"I'm the motherf***er that found this place, sir." ~ Maya
Dua tahun lalu, merupakan tahun emas bagi Jessica Chastain. Jika di tahun-tahun sebelumnya ia membintangi beberapa film seperti Jolene yang hampir tak dikenal, namun di tahun 2011, ia membuat sebuah gebrakan sebagai wanita paling bersinar di Hollywood saat itu (hingga kini, dan nanti). Membintangi film Ralph Fiennes, film indie apocalyptic-vision yang dipuji dimana-mana, hingga film dari sutradara sekaliber Terrence Malick, The Tree of Life yang kaya makna. Puncaknya, saat ia memberikan penampilan hebatnya sebagai wanita kulit putih polos dalam drama rasisme, The Help, yang bahkan menghadiahkannya sebuah nominasi Oscar. Enam film yang ia bintangi dalam 2011 itu hanyalah awal, nominasi Oscar yang diterimanya hanyalah pemanasan, dan perjalanannya masih akan terus berjalan. Dan kini, ia kembali menunjukkan tajinya sebagai aktris berbakat dalam sebuah drama thriller tentang perburuan pemimpin jaringan teroris al-Qaeda, Osama bin Laden.
Tenang saja, ini bukan Code Name: Geronimo yang (katanya) buruk itu. Ini adalah film hasil kolaborasi sekaligus ajang reuni bagi dua sineas peraih Oscar: sutradara wanita pertama peraih Best Director (sekaligus mantan istri James Cameron), Kathryn Bigelow, serta peraih Oscar untuk Best Original Screenplay, Mark Boal, yang pernah berbagi kemenangan dalam film pemenang Best Picture saat itu, The Hurt Locker. Dalam Oscar 2010 lalu, The Hurt Locker bukan hanya memenangkan ketiga penghargaan bergengsi itu, namun juga meraih 3 lainnya, yang merupakan penghargaan dalam bidang teknis. Dengan total 6 Oscar dalam 1 malam, menjadikan The Hurt Locker menjadi raja pada malam itu. Sekarang, dengan sutradara, penulis naskah, pemeran utama kelas Oscar, hingga kisah yang masih melibatkan militer, mampukah Zero Dark Thirty menyajikan tontonan yang dapat menyaingi The Hurt Locker dan dapat membawa pulang the golden man (atau bahkan the golden men) lagi?
Film dimulai dengan latar tahun 2003, dimana seorang agen CIA bernama Maya (Jassica Chastain) yang baru saja dipindahtugaskan ke Pakistan. Maya terus berambisi untuk menemukan pemimpin jaringan teroris Al-Qaeda, Osama bin Laden, setelah terjadinya tragedi 11 September 2001 saat World Trade Center di New York City runtuh. Ia sering menemani Dan (Jason Clarke) ketika mengintrogasi Ammar (Reda Kateb), seorang tahanan yang disebut-sebut terkait jaringan teroris tersebut di sebuah situs terlarang bernama black site. Ya, dan disinilah adegan-adegan kontroversial itu berada. Dalam interogasi, Dan sering kali menyiksa tahanan, salah satunya dengan waterboarding yang memang dikenal sebagai salah satu cara CIA untuk memaksa tahanannya untuk berbicara.
Pada pertengahan tahun 2005, seorang nama dari Al-Qaeda, Abu Faraj (Yoav Levi), berhasil ditangkap oleh polisi Pakistan setempat dan CIA. Identitasnya diketahui setelah beberapa tahanan membocorkan nama Abu Ahmed (Tushaar Mehra) sebagai kurir pribadi untuk bin Laden, dan membocorkan pula bahwa Abu Faraj adalah penghubung mereka berdua. Demi menguak keberadaan Abu Ahmed yang akan menguak pula keberadaan Osama bin Laden, maka Maya pun kembali menginterogasinya. Apakah semua ini berarti Maya dan rekan-rekan CIA-nya berhasil mendekati posisi bin Laden dan akan segera menang, atau malah mereka makin menjauh dari keberadaan bin Laden dan harus pasrah menerima kekalahan?
Sekali lagi, kolaborasi Kathryn Bigelow dan Mark Boal kembali berhasil. Dalam screenplay, Mark Boal masih setia memberi kita sebuah naskah cerdas, kuat, nan rapi. Dengan durasi yang lumayan panjang, Mark Boal memberikan jalinan kisah yang penuh suspense bahkan dari awal menitnya yang dibuka oleh torture scene. Tapi itu belum seberapa. Hingga nanti ketika klimaksnya tiba, semuanya bagaikan sebuah bom yang memuntahkan segala suspense utamanya, dan membuat segala hal-hal menegangkan dalam 2 jam pertamanya itu hanyalah appetizer belaka (appetizer yang luar biasa nikmat). Mark Boal sendiri memanfaat kejutan dalam banyak momennya sebagai penggali ketegangan, dan harus diakui ini adalah salah satu yang membuat naskah karyanya menjadi alat pengocok adrenalin yang benar-benar efektif dengan jalinan kisah yang tetap terjalin begitu kuat.
Dalam mengkonversi bentuk lembar demu lembar tulisan kedalam frame-frame film, Kathryn Bigelow mampu mengerahkan seluruh kemampuannya. Ia berhasil mengemas Zero Dark Thirty menjadi tontonan berkualitas dengan segala ketegangan dan ceritanya itu. Membangun intensitas ketegangan dari awal yang kemudian merambat secara perlahan hingga klimaks luar biasanya, semua itu dilakukannya dengan sangat baik dan benar-benar tak boleh dilewatkan. Ya, kita semua tentu sudah tahu bagaimana film ini berakhir, namun dengan 157 menitnya tersebut, Kathryn Bigelow sangat mampu menaklukkan waktu panjang tersebut dengan brilian yang ia penuhi dengan penyutradaraan yang sama sekali tak boleh diremehkan, yang bahkan membuat kita tetap saja setia duduk menonton, meski sudah tahu apa yang akan terjadi di akhirnya. Pilihannya untuk menjadikan film ini penuh dengan atmosfer dingin dan tak terlalu personal menurut saya sangatlah tepat, karena sesuai dengan dinginnya setiap misi, cerita, serta ambisi dalam Zero Dark Thirty. Tapi, itu tidaklah membuat kita selangkah lebih jauh untuk dapat menyelam ke setiap misi Bigelow secara mendalam, tapi malah selangkah lebih dekat dalam menyelami setiap yang Bigelow sodorkan.
Jessica Chastain adalah harta karun lain dari film ini. Penampilannya sebagai agen CIA, Maya, benar-benar menakjubkan, terlebih Zero Dark Thirty sebenarnya kebanyakan bertumpu pada ceritanya, bukan pada karakternya. Tanpa kehidupan pribadi, (hampir) tanpa teman, tanpa kekasih, dan tanpa keluarga. Apa yang film ini berikan pada karakter Maya hanyalah pekerjaan dan ambisinya yang begitu besar. Ia memang tak pernah menyiksa secara langsung dalam setiap interogasi, ia juga tak pernah secara langsung menyerbu kediaman Osama bin Laden. Tapi, itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Jessica Chastain adalah hal paling brilian di depan layar Zero Dark Thirty. Karakternya hidup karena ambisi yang Chastain berikan terasa nyata, dan setiap emosi dan keberanian yang ia gambarkan, itulah nyawa karakter Maya ini, yang membuat karakternya menjadi begitu powerful, bahkan tanpa butuh latar belakang kelam untuk memperkuat karakternya.
Dua jempol juga harus ditujukan pada jajaran aktor lainnya. Jason Clarke mampu memberikan penampilan meyakinkan. Sementara itu, Jennifer Ehle berhasil memberikan ambisi kuat pada karakternya, (sama halnya pada Chastain) sekaligus memberikan sedikit warna dalam kehidupan karakter Maya, karena keduanya digambarkan dekat sebagai rekan kerja dan teman (look at Maya's desktop background!). Di sisi lain, Mark Strong juga tak usah diragukan lagi dan dapat keluar dari karakter villain yang selama ini melekat kuat dalam dirinya. Penampilan lain seperti dari Kyle Chandler, Reda Kateb, Joel Edgerton, hingga Chris Patt, kehadiran mereka juga memperkuat ensemble cast Zero Dark Thirty ini.
Dengan teknikal yang benar-benar mendukung pula, Zero Dark Thirty berhasil 'mendaratkan' namanya menjadi salah satu film terbaik sepanjang tahun 2012. Sinematografinya memang tak terlalu memberikan visual yang indah (lagi pula, siapa yang inging memberikan visual indah dalam film tentang torture dan bin Laden?), namun dengan pergerakannya yang dinamis, khususnya dalam 30 menit terakhir, ikut serta membangun ketegangan yang telah terbangun. Hal yang paling ditekankan dalam omongan teknikal Zero Dark Thirty, tentu saja editing. Dengan memakai orang yang sama yang telah mengedit Argo, William Goldenberg (dimana pekerjaan dalam film itu juga dipuja-puji), ditambah dengan kolaborasi manisnya dengan Dylan Tichenor yang pernah menangani There Will Be Blood, membuat hasilnya juga jauh dari kata mengecewakan.
Zero Dark Thirty adalah salah satu masterpiece yang lahir 2012 lalu. Memang penuh kontroversi, namun Bigelow dan kawan-kawannya mampu menepis seluruh kontroversi dan cercaan tersebut dengan kualitas. Tentu, Kathryn Bigelow tak usah dipertanyakan lagi kemampuannya. Ia masih memiliki kemampuan itu, kemampuan yang membuat Zero Dark Thirty menjadi salah satu film dengan kadar ketegangan dan kekuatan cerita tak terhingga. Mark Boal pun, masih menghantarkan jalinan kisahnya dengan cerdas dan rapi dengan berbagai ketegangan yang ia ciptakan dalam naskahnya lewat kejutan-kejutan. Jessica Chastain kembali bersinar lewat penampilannya yang benar-benar berbeda dengan si polos Celia Foote dalam The Help. Karakternya yang dingin dan ambisius menghantarkan film yang sepenuhnya merupakan misi ini ke level yang lebih tinggi lagi.
Hasil dari semua usaha besar itu, 5 nominasi Oscar dapat diembat film ini, meski tak ada Bigelow dalam kategori Best Director. Pasti masih banyak yang menyayangkan hilangnya nama besar Bigelow dalam Best Director di perhelatan Oscar tahun ini (jangan lupakan Ben Affleck), namun siapa butuh Oscar, jika kualitas yang ia berikan sudah lebih dari cukup dan dapat memuaskan para penikmat film dunia? Apalagi, ia pernah memenangkan penghargaan ini sebelumnya, so, it's not a big deal for her. Dan untuk Jessica Chastain, sepanjang Lawrence dan Riva berhasil ditumbangkan, maka sudah pasti penghargaan pria emas itu akan segera jatuh ke tangan aktris berambut merah ini. Tapi, meski kita belum mengetahui hasilnya, yang jelas Zero Dark Thirty telah berhasil dalam menyelesaikan misi ambisius ini dengan nyaris sempurna. Mission accomplished!
Dengan teknikal yang benar-benar mendukung pula, Zero Dark Thirty berhasil 'mendaratkan' namanya menjadi salah satu film terbaik sepanjang tahun 2012. Sinematografinya memang tak terlalu memberikan visual yang indah (lagi pula, siapa yang inging memberikan visual indah dalam film tentang torture dan bin Laden?), namun dengan pergerakannya yang dinamis, khususnya dalam 30 menit terakhir, ikut serta membangun ketegangan yang telah terbangun. Hal yang paling ditekankan dalam omongan teknikal Zero Dark Thirty, tentu saja editing. Dengan memakai orang yang sama yang telah mengedit Argo, William Goldenberg (dimana pekerjaan dalam film itu juga dipuja-puji), ditambah dengan kolaborasi manisnya dengan Dylan Tichenor yang pernah menangani There Will Be Blood, membuat hasilnya juga jauh dari kata mengecewakan.
Zero Dark Thirty adalah salah satu masterpiece yang lahir 2012 lalu. Memang penuh kontroversi, namun Bigelow dan kawan-kawannya mampu menepis seluruh kontroversi dan cercaan tersebut dengan kualitas. Tentu, Kathryn Bigelow tak usah dipertanyakan lagi kemampuannya. Ia masih memiliki kemampuan itu, kemampuan yang membuat Zero Dark Thirty menjadi salah satu film dengan kadar ketegangan dan kekuatan cerita tak terhingga. Mark Boal pun, masih menghantarkan jalinan kisahnya dengan cerdas dan rapi dengan berbagai ketegangan yang ia ciptakan dalam naskahnya lewat kejutan-kejutan. Jessica Chastain kembali bersinar lewat penampilannya yang benar-benar berbeda dengan si polos Celia Foote dalam The Help. Karakternya yang dingin dan ambisius menghantarkan film yang sepenuhnya merupakan misi ini ke level yang lebih tinggi lagi.
Hasil dari semua usaha besar itu, 5 nominasi Oscar dapat diembat film ini, meski tak ada Bigelow dalam kategori Best Director. Pasti masih banyak yang menyayangkan hilangnya nama besar Bigelow dalam Best Director di perhelatan Oscar tahun ini (jangan lupakan Ben Affleck), namun siapa butuh Oscar, jika kualitas yang ia berikan sudah lebih dari cukup dan dapat memuaskan para penikmat film dunia? Apalagi, ia pernah memenangkan penghargaan ini sebelumnya, so, it's not a big deal for her. Dan untuk Jessica Chastain, sepanjang Lawrence dan Riva berhasil ditumbangkan, maka sudah pasti penghargaan pria emas itu akan segera jatuh ke tangan aktris berambut merah ini. Tapi, meski kita belum mengetahui hasilnya, yang jelas Zero Dark Thirty telah berhasil dalam menyelesaikan misi ambisius ini dengan nyaris sempurna. Mission accomplished!