Now that Oscar fever has gone, it's our time to reveal our very best films of 2014! Mulai dari chapter penentuan dari saga The Hobbit hingga chapter pertama bagi The Hunger Games: Mockingjay, mulai dari film animasi sekaligus ajang promosi lego sukses dalam The Lego Movie hingga kisah menguras air mata dari tokoh kesayangan semua orang dalam Stand by Me Doraemon. Dari pertarungan mutan vs. manusia dalam X-Men Days of Future Past, hingga perebutan spesies superior kera vs. manusia di Dawn of the Plante of the Apes. Dan dari film tentang aktor usang yang ingin mengklaim kembali kejayaannya dalam Birdman hingga Boyhood, sebuah hasil kerja keras selama 12 tahun. Ya, 2014 was such a good year, dan jelas merangkum dan memilih yang terbaik dari yang terbaik bukan pekerjaan mudah. Karenanya, well, saya memutuskan untuk tidak sepenuhnya memilih 25 film. Karena membuat list semacam ini butuh banyak 'pengorbanan', sebelum masuk ke inti utama, inilah honorable mentions saya, 5 film terbaik 2014 yang 'terlalu sayang untuk dibuang'.
The Hobbit memang bukanlah The Lord of the Rings, namun The Battle of Five Armies adalah chapter akhir dengan 144 menit penuh dengan keseruan non-stop plus final yang menguras emosi. Sementara itu, The Lego Movie bukan hanya bekerja dengan baik sebagai ajang promosi, tapi sebagai satu paket yang kocak, menghibur, dan emosional. Ada pula babak kedua The Raid, The Raid 2, kali ini dengan scope yang lebih luas, karakter lebih banyak, kekerasan yang lebih membuat siapapun bergidik, dan keseruan yang tanpa henti. Tak ada satupun yang rasanya dapat menyangkal bahwa sampai kapanpun, Doraemon is everybody's childhood, dan kehadiran Stand by Me Doraemon mempertegas hal itu. Dan, siapa yang tidak menyukasi sebuah premis kreatif yang gila dengan kadar silliness tinggi? With just right direction, Snowpiercer berhasil mengangkat premis gilanya ke dalam kemasan dystopian bertensi tinggi, dengan kegilaan yang tinggi pula, tentunya.
#25. Maps to the Stars | Directed by David Cronenberg | Written by Bruce Wagner
Mocking the cruel industry with class, that's exactly how i can describe Maps to the Stars perfectly. Ya, setelah Cosmopolis yang... hm, aneh, David Cronenberg kembali dengan Maps to the Stars. Sebuah karya yang memperolok Hollywood dengan mengangkat isu-isu itu sendiri ke permukaan, dan itu adalah langkah yang sukses. Kemasannya dark, twisted, dan disturbing, Cronenberg membawa kita ke sebuah kisah mengenai pundi-pundi dolar, popularitas, dan rasa dengki, kegilaan yang luar biasa. Dilingkupi oleh karakter-karakter yang mungkin merupakan sekumpulan orang-orang terburuk di planet bumi, Maps to the Stars is haunting yet disturbing, sebuah penggambaran kejam mengenai sebuah industri yang tak kalah kejamnya.
#24. Coherence | Directed and Written by James Ward Byrkit
Siapa bilang untuk membuat sebuah science-fiction berkualitas dibutuhkan biaya besar dan visual maha megah? Jika anda masih berpendapat demikian, pikirkan lagi. Ya, adalah James Ward Byrkit, lewat karya debutnya Coherence mampu mematahkan stigma itu. Dibalik budget minimumnya, Coherence adalah sci-fi ambisius, menawarkan kisah kompleks yang melibatkan berbagai anomali yang membutuhkan banyak pemikiran dalam mencerna tiap kisahnya. Mostly improvised, Coherence berhasil menyajikan sebuah pengalaman sinematik yang tak terlupakan, dengan konflik yang tiap menitnya makin melebar, ia menