Thursday, August 8, 2013

Tagged under: , , , , , ,

[Review] Sympathy for Lady Vengeance (2005)

"An angel, could that be true? Do you really think an angel resides in me? If so, where was that angel when I was committing such an evil act? I always wondered about this after hearing what the preacher said, and then I realized, that the angel inside me only reveals itself when I invoke it." ~ Lee Geum-ja

Kita pernah disajikan apa saja oleh seorang sutradara berbakat asal Korea Selatan ini. Ia pernah membuat kita ngeri 'hanya' dengan memotong achilles tendon seorang pria berambut hijau, kemudian kita dikejutkan lagi oleh sebuah balas dendam tersakit yang pernah ada, yang kemudian tak hanya menggemparkan perfilman Korea saja, tapi juga Asia, bahkan dunia. Selain itu, ia juga pernah membawa dunia vampir ke ranah Korea. Terakhir, ia hijrah ke Hollywood, sukses menjadikan sebuah naskah thriller berdarah nan familiar menjadi sebuah sajian yang berkelas dan mengagumkan. Siapa dia?

Park Chan-wook! Sutradara yang angkat nama berkat adaptasi lepas sebuah manga berjudul Oldboy ini memang dikenal sebagai salah satu pelopor film penuh kekerasan di Korea. Oldboy sendiri adalah salah satu bagian dari Vengeance Trilogy, tiga film yang bertema balas dendam, namun dengan cerita yang tak terkait satu sama lain. Sebelum Oldboy, ia telah mengarahkan seri pertama, berjudul Sympathy for Mr. Vengeance yang slow-paced, namun efektif dalam membuat gigi ngilu. Setelah Oldboy, ia menutup trilogi ini lewat pacing lebih cepat dan less-glory namun indah, Sympathy for Lady Vengeance.


Sympathy for Lady Vengeance, atau yang dikenal pula dengan Lady Vengeane saja masih berkutat pada misi balas dendam. Kali ini, seorang wanita yang memegang seluruh kendali. Adalah Lee Geum-ja (Lee Yeong-ae), seorang wanita cantik, mantan narapidana yang dihukum penjara selama 13 tahun atas kejahatan yang ia sendiri tak lakukan. Ia dituduh telah menculik dan membunuh seorang anak berusia 6 tahun, bernama Won-mo. Selepas dari tahanan, ia pun akan menuntut balik, sebuah balas dendam yang tak biasa terhadap pelaku sebenarnya, Mr. Baek (Choi Min-sik). 

Sebelum terjebak dalam jurang penuh pujian, mungkin ada baiknya jika kita mulai dari kekurangan dulu. Mungkin kekurangan yang saya rasakan adalah banyaknya karakter yang dihadirkan (sebagian besar merupakan karakter dari masa lalu Geum-ja saat masih di penjara). Sebenarnya, ini mungkin tak akan menjadi kekurangan kalau karakter yang dihadirkan dapat digali dengan cukup dalam. Namun, Park tampaknya mengalami sedikit kesulitan dalam menangani dan menggali karakter-karakter ini jauh lebih dalam. Akibatnya, walau tak bisa dibilang fatal, membuat penonton sedikit kehilangan fokus dengan apa yang Park coba sajikan.


Meski begitu, saya akui film ini memang menghadirkan tokoh sentral dengan karakterisasi yang luar biasa. Lee Geum-ja sudah dijamin merupakan karakter yang amat menarik dan kompleks. Seorang gadis innocent yang harus menghadapi suatu konsekuensi terhadap sesuatu yang tidak ia lakukan, yang akhirnya menjadi gerbang baginya untuk terjun dalam hal penuh kekerasan dan dosa. Belum lagi, ia seorang wanita dan ibu, yang tetap saja memiliki batas-batas emosional. Dengan segala hal yang dimilikinya, Park menyajikan tokoh sentral yang subtle, saling kontradiktif, a victim of society. Mr. Baek, juga hadir dengan karakter absurd dan kontradiktif, seorang guru yang seharusnya merupakan sosok penyayang, di balik semua itu, ia adalah psikopat berdarah dingin tanpa punya rasa iba.

