Sunday, May 4, 2014

Tagged under: , , , , , ,

[Review] The Raid 2: Berandal (2014)

"Sini bolanya." ~ Baseball Bat Man

Apa yang telah dicapai The Raid adalah pencapaian yang begitu luar biasa. Sebuah pencapaian yang mendekati sempurna dari kacamata genre action. Dengan lingkup sempit, The Raid mampu membangkitkan kembali gairah action negeri, bahkan dunia hanya lewat 10 lantai penuh ketegangan. Tentu, membuat sebuah sekuel dari pendahulu yang begitu kuat adalah pekerjaan yang jauh dari kata mudah. Tapi, Gareth Evans punya sejuta cara untuk menyempurnakan kesempurnaannya. Tapi, bagaimana?

Dimulai dua jam setelah film pertamanya berakhir, The Raid 2 meneruskan kisah Rama (Iko Uwais) yang berhasil selamat dari operasi penyerbuan sarang gembong narkoba yang berakhir gagal. Selepas kemenangan 'kecil'-nya, ia mengira ia dapat meneruskan hidupnya seperti biasanya, tapi rupanya apa yang terjadi sebelumnya hanyalah umpan yang mengarahkannya pada dunia kriminal besar-besaran yang dipimpan dua kekuatan masif: keluarga Bangun serta keluarga Jepang, Goto. Cepat atau lambat, nyawa keluarganya ada di ujung tanduk. Ia tak punya pilihan selain menyamar dan masuk sendiri ke dalam dunia kejam yang haram itu demi menciduk kepala kriminal-kriminal kelas kakap.


Mau tidak mau, ia harus berganti identitas dengan memakai nama 'Yuda', dan memulai segalanya dari awal: penjara. Tujuannya kala itu hanya untuk mendapatkan kepercayaan Uco (Arifin Putra), putra dari Bangun (Tio Pakusadewo), kepala geng kriminal terbesar di Jakarta, dan berusaha menyusup ke dalam sarang mematikan. Artinya? Sama saja ia menjerumuskan dirinya sendiri ke dunia brutal tak kenal ampun, sebuah kekuatan besar yang membayangi Kota Jakarta selama puluhan tahun.

Ya, inilah langkah Evans dalam menyempurnakan kesempurnaannya, meluaskan segala lingkup. Bukan lagi menawarkan mega-action ditengah cerita yang setipis kertas, tapi menawarkan cerita yang lebih kaya dan besar, meski tidaklah baru. Tapi, ini adalah sebuah film action, yang jelas bergantung pada semua adegan pemacu adrenalin, dan Gareth Evans telah terbukti kredibilitasnya dalam karya-karya sebelumnya. Memanfaatkan 150 menit yang ia punya, Evans tak pernah setengah-setengah mengerahkan kemampuannya, apalagi didukung duo koreografer, Yayan Ruhiyan dan Iko Uwais, yang tak pernah kehabisan ide dalam menciptakan gerakan-gerakan indah namun mematikan. Mereka menghiasi 150 menit dengan keseruan tiada tara, keseruan setelah keseruan. Tak tanggung-tanggung, baru pada menit pertamanya, kita telah disajikan darah, dan darah.


Makin jauh, imajinasi seorang Evans makin liar. Sambil menggelitik kita dengan satir-satir tentang negeri sendiri dan juga dengan black comedy-nya, kita makin dibawa ke sebuah wadah imajinasi penuh darah. Semuanya berskala besar di sini, dari lingkup hingga pertarungan. Adegan kejar-kejaran mobilnya mungkin merupakan salah satu yang terbaik yang pernah dibuat, subway scene mengantarkan kita ke gerbong berdarah dipimpin karakternya yang dingin, muddy fight yang kotor, brutal, dan 'messy' mendefinisikan istilah 'break a leg' dalam arti sebenarnya, hingga pertarungan klimaksnya yang berlapis-lapis. Digarap penuh kesempurnaan dengan production design apik serta cinematography cantik, Evans seakan tak memberikan waktu bagi penonton untuk bernapas, dan itu berarti pula, ia tak membiarkan kata 'menjemukkan' keluar dari mulut penonton.

