Tuesday, July 9, 2013

Tagged under: , , , , , , ,

[Review] Monsters University (2013)

"Yes, you can. Stop being a Sullivan and start being you!" ~ Mike Wazowski

Pixar, rasanya setiap menyebut nama ini, semua orang bak mendewakannya. Ini tidak salah, karya-karya anak perusahaan Disney yang satu ini memang melegenda. Trilogi Toy Story, A Bug's Life, Finding Nemo, The Incredibles, Monsters, Inc., Ratatouille, Up, hingga WALL-E. Meski ada beberapa di antaranya yang dianggap biasa-biasa untuk ukuran Pixar, seperti Cars dan sekuelnya. Sepanjang karirnya, Pixar telah mengantarkan 7 filmnya ke atas podium Oscar untuk Best Animated Feature, termasuk bagi Brave, yang kemenangannya tahun lalu cukup banyak disayangkan oleh orang-orang (termasuk saya). Apalagi alasannya kalau bukan Wreck-It Ralph yang rasanya jauh lebih superior dibandingkan dengan Brave.

Tahun ini, selepas Brave, Pixar kembali memproduksi sebuah film animasi. Ceritanya sendiri bukanlah original story, melainkan diambil dari salah satu karay terbaik Pixar, Monsters, Inc. Mengambil judul Monsters University, film yang satu ini berpusat pada awal mula persahabatan James P. Sullivan dengan Mike Wazowski. Sebagai pengisi suara, masih diisi aktor yang sama, yaitu John Goodman dan Billy Crystal. Begitu pula dengan Randall yang masih diisi oleh Steve Buscemi. Sayangnya, berhubung ini adalah prekuel, jadi anda tak akan menemukan si imut Boo di sini. Dan, sama seperti film Pixar yang terdahulu, sebelum pemutaran film utamanya, diputar sebuah film pendek karya Pixar pula, yang berjudul The Blue Umbrella.


Kisah dimulai oleh Mike Wazowski yang masih berumur 6 tahun (Noah Johnston) yang mengikuti study tour ke Monsters, Inc., seperti yang kita tahu, sebuah perusahaan yang mengumpulkan sumber energi kota Monstropolis lewat jalan menakut-nakuti anak manusia. Di sana, Wazowski bertemu dengan Frank McCay (John Krasinski), seorang 'scarer'  alumni Monsters University yang sedang akan menjalankan tugasnya. Tanpa ia sadari, Wazowski mengikutinya dan melihat Frank menakuti seorang anak kecil. Hal ini, yang nantinya terus memotivasi Mike Wazowski untuk masuk ke Monsters University, dan akhirnya menjadi seorang 'scarer' sejati.

Tiga belas tahun kemudian, Mike (Billy Crystal) yang ambisius dan cerdas berhasil meraih impiannya untuk masuk Monsters University dan akhirnya, tinggal selangkah lagi untuk menjadi seorang 'scarer', namun rupanya hal itu tidaklah semudah yang ia bayangkan. Terlebih, dengan munculnya seorang mahasiswa baru bernama James P. 'Sulley' Sullivan (John Goodman) yang memang memiliki bakat alami untuk menakuti orang lain. Memakai nama keluarga Sullivan yang legendaris, Sulley menjadi sosok yang arogan dan sombong. Ini memunculkan sebuah persaingan ketat antara Mike dengan Sulley, kecerdasan vs. bakat alami.


Naskah Monsters University ini ditulis keroyokan oleh 3 nama sekaligus, yaitu Daniel Gerson, Robert L. Baird, dan sang sutradara sendiri, Dan Scanlon. Kisahnya cukup familiar bagi kita, namun penuh dengan canda tawa, dialog-dialog witty, serta beberapa benang merah yang mengobati kerinduan penonton terhadap Monsters, Inc, yang membuat skrip film ini sangat mudah untuk dinikmati dari segala kalangan. Seperti film Pixar lain, Monsters University juga menawarkan berbaga pesan moral yang disampaikan tanpa harus menggurui penonton. Seperti yang saya katakan tadi, kisahnya familiar, namun, apakah itu menghalangi Pixar untuk membuat kisah familiar ini nantinya menjadi sebuah hal yang kreatif dan out-of-the-box? Hm...

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mungkin ada baiknya kalau kita membawah pengarahan dari sang sutradara, Dan Scanlon. Dalam langkahnya untuk menerjemahkan naskah yang ia buat sendiri bersama dua lainnya, Scanlon saya akui berhasil membawa Monsters University menjadi tontonan yang membuat siapa saja ingin menontonnya, lagi dan lagi. Dengan pacing yang tepat, ia mampu mengendalikan emosi penonton dengan sangat baik. Menjadikan prekuel sekaligus sekuel Monsters, Inc. ini bukan hanya penuh humor di sana-sini, namun juga penuh hati yang cukup untuk menegakkan kembali kepala Pixar yang mulai tertunduk lesu, yah... walaupun tak terlalu banyak memang.


