"When you're in the middle of a story, it isn't a story at all but rather a confusion, a dark roaring, a blindness, a wreckage of shattered glass and splintered wood, like a house in a whirlwind or else a boat crushed by the icebergs or swept over the rapids, and all aboard are powerless to stop it. It's only afterwards that it becomes anything like a story at all, when you're telling it to yourself or someone else." ~ Michael Polley
Setelah menyutradarai Take This Waltz, kini ia kembali menjadi 'nahkoda'. Bukan tipikal film yang ia biasa buat, melainkan sebuah film dokumenter. Bedanya lagi, ini adalah suatu 'bahtera' yang amat personal baginya, karena seluruh proses pembuatan melibatkan dirinya sendiri. Bukan hanya sekedar sutradara ataupun penulis, tapi cerita yang dihadirkan memang bagian dari masa lalunya. Oh, bukan hanya melibatkan dirinya sendiri, tapi juga seluruh keluarga dan kerabat terdekatnya. Menarik?
Dengan narasi yang dibacakan oleh sang ayah, Michael Polley, yang ditemani oleh permainan piano berirama folk, film ini dimulai. Narasi dan musik berhenti, berganti memperlihatkan duo ayah-anak tersebut berjalan menyusuri anak tangga menuju studio, kemudian terus berganti memperlihatkan persiapan para keluarga dan kerabatnya untuk menjalani interview. Tapi ini semua masih permulaan, di mana semuanya mulai dibuka lembar demi lembar secara perlahan. Tapi, apa yang akan dikuak?
Dari situ, kita diperkenalkan dengan Diane Polley, aktris sekaligus mendiang ibu Sarah yang telah meninggal akibat peyakit kanker ketika Sarah masih berusia 11 tahun. Secara perlahan dan kronologis, satu persatu mulai angkat bicara, menceritakan perspektifnya masing-masing mengenai masa lalu mereka bersama Diane. Berawal dari Diane inilah, akan terkuak hal lain yang akan mengubah kehidupan keluarga ini selamanya. Di angkat dari kisah dan rahasia nyata dalam lingkar keluarganya sendiri, Sarah Polley mengajak kita menginvestigasi masa lalunya, menelusuri fakta yang tertinggal dan terkubur bahkan sebelum dirinya lahir, dan akan menguak fakta tersebut dari salah satu kemampuan vital manusia: memori.
Ada yang istimewa dari dokumenter ini. Modal utama yang paling diperlukan sepanjang film ini bukanlah mata, melainkan telinga. Kekuatan sebenarnya terletak pada bagaimana setiap orang terdekat dalam kehidupan sang sineas bercerita. Tanpa cangung, para pencerita menceritakan lapis demi lapis kebenaran dari masa lalu, menjadi satu-satunya kunci untuk membuka kotak pandora berisi rahasia yang perlahan terbuka, bahkan membuat kisah keluarga ini bak thriller misteri intens yang berpacu dengan waktu, sekalipun yang ada hanyalah keluarga dan kerabat Polley yang berbicara dan terus berbicara. Para 'storytellers' ini menceritakan cerita mereka lewat memori, perasaan, serta penglihatan, yang kemudian disalurkan lewat kata-kata yang pernuh detail dan emosi, namun tanpa kesan dipaksakan, yang akhirnya mampu menggambarkan segala kejadian dengan sempurna yang selalu berujung tanda tanya. Ya, mendengar mereka berbicara sepanjang film ternyata sama sekali tak membosankan!
Memuji Stories We Tell, bukan berarti hanya memuji para pencerita, karena di balik semuanya terdapat nama Sarah Polley, sang sutradara asal Kanada, sekaligus sebagai salah satu sentral film. Ya, dan bersyukurlah karena ini semua terjadi di kehidupan Sarah Polley. Bayangkan saja, di tangan yang salah, alih-alih menjadi sebuah dokumenter memikat, Stories We Tell malah akan menjadi sebuah tayangan opera sabun dengan klise yang tak ada habisnya. Untunglah, dengan kemampuannya, Sarah Polley mampu membangun Stories We Tell secara perlahan, dengan misteri dan tensi yang makin berkembang dengan sedikit twist di dalamnya, serta dengan tambahan narasinya yang mantap penuh tanaman filosofis. Hasilnya, ia mampu 'mempermainkan' setiap pikiran penonton, mengajak semua untuk berspekulasi, membiarkan otak bekerja sekaligus bertanya-tanya, dan membuat siapapun terpana oleh bagaimana setiap memori manusia bekerja.
Menceritakan suatu peristiwa hanya dari satu sudut pandang, mungkin akan terasa lebih mudah. Namun, meski lebih rumit, menceritakan suatu peristiwa dari kepala yang berbeda-beda akan membuat cerita itu menjadi lebih istimewa, dan itulah yang dilakukan Sarah Polley dalam film ini. Dengan berbagai perspektif yang berbeda ini, Polley dengan sukses merangkainya menjadi sebuah cerita yang bukan hanya solid, tetapi juga thoughtful, bahkan kadang menimbulkan beberapa misteri baru, tetapi di situlah letak kelebihannya. Pada akhirnya, Polley tidakalah menjadikan filmnya ini sebagai gabungan pandangan semata, tapi menjadi berbagai perspektif kisah yang saling melengkapi satu sama lainnya, dan itulah yang membuat Stories We Tell menjadi lebih, lebih istimewa..
Stories We Tell juga mempunya beberapa adegan rekonstruksi yang tak kalah solidnya, yang diperankan oleh para aktor. Bekerja sama dengan sinematografer Iris Ng, Sarah Polley mampu menghidupkan kembali atmosfer masa lalu, membawa kembali kehidupan Diane Polley yang terpatri rapi di layar, lengkap dengan sinematografi retro nan minimalis. Pujian tertinggi juga patut diberikan kepada Rebecca Jenkins, pemeran Diane Polley. Amat sesuai dengan deskripsi para storytellers, kita dapat melihat sifatnya yang periang, doyan berpesta, sesosok hidup yang benar-benar menikmati hidup, hingga di saat ia harus menjalani fase-fase berat dalam hidupnya, ketika ia merasa kesepian, dan ketika ia dihadapi oleh kenyataan yang mengharuskannya untuk menutupnya dari semua orang. Kita semua tahu bahwa yang tersenyum riang di layar bukanlah sosok Diane yang asli (well, mungkin tidak semua), namun penonton dapat merasakan kehadiran Diane dari seorang Jenkins, seperti ia benar-benar bangkit dari kematiannya.
Menceritakan suatu peristiwa hanya dari satu sudut pandang, mungkin akan terasa lebih mudah. Namun, meski lebih rumit, menceritakan suatu peristiwa dari kepala yang berbeda-beda akan membuat cerita itu menjadi lebih istimewa, dan itulah yang dilakukan Sarah Polley dalam film ini. Dengan berbagai perspektif yang berbeda ini, Polley dengan sukses merangkainya menjadi sebuah cerita yang bukan hanya solid, tetapi juga thoughtful, bahkan kadang menimbulkan beberapa misteri baru, tetapi di situlah letak kelebihannya. Pada akhirnya, Polley tidakalah menjadikan filmnya ini sebagai gabungan pandangan semata, tapi menjadi berbagai perspektif kisah yang saling melengkapi satu sama lainnya, dan itulah yang membuat Stories We Tell menjadi lebih, lebih istimewa..
Stories We Tell juga mempunya beberapa adegan rekonstruksi yang tak kalah solidnya, yang diperankan oleh para aktor. Bekerja sama dengan sinematografer Iris Ng, Sarah Polley mampu menghidupkan kembali atmosfer masa lalu, membawa kembali kehidupan Diane Polley yang terpatri rapi di layar, lengkap dengan sinematografi retro nan minimalis. Pujian tertinggi juga patut diberikan kepada Rebecca Jenkins, pemeran Diane Polley. Amat sesuai dengan deskripsi para storytellers, kita dapat melihat sifatnya yang periang, doyan berpesta, sesosok hidup yang benar-benar menikmati hidup, hingga di saat ia harus menjalani fase-fase berat dalam hidupnya, ketika ia merasa kesepian, dan ketika ia dihadapi oleh kenyataan yang mengharuskannya untuk menutupnya dari semua orang. Kita semua tahu bahwa yang tersenyum riang di layar bukanlah sosok Diane yang asli (well, mungkin tidak semua), namun penonton dapat merasakan kehadiran Diane dari seorang Jenkins, seperti ia benar-benar bangkit dari kematiannya.
Memperlihatkan salah satu sifat natural manusia, Polley dengan sukses menyusun setiap kisah, membentuknya menjadi sebuah naratif mengagumkan. Stories We Tell memiliki 'misteri' yang tidak seperti yang kita lihat di mana pun, berawal dari kisah masa lalu keluarga yang ia bangun bata demi bata, menghasilkan tanda tanya nyata, dan di pertengahan, membuyarkan pikiran sejenak dengan fakta sederhananya, namun entah mengapa, sangat mengejutkan bagi saya. Ya, siapa sangka, 'bermain' dengan memori kita sendiri bisa menghasilkan hal semenarik ini?
Tapi, yang jelas, ini adalah sebuah dokumenter yang sangat personal, jujur, namun tetap dapat membuatnya menarik dan unik sembari berdiri tegak dengan kesederhanaannya. Naratifnya menggambarkan segala aspek penting dalam setiap kehidupan manusia. Dengan segala detailnya, Polley sukses membawa penonton dalam kekuatan sebuah memori, bagaimana setiap kisah berpengaruh besar terhadap kehidupan, hingga mengungkapkan segala rahasia secara mendalam, yang semuanya terbungkus dalam kehidupan keluarga sineas pembuatnya sendiri. Sebuah explorasi jempolan tentang kodrat manusia di mana setiap kisah dan kata yang mengalir membangun tensi dengan sempurna, membentuk kisah menyejukkan, menghenyakkan, mengejutkan, sekaligus menyentuh, membawa kita ke sebuah labirin penuh tanya, sekaligus menunjukkan bahwa kenyataan merupakan misteri yang tak kenal henti. Bravo!