Berbalik ke kisah yang diangkatnya: sebuah kota besar, dikendalikan pula oleh 2 rival mafia besar dan bengis. Tentu, hal seperti ini tidaklah asing lagi bagi telinga. Sineas kawakan layaknya Martin Scorsese dan Francis Ford Coppola sudah pernah menggunakan formula mafia macam ini, bahkan sudah sejak 42 tahun yang lalu. Ya, anda memang tak salah jika menemukan kemiripan saga The Godfather atau Goodfellas di dalamnya, namun Berandal tetaplah Berandal. Meski Evans telah mempunyai modal cerita yang lebih besar, ia tak mau membuat Berandal hanyut dalam cerita kompleks dan kita berlari meninggalkan tujuan utama Evans: menghadirkan bela diri heboh dengan kekerasan di mana-mana. So, inilah The Raid: Berandal: sebuah kisah yang menonjolkan kekerasan dan darah dalam lingkup mafia-mafia bengis, and it's a good thing, really.



Setiap hal memiliki konsekuensi, termasuk untuk langkah ini. Tapi, Gareth Evans bukanlah sineas bodoh yang tak pernah berpikir ke arah situ. Well, yes, Evans memang bukanlah pencerita expert, namun ia punya kunci ampuh: menciptakan karakter-karakter eksentrik dan 'sakit jiwa' (literally and figuratively) yang mampu membuat kisah mafia ini jauh lebih menarik. Dari situ, lahirlah karakter-karakter baru yang gila: duo pembunuh kakak beradik yang terdiri dari pria yang doyan menyeret bat metalnya dan wanita tuna wicara yang selalu membawa kapak di tangan kanan-kirinya, seorang assassin misterius tak bernama dan bahkan tak pernah berbicara, namun punya tatapan tajam dan kemampuan matang, hingga titisan Mad Dog yang bergaya gembel.

Mereka bukan sekedar pemanis. Baseball Bat Man, dengan kemampuan memukul bola yang impresif, mampu membuat semua berlari kencang hanya karena mendengar bunyi seretan metal bat-nya. Hammer Girl, adalah gadis unik yang masa bodoh ketika semua orang melihatnya mengeluarkan dua kapaknya di tengah keramaian subway dan dengan tenangnya menghabisi jajaran pria berjas hitam (what.. a.. scene!). Prakoso, family-oriented man (well, kind of) yang mungil adalah titik emosional di tengah sunyi dan dinginnya salju Jakarta yang tropis. Sementara, The Assassin adalah pemegang puncak kebrutalan, grand finale yang digarap maksimal selama 6 minggu, yang membuat dahaga setiap orang akan kebrutalan terbayar lunas.


The Raid 2 punya amunisi tangguh dalam cast-nya, tentu kita memiliki Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan yang telah kita kenal ke-badass-annya di The Raid pertama. Cecep Arif Rahman mampu mempertahankan kemisteriusannya dan memberikan duel maha dahsyatnya di klimaks film. Very Tri Yulisman, dengan satu quote-nya yang begitu memorable, mampu membawa Baseball Bat Man ke puncak keberingasannya (dan ketenangannya). Julie Estelle, yang mungkin tidak asing lagi dengan bau anyir darah (Rumah Dara), namun benar-benar buta tentang silat, berhasil menyajikan kejutan menyenankan dengan bermain apik sebagai si wooden face Hammer Girl yang sedingin es. Di lain sisi, selain para penendang bokong ini, The Raid 2 mempunyai cast impresif lain. Tio Pakusadewo tentu tak menemui masalah sedikit pun, luar biasa seperti biasanya. Arifin Putra mendapatkan lampu sorot lebih di sini, dengan porsi yang lebih banyak serta didukung kemampuannya mengubah Uco menjadi mafia haus kekuasaan.

Besar, mencengangkan, dan meledak-ledak, ini jauh lebih agresif dan matang ketimbang pendahulunya. Evans tahu betul bagaimana membuat sebuah sekuel yang dengan mudah lepas dari bayang prekuelnya yang tak kalah membabibutanya. Ini jelas membuat penggemar action garis keras bersorak-sorai gembira dan menjadikan siapa pun jatuh hati pada setiap adegan 'bag big bug' untuk pertama kalinya. Keseruannya tak terbantahkan, dengan storyline yang meski tidaklah baru, namun yang jelas bukan lagi setipis kertas. Selepas The Raid yang memunculkan gairah baru dalam action genre, sekuelnya hadir kembali tak ubahnya zombie kelaparan yang siap 'menelurkan' korban baru hanya dengan sekali gigitan, dan salah satu 'korbannya' adalah anda.

3 comments:

  1. ini yang kita nonton berdua kan, dek? wkwk. ada yang sok2 udah punya KTP. hahaha :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iya :) Udah itu jangan dibahas2 hahahaha

      Delete
    2. yauda kalo gitu bahas itu aja. ada yang udah gandeng loh dek, biar sekira seumuran. eh ternyata ada anak balita digendong bapaknya masuk studio. buahaaa :p

      Delete