Monday, March 18, 2013

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] Children of Men (2006)

"You see, Theo's faith lost out to chance. So, why bother if life's going to make its own choices?" ~ Jasper

Siapa yang tak suka film ber-setting apocalyptic, baik pre (sebelum), post (sesudah), maupun apocalypse itu sendiriMulai dari klasik seperti Planet of the Apes hingga Dawn of the Dead (versi original), film (khususnya untuk post-apocalyptic tetap saja menjadi salah satu hal menarik untuk difilmkan. Kita juga mengenal The Matrix yang melegenda, film-film zombie seperti 28 Days Later yang serius dan Zombieland yang komikal, bahkan hingga film animasi kelas Pixar seperti WALL-E. Sineas yang dulu pernah menelurkan salah satu film seri Harry Potter terbaik yang pernah saya lihat, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, Alfonso Cuarón juga pernah mencicipi sub-genre dari science-fiction ini yang berjudul Children of Men.

Sebenarnya, Children of Men tak bisa pula dikatakan sebagai film apocalyptic, karena film ini juga bisa dikategorikan sebagai film dystopia, dimana ada tahap saat sebuah kehidupan masyarakat menjadi kacau balau, biasanya ditandai oleh pemerintahan yang otoriter. Contoh paling familiar? Ada The Hunger Games atau Battle Royale. Children of Men sendiri sejatinya merupakan sebuah adaptasi lepas dari novel The Children of Men karya P. D. James. Naskah film ini ditulis oleh Alfonso Cuarón sendiri, bersama Timothy J. Sexton, David Arata, Mark Fergus, serta Hawk Ostby. Film asal Inggris ini dibintangi Clive Owen (yang juga berkebangsaan Inggris), Julianne Moore, Michael Caine, Clare-Hope Ashitey, dan Pam Ferris.


Di masa depan, tepatnya di tahun 2027, kehidupan manusia telah mencapai titik terburuknya dan segera mencapai kemusnahan. Saat itu, seluruh manusia mengalami ketidakmampuan untuk bereproduksi, yang telah berlangsung selama lebih dari 18 tahun. Apa artinya? Tak ada tangisan maupun tawa anak kecil lagi selama 18 tahun lamanya. Hal ini makin diperparah dengan meninggalkan manusia termuda di dunia, Diego Ricardo, yang tewas ditikam membuat dunia makin berkabung. Inggris, sebagai negara yang stabil di ambang kehancuran ini, telah dipenuhi ribuan imigran yang kabur dari negaranya yang kacau. Sebagai bentuk tindak lanjut, Inggris telah menjadi negara militer dengan pasukan bersenjata Inggris yang bertugas menahan dan menangkap para imigran.

Berpusat pada seorang mantan aktivis, Theo Faron (Clive Owen), yang diculik oleh kelompok pembela hak imigran atau dipanggil Fishes, yang dikenal sebagai organisasi teroris di Inggris. Tanpa diduga, itu mengantarkannya pada pemimpin kelompok tersebut, yang ternyata merupakan mantan istrinya, Julian Taylor (Julianne Moore), yang berpisah setelah anak mereka meninggal karena flu pandemik. Julian meminta Theo untuk memberikan dokumen perlintasan bagi seorang gadis pengungsi bernama Kee (Clare-Hope Ashitey) yang nantinya digunakan untuk melintasi pos pemeriksaan keamanan. Sebagai gantinya, Julian akan memberik Theo sejumlah uang. Tapi, bukan hanya sejumlah uang yang ternyata Theo akan dapatkan.


Dengan hasil adaptasi lepasnya dari novel berjudul hampir sama (hanya tinggal tambahkan 'the' di depannya),  kolaborasi quintet para screenwriter ini berhasil menghasilkan sebuah screenplay dengan jalinan cerita yang kuat dan disusun dengan rapi. Bukan hanya tergolong kuat, cerita yang ditawarkan pun tergolong cerita yang unik dan segar alias cukup original. Bagaimana setiap intensitas film dibangun, terasa sangat menyenangkan untuk diikuti. Keefektifan naskah ini juga dibantu oleh beberapa porsi komedi yang komikal dengan porsi pas, yang sedikit mengurangi atmosfer depressing dan gelapnya film ini.

Children of Men juga disertai oleh penyutradaraan Alfonso Cuarón yang sama kuatnya. Dengan cerdasnya , Alfonso Cuarón tetap depat mempertahankan setiap intensitas yang ada, dan dapat membaut penonton ikut menyelami ceritanya. Meski ada beberapa hal yang memang tak dijelaskan motifnya, namun Children of Men tetap tak meninggalkan setiap detailnya. Bagaimana Alfonso Cuarón menambahkan detail tersembunyi di beberapa adegan memang terlihat sepele, namun tetap saja menunjukkan bahwa penyutradaraan Cuarón meman tak dapat diremehkan. By the way, ada yang bisa tebak, apa yang tersembunyi itu?