Segala hal dalam naskah Sympathy for Lady Vengeance bukan melulu tentang pembalasan dendam saja. Di balik sisi emosional dan beberapa kekerasan yang ia punya, naskah film ini juga menghadirkan humor-humor gelap. Ada beberapa humor yang hadir lewat dialog-dialog yang witty dan komikal, membuat saya sendiri tak percaya, bahwa saya tertawa menonton film bertema balas dendam. Dengan takaran yang lebih dibanding 2 pendahulunya, humor-humor ini bekerja dengan baik dalam membangun atmosfer film yang menyeret tema berat menjadi lebih bisa dinikmati.


Tak hanya disampaikan dengan begitu gamblang, ada juga beberapa scene, yang entah tujuannya untuk menyalurkan tawa atau bukan, yang jelas momen-momen ini memang cukup komikal. Dalam 'the deer hunter' scene, sekalipun terasa begitu absurd, tetap saja saya sedikit menyunggingkan kedua ujung bibir. Tak sampai disitu, momen di mana para orang tua berfoto bersama juga berhasil membuat saya sejenak melupakan ke-immoral-an film ini. Siapa yang ingin berfoto bersama setelah melakukan suatu kejahatan? Ada satu lagi. Kalau yang satu ini, akan terasa komikalnya kalau sebelumnya anda telah menonton Sympathy for Mr. Vengeance. Apa itu? Well, silakan lihat dan tebak sendiri.

Meski jika dilihat dari cara pengemasan, Sympathy for Lady Vengeance adalah yang paling ringan, namun dibanding kedua 'kakaknya', film inilah yang hadir dengan kadar simbolisme terbanyak. Dalam perjalanannya, Park menyisipkan beberapa simbolisasi untuk menghantarkan tema rumitnya dalam bentuk banyaknya penggunaan 2 warna, putih dan merah yang menyimbolkan kekontradiktifan 2 sifat. Warna putih diwakili lewat salju serta tahu, dan merah yang dilambangkan lewat eyeshadow, interior kamar, dan tentu saja, darah, atau bahkan keduanya sekaligus, seperti yang telah diperkenalkan dalam opening credits. Tapi, yang paling menarik justru terletak dalam bagaimana Park menggabungkan 2 warna ini dalam unsur-unsur religius.


Tak sampai disitu, Park memang terkesan banyak mengebiri unsur agama di sini. Ia memanfaatkan kereligiusan Lee Geum-ja dan menghadirkan 2 periode waktu sebagai simbol dari 2 sifat yang bertolakbelakang dan kemunafikan. Bukan menyalahkan agama itu sendiri, namun lebih berfokus pada pikiran manusia yang rusak dan penuh noda. Namun, jika dilihat lagi dengan sudut pandang yang lebih luas, kita akan melihat apa yang sebenarnya Park inginkan lewat simbolisasi ini, dan mungkin akan menjawab mengapa ia menempatkan Lady Vengeance sebagai penutup trilogi ini. Ia mengawali Lady Vengeance dengan dominasi warna putih yang melambangkan kesucian, yang perlahan mulai dikotori dengan darah dan kekerasan, yang pada akhirnya, ia mengembalikan semua itu ke tempat di mana semua itu pantas mendapatkannya, ia mengakhiri dengan hujan salju dan sebuah tofu.

Sekalipun tak mempunyai kadar kekerasan sebanyak pendahulunya, terlebih Sympathy for Mr. Violence, namun Park, yang terkenal karena kekerasan dalam setiap filmnya, tetap dapat membungkus setiap adegan dengan intensitas tinggi. Tak hanya itu, lain daripada film lain yang hanya menjadikan kekerasan sebagai ajang unjuk gigi dan bersenang-senang, maka Lady Vengeance (serta Mr. Vengeance dan Oldboy) menjadikan kekerasan-kekerasan tersebut sebagai nyawa dalam plotnya. Mereka adalah dua hal yang saling berkegantungan, tanpa kekerasan yang ia bawa, plot akan terasa mentah dan tak hidup, begitu pula sebaliknya.