Dalam first act-nya, Monsters University berjalan cukup mulus, namun bagian itu terlewat tanpa kesan yang terlalu 'wah' khas Pixar. Tidak ada opening menyentuh hati seperti Up misalkan, hal yang paling menonjol  dalam babak pertama ini bagi saya adalah ketika Mike Wazowski kecil yang menyelinap ke dalam pintu. Selebihnya, tak ada yang terlalu istimewa. Namun apakah ini merupakan paruh awal yang buruk? Sama sekali tidak. Act pertama Monsters University ini masih dihibur oleh lelucon-lelucon yang berhasil mengocok perut saya, plus ada pula lelucon 'peninggalan' Monsters, Inc. yang membuat saya senyum-senyum sendiri. Selain itu, ada pula sebuah kejutan kecil tentang teman sekamar Mike, yang jujur saja, saya (agak) terkejut. Singkatnya, paruh awal yang menarik dan lucu, namun tak terlalu memorable.

Memasuki tahap kedua, Dan Scanlon mulai menaikkan intensitas film, ditandai dengan masuknya duo Wazowski-Sullivan dengan kelompok persaudaraan Oozam Kappa yang berisi para nerds aneh plus perjanjian mereka dengan Dean Hardscrabble. Setiap cara yang kelompok ini lakukan dalam melewati setiap babak dalam Scare Games pastinya selalu mengundang tawa pengocok perut lewat aksi konyol mereka, namun di sisi lain, ini adalah proses kedewasaan from zero to hero. Mungkin terdengar cliche dan sebenarnya pun, babak ini tak menawarkan sesuatu hal yang baru, namun dengan kesederhanaan serta kekonyolannya itu lah, babak kedua ini menjelma menjadi babak yang super seru dan menegangkan, yang akhirnya, second act yang satu ini ditutup oleh teriakan riuh para mahasiswa Monsters University, dan... penonton bioskop. Namun, rupanya Pixar hanya menjadikan act kedua ini sebagai jembatan, yang di ujungnya, terdapat sebuah kejutan yang menanti anda. Kejutan yang benar-benar khas Pixar!


Ketika saya tak terlalu terkesan dengan first act-nya, dan ketika saya sangat menikmati dan sangat terhibur oleh second act film ini, hal paling jauh lebih memorable justru ada dalam bagaimana Dan Scanlon mengemas paruh akhirnya. Seperti yang ada pada film-film mahakaryanya, Pixar memang kerap mengakhiri kisah-kisah mereka dengan cara yang tak biasa, termasuk dalam Monsters University. Di sini, Pixar tidak secara gamblang mengakhiri kisahnya dengan cara memaksakan jalan cerita yang telah ia bangun. Yang jelas, Pixar kembali mengeluarkan amunisinya yang imaginatif dan di luar pakem. Di third-act-nya, Monsters University mengalami peningkatan yang sangat drastis, terlebih jika kita bandingkan dengan act pertamanya. Hasilnya? Monsters University menutup kisah manis persahabatan ini dengan sebuah perpisahan yang diluar pemikiran siapapun, out-of-the-box, inovatif, kreatif, dan tentunya tak meninggalkan hal yang sangatlah Pixar, emosional.

Soal, voice acting, kedua lead-nya, Billy Crystal dan John Goodman, plus Steve Buscemi, tentunya telah teruji dalam Monsters, Inc. Billy Crystal serta John Goodman mampu mempertahankan chemistry kokoh  dengan humor-humor dan dialog-dialog segar nan tajam, yang pernah mereka bangun dalam Monsters, Inc. Tapi, dari kesemua voice actor dalam film ini, yang melakukan pekerjaan terbaik bagi saya adalah Helen Mirren. Ia bukan lagi seorang ratu kerajaan Inggris, melainkan dapat bertransformasi menjadi seorang kepala  Monsters University yang skeptikal dengan penuh atmosfer dingin, 'angker', 'horor', serta intimidatif. Lagi, lagi, dan lagi, you did it, Dame Helen Mirren!


Visual? Sebenarnya kalau soal ini, tak ada yang perlu dibahas, toh semua juga sudah tahu bagaimana visual hasil kerja tim Pixar. Pastinya, jika dibandingkan pendahulunya, Monsters, Inc., Monsters University punya segalanya. Apalagi, di dalam film ini, kita disajikan beragam karakter penuh warna dalam berbagai macam bentuk yang aneh dan unik. Monster bermata satu hingga puluhan, berkaki berapapun yang anda mau, berkepala hingga lebih banyak dari jumlah jari? Ya, Pixar memang selalu terdepan soal visualnya yang memanjakan mata itu.

Jujur, saya terkejut, dengan fakta bahwa saya sangat menyukai film ini. Secara keseluruhan, Monsters University bukan mahakarya terbaik dari Pixar, namun prekuel yang satu ini sangat ampuh mengobati rasa rindu penggemar berat Pixar yang rindu akan sentuhan lama Pixar dengan third act-nya. Tak hanya membuat penonton senyum-senyum sendiri dengan akhir kisah ini (bukan karena kelucuannya, tapi karena Pixar telah kembali!), namun juga mampu membuat penonton jatuh emosional, tanpa tenggelam dalam kesentimentalisan berlebihan tak berarti. Di sisi lain, Monsters University juga menawarkan lelucon-lelucon jenaka yang sukses membuat saya benar-benar terhibur. Dengan voice acting yang superb dan visual yang top-notch, Monsters University adalah sebuah prekuel yang penuh tawa, decak kagum, hiburan, moral, dan kenangan. It could've been better, namun Monsters University mulai membuka gerbang menuju Pixar yang kita impi-impikan. Memang bukan yang terbaik dari Pixar, namun kalau berbicara film animasi terbaik tahun ini? Rasanya, Monsters University dapat berjalan dengan cukup mulus.


0 comments:

Post a Comment