Banyak orang yang mungkin tak menyukai ending yang ditawarkan Children of Men, namun sebaliknya, saya malah menyukainya. Mungkin akhir dari film ini akan terasa anti-klimaks bagi beberapa orang, namun menurut saya, beginilah akhir yang tepat bagi Children of Men. Setelah klimaks film yang menegangkan, secara drastis kita langsung disambut oleh ending terbuka yang tenang, sepi, juga mengharukan. Ya, meski ending ini dengan cukup 'sombong', namun ia membebaskan dan membiarkan para penonton dengan spekulasinya masing-masing dengan perpisahan yang elegan namun dengan tetap tak meninggalkan kesan misteriusnya sekalipun. Sekali lagi, tak sedikit yang tak menyukainya, tapi bagi saya disitulah poin plusnya. Lagipula, kita tak akan dapat menerka masa depan, kan?

Children of Men tak hanya hadir dengan naskah dan penyutradraan yang kuat dan intens, ia juga dihadiri oleh penampilan cast yang memuaskan. Clive Owen tak usah diragukan lagi dalam menghidupkana perannya sebagai Theo Faron dengan karakter unsung hero-nya yang kuat. Meski bukan penampilan terbaiknya, namun Julianne Moore juga berhasil tampil dengan baik, walau rasanya terlalu 'cepat' porsi yang diberikan, apalagi di saat karakternya mulai berkembang, ditambah dengan ikatannya yang kuat dengan Theo secara emosional. 


Michael Caine juga tiba-tiba dapat menjadi seorang kakek konyol (sinting?) berambut gondrong, yang bahkan hampir tak saya kenali sampai namanya terpampang dalam credit. Artinya? Ia berhasil! Cast lainnya yang kebanyakan tak pernah terdengar namanya juga sama sekali tak dapat diremehkan, termasuk Clare-Hope Ashitey yang tentu telah melakukan pekerjaan terbaiknya, sama halnya pula dengan apa yang telah diberikan oleh Pam Ferris sebagai Miriam. Saya juga cukup terkesima dengan karakter Syd oleh Peter Mullan. Meski tak terlalu banyak muncul, namun karakternya sangat mudah diingat karena begitu komikal.

Tak cukup sampai disitu, Children of Men juga menawan dalam segi visual. Tak hanya terlihat cantik dalam beberapa angle, sinematografi arahan Emmanuel Lebezki ini dapat pula mewakilkan setiap gelapnya atmosfer yang tersaji dalam balutan ledakan bom, tumpahan peluru, runtuhan bangunan, hingga darah-darah yang bercucuran. Tak pernah wilayah Bexhill yan penuh sampah dan kumuh atau bahkan medan perang yang hancur berkeping-keping terlihat seindah ini. Tunggu, tak pernah? Oh, saya hampir saja melupakan The Pianist.


Sebuah film apocalyptic yang dapat mencakup segala segi. Naskahnya rapi dan kuat dengan posri seimbang dalam drama, fiksi sains, dan apocalyctip yang menawan, namun dapat tampil komikal, kemudian ditutup oleh ending . Ini semua juga tak terlepas dari ide cerita yang tergolong unik dan cukup original. Alfonso Cuarón selaku sutradara pun mampu menghadirkan penyutradaraan yang hebat lewat bagaimana ia mempertahankan setiap intensitas serta mengarahkan penonton pada emosi cerita yang dalam dan penuh misteri. Cast-nya yang didukung 2 aktor papan atas (Clive Owen dan Julianne Moore) beserta para cast pendukung lainnya berhasil tampil dengan sangat memuaskan. 

Dengan segala kelebihannya di atas, Children of Men memang terbukti merupakan salah satu tonggak sub-genre bersetting apocalypse terpenting dalam dekade terakhir. Sebuah film yang dapat diajak serius, namun saat tampil komikal tak boleh diremehkan. Sebuah film yang saat tampil dengan drama menyentuh dan kuat, namun saat sains fiksi dan apokalips tersebut muncul, mampu meledak-ledak. Jadi, dengan well-acted, great script, bold direction, and an open ending, berlebihankah kalau saya mengatakan bahwa ini adalah salah satu film apocalyptic-dystopian terbaik sepanjang masa? Saya rasa tidak.