"You have to learn to let go." ~ Matt Kowalsky
Apa yang membuat nama sebesar Alfonso Cuarón 'hilang' dari 'peredaran' selama 7 tahun setelah dystopian Children of Men yang fantastis itu? Kalau anda bertanya pertanyaan yang sama, maka film inilah jawabannya. Dengan waktu pengembangan selama itu, Gravity, yang menandai comeback-nya sineas asal Meksiko ini, tentu mendapat ekspektasi tinggi dari para penggila film. Apalagi dengan fakta bahwa Gravity hanya dibintangi oleh 2 aktor besar Hollywood, Sandra Bullock dan George Clooney, yang makin hari membuat siapa pun bertambah penasaran terhadap apa yang dapat Cuarón curahkan untuk film ini.
Apa yang ditawarkan Gravity dalam ceritanya sebenarnya cukup sederhana. Bercerita tentang seorang medical engineer wanita bernama pria, Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock), yang sedang menjalankan misi luar angkasa pertamanya. Ia didampingi oleh 2 orang astronot lain, salah satunya adalah veteran Matt Kowalsky, yang sebaliknya, sedang menjalankan misi luar angkasa terakhirnya. Semua berjalan lancar dan sesuai dengan apa yang diharapkan, hingga mereka mendapat kabar buruk: Rusia telah menghancurkan salah satu satelit matinya, yang mengakibatkan efek berantai yang akan membuat serpihan-serpihan satelit tersebut menghancurkan shuttle mereka. Di tengah kepanikan tersebut, mereka kehilangan kontak dengan kontrol misi, and things are getting worse.
Bersamaan dengan datangnya serpihan-serpihan satelit yang mulai datang menghantam mereka, Dr. Stone dan Kowalsky pun terpisah. Satu persatu kabar buruk bermunculan. Kadar oksigen Dr. Stone yang mulai menurun drastis dibawah 10% hanya terasa seperti makanan pembuka yang ringan. Ditambah dengan pengalaman pertama Dr. Stone, suasana langsung diselumiti kepanikan dan ketakutan. Tak ada gravitasi, tak ada udara, tak suara, tak ada siapa pun, membuat nasib mereka bagaikan bom waktu yang tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan dunia.
Salah satu hal yang saya kagumi pada naskah film ini adalah bagaimana duo Cuarón ini menciptakan dunia dalam Gravity. Tak seperti film science-fiction berbau astronot lainnya, film ini tidak mengambil waktu di masa depan, yang biasanya kerap digunakan sebagai plot device untuk memperlancar kisahnya yang mungkin masih kurang bisa diterima oleh akal sehat manusia (untuk saat ini). Sebaliknya, mereka membuat Gravity berlatar dalam dunia ini dan masa kini, yang membuatnya jauh lebih nyata dan dapat diterima akal sehat.
Dari kulitnya, proyek ambisius Cuarón ini memang terlihat sangat beresiko. Hanya dibintangi 2 aktor, dengan premisnya yang cukup sederhana, setting yang hanya berputar-putar di luar angkasa, hingga visualnya yang harus dikerjakan dengan serius. Sampai di sini, hanya ada dua kemungkinan: hasilnya akan gemilang setinggi langit, atau jatuh bebas ke dalam jurang, dan itu tergantung pada siapa yang akan menangani film ini. Sampai di sini pula, hanya ada 1 pilihan, Alfonso Cuarón lah satu-satunya pilihan sutradara paling tepat. Bukan hanya karena tangan dingin serta sepak terjangnya yang gemilang, tapi juga ialah satu-satunya yang tahu bagaimana merealisasikan visi-visinya terhadap film ini.
Dan pada akhirnya, kita semua harus kagum terhadap kerja keras Alfonso Cuarón. Apa yang ia kerahkan untuk film ini benar-benar luar biasa. Rela 'hilang sejenak' pada 2006 lalu demi proyek ambisiusnya ini, dan sekarang ia kembali dengan penuh percaya diri. Hasilnya? Sebuah rollercoaster penuh tikungan dan emosi yang berputar-putar selama 90 menit tak henti-hentinya. Lewat arahan yang presisi yang bekerja sama dengan sinematografer Emmanuel Lubezki, ia mampu menyuntikkan adrenalin yang makin memuncak dalam setiap momen. Membuat luar angkasa yang 'tak berujung' ini sesak akan atmosfer claustrophobic, secara psikologis mengubahnya menjadi hal yang lebih mengerikan ketimbang terkubur hidup-hidup. Tak hanya itu, dengan kemampuannya pula, ia berhasil menghidupkan setiap porsi drama dengan injeksi-injeksi penuh optimisme dan drama manusiawi.
