Friday, September 28, 2012

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] Diabolique (1955)

"Don't you believe in hell?" ~ Christina Delassalle

Ah, siapa bilang kalau seluruh suspense klasik brilian hanya dihasilkan oleh sutradara Alfred Hitchcock? Memang sebagian besar suspense masterpiece klasik merupakan karyanya, tapi jangan lupakan film yang satu ini. Diabolique asal Perancis yang disutradarai Henri-Georges Clouzot ini memang bukanlah karya Hitchcock, tapi ternyata Diabolique punya andil besar dalam satu karya Hitchcock. Ya, rupanya film ini lah yang menginspirasi salah satu karya terpopulernya, Psycho.

Film ini bisa dibilang punya andil besar dalam perkembangan indutri film suspense/thriller, meski belum sebesar film-film Hitchcock. Diablique atau The Devils and the Fiends yang berjudul asli Les Diabolique ini mengambil genre psychological thriller dalam format hitam-putih. Suspense yang diangkat dari novel berjudul Celle qui n'était plus (She Who Was No More) karya Pierre Boileau dan Thomas Narcejac ini naskahnya ditulis oleh sang sutradara sendiri bersama dengan Jérôme Géronimi.


Henri-Georges Clouzot membawa kita ke sebuah boarding school yang dikepalai oleh kepala sekolah yang kejam dan kasar, Michel Delassalle (Paul Meurisse). Ia memiliki seorang istri sekaligus guru di sekolah tersebut, Christina Delassalle (Vera Clouzot), yang kerap ia semena-menakan. Di sisi lain, Michel juga punya hubungan tersendiri dengan guru wanita pula di sekolah itu, Nicole Horner (Simone Signoret), yang bahkan sering mempertontonkan kemesraan mereka di depan Christina sendiri. Di film lain, dua karakter ini pastinya akan digambarkan saling bermusuhan. Tapi, Diabolique malah memilih untuk tampil berbeda. Clouzot malah menggambarkan sosok Christina dan Nicole mempunya hubungan dekat yang hangat.

Didasarkan pada kebencian mendalam mereka terhadap Michel yang kerap berlaku kasar, Nicole kemudian merencanakan sesuatu untuk Michel. Apa itu? Tentu saja membunuh. Christina, yang awalnya ragu-ragu pun akhirnya memutuskan untuk bergabung dan bersama-sama menyusun rencana untuk membunuh Michel dengan cara Christina mengancam akan meminta cerai pada Michel dan mengajak bertemu di apartemen Nicole. Rencana berhasil, Michel dapat terbunuh dan mayatnya dapat dibawa ke sekolah mereka dan membuangya di sebuah kolam renang. Tinggal menunggu hingga mayatnya mengapung secara tiba-tiba dan tada! Alibi pun terbentuk. Tapi, ada satu pertanyaan yang mengganjal, benarkah mayat Michel berada dalam kolam renang tersebut?


Satu hal yang menarik dari Diabolique, tugas kita bukanlah menebak-nebak siapakah pembunuhnya dan apakah trik yang digunakan si pembunuh. Bahkan, di Diabolique pun, Clouzot telah menjabarkan dengan jelas siapa pembunuhnya dan bagaimana cara mereka membunuhnya. Lalu? Kita akan disuguhkan dengan sesuatu yang tak kalah menarik. Ke mana perginya mayat yang telah mereka bunuh? Apakah ada seseorang yang melihat pembunuhan tersebut dan mencoba memeras mereka? Atau mayat itu bergentayangan dan akan membalaskan dendamnya? Atau kah malah mayat tersebut berubah menjadi zombie yang menjijikkan?

Diabolique berjalan dengan ketegangan yang terbangun begitu pelan dan lamban. Clouzot membiarkan filmnya ini mengalir dengan begitu saja, yang malah membuat film ini terlihat lebih realistis. Tak ada adegan kejar-kejaran dan segalanya yang biasanya merupakan sifat mutlak sebuah suspense, bahkan dua wanita memilih membunuh dengan cara yang tergolong halus, bukan dengan merobek-robek isi perutnya, melainkan hanya dengan menenggelamkannya di bathtub saja. Sebagai gantinya, Clouzot membawa kita ke sebuah plot yang penuh kemelut dan misteri yang jujur sejujurnya, sangat sulit untuk ditebak.


Tapi, Clouzot tak ingin filmnya berakhir dengan begitu saja. Ia punya rencana yang ia susun dengan sangat rapi. Sebuah tamparan yang di luar dugaan dan datang secara tiba-tiba. Endingnya juga dikemas dengan sangat baik oleh Clouzot yang menghadirkan atmosfer mencekam efektif. Bahkan, ia sama sekali tak memerlukan musik latar yang psychedelic untuk menjadikan sebuah ending yang menggebu-gebu. Mungkin merupakan ending paling cerdas sekaligus mengejutkan yang pernah ada. Haunting!

Belum cukup? Rupanya Clouzot masih menyiapkan satu rencana terakhir. Ia membuat satu misteri lagi, dan sengaja tak membukanya dan membiarkan penonton mencerna dan mereka-reka sendiri apa yang ingin disampaikan Clouzot. Misteri yang mungkin agak nonsens, namun entah mengapa saya selalu penasaran dengan jawaban misteri tersebut. Dengan semua itu, rasanya tak ada keraguan lagi, Diabolique memang merupakan film suspense dengan misteri-misteri kelam yang benar-benar apik.


Di samping itu, Diabolique juga punya jajaran catsnya yang luar biasa solid. Di barisan terdepan, ada dua wanita, Simone Signoret dan Vera Clouzot. Simone Signoret, berhasil memerankan sosok wanita tangguh yang hampir tak kenal rasa takut. Lalu ada istri Henri-Georges Clouzot, Vera Clouzot yang rapuh dan lemah, namun ternyata punya keberanian yang cukup untuk mencabut nyawa seseorang. Dua karakter yang sangat bertolakbelakang ini dengan ajaibnya mampu Clouzot ubah menjadi perpaduan yang sangat unik dengan chemistry yang erat. Terlebih, mengingat mereka berdua memerankan dua peran yang seharusnya saling bermusuhan.

Meski tampil sebentar, performa Paul Meurisse tentunya harus pula dipuji. Sebagai seorang kepala sekolah yang semena-mena, kasar, dan kejam, ia tampil dengan sangat kuat. Sosoknya saya akui memang benar-benar menyebalkan, tapi kadang juga terlihat romantis namun manipulatif. Sosok menjadi mimpi buruk bagi siapa saja, bahkan bagi yang tak mengenalnya dan hanya melihatnya lewat layar. Bahkan, rasanya semua orang akan setuju untuk membunuh Michel jika kita diibaratkan menjadi dua perempuan tersebut.


Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, Diabolique tak punya banyak musik latar yang mengiringi setiap suspense-nya. Bahkan, seingat saya, musik latarnya hanya terletak di bagian opening dan creditnya saja. Namun, itulah hebatnya film ini. Diabolique tak perlu scoring seperti Psycho yang membahana. Ia hanya perlu teriakan, suara pintu yang terbuka, dan suara langkah kaki untuk membangun ketegangannya. Tapi, ketegangan itu tentu tak akan terwujud jika tidak dibarengi oleh penyutradaraan mumpuni dari Clouzot.

Diabolique, yang kerap disandingkan dan disejajarkan dengan Psycho (meski, jujur, saya lebih suka film ini dibanding Psycho) ini memang sebuah film yang cerdas. Dengan suspense yang merambat pelan, namun pasti dan efektif. Dengan departemen akting luar biasa dan misteri yang benar-benar kompleks. Jangan lupakan juga endingnya yang benar-benar membuat banyak orang mengeluarkan 'bahasa-bahasa kebun binatang-nya'. Sebuah film yang penuh dengan nuansa manipulatif. A truly brilliant suspense that Hitchcock never made!

9.0/10

Sunday, September 23, 2012

Tagged under: , , , ,

[Review] The Avengers (2012)

"Barton: I want you on that roof, eyes on everything. Call out patterns and strays. Stark: you've got the perimeter. Anything gets more than three blocks out, you turn it back or you turn it to ash. Thor: you've gotta try and bottlenecks that portal, slow them down. You've got the lightning. Light the bastards up! You (Black Widow) and me: we stay here on the ground, keep the fighting here. And Hulk: SMASH!" ~ Captain America

Tampaknya akhir-akhir ini memang sangat cocok jika disebut sebagai surganya film-film superhero. Bagaimana tidak? Di tahun 2012 ini saja, Hollywood punya banyak film bertema ini. Sebut saja reboot Spiderman, The Amazing Spider-Man hingga penutup trilogi Batman versi Nolan, The Dark Knight Rises. Belum lagi termasuk upcoming film lainnya, seperti Man of Steel, Iron Man 3, dan Kick-Ass 2. Di samping semua itu, jangan lupakan satu film blockbuster superhero lagi. Bukan hanya satu superhero dalam satu film, tapi enam (atau empat?) sekaligus! Guess what? Ya, apalagi kalau bukan The Avengers!

The Avengers memang fenomenal. Film arah Joss Whedon yang diproduksi Marvel Studios dan didistribusi Walt Disney Pictures ini bahkan berhasil menjadi film dengan pendapatan terbanyak di minggu pertamanya, juga film dengan box-office ketiga terbanyak di bawah dua 'anak' James Cameron, Titanic dan Avatar. The Avengers sendiri berhasil meraup pendapatan sebesar 1,481 milyar dollar, 'hanya' dengan budget 220 juta dollar. Bukan hanya sukses secara komersil, The Avengers juga sukses secara kualitas dan kritikan. Terbukti, film ini mampu mencapai 92% certified fresh di situs Rotten Tomatoes dan rating 8.5/10 di IMDb.


Di awal durasi saja, kita langsung diperkenalkan oleh main villain, Loki (Tom Hiddleston) yang tiba-tiba saja mencuri sebuah sumber energi luar biasa, tesseract dari sebuah agen spionasi bernama S.H.I.E.L.D. yang dikepalai seorang negro dengan penutup mata bajak laut, Nick Fury (Samuel L. Jackson). Apa tujuan Loki? Tak lain, ia ingin menguasai dunia, dan lewat tesseract, ia dapat membuka portal untuk para tentaranya  alias Chitauri agar memporakporandakan bumi. 

Nick Fury tentu tak hanya diam, dibantu oleh agen-agennyanya, termasuk Natasha Romanoff/Black Widow (Scarlett Johansson) dan Clint Barton/Hawkeye (Jeremy Renner), ia merekrut empat superhero, Tony Stark/Iron Man (Robert Downey Jr.), Steve Roger/Captain America (Chris Evans), Bruce Banner/Hulk (Mark Ruffalo), dan kakak tiri Loki, Thor (Chris Hemsworth). Mereka berempat, bersama dengan Black Widow dan Hawkeye berusaha untuk menghentikan rencana jahat Loki.


Enam superhero dalam satu film tentu merupakan sebuah daya tarik besar bagi penonton, namun juga merupakan suatu pekerjaan berat bagi filmmaker-nya. Tentu bukan pekerjaan mudah untuk menggabungkan ke-6 superhero ini dengan porsi yang benar-benar pas. Jika ternyata ini berhasil, tentulah kita harus memberikan apresiasi lebih kepada sang sutradara sekaligu screenwriter, Joss Whedon. Ya, dan kenyataannya, Joss Whedon sukses memberikan porsi pas bagi setiap karakter superheronya.

Tak hanya itu, Whedon juga menyelipkan banyak dialog-dialog komedi yang kerap keluar dari mulut Iron Man, termasuk secuil perseteruan-nya dengan Captain America. Jangan lupakan Hulk, yang juga ternyata punya sense of humor tinggi. Bayangkan, tanpa berkata-kata pun, ia dapat menyampaikan scene-scene pengundang tawa namun dengan tetap tak meninggalkan unsur keseruan dan action-nya.


Kadar action? Serahkan semuanya pada keenam superhero ini. Tentu merupakan hal pasti bahwa keenam superhero ini punya kans yang sangat besar untuk keseluruhan aksi film, terlebih dengan klimaks yang berlatar di Big Apple, New York. Siapa yang bisa menolak pertarungan enam superhero melawan Loki plus ribuan tentaranya di tengah-tengah New York yang porak-poranda? Bahkan, seorang yang bukan fanboy pun rasanya tak akan menolak hal ini.

Berbeda dengan 'kembarannya', The Dark Knight Rises yang punya cerita seru yang lebih padat, kompleks, dan complicated, The Avengers justru tampil dengan cerita yang juga seru, tapi lebih mudah dicerna penontonnya, namun tetap tak terjerumus dalam cerita superhero yang murahan. Terlebih, Whedon juga menambahkan porsi komedi yang cukup seimbang. Memang sedikit membosankan di awal durasinya, namun seiring berjalannya waktu, The Avengers mampu menyajikan keseruan luar biasa dan membuat level film superhero naik, setidaknya satu level.


The Avengers punya banyak segudang nama besar Hollywood di balik karakter-karakter komik populernya. Sebut saja Mark Ruffalo, Robert Downey Jr., Chris Evans, Chris Hemsworth, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Samuel L. Jackson, dan Tom Hiddleston. Para aktor ini tentu saja kemampuannya sudah tak usah dipertanyakan lagi, dan di The Avengers, mereka juga berhasil membuktikan itu. 

Sebagai si milyuner konyol,  Tony Stark alias Iron Man, ada Robert Downey Jr. yang rupanya masih nyaman memerankan karakter ini untuk yang ketiga kalinya. Sedangkan Mark Ruffalo yang memerankan Bruce Banner, yang tak lain merupakan the other guy, Hulk juga mampu tampil dengan sangat meyakinkan. Padahal, ini merupakan kali pertama ia memerankan scene stealer ini. Chris Evans sebagai Steve Roger dan  alter ego-nya Captain America juga mampu memerankan superhero sekaligus pemimpin. Begitu pula dengan Chris Hemsworth yang memerankan Thor dan adiknya Loki yang diperankan Tom Hiddleston serta dua agen S.H.I.E.L.D., Hawkeye (Jeremy Renner) dan Black Widow (Scarlett Johansson) juga sama-sama dapat memerankan perannya dengan baik.


The Avengers tak hanya punya kadar action seru, porsi karakter pas, hingga departemen akting yang sangat baik. Film ini juga tampil menawan lewat balutan visual-effects-nya yang ikut menunjang keseruan action yang telah ada. Lihat saja graphic luar biasa 'pesawat teripang' yang datang jauh-jauh dari angkasa luar bersama para tentaranya yang mirip xenomorph. Ada juga porak-porandanya New York yang begitu realistis. Sungguh suatu pengalaman visual yang luar biasa.

The Avengers juga punya scoring heroik yang merasuki pikiran, meski memang kurang blend. Di sela-sela visualnya yang mumpuni dan keseruan yang luar biasa, ia juga disisipi oleh scoringnya yang ikut menjaga kokohnya intensitas sepanjang film, terutama pada adegan-adegan laganya. Tentu saja intensitas yang begitu terjaga ini bukan hanya karena peran scoring-nya yang membahana saja, tapi juga peran Whedon selaku pengarah film.


Siapapun pasti tak akan menyangkal kalau penggabungan enam superhero ini merupakan suatu hal yang beresiko namun cerdas. Saya akui bahwa Joss Whedon berhasil memangkas setiap resiko yang ia hadapi dan dengan cerdasnya, ia membuat setiap karakter mempunyai porsi pas. The Avengers punya segalanya untuk menjadi sebuah film blockbuster yang tetap mengedepankan kuantitas namun tak melupakan kualitas.

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengatakan bahwa The Avengers merupakan film yang sangat seru, terlebih ada enam superhero yang berkumpul menjadi satu untuk menumpas kejahatan. Memang masih sedikit di bawah The Dark Knight Rises yang fantastis, namun The Avengers tetap dapat tampil dengan memukau lewat visual, audio, akting, dan ceritanya selama dua jam durasinya yang bahkan sama sekali tak terasa berkat kadar enjoyable film ini yang sangat tinggi. Well, jika sekarang ini marak muncul film berfokus superhero, apalagi film superhero yang akan muncul? The Incredibles 2, maybe? Pixar?

8.0/10

Wednesday, September 19, 2012

Tagged under: , , , ,

[Review] Prometheus (2012)

"I don't (know), but it's what I choose to believe" ~ Elizabeth Shaw

Usia memang tak dapat menghalangi sesseorang untuk berkarya. Hal itu juga berlaku pada seorang sutradara kenamaan, Ridley Scott. Hebatnya lagi, sutradara yang lahir sebelum Indonesia merdeka ini (1937), tetap mampu menampilkan film-film yang tetap punya kualitas bahkan hingga film terakhirnya yang baru-baru ini rilis, Prometheus. Ya, di umurnya yang menginjak 75 tahun ini, ia bahkan masih mempunyai dua proyek film lagi, The Counselor dan proyek dari Blade Runner yang belum diberi judul.

Hampir dari kita pasti tahu film Alien yang melegenda itu. Awalnya, Prometheus direncanakan akan menjadi prekuel dari Alien, meski akhirnya Scott memutuskan untuk membuat Prometheus sebagai film yang berdiri sendiri. Meski sebenarnya, saya lebih suka menyebut Prometheus sebagai reboot dengan unsur-unsur Alien, tapi hadir dengan cerita baru. Ibaratnya, franchise Alien merupakan saudara tiri jauh dari Prometheus.


Di awali dengan opening yang cukup ambigu, yang kelihatannya bukan bertempat di bumi. Sosok putih besar mirip manusia yang 'mengorbankan diri' lewat sesuatu misterius yang ia minum. Secepat kilat, kita kembali ke bumi, lalu segera dipertemukan dengan sepasang kekasih yang sama arkeolog, Dr. Elizabeth Shaw (Noomi Rapace) dan Dr. Charlie Holloway (Logan Marshall-Green) yang menemukan sebuah lukisan gua yang menggambarkan sebuah rasi bintang, yang anehnya, rasi ini sama dengan beberapa peninggalan kuno dunia lainnya.. Kemudian, film ini akan mengajak penonton terbang lagi ke angkasa, memasuki sebuah pesawat penjelajah ilmiah yang juga mengenalkan kita ke sebuah android (robot berbentuk manusia), David (Michael Fassbender).

Pertanyaannya, untuk apa pesawat ini? Usut punya usut, ternyata pesawat berawak 17 yang dibiayai oleh Weylan Corp. ini bertujuan untuk meneliti sebuah bulan bernama LV-223 yang terletak begitu jauh dari Planet Bumi. Kembali lagi, penelitian ini berakar dari penemuan Shaw dan Holloway tadi, yang mereka sebut sebagai sebuah 'undangan' dari para Engineer. Engineer? Ya, mereka meyakininya sebagai pencipta manusia, dan dari LV-223-lah, mereka dapat mencari tahu tentang apa dan siapa pencipta manusia. 


Satu hal yang harus anda tahu sebelum menonton film ini: jangan samakan franchise Alien dengan Prometheus. Jika anda merupakan penggemar nomor 1 dari franchise Alien dan para penerusnya, sebaiknya jangan terlalu berharap dan menargetkan ekspetasi super tinggi pada Prometheus, apalagi Scott sama-sama menyutradarai Alien dan Prometheus. Di Prometheus, jangan harap anda akan banyak menemukan adegan 'kucing-kucingan' antara makhluk jelek, Xenomorph dengan para 'calon korban' di Alien', apalagi 'kucing-kucingan' ala sekuelnya, Aliens yang brutal. Tapi, bukan berarti Prometheus menjadi film yang buruk, justru, Scott malah menawarkan sesuatu yang dapat membayar lunas semua itu. Apa itu?

Tuhan memberikan suatu sifat yang ada pada diri manusia: rasa penasaran. Di Prometheus, itulah yang ingin dikembangkan di dalam cerita. Dalam comeback-nya, Ridley Scott lebih menawarkan pendalaman cerita daripada pendalaman kadar thriller, apalagi action, terlebih dalam ceritanya berfokus pada pendalaman filosofis-filosofisnya. Agak kontroversial dan provokatif memang bagi sebagian orang, tapi itulah yang menjadi nilai plus. Bagaimana tidak kontroversial? Lewat cerita petualangan para manusia yang hendak mencari penciptanya, film ini banyak menyinggung tentang keyakinan dan kepercayaan seseorang yang kemudian digabungkan dengan imajinasi liar manusia, juga ketika umat manusia dihadapkan pada suatu kenyataan yang kadang bertentangan dengan keyakinannya. 


Prometheus merupakan film sci-fi yang seimbang. Selain solid di bagian ceritanya, ia juga kokoh di visualnya. Prometheus punya opening yang sangat indah dan berkelas, sedikit mengingatkan kita pada 2001: A Space Odyssey dan The Tree of Life yang sama-sama miskin dialog dan kaya visualisasi. Di efek visualnya, Prometheus juga dapat tampil menawan. Setidaknya, Prometheus telah mengubah pakem mainstream sci-fi modern.

Meski Scott sendiri mengungkapkan bahwa film ini merupakan sebuah standalone, namun memang rasanya tetap saja terdapat hubungan antara Alien dengan Prometheus. Di samping Prometheus terjadi sebelum tragedi Nostromo Alien (yang makin mengidikasikan bahwa Prometheus merupakan prekuel Alien), ada pula beberapi misteri di Alien yang sedikit demi sedikit terbuak di sini. Meski, memang banyak pula misteri yang sengaja ditinggalkan Scott. 


Prometheus sendiri dibintangi oleh banyak aktor yang cukup punya nama. Ada mantan gadis punk asal Swedia bertato naga yang bertransformasi menjadi arkeolog dengan kalung salib yang selalu berada di lehernya (Noomi Rapace), duplikat Tom Hardy yang pernah terjebak dalam lift (Logan Marshall-Green), si supervillain Magneto (Michael Fassbender), pemenang Oscar sekaligus mantan wanita prostitusi yang bertransformasi menjadi pembunuh berantai (Charlize Theron), hingga pengidap short-term memory loss (Guy Pearce) yang entah mengapa tiba-tiba menjadi seorang kakek keriput di film ini.

Lantas, apakah para castnya tersebut mampu menjalankan tugasnya dengan baik? Ya, tentu. Di barisan terdepan, ada Noomi Rapace yang mirip dengan karakter Ripley-nya Sigourney Weaver. Sifatnya memang bertentangan dengan Ripley yang tangguh, tapi tetap karakter Shaw yang religius dan lebih feminim ini berhasil hidup berkat tiupan roh dari Noomi Rapace, sangat bertolakbelakang dengan seorang Lisbeth Salander (karakternya di The Girl with the Dragon Tattoo) yang eksentrik dan jauh dari kata religius. Scott juga masih menggunakan beberapa unsurnya dalam Alien selain karakter utama wanita, seperti dengan kemunculan kembali karakter android, namun dengan porsi dan kontribusi cerita yang lebih banyak. Sebagai David si robot android tanpa emosi, ada Michael Fassbender yang tampil dengan sangat meyakinkan.


Anda dapat menyebut film ini apa saja. Reboot hingga prekuel, terserah anda. Film ini memang tak punya banyak adegan thrilling seperti saudara-saudara tirinya. Meski begitu, Prometheus tetaplah sebuah thriller yang asyik dikendarai dan dinikmati, dengan cerita yang lebih dalam dan mengalir lambat, castnya yang mampu tampil baik, dan intensitas yang juga terjalin pelan, hingga misteri-misteri menarik yang ditinggalkannya, meski memang ada beberapa adegan yang sedikit membingungkan penonton. 

Jelasnya, Prometheus mampu mengubah pandangan anda yang selalu menganggap film fiksi sains dan 3D masa kini hanyalah sekedar buang-buang dollar lewat teknologi CGI dan 3D-nya. Ya, anda akan beranggapan sama seperti saya, jika saja membuang jauh-jauh ekspektasi tinggi yang mengharapkan sebuah film full-action. Jika anda berhasil melupakannya, percayalah, anda akan menikmati petualangan para pencari tuhan ini. Dengan segala yang ia punya, Prometheus mampu menjelma menjadi salah satu science fiction terbaik di tahun ini!

8.0/10

Friday, September 14, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Kala (2007)

"Bagaimana kalau cuma segini kemanusiaan kita? Bagaimana kalau sifat alami kita ya seperti ini?" ~ Eros

Siapa bilang seluruh film Indonesia adalah film tak berotak? Kita punya banyak film berkualitas, yang sayangnya malah kalah ekspos dari maraknya film jadi-jadian. Di drama kita punya begitu banyak film berkualitas, Arisan!, 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, Jamila dan Sang Presiden, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, hingga Sang Penari dapat dijadikan contoh. Ada juga Merantau dan The Raid untuk action, kendati sutradaranya merupakan orang asing. Horor? Ah, jangan remehkan. Ada Jelangkung, Keramat, hingga Pocong 2. Kalau thriller? Indonesia juga punya psychological thriller macam fiksi. (ya, judulnya memang memakai huruf kecil dan titik dibelakangnya) sampai film pendek Yours Truly. Misteri plus thriller juga ada, salah satunya film ini.

Jika berbicara tentang film thriller Indonesia, sosok seorang Joko Anwar pasti langsung muncul di kepala. Sebut saja Kala, Pintu Terlarang, hingga thriller teranyarnya, Modus Anomali. Kala, yang notabene merupakan thriller pertamanya Sebenarnya, saya telah menonton film yang satu ini bertahun-tahun yang lalu, tapi, untuk sebuah film karya Joko Anwar rasanya tak ada kata terlambat, bukan? 


Kala berlatarbelakang di sebuah negeri antah berantah tak bernama, dengan segala kekacauan dan perpecahan. Kala punya beberapa sisi cerita yang nantinya certa-cerita tersebut akan dipertemukan. Sisi pertama mencerikatakan dua orang polisi junior-senior, Eros (Ario Bayu) dan Hendro Waluyo (August Melasz) yang menginvestigasi sebuah kasus tentang pembakaran lima orang yang bibakar oleh warga. Sisi lainnya, ada Janus (Fachri Albar), seorang jurnalis pengidap nakolepsi, suatu keadaan dimana seseorang tak dapat mempertahankan keadaan sadar. Sama seperti duo polisi tersebut, Janus juga menyelidiki kasus pembakaran lima orang tersebut yang akhirnya mempertemukan Janus dengan Ratih, istri dari salah satu korban yang sedang hamil yang sedang barada di rumah sakit. Sayang, Janus tak dapat satupun informasi, karena itu ia akhirnya menyembukan sebuah tape recorder di pot yang terletak dekat Ratih.

Informasi didapat, Janus akhirnya memperdengarkan rekaman itu kepada temannya, Soebandi (Tipi Jabrik). Anehnya, Soebandi ditemukan meninggal keesokan harinya. Hal ini akhirnya mempertemukan Janus dengan Eros. Tentu hal ini adalah sebuah misteri bagi mereka, yang ternyata hanyalah sebuah pintu gerbang untuk sebuah misteri besar lagi yang rupanya berkaitan dengan akar sejarah bangsa Indonesia.


Sungguh suatu kesenangan bagi saya, melihat sebuah thriller sekelas Kala, apalagi produksi negeri sendiri. Terlebih Kala adalah thriller yang sangat etnik. Menggunakan salah satu bagian dari sejarah bangsa Indonesia, Jangka Jayabaya, sebagai salah satu alur utama yang kemudian dicampuradukkan dengan corak barat yang kental. Kala merupakan film yang sangat Indonesia, namun dengan cara pemaparan yang begitu barat.

Salah satu hal yang perlu digarisbawahi dari Kala adalah negeri dongeng versi Joko Anwar. Joko membuatnya sedemikian satir hingga rasanya negeri ini lebih cocok jika dibilang merupakan refleksi dan sindiran sosial bagi negeri sendiri. Sebut saja pejabat yang seenaknya sendiri, harta adalah segalanya, kejahatan telah menjadi tradisi, pengkhianatan, hingga kemiskinan yang merajalela, bahkan hingga kepercayaan berlebihan masyarakat terhadap segala sesuatu yang berbau klenik. Semuanya ditampilkan Joko Anwar dengan cerdasnya tanpa harus disampaikan secara terang-terangan, bahkan tanpa harus menyebut kata 'Indonesia" sekalipun. Suatu sindiran yang mampu tampil dengan begitu elegan.


Di bagian art direction-nya, Kala juga tampil unggul. Saya suka bagaimana Joko Anwar mengubah dunia versi dia dengan para penduduk yang berpakaian barat di tahun awal 1900an ala Baker Street-nya Sherlock Holmes, namun tetap ada nuansa Indonesia di dalamnya, lihat saja, mana mungkin di Baker Street ada penjual pecel lele? Di sini, Ario Bayu juga disulap menjadi 'Sherlock Holmes'-nya Indonesia. Kalau ada Sherlock Holmes, tentu ada Profesor Moriarty bukan? Tapi siapa?

Film ini juga termasuk film yang sangat nyeni. Bukan hanya ditampilkan lewat art direction, tapi luga lewat sinematografi. Sinematografinya tampil dengan angle-angle cantik, terlebih didukung tone-tone warna yang pas dan membuat suasana lebih terasa kuno dan kelam. Ya, Kala memberikan anda sebuah pengalaman visual yang sangat menarik dan artistik.


Bukan hanya visual, di bagian audio alias musik latarnya, ia juga dapat tampil menawan. Scoringnya menemani beberapa adegan, entah itu scene dengan suasana depresi atau menegangkan. Scoringnya mampu membuat Kala tampak lebih berkelas. Apalagi beberapa scoring memang kental sekali akan nuansa khas Indonesia yang terdengar sangat heroik. Membuat intensitas juga terbangun lebih kokoh. Kala bukan hanya memberikan pengalaman menarik di visualnya, tapi juga audio.

Kala juga unggul di castnya. Ada Fachri Albar yang tampak sangat cocok memerankan seorang jurnalis pengidap narkolepsi yang dapat tidur kapan dan dimana saja, sebagai seseorang yang tampak depresi setiap saat. Ario Bayu juga tampil menawan sebagai seorang polisi protagonis namun tetap punya rasa dingin dan terasa sedikit angkuh (mungkin lebih tepat dibilang cool). Seluruhnya juga dapat tampil dengan baik, seperti Fahrani, Shanty, dan August Melasz. Meski ada beberapa peran sekali muncul yang terlihat sedikit kaku.


Kala bukan hanya punya unsur thriller, drama, dan misteri. Ia juga punya beberapa adegan berdarah-darah ala slasher. Ada kepala terpenggal, kepala tertusuk pedang, hingga usus-usus yang berjuntaian keluar dari perut. Seluruhnya dapat tampil menawan meski memang beberapa tempat terlihat tidak terlalu real, mungkin juga karena budget yang kurang. Tapi, bagi saya itu sudah cukup lumayan, apalagi bagian berdarah-darah ini hanyalah pendukung saja.

Ada lagi kelemahan Kala, walau ini bukanlah masalah besar dan sama sekali tak punya hubungan dengan cerita film. Di beberapa scene yang mengambil gambar dari dalam mobil yang berjalan yang juga terlihat tak berjalan, alias hanya ada background gelap di balik kaca mobil, walaupun saya tahu itu sedang malam hari, tapi benarkah tak ada satupun pemandangan terlihat dari balik kaca mobil?


Saya akui Kala memang punya cerita yang sangat menarik. Diawali dengan opening yang meyakinkan, kemudia kita akan dibawa Joko Anwar ke sebuah dunia buatannya. Hingga menjelang akhir pun, tepatnya 20 menit terakhir, kita akan disuguhi sebuah kejutan besar, yang membayar 80 menit sebelumnya (meski belum dapat membayar semua dosa-dosa perfilman Indonesia, LOL), termasuk kemunculan hantu yang awalnya saya kira bukan sebuah ide bagus itu

Kala adalah thriller yang brilian. Semua ini tak terlepas dari peran Joko Anwar dapat menunaikan tugasnya dengan sangat mengagumkan, termasuk pemahaman mendalamnya dalam mempelajari Jangka Jayabaya. Dengan intensitas yang terjaga baik, cerita menarik, cast berkualitas, hingga sebuah tamparan yang mengejutkan di akhirnya. Memang ada beberapa kekurangan kecil, namun itu semua sama sekali tak berpengaruh terhadap kualitas filmnya. Senang rasanya Indonesia punya film berotak seperti Kala.

7.5/10

Thursday, September 13, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] FISFiC 6 Vol. 1 (2011)


FISFiC yang merupakan kependekan dari Fantastic Indonesian Short Film Competition adalah sebuah kompetisi film pendek bergenre fantastik. Kompetisi yang dipelopori oleh sineas-sineas muda, yaitu Joko Anwar, Sheila Timothy, The Mo Brothers (Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel), Gareth Evans, Rusli Edi, dan Ekky Imanjaya ini memilih 6 film (awalnya 5) untuk dijadikan sebuah anthology horror sekaligus ditayangkan di iNAFF 2011, yaitu Meal Time, Rengasdengklok, Reckoning, Rumah Babi, Effect, dan Taksi. Lalu, dari setiap segmen, manakah yang terbaik? So, here we go! Dimulai dari segmen pertama, Meal Time.

Meal Time
"Kalian ini siapa sebenarnya?" ~ Sutisna
Meal Time disutradarai oleh Ian Salim yang juga pernah membuat psychological thriller pendek, Yours Truly. Di sini, Ian Salim tidak lagi menyentuh genre psychological thriller, lewat Meal Time kita akan disuguhkan thriller berdarah yang bersatu dengan sebuah kisah misteri. Kisah berawal saat seorang sipir bernama Sutisna (Abimana Arya) yang bekerja di sebuah rumah tahanan sementara. Meal Time memang tak menawarkan visual cantik seperti apa yang kita lihat di Yours Truly, tapi Meal Time terbilang cukup baik dalam menciptakan alur ketegangan. Dalam hal akting pun, para castnya dapat menampilkan akting yang baik pula, meski harus diakui karakternya kurang dapat dikembangkan dengan baik karena keterbatasan durasi. Bagi yang teliti, Meal Time sebenarnya menyembunyikan sesuatu dibalik nama-nama tiap karakternya. Ya, entah apa tujuannya, yang jelas, hal itu setidaknya membuat saya tersenyum kecil.

6.5/10

Rengasdengklok
"Jangan sampai rakyat tahu tentang peristiwa memalukan ini." ~ Pak Presiden
Film ini punya segala sesuatu yang sangat menarik. Mulai dari cerita yang notabene merupakan modifikasi dari sejarah Indonesia hingga.. zombie! Dibuka dengan opening yang begitu 'wah' dan sangat heroik, tentu ekspektasi saya menjadi bertambah. Tapi apa? Rasanya Rengasdengklok menyia-nyiakan segalanya. Film ini gagal dieksekusi dengan baik oleh Dion Widhi Putra selaku sutradara, padahal Rengasdengklok punya cerita yang sangat menarik. Seluruh jajaran castnya juga gagal menghadirkan akting yang baik, bahkan terjerumus ke dalam kekakuan. Di bagian make-up-nya pun, ia tampil buruk dengan zombie-zombie 'Jepang' yang malah bertampang Indonesia. Belum lagi film ini ditambahkan efek-efek ala film lama yang malah membuat Rengasdengklok bukannya tampil dengan kesan berkelas, tapi malah berkesan berlebihan. Rengasdengklok sebenarnya punya ending yang lumayan, sayangnya endingnya pun sama sekali tak menolong film ini. Seluruh aspek ini tampaknya harus membuat saya menempatkan Rengasdengklok di urutan terakhir. Satu-satunya momen terbaik adalah openingnya yang saya akui merupakan opening terbaik diantara kelima film lainnya. Sisanya? Lupakan saja.

4.0/10

Reckoning
"Let's play a game, shall we?" ~ Lilith
Reckoning, atau yang awalnya berjudul Goblins ini bercerita tentang sepasang suami istri yang diteror dan disandera oleh sekelompok orang di rumahnya yang ternyata akan membuka lembaran-lembaran rahasia sang suami yang tak pernah diketahui oleh sang istri. Film ini tak terlalu muluk-muluk dalam hal format warna. Cukup dengan hitam-putih saja, ternyata cukup efektif dalam menciptakan ketegangan. Seluruh castnya pun mampu tampil dengan baik, termasuk karakter sang suami yang diperankan oleh Emil Kusumo. Namun, Reckoning ternyata tak terlepas dari kekurangan. Film ini memiliki dialog yang kelewat panjang juga, bahkan hingga membuat Reckoning terjerumus membosankan dan terasa begitu lama dalam perjalanannya menuju klimaks, yang akhirnya berefek pada terlupakannya unsur ketegangan yang sebenarnya menjadi aspek penting bagi film thriller. Belum lagi beberapa dialog dalam bahasa Inggris yang tanpa disertai subtitle Indonesia, padahal, seperti yang kita tahu, tak seluruh masyarakat Indonesia fasih dalam bahasa Inggris. Yang jadi pertanyaan, untuk apa karakter wanita asing dalam Reckoning ini memakai dialog bahasa Inggris, padahal (dalam beberapa scene) ia dapat berbicara bahasa Indonesia tanpa logat kebule-bulean?

6.0/10

Rumah Babi
"Boleh ya, bu?" ~ Darto
Jika dibandingkan dengan tiga film sebelumnya, saya rasa Rumah Babi-lah yang paling memberikan teror  paling mengerikan. Film ini juga memasukkan isu diskriminasi ras Tionghoa sebagai salah satu unsur penting dalam cerita. Di balik judulnya yang kontroversial, Rumah Babi menyimpan sebuah rasa horor sebenarnya dengan ketegangan yang terjaga sepanjang film. Alim Sudio yang menyutradarai film ini tampaknya tahu betul bagaimana seharusnya film horor dibuat. Padahal, sekedar info saja, Alim Sudio merupakan seorang screenwriter yang diawal kemunculannya sering menulis naskah untuk film horor jadi-jadian seperti Air Terjun Pengantin dan Setan Budeg, meski akhir-akhir ini ia mulai 'bertobat' lewat The Perfect House dan film ini. Ia benar-benar memanfaatkan waktu yang pendek itu untuk mengantarkan ketegangan. Hingga durasi terkahirnya, Rumah Babi bahkan sempat memberikan anda pengalaman yang begitu angker dengan endingnya yang sangat nendang. Apalagi didukung oleh castnya yang tampil meyakinkan, terlebih ada karakter seorang ibu Tionghoa yang sebenarnya hampir tak punya dialog namun berhasil meninggalkan kesan misterius. Yang jelas, untuk membuat penonton bergidik, Rumah Babi merupakan 'alat' yang sangat efektif. Sebuah kengerian yang non-stop!

7.5/10

Effect
"Case closed, Eva!" ~ Lenny Marlina
Sesuai judulnya, Effect memang menceritakan tentang efek, sebuah kebencian terhadap seseorang ternyata dapat berdampak besar terhadap hidup anda sendiri. Ceritanya cukup menarik, tampaknya mengambil sedikit inspirasi dari Suicide Club yang menggunakan teknologi canggih masa kini, internet, sebagai 'alat' utamanya. Intinya, (takut spoiler!) Effect bercerita tentang Eva (Tabitha), seorang karyawati yang menyimpan dendam kepada sang 'killer-boss', Lenny Marlina (Sita Nursanti). Adrio Rudiman, sebagai sutradara terbilang berhasil menyajikan film ini dengan baik. Effect juga didukung oleh departemen akting yang cukup solid, khususnya Sita Nursanti yang menampilkan sosok yang bos yang memiliki mulut 'harimau' dan 'ganas' yang membuat siapa saja akan kesal padanya. Mendekati ending, kita akan ditawarkan rentetan kejadian-kejadian yang ternyata akan berefek pada sesuatu yang pastinya akan membayangi hidup Eva selamanya. Sayang, 'rantai' kejadian ini terkesan terlalu kebetulan, sehingga terlihat tak alami dan terlalu dipaksakan.

7.0/10

Taksi
"Yah, kita mana pernah kira sih, mbak. Tapi, sering kan tuh, kejadian seperti di koran, pulangnya malem-malem, trus besoknya ditemuin di kali..." ~ Anton
Di setiap omnibus yang telah saya tonton, tampaknya film terbaik memang selalu disisipkan di bagian akhir. Kita masih ingat ada omnibus produksi Indonesia lain, yaitu Takut: Faces of Fear dari Indonesia dan Phobia 2 asal Thailand yang sama-sama menghadirkan film terbaik (Dara dan In the End) di segmen terakhirnya. Sama halnya dengan FISFiC. Meski Taksi kedapatan segmen terakhir, namun saya malah menempatkan film ini di posisi pertama. Taksi menawarkan premis yang sebenarnya sederhana dan bahkan berada di sekeliling kita, hanya tentang seorang karyawati bernama Fina (Shareefa Daanish) yang baru saja lembur kerja dan memilih untuk pulang dengan taksi. Beruntung, Taksi mampu dieksekusi dengan sangat baik, bahkan menurut saya Taksi merupakan film dengan penggarapan terbaik di antara kelima film lainnya. Sejak awal saja, kita sudah disuguhi atmosfer mencekam yang mendalam lewat malam di jalanan ibukota yang sunyi dan sepi. Belum lagi, Taksi didukung oleh cast yang tampil dengan baik, apalagi ada Shareefa Daanish yang kita kenal sangat psycho di Dara maupun Rumah Dara yang sekali lagi menampilkan akting briliannya. Intensitasnya terbangun pelan dan terjaga kokoh hingga di klimaksnya kita dapat melihat sesuatu yang benar-benar sesuatu! Di bagian teknis, Taksi bahkan terlihat diproduksi oleh orang-orang profesional film. Mulai dari sinematografi, special effects make-up-nya, hingga scoring, semuanya dapat memerankan perannya masing-masing dengan sangat baik sekaligus meramaikan ketegangan. Semuanya membuat Taksi menjadi thriller efektif meski hanya meneror lewat jok belakang taksi.

8.0/10
__________________________________________________________

FISFiC 6 Vol. 1 merupakan omnibus yang lumayan baik, dengan menyisakan Taksi dan Rumah Babi di tempat terbaik yang sama-sama nyaris sempurna dari segala sisi, lalu diikuti Effect dan Meal Time di tempat selanjutnya, kemudian Reckoning yang masih terasa biasa dan akhirnya ada Rengasdengklok yang tampil dengan terseok-seok hampir dari keseluruhan aspek. Meski masih belum sempurna dalam bentuk sebuah omnibus dan tumpang tindihnya beberapa kualitas film pendek di dalamnya, namun FISFiC tetaplah menjadi kabar baik masa depan perfilman horror dan thriller produksi Indonesia.

7.0/10

Wednesday, September 12, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Keramat (2009)

"Balikin Migi! Gue bilang balikin Migi!" ~ Poppy

Ada banyak film horor produksi Indonesia. Itu pasti. Kebanyakan, hanya mengumbar sensualitas dengan penampakan yang muncul setiap detik. Hasilnya? Tak usah ditanya lagi. Sebaliknya, tidak banyak film yang benar-benar memberikan teror-teror horor yang sebenarnya. Dalam ingatan kita, ada Jelangkung, Pocong 2, hingga horor omnibus macam Takut dengan Dara-nya yang berdarah-darah dan FISFiC dengan Taksi yang sempit dan kelam juga Rumah Babi yang meneror lewat isu diskriminasi ras. Kesemua film itu bisa dibilang merupakan pure horror-nya Indonesia, dan tampaknya, saya harus menambahkan satu film lagi (maklum, saya baru nonton, haha) ke dalam jajaran horor asli Indonesia, Keramat.

Di tahun 2009, sutradara sekaligus screenwriter Monty Tiwa muncul dengan film Keramat-nya. Keramat sendiri mengadaptasi film horor dengan gaya found-footage ala The Blair Witch Project dan Paranormal Activity yang fenomenal itu. Filmnya sendiri dibintangi Poppy Sovia dan sejumlah nama baru seperti Migi Prahita, Miea Kusuma, Sadha Triyudha, Dimas Projosujadi, Diaz Ardiawan, dan Brama Sutasara.


Keramat dimulai dengan interview yang mengenalkan kita pada Migi, pemeran utama di sebuah film berjudul Menari di Atas Angin. Di film itu, ia akan berperan sebagai seorang atlet lari yang kehilangan satu kakinya. Kemudian, kita juga akan dikenalkan pada karakter lain seperti sang sutradara, Miea (Miea Kusuma), asisten sutradara, Sadha (Sadha Triyudha), manajer produksi, Dimas (Dimas Projosujadi), lawan main Migi, Diaz (Diaz Ardiawan), juga kedua kru behind the scene, Poppy (Poppy Sovia) dan Cungkring (Monty Tiwa). Rencananya, mereka semua akan berangkat ke Bantul, Yogyakarta dalam rangka pre-production. Selama pre-production, segala sesuatunya akan direkam untuk behind the scene.

Di Yogyakarta, mereka sempat mengalami beberapa kejadian aneh seperti seseorang yang tiba-tiba mengetuk kaca mobil semari berkata-kata aneh, suara tangisan, hingga cahaya dari bola-bola api. Puncaknya, terjadi saat Migi merasa tidak enak badan. Awalnya, sakitnya seperti sakit pada umumnya, namun suatu saat Migi mulai bertingkah aneh seperti orang yang kerasukan makhluk halus. Mereka pun memutuskan untuk memanggil seorang paranormal. Masalah berhasil di atasi, roh yang mengaku bernama Nyi Pramodawerdani itu akhirnya berhasil dikeluarkan dari tubuh Migi. Masalah belum selesai, ketika sesaat setelah itu, Migi hilang tanpa jejak dibawa "mereka" ke dunianya.


Setahu saya, film dengan gaya found-footage atau mockumentary (mocku) asal Indonesia hanya ada dua, yaitu te[rekam] dan Keramat. Kebetulan, kedua film ini bisa dibilang mewakili dua sisi horor Indonesia. Di sisi horor abal-abal, ada te[rekam] yang dibintangi Julia Perez. Ya, dari judulnya saja kita sudah tahu bahwa te[rekam] merupakan judul imitasi {REC], film mocku Spanyol yang fenomenal (dan salah satu favorit saya). Di sisi pure horror, ada Keramat yang tampil dengan mengerikan dan terjaga rapi tanpa harus terjebak untuk menampilkan hantu narsis yang selalu muncul di depan kamera setiap waktu. 

Adalah hal yang unik mengingat karakter Cungkring alias si cameraman diperankan oleh Monty Tiwa sendiri. Ini membuat Keramat seolah merupakan sebuah film yang benar-benar real. Pada akhirnya pun, Keramat tetap tampil dengan mencekam, bukan hanya karena Cungkring yang diperankan Monty Tiwa saja, tapi juga karena Monty Tiwa berhasil membuat sebuah horor mencekam.


Ada lagi satu hal yang menarik dari Keramat. Untuk membuat suasana "real" makin terasa, film ini sama sekali tak memakai musik latar. Hanya dengan bermodalkan suara alam dan ketegangan yang terbangun dengan kokoh, ternyata sudah lebih dari cukup untuk menampilkan beberapa penampakan mengerikan (tanpa narsis tentunya) yang membuat Keramat tampil dengan meyakinkan. 

"Don't judge the book by its cover." Ya, memang kita tak bisa men-judge sesuatu berdasarkan tampilan luarnya, tapi untuk sebuah film, poster menarik merupakan salah satu hal yang penting, terlebih untuk menarik minat masyarakat. Meski didalamnya Keramat menawarkan horor yang berkualitas, namun sayangnya, film ini malah dibalut kemasan luar yang terkesan murahan. Posternya malah terlihat seperti poster film horor abal-abal dengan penggarapan asal-asalan karya anak ingusan.


Di dalamnya sendiri, Keramat juga tak terlepas daris segala kekurangan. Salah satu kekurangan yang menonjol adalah hubungan cerita dengan ajakan untuk menjaga alam. Saya sendiri tidak terlalu mempermasalahkan apa moral cerita tersebut (meski di sisi lain, ajakan seperti ini memang terdengar aneh dan sedikit tidak nyamung), namun lebih kepada bagaimana Monty Tiwa mengajak seluruh penonton untuk menjaga alam secara eksplisit alias terang-terangan, hingga terkesan kita sedang berada di sebuah kelas SD dengan Monty Tiwa sebagai guru dan penonton sebagai murid-muridnya.

Terlepas dari segala kekurangan, Keramat tentu saja tetap tampil dengan mengerikan, terlebih dengan jajaran castnya yang dipimpin oleh trio wanita, yaitu Poppy Sovia, Migi Prahita, dan Miea Kusuma yang mampu tampil dengan memukau. Lihat Poppy, wanita tomboy yang ternyata jago dalam akting tangis-menangis, Migi yang dapat menyampaikan teror mendalam hanya dengan satu tatapan mata, dan Miea yang temperamental dan ambisius yang sepertinya doyan memarahi para kru dan casti film yang ia sutradarai.

Dalam perjalanannya, Keramat tak hanya menawarkan suasana mencekam saja, tapi juga dibumbui oleh komedi. Komedinya sendiri juga terbilang natural tanpa terkesan dibuat-buat, terlebih komedinya juga tampil dengan porsi yang pas, tak berlebihn namun tak kekurangan pula. Lumayan, di sela-sela ketegangan, masih ada sesuatu yang setidaknya membuat kita menaikkan kedua sudut bibir.


Meski ide film dengan gaya mockumentary terbilang tidaklah orisinil, namun ternyata Monty Tiwa membayarnya memberikan sentuhan-sentuhan khas Indonesia (khususnya Jawa) yang klenik dan mistis. Terlebih filmnya sendiri bertempat di daerah sekitaran Yogyakarta yang kental suasana mistis. Dalam memberikan sentuhan ala Indonesia, Monty Tiwa bahkan menyajikan kebudayaan Jawa seperti wayang kulit dan gamelan sebagai alat untuk menggentayangi penontonnya.

Keramat merupakan "penampakan" di tengah film horor negeri sendiri yang kebanyakan sebenarnya merupakan film-film bodoh berbalut hantu dimana-mana. Tanpa harus mengobral nama-nama besar, ternyata film ini mampu hadir dengan kualitas yang dari dulu kita idam-idamkan dari jagat film Indonesia, bukan hanya dari film horor, tapi juga genre lainnya. Keramat memang belum dapat mengalahkan kengerian dari misteri yang kompleks dan ending apik dari Noroi atau teror-teror makhluk-makhluk aneh khas [REC], namun tentu saya akan lebih memilih Keramat dibandingkan Paranormal Activity. Dengan segala kengerian dan ketegangan yang dibaurkan dengan budaya Indonesia lewat sebuah bentuk dokumenter fiksi, membuatnya menjadi film horor berkualitas dengan gaya barat namun tetap tak melupakan kampung halamannya.

7.5/10