelas merupakan sebuah plot device untuk mencapai titik emosional yang diperlukan, tapi toh akhirnya hal itu mampu mengaduk-aduk emosi dengan baik, jadi tak ada yang harus dipermasalahkan. Tapi, di luar itu, sekuel ini juga sebenarnya bukanlah karya sempurna. Karakter Astrid hadir dengan ruang yang kurang untuk berkembang lebih jauh, masalah juga ada pada sifat keras kepala Hiccup, yang kadang memang terasa menyebalkan karena kurangnya penjelasan.
Tapi hal-hal itu tak mengurangi kenyataan bahwa film ini adalah animasi yang solid. Salah satu alasannya, adalah karena DeBlois memegang tiap kuasa di sini. Ia bukan hanya sekadar penulis yang berkutat dengan bagaimana membuat sebuah cerita berkelas, ia juga seorang sutradara, seorang pemegang kunci dan penerjemah tiap lembar naskah dan menjadikannya tontonan istimewa sesuai dengan visinya. Dengan kekuasannya yang 'tak terbatas', DeBlois mampu memanfaatkan itu untuk menjadikan How to Train Your Dragon 2 sebuah perjalanan combo genre, lengkap dengan pacing halus. Letupan-letupan emosi yang mengisi tiap drama mampu dikemas dengan sangat baik, bergantian dengan aksi-aksi yang kian mengokohkan intensitasnya. Dengan kemampuannya pula, ia berhasil mengembangkan konflik yang kian dewasa dan besar, yang tak hanya melibatkan krisis diri Hiccup seorang saja, tapi menampilkan perjalanan karakter luar biasa dari sang tokoh utama, Toothless. Bukan lagi from zero to hero, melainkan from hero to even greater hero. From an exciting adventure to more exciting adventure.
Kualitas voice cast-nya masih hadir dengan kualitas gemilang, di tambah kehadiran beberapa 'pendatang baru' dalam franchise ini. Salah satunya adalah Cate Blanchett, yang hadir dengan performa menakjubkan sebagai the lost mother sekaligus the true badass, seorang pahlawan yang bukan hanya menumpas kegelapan, tapi di sisi lain, ia punya depth dan kekuatan emosi yang tinggi. Salah satu hal yang patut dipuji adalah bagaimana DeBlois perlahan memasukkan karakter ini dalam cerita. Di awal memang canggung, namun perkenalan ini membawa hawa misterius yang begitu sesak sekaligus memancing tanda tanya besar penonton. Suatu hal yang luar biasa dalam memperkenalkan seorang badass! Jangan tanya lainnya, karena yang pasti, semua mampu menjalankan tiap tugasnya begitu baik. Dari Jay Baruchel hingga Gerard Butler, mampu mengisi porsi drama dengan baik, sementara trio Kristen Wiig, Jonah Hil, dan Christopher Mintz-Plasse juga sukses membawa relief-relief komikal yang menghibur dan sesak tawa.
Salah satu peningkatan pesat lain, tentunya ada di tangan teknis. Dibanding kualitas animasi predecessor yang dulu dikritisi kualitasnya karena tak mencerminkan studio sebesar DreamWorks Animation, kini tentu mereka belajar lebih jauh, dengan kualitas yang lebih halus dan eye-candy di atas sang pendahulu. Lihat rupa Hiccup serta Astrid yang kini kian matang dan lebih realistis. Tak berhenti di situ, How to Train Your Dragon juga punya jajaran-jajaran teknis lain yang tak kalah solid. John Powell, komposer langganan DreamWorks nyatanya memiliki ribuan cara yang tak habis-habisnya menemani tiap aksi agar berjalan lebih epik, dengan lantunan nada orkestra megah yang menggebu-gebu dan ornamen etnik di sana-sini.
Ini memang luar biasa. How to Train Your Dragon 2 bukan hanya melulu tentang sebuah animasi penghibur segala umur yang mujarab. Di sisi lain, film ini tetap membawa drama penuh kehangatan dan pesan moral yang tetap kaya, yang semuanya mampu ditata rapi dalam screenplay-nya yang padat dan arahan DeBlois yang memikat. Secara kisah, tak ada sesuatu yang inventif, namun dengan pengemasan mumpuni, How to Train Your Dragon 2 adalah perjalanan menyenangkan dan penuh daya magis, mampu bermain di luar aman dengan ornamen-ornamen yang kian matang dan menyenangkan dengan bantuan jajaran teknis yang jauh di atas level pendahulunya. Yeah, this is an extremely fun ride, and also a proof that 'the sequel curse' is an outdated assumption!
0 comments:
Post a Comment