"Apes do not want war!" ~ Caesar
Di tengah maraknya summer blockbuster konvensional berbalut teknologi super modern, kita beruntung ketika proyek reboot sekaligus prekuel dari klasik Planet of the Apes ini diluncurkan. Meredam tiap ekspektasi negatif setelah kegagalan Tim Burton mengeksekusi remake-nya, Rise of the Planet of the Apes berhasil secara kualitas maupun kuantitas. Kini, dengan pergantian sutradara, yaitu Matt Reeve, sekuelnya, Dawn of the Planet of the Apes hadir membawa angin baru. Membawa aroma kelam dan bermain di daerah penuh resiko bagi sebuah sekuel, kita kedatangan Star Wars: The Empire Strikes Back dan The Dark Knight versi pertempuran manusia vs. kera!
Bermula dari 2016, ketika virus ALZ-113 mewabah seluruh dunia, melumpuhkan aktivitas ekonomi, hingga mematikan jutaan jiwa. Sepuluh tahun kemudian, ketika populasi manusia sudah makin menipis, Caesar (Andy Serkis) telah menjadi seorang pemimpin dari sebuah komunitas kera berjumlah besar. Bukan hanya pemimpin, ia juga merupakan suami dari Cornelia (Judy Greer) serta ayah dari Blue Eyes (Nick Thurston) dan adiknya yang baru saja lahir. Secara tak sengaja, Blue Eyes serta Ash (Doc Shaw) bertemu dengan segerombolan manusia, yang dipimpin Malcolm (Jason Clarke). Caesar, yang rupanya masih menyimpan memorinya terhadap manusia, menyuruh mereka pergi. Tapi, itu tidak cukup bagi Koba (Toby Kebbell), seekor simpanse yang menaruh dendam besar terhadap manusia. Menganggap Caesar bukanlah pemimpin tegas, ia pun menyiapkan master plan yang memantik konflik besar antar 2 kubu primata ini.
Ya, Dawn of the Planet of the Apes bukan sekadar film tentang perang. Ini adalah karya yang penuh substansi di tengah kemegahan bungkus teknologi. Ia menyinggung apapun yang berkaitan dengan kemanusiaan lewat konflik perebutan spesies superior. Di departemen karakter, ketiga screenwriter, Mark Bomback, Rick Jaffa and Amanda Silver, tak hanya menghadirkan Caesar, sang pelakon utama, primata yang menjunjungtinggi nilai kemanusiaan dan kedamaian, tapi juga primata lain, Koba, seekor primata yang hatinya telah buta akan kebencian terhadap manusia, yang secara perlahan justru menunjukkan sifat-sifat identik manusia. Di balik kedua primata utama ini, ada nilai yang ingin dihadirkan, sebuah isu penuh kemanusiaan yang sukses diangkat, yang anehnya justru muncul dari kaum simpanse.
Sebuah revolusi di tengah evolusi, Dawn of the Planet of the Apes menawarkan narasi yang sekilas mungkin tak akan mungkin terjadi (talking apes, etc.), namun secara bersamaan ini adalah narasi yang berbicara banyak tentang humanity yang sangat relevan. Tapi, itu semua tak dihadirkan secara gamblang begitu saja, narasinya membawa penonton terhanyut dalam pendalaman emosi yang mangaduk-aduk. Matt Reeves mampu menyetir tiap emosi, membawa karya satu ini menjadi sebuah rollercoaster emosional. Sama sekali tak cengeng dan tak akan ada air mata yang akan keluar, namun Reeves dengan ahli mampu memetik tiap simpati yang penonton berikan pada tiap karakter, sembari menelurkan lebih banyak lagi karakterisasi simpanse maupun manusia dan mengisinya dengan sisi protagonis di kedua kubu, hingga akhirnya mengantarkan tiap penonton pada persimpangan 'siapa yang harusnya dibela?'.
Untuk melihat peperangan besar itu, memang dibutuhkan sedikit kesabaran. Tapi, keputusan untuk lebih memperdalam drama serta emosi ketimbang dengan langsung mengekspos konflik secara besara-besaran tentu merupakan keputusan tepat. Karena, selain pendalaman emosi dilakukan dengan sangat, sangat baik dan hal ini juga efektif dalam membangun substansi cerdas dalam dramanya, semuaa ini memang terbayar ketika Reeves perlahan menunjukkan taji puncak konfliknya, sebuah peperangan yang intens sekaligus memaksa otak untuk bekerja. Bagi penggila action yang kaya akan speciel effects, mungkin akan menganggap film ini terlalu statis. Tentu, itu bila anda membandingkannya dengan Transformers yang menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. Dawn of the Planet of the Apes memang menampilkan chaos yang 'megah', namun ia masih 'berotak' dengan banyak hal yang mampu dipetik, tak sekadar meluluhlantakkan San Fransisco yang sejatinya memang telah hancur sejak awal.