Jika mengibaratkan ketiga film dari trilogi balas dendam ini dengan satu sifat, maka Sympathy for Mr. Vengeance memiliki mindless violence, Oldboy adalah definisi dari insanity, maka Lady Vengeance merupakan emotional rollercoaster. Ya, Lady Vengeance adalah segalanya tentang wanita, dan wanita tanpa emosinalitas bukanlah sepenuhnya wanita, bukan? Di sini, Park berhasil menyusun esensi-esensi emosional ini tanpa dosis berlebihan. Bukan dengan hasil unsur emosional tanpa emosi sedikitpun, atau sebaliknya, menghasilkan sebuah sajian manipulatif dangkal yang meninggalkan bergalon-galon air mata.

Satu hal yang membuat Lady Vengeance mengingatkan saya dengan Oldboy adalah lead yang tak terlupakan. Lee Yeong-ae memberikan kharisma yang luar biasa hebat. Ia berhasil mengeksplorasi seorang karakter wanita yang dingin, tangguh, kharismatik, namun emosional, religius, serta feminin. Dengan karakter kompleks dan absurd tersebut, Yeong-ae berhasil mengisi setiap sisi dengan penampilan oscar-worthy. Choi Min-sik, yang kembali bereuni dengan Park juga mampu berubah menjadi seorang psikopat sakit dengan karakter yang saling kontradiktif. Performa baik ini tak hanya sampai pada lead-nya saja, tapi hingga akar-akarnya. Lihat akting para orangtua korban di klimaks film, lihat pula rekan Geum-ja sesama tahanan.


Secara technical level, film ketiga ini benar-benar menunjukkan tajinya. Dengan konsep multi-layered, editing mumpuni adalah keharusan. Ditemani oleh camerawork super cantik, angle-angle unik, dengan tone-tone indah, editing ini terasa intens, namun tetap moving. Berbeda dengan Mr. Vengeance yang tak terlalu banyak memakai scoring dan tenang, musik latar dalam Lady Vengeance terasa lebih agresif lewat gubahan orkestra barok yang menghipnotis, membuat film ini selevel lebih megah dan grande.

Stylish dan beautifully-shot, Sympathy for Lady Vengeance memang tak se-grande dan setragis Oldboy, namun tetap dengan sukses menutup trilogi balas dendam Park Chan-wook dengan dongeng balas dendam yang masih ditulis dengan baik dan sangat unik dan indah dalam pengemasannya. Dibanding dengan kedua prekuelnya, film ini memang tak sekeras kedua pendahulunya, namun bukan berarti Lady Vengeance hadir tanpa kekerasan. Sympathy for Lady Vengeance tidak memanfaatkan kekerasan sebagai pemanis saja, film ini menjadikan kekerasan itu sendiri menjadi untuk memberikan nyawa bagi plotnya. Diisi dengan karakter kompleks dalam sebuah society berliku, Lee Yeong-ae hadir dengan penampilan menawan, hampir tanpa celah sedikit pun. Cantik, menawan, emosional, dingin, keras, dan absurd, dari awal Sympathy for Lady Vengeance menyajikan dongeng fantastis dari segala sisi, dan ketika ia berakhir, ia melimpahkan banyak hal penuh tanya. Tak perlu dijawab, hanya perlu dipikirkan.


5 comments:

  1. Review-nya lengkap dan bagus banget! Ditengah-tengah memang sempat kehilangan fokus tapi secara keseluruhan film ini memuaskan. Tetap cantik, tetap keras, tetap terlihat visi dari Park Chan Wook nya, hehe. Boleh tukeran link? Link saya http://review-luthfi.blogspot.com/ . Terima kasih.

    ReplyDelete
  2. Aduuuhhh, kepala saya langsung gede nih, hahaha. Bener, film ini memang cantik, keras, tp dalem bgt. Boleh dong :)

    ReplyDelete
  3. sympathy for lady vengeance memang cukup epic untuk menutup vengeance trilogy, btw nice review :)

    ReplyDelete
  4. Pengen nonton full deh
    Di app ada yh ka
    Ada rekomendasi kah ...
    Di YouTube cuma cuplikan doang

    ReplyDelete