Directed by Tetsuya Nakashima Produced by Yûji Ishida, Genki Kawamura, Yoshihiro Kobuta, Yutaka Suzuki Written by Tetsuya Nakashima (screenplay), Kanae Minato (novel) Starring Takako Matsu, Masaki Okada, Yoshino Kimura, Yukito Nishii, Kauro Fujiwara, Ai Hashimoto Music by Toyohiko Kanahashi Cinematography Masakazu Ato, Atsushi Ozawa Editing by Yoshiyuki Koike Studio DesperaDo/Hakuhodo DY Media Partners/Licri/Nippon Shuppan Hanbai (Nippan) K.K./Sony Music Entertainment/Toho Company/Yahoo Japan Distributed by Toho Company Running time 106 minutes Country Japan Language Japanese
Ini bukan film Confessions of A Shopaholic, melainkan salah satu film Jepang terbaik yang pernah saya tonton, Confessions. Gak salah kalau film ini pernah masuk jajaran Top 9 Best Foreign Language yang mewakili Jepang di ajang 83th Academy Award. Sinematografinya keren! Setiap scenenya disajikan dengan "hitam" sekaligus artistik! Sountracknya juga keren! Pokoknya bener-bener cinta mati deh sama film yang satu ini! (Maaf kalau sedikit berlebihan, tapi memang kenyataannya begitu kok, hehe.)
Film arahan sutradara Tetsuya Nakashima ini dimulai dengan suasana sebuah kelas yang terlihat sangat ceria sekaligus gaduh. Saat itu juga, seorang guru, Yuko Moriguchi (Takako Matsu) menyatakan bahwa hari tersebut merupakan hari terakhir ia mengajar sebagai seorang guru. Namun bukan itu yang membuat suasana kelas menjadi berubah 180°, melainkan sebuah pengakuan mengajutkan di depan anak-anak muridnya, yaitu bahwa anaknya, Manami telah dibunuh, walaupun keterangan polisi mengatakan bahwa kematian anaknya karena kecelakaan. Lebih mengejutkannya lagi, anaknya dibunuh oleh dua orang anak muridnya. Berbeda dengan film lain yang biasanya memberitahu siapa pembunuhnya di akhir film, film ini malah memberitahu siapa pembunuhnya di awal film ini. Ya, Moriguchi mengungkapkan pembunuh anaknya saat itu juga, walaupun tidak secara langsung menyebut nama, ia hanya mendeskripsikannya.
Murid itu, ia sebut dengan murid "A" dan "B". "A" adalah anak jenius, tertarik dengan dunia sains. Di sekolahnya, ia bukanlah siswa bermasalah. Malahan ia merupakan siswa berprestasi di sekolah. Ia pernah menjuarai sebuah kompetisi ilmiah. Bakatnya itu diwariskan dari sang ibu, yang memang mengajarkan anaknya banyak hal tentang sains. Siswa "B", tidak terlalu menonjol di sekolahnya. Ia pernah dihukum membersihkan kolam renang seminggu sekali karena bolos dari sekolahnya. Adalah Shuya Watanabe dan Naoki Shimomura yang dicurigai sebagai pembunuh Moriguchi. Shuya Watanabe. Sejak kecil, orangtua Shuya bercerai dan ibunya meninggalkannya. Ia terobsesi untuk menjadi pusat perhatian demi menarik perhatian ibunya. Naoki Shimomura, siswa biasa yang bersifat pecundang dan tidak mempunyai banyak teman. Ia sangat terobsesi untuk mati. Beruntung, karena masih berada di bawah umur, mereka tidak bisa dijerat hukum. Namun ternyata Moriguchi telah merancang sebuah rencana balas dendam (mungkin lebih tepatnya pelajaran untuk memahami kehidupan yang sebenarnya dengan bumbu-bumu balas dendam yang menyelimutinya) yang sangat cerdas.
Murid itu, ia sebut dengan murid "A" dan "B". "A" adalah anak jenius, tertarik dengan dunia sains. Di sekolahnya, ia bukanlah siswa bermasalah. Malahan ia merupakan siswa berprestasi di sekolah. Ia pernah menjuarai sebuah kompetisi ilmiah. Bakatnya itu diwariskan dari sang ibu, yang memang mengajarkan anaknya banyak hal tentang sains. Siswa "B", tidak terlalu menonjol di sekolahnya. Ia pernah dihukum membersihkan kolam renang seminggu sekali karena bolos dari sekolahnya. Adalah Shuya Watanabe dan Naoki Shimomura yang dicurigai sebagai pembunuh Moriguchi. Shuya Watanabe. Sejak kecil, orangtua Shuya bercerai dan ibunya meninggalkannya. Ia terobsesi untuk menjadi pusat perhatian demi menarik perhatian ibunya. Naoki Shimomura, siswa biasa yang bersifat pecundang dan tidak mempunyai banyak teman. Ia sangat terobsesi untuk mati. Beruntung, karena masih berada di bawah umur, mereka tidak bisa dijerat hukum. Namun ternyata Moriguchi telah merancang sebuah rencana balas dendam (mungkin lebih tepatnya pelajaran untuk memahami kehidupan yang sebenarnya dengan bumbu-bumu balas dendam yang menyelimutinya) yang sangat cerdas.
Salut untuk Tetsuya Nakashima. Ia berhasil membawa detik demi detik dalam film ini dengan apik. Dengan premis sederhana itu, Tetsuya Nakashima membawa kita ke sebuah kisah tentang rumitnya kehidupan dan berhasil menaik turun kan emosi para penontonnya. Makna dalam film ini pun sangat dalam. Bukan maksud saya Confessions mengajarkan bahwa balas dendam itu baik. Film ini yang mengajarkan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Setiap perbuatan, apa pun itu, mau baik atau buruk, pastilah ada yang namanya "konsekuensi" dan "resiko". Itu pula yang terjadi dalam film ini.
Bukan hanya dari segi pelajaran, begitu juga dengan cerita yang ditawarkan begitu menarik. Dari segi akting pun, nyaris sempurna (nobody is perfect, right?). Tidak seperti film thriller lain semacam Saw, The Hills Have Eyes, atau pun The Texas Chainsaw Massacre yang menyajikan "darah" sebagai menu utama, film ini menawarkan hal lain yang lebih menarik ketimbang "darah". Di sini, "darah" hanyalah sebuah pemanis saja.
Di film ini juga, menyajikan kepedihan dari seorang guru sekaligus orang tua yang kehilangan anak tercintanya. Lebih pedih dan menyakitkan lagi, anaknya dibunuh oleh muridnya sendiri. Hm, belum merasakan saja sudah rasanya telah merasakan, lebih terasa lagi lewat atmosfer gelap yang dibangun dari awal hingga akhir film. Epic!
Ini bukan hanya sebuah film yang bagus. Ini juga bukan hanya soal sinematografi yang artistik. Ini bukan juga soal soundtrack yang gak kalah bagus dengan filmnya. Bukan juga hanya sebuah film dengan jajaran-jajaran pemain yang berakting nyaris sempurna. Ini adalah film yang sarat akan makna, mengajarkan akibat dari keegoisan, rasa benci, dendam, dan ketidakperdulian terhadap sesama. Ini, Confessions.
Film ini memang mengandung banyak kekerasan, rasa benci, dan dendam. Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh film ini. Apa? Saya rasa saya sudah katakan di atas.
Di film ini, seperti yang saya katakan di atas, emosi terasa teraduk-aduk. Pada awalnya kita merasa iba dengan Moriguchi dan sebal terhadap Shuya juga Naoki. Namun di saat lain, kita merasa iba terhadap Shuya dan Naoki dan merasa sebal terhadap Moriguchi terhadap pembalasandendamnya yang rasanya "tak kenal ampun" itu.
Secara tidak langsung, film ini juga bercerita tentang boroknya dunia pendidikan saat ini. Apakah pendidikan Jepang seperti ini juga? Saya juga gak tahu, tapi yang pasti film ini masuk daftar wajib tonton!
Sekali lagi, salut untuk Tetsuya Nakashima!
Di film ini, seperti yang saya katakan di atas, emosi terasa teraduk-aduk. Pada awalnya kita merasa iba dengan Moriguchi dan sebal terhadap Shuya juga Naoki. Namun di saat lain, kita merasa iba terhadap Shuya dan Naoki dan merasa sebal terhadap Moriguchi terhadap pembalasandendamnya yang rasanya "tak kenal ampun" itu.
Secara tidak langsung, film ini juga bercerita tentang boroknya dunia pendidikan saat ini. Apakah pendidikan Jepang seperti ini juga? Saya juga gak tahu, tapi yang pasti film ini masuk daftar wajib tonton!
Sekali lagi, salut untuk Tetsuya Nakashima!