Untuk melihat peperangan besar itu, memang dibutuhkan sedikit kesabaran. Tapi, keputusan untuk lebih memperdalam drama serta emosi ketimbang dengan langsung mengekspos konflik secara besara-besaran tentu merupakan keputusan tepat. Karena, selain pendalaman emosi dilakukan dengan sangat, sangat baik dan hal ini juga efektif dalam membangun substansi cerdas dalam dramanya, semuaa ini memang terbayar ketika Reeves perlahan menunjukkan taji puncak konfliknya, sebuah peperangan yang intens sekaligus memaksa otak untuk bekerja. Bagi penggila action yang kaya akan speciel effects, mungkin akan menganggap film ini terlalu statis. Tentu, itu bila anda membandingkannya dengan Transformers yang menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. Dawn of the Planet of the Apes memang menampilkan chaos yang 'megah', namun ia masih 'berotak' dengan banyak hal yang mampu dipetik, tak sekadar meluluhlantakkan San Fransisco yang sejatinya memang telah hancur sejak awal.
Tak hanya berjasa di situ, seperti yang ada pada judulnya, Matt Reeves mampu membawa atmosfer yang kaya akan kekelaman. Menggunakan tone gelap dalam sinematografi hingga menciptakan bumi yang kaya kehancuran, ia bukan hanya membawa suasana dystopian yang meyakinkan, tapi juga memberi penonton sebuah dunia penuh konflik berkepanjangan dan berhasil menuntun tiap orang untuk hanyut di dalamnya. Hasilnya, Dawn of the Planet of the Apes merupakan perjalanan yang epik dari awal hingga kredit bergulir, tak hanya kelam di permukaan namun juga kelam hingga ke akar-akarnya. Sebuah pengarahan gemilang dari seorang Matt Reeves yang dengan berani mengambil berbagai resiko ketimbang bermain aman.
Tak pernah ada yang meragukan kualitas Andy Serkis dalam melakoni karakter-karakter berbalut CGI. Perannya sebagai Caesar pun telah teruji dalam Rise of the Planet of the Apes, tapi kini ia membawa aroma baru dalam karakternya. Sebagai seekor kera, ia penuh kedewasaan dan wibawa, lengkap dengan jalannya yang tegap. Ia merupakan 'seekor' saint alias orang suci yang pada beberapa kaumnya dianggap sebagai kegagalan dalam memimpin sementara yang lain menganggapnya sebagai bagian dari kebijaksanaan. Kemunculannya di awal dan perpisahan di akhir selalu mengundang decak kagum, membuat siapapun tak akan mampu melupakan si pemimpin. Ini berhasil membuktikan bahwa mocap performance bukanlah tentang berakting di bawah bayang-bayang teknologi, melainkan memberikan sentuhan-sentuhan teknologi tersebut jiwa dan nyawa, yang kita sebut 'kehidupan'.
Andy Serkis tentu tak sendiri. Dibaliknya, ada segenap talenta berbakat lain. Ada Toby Kebbell yang tak kalah briliannya sebagai Koba, kera yang perlahan berubah menjadi mesin pembunuh. Di balik kostum motion capture dan bintik-bintik di wajahnya, ia mampu menjalankan 2 tugas utamanya dengan sangat baik. Sebagai kera, ia memiliki segalanya dari gesture hingga teknologi yang turut membantunya. Sebagai antagonis, ia kejam, tak kenal ampun, dan buta akan kebencian. Sementara itu, dari klan manusia, ada Jason Clarke dan Gary Oldman yang menonjol. Meski harus diakui peran mereka tak semenantang para kera, namun tak akan ada yang menampik bahwa keduanya berlakon memuaskan.
Dawn of the Planet of the Apes tak akan pernah lepas dari teknologi motion-capture-nya, ini artinya tak akan pernah lepas pula dari departemen special effects. Seperti pendahulunya, film ini masih hadir dengan special effects rumit dan kaya detail khas Weta, yang bahkan hadir dengan penampilan lebih matang. Para primata hadir dengan penampilan meyakinkan, tampak nyata dengan tekstur kulit serta rambut-rambut yang terlihat begitu rumit. Ini menjadi seperti yang kita lihat dalam Gravity, di mana tiap CGI menjadi bagian krusial, bukan hanya sebagai ajang unjuk budget tinggi. Anda mungkin sudah tak dapat mengenali mana yang asli dan mana yang hasil gubahan komputer, atau anda bahkan tak mengenali bahwa yang di depan mata anda adalah rekayasa teknologi. Meski begitu, semua ada batasnya. Apa yang anda lihat adalah efek komputer di sana-sini, namun hal ini tak pernah menutupi tiap emosi dan narasinya yang 'berotak'.
Dawn of the Planet of the Apes bukan hanya bekerja dengan baik di sisi blockbuster, penuh ledakan dan keseruan. Tapi di sisi lainnya, film ini tetap membawa substansi besar yang mampu hadir menonjol dan tak pernah sekalipun tertutup special-effects yang tak kalah besar itu. Matt Reeves berhasil membangun ikatan emosional mendalam pada tiap 'spesies', memberikan tiap dari mereka ruang lega untuk berkembang dan sekaligus bagi substansi itu sendiri untuk melangkah lebih jauh, menyentil tiap isu yang 'sayangnya' memang relevan untuk saat ini. Dengan diisi oleh salah satu cast berbasis teknologi motion-capture, Dawn of the Planet of the Apes hadir dengan kualitas yang terbaik di jajarannya, lengkap dengan Andy Serkis yang lagi-lagi begitu brilian sebagai Caesar. Menolak bermain aman, ini adalah sebuah perkawinan manis antara kulit serta isi yang penuh kecerdasan, emosi, drama, visual cantik, serta keseruan yang hadir saling melengkapi. Dawn of the Planet of the Apes is 'officially' the best summer blockbuster of the year, and one of the best of all time!