Layaknya Avatar, Gravity tidaklah menjadikan departemen teknikal sebuah aksesoris semata. Dengan cerdasnya, Alfonso Cuarón memberikan peran-peran vital bagi setiap departemen. Hasilnya pun, dari ujung ke akar, seluruh departemen ini mampu tampil dengan mempesona. Seperti yang telah saya bilang, Gravity mempunyai sinematografi yang sangatlah menawan. Dengan penggunaan long-shot yang mendominasi hampir seluruh durasi, termasuk 13 menit durasi awalnya yang tanpa putus, kita diajak berputar-putar mengelilingi keindahan luar angkasa yang berbalut kesunyian dan kepanikan. Dan ini adalah hasil kerja dari 'partner-in-crime' Cuarón, Emmanuel Lubezki, yang dengan cerdasnya mengatur arah gerak kamera. Baik itu berputar-putar mengelilingi apapun yang dilewatinya, menangkap keindahan planet bumi dari kejauhan, hingga bolak-balik membawa penonton pada dua point-of-view yang berbeda tanpa potongan sama sekali, bahkan hingga menembus kaca helm para astronot sekalipun. Pada akhirnya, bukan hanya decak kagum yang muncul dari mulut, tapi juga pertanyaan, seperti 'bagaimana mereka melakukannya?".
Biasanya, film yang menawarkan ketegangan, juga akan menawarkan penyuntingan yang ritmik dan cepat. Tak usah jauh-jauh, Argo, pemenang Best Picture Oscar tahun lalu, merupakan salah satu film yang menerapkan hal ini. Gravity jelas berbeda, meskipun merupakan 'penjual' ketegangan, film ini menawarkan banyak long-shot cantik yang akhirnya malah meminimalisir penggunaan editing cepat. Apakah ini mengurangi kadar ketegangan? Anehnya, tidak. Sebaliknya, shot-shot panjang ini justru membuat ketegangan jauh lebih konsisten dan terjaga baik, dan jauh lebih cantik juga, pastinya.
Visual effects? Kalau soal yang satu ini, para voters Oscar nanti rasanya tak perlu berpikir sama sekali untuk memutuskan mana film yang berhak membawa pulang manusia emas untuk Best Visual-Effects. It's right here! Tak hanya benar-benar menawan dari segi visual, sangat teliti dari segi detail, dan rumit dari segi teknologi, Cuarón dan segenap kru visual-effects sukses menciptakan suatu dunia penuh efek brilian yang bernyawa dan hidup, tak hanya sekedar tempelan yang dibuat hanya untuk membuat kagum yang melihatnya. Sekali lagi, dengan detail-detail yang sangat diperhatikan, tampaknya kekaguman ini tak hanya harus diucapkan sekali saja, tapi wajib diucapkan berkali-kali, apalagi dengan efek 3D yang makin menambahkan kemegahan visualnya. Rasanya pun, sah-sah saja jika menyebut Gravity sebagai salah satu pencapaian terbaik dalam technical level yang pernah diterapkan dalam sebuah film (hello, Life of Pi).
Superbly intense and surprisingly emotional, Gravity adalah science fiction (well, not really a sci-fi actually) yang telah lama kita nantikan, setelah sekian lama daftar yang terdiri dari 2001: A Space Odyssey, Solaris, dan Moon tak mendapatkan anggota baru. Diawali oleh premis sederhana dan naskah well-written dengan perjalanan emosional menyentuh para karakternya dan ketegangan tanpa batas, dikemas lagi dengan salah satu penyutradaraan terkuat dalam dekade ini, ditambah penampilan Sandra Bullock yang mampu membuat siapa pun melupakan The Blind Side, hingga salah satu jajaran teknikal terbaik dalam sejarah perfilman dunia, menjadikan Gravity adalah film yang sukses dari segala sisi, dari memompa jantung begitu intens hingga meninggalkan penonton dengan kisah inspirasionalnya. Tapi, dari semua kesuksesan itu, kesuksesan terbesarnya adalah menjadikan 90 menit berharga itu sebagai sebuah pengalaman sinematik yang tak tertangdingi!