Wednesday, July 10, 2013

Tagged under: , , , , ,

[Review] Trance (2013)

"No piece of art is worth a human life." ~ Simon

Menilik sepak terjang seorang Danny Boyle, rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan ketika  kita mendengar ia akan menelurkan setiap film baru. The Beach hanyalah setitik nilai merah dalam rapornya, selebihnya? Slumdog Millionaire mengangkat namanya di podium Oscar, namun Trainspotting yang mengukuhkan namanya sebagai salah satu filmmaker terdepan di generasinya. Di sisi lain, ia mampu membuktikan dirinya dengan membuat salah satu film zombie terbaik dan tercerdas yang pernah ada, 28 Days Later, sementara lewat Sunshine, ia menaikkan taraf film sci-fi ke level yang lebih tinggi, yah, meskipun saya akui, third-act-nya memang... aneh.

Di produksi teranyarnya ini, ia mencicipi genre misteri kriminal dengan sentuhan neo-noir di sana-sini, lengkap dengan judul yang cukup asing, Trance, yang artinya sendiri adalah keadaan setengah sadar, antara tidur dan bangun. Mengingatkan dengan Inception memang, namun jelas ini berbeda. Salah satu perbedaan paling mencoloknya tentu saja terletak pada genre Trance yang mengambil sebuah genre heist movie. Namun, jangan samakan lagi film ini dengan Fast Six. Jauh berbeda dengan Fast and Furious 6 yang mengandalkan banyak aksi tanpa otak nan seru, Trance adalah heist movie yang lebih berotak, dan lebih twisty.


Trance diawali oelh narasi dari Simon (James McAvoy), seorang juru lelang lukisan yang mendemonstrasikan pekerjaannya, termasuk apa yang harus ia lakukan dan tak boleh ia lakukan dalam situasi darurat. Tentu saja, maksudnya adalah pencurian lukisan. Suatu hari, situasi darurat tersebut terjadi di tengah-tengah pelelangan. Tentu, Simon dengan tegap dan tanpa rasa takut, melakukan apa yang harus ia lakukan, menyelamatkan lukisan dari tangan-tangan jahat. Namun, situasi menjadi di luar kendali ketika salah satu pencuri tersebut, Franck (Vincent Cassel), berhasil merebut lukisan dari tangan Simon. Simon akhirnya melanggar peraturannya sendiri, yaitu dengan berlagak sok pahlawan, yang akhirnya menyebabkan dirinya roboh dihajar pencuri tersebut.

Namun, masalah melebar ketika apa yang pencuri tersebut dapatkan hanyalah bingkai kosong, dan lukisan tersebut akhirnya hilang tanpa jejak. Franck dan kawan-kawannya pun memutuskan untuk menyandera dan menyiksa Simon untuk mengatakan di mana lukisan itu sebenarnya. Namun, Simon sama sekali tak ingat akan keberadaan mereka. Akhirnya, Franck menyewa seorang hipnoterapis, Elizabeth Lamb (Rosario Dawson), untuk membantu Simon mendapatkan ingatannya kembali.


Apa yang terjadi dalam naskah Trance yang ditulis oleh duo Joe Ahearne serta John Hodge, dimulai dengan premis yang amat menarik bagi saya. Kita disuguhkan pencurian lukisan yang gagal yang berujung pada hilangnya lukisan tersebut, tanpa jejak sama sekali, yang akhirnya mempertemukan mereka dengan seorang hipnoterapis. Dari pondasi menarik itu, Trance dapat membangun sebuah jalinan dinding yang terbilang kokoh. Perlahan, Trance berjalan dengan keyakinan yang terus bertambah. Karena Trance menyangkut hipnosis, tentu naskah Trance harus menyajikan porsi-porsi scene hipnosis yang meyakinkan. Untungnya, kedua penulis naskah, mampu menyajikannya dengan baik, termasuk bagaimana perubahan sudut pandang ketika memasuki beberapa scene-scene tersebut. Tak hanya itu, bagaimana naskahnya menggambarkan setiap karakter tanpa ada batasan yang jelas antara baik-buruk merupakan kelebihan tersendiri. Protagonisnya tidak digambarkan sebaik itu, begitu pula sebaliknya. Bahkan, ada kalanya ketika kita sudah tak dapat membedakan yang mana protagonis maupun antagonis.

Selagi bermain-main dengan amnesia dan hipnosis yang makin menjanjikan seiring penonton yang mulai pula untuk menikmatinya, naskah ini mulai membuka tabir-tabir rahasianya yang mengejutkan. Ini memaksa penonton untuk memperhatikan segala detail di dalamnya, karena sekecil apapun yang naskah hasil kolaborasi ini berikan, adalah sebuah petunjuk vital untuk apa yang akan terjadi selanjutnya. Hasilnya, Trance menjadi sebuah sajian cerdas yang penuh akan kejutan yang berlipat-lipat. Sayangnya, ketika Trance mencapai konklusinya, apa yang ternyata penonton dapatkan hanyalah hasil yang tak dapat diselami lebih mendalam lagi, memberi kesan effort yang diberikan lebih besar dari apa yang nanti didapatkan. Beruntung sekali, hal ini masih dapat diimbangi, bahkan tertutupi dengan baik lewat lapisan demi lapisan kejutan di akhirnya.


Meski begitu, Trance harus berterima kasih pada sang sutradara, Danny Boyle yang berjasa besar dalam mengemas Trance menjadi sebuah tontonan yang penuh misteri namun tetap menghibur, bahkan berhasil membuat saya sejenak melupakan konkulusi dalam film ini. Sama seperti yang ada dalam Slumdog Millionaire, Danny Boyle masih setia dalam memakai narasi non-linier alias multi-layered. Lewat flashback-flashback serta detail-detail yang Danny Boyle berikan dengan sangat rapi, ia berhasil menyisipkan berbagai petunjuk tersembunyi. Petunjuk ini tak hanya ia sisipkan sekali dua kali saja, namun bisa saja di setiap scene, yang bahkan anda tak sadari sedikit pun. Dengan gaya non-linier pulalah, Boyle dengan lihai menghambur potongan puzzle, dan membiarkan penonton menyusunnya sendiri sambil menerka-nerka apa yang akan terjadi pada akhirnya. Meski tampak seperti film puzzling nan membosankan, Boyle dapat membuat Trance menjadi sebuah perjalanan yang mengasyikkan dengan terapan pacing dan editing-nya yang cepat.

Bagaimana Boyle mengemas Trance adalah suatu hal yang sangat patut untuk diapresiasi. Ia menggabungkan berbagai gaya ke dalam film ini. Semenjak awal, kita tahu bahwa Boyle telah menginjeksikan unsur-unsur neo-noir ke dalamnya. Belum cukup, ia kemudian mengawinkan unsur neo-noir yang amat kental ini dengan komponen ala B-movie yang terkesan murahan. Namun, hasil kolaborasi ini malah berkata sebaliknya, Trance menjadi sebuah film yang penuh akan darah seni, sebuah heist movie yang berbeda dengan yang lain, presentasi stylish dan artsy.


Sepanjang durasinya, yaitu sekitar 100 menit, Trance dihiasi oleh wara-wirinya 3 aktor yang terlebih dahulu memiliki 'nama', James McAvoy, Rosario Dawson, serta Vincent Cassel. Sepanjang 100 menit ini pula, Boyle mampu memberikan mereka porsi yang hampir sama rata, dan itu saya akui cukup sulit dilakukan.  James McAvoy yang membuka film ini dengan sebuah narasi meyakinkan, sanggup mengisi durasi sisanya dengan akting yang meyakinkan pula. Vincent Cassel, seperti biasa, bad ass! Di sisi lain, sang hipnoterapis, Elizabeth, yang diperankan Rosario Dawson lah yang mampu mencuri perhatian. Bukan hanya karena 'keberaniannya', namun bagaimana ia mengangkat karakternya menjadi suatu karakter yang kompleks, subtle, namun tetap dengan pembawaannya yang elegan dan mempesona.

Sebuah crime mistery dengan balutan neo-noir dan tetap dengan sentuhan kental ala Danny Boyle, Trance berhasil menjadi sebuah presentasi yang cerdas. Mengandalkan medium berbeda dalam mengantarkan bentuk heist ke dalam pikiran penonton dan beragam kejutan sebagai amunisinya, Boyle menghadirkan sebuah heist movie yang unik jika dibandingkan film heist yang lainnya. Ya, hasilnya memang seperti anak hasil perkawinan antara Inception serta Eternal Sunshine of the Spotless Mine, dengan sedikit sekali kromosom Memento, namun bukan berarti Trance tak memiliki keunggulannya sendiri. Dengan gaya Boyle yang banyak menggunakan flashback, narasi nonlinier yang multi-layered, visual penuh warna, dan penampilan apik dari ketiga cast utamanya, ditambah dengan balutan khas B-movie yang terkesan murahan namun dapat dirubah menjadi begitu stylish, sudah mampu membuktikan bahwa Trance merupakan film yang beautifully-crafted. Terlepas dari kekurangannya seperti konklusinya yang tak sehati dengan ekspektasi, Trance sudah memiliki kadar yang lebih dari cukup untuk membuat saya berdecak kagum.


0 comments:

Post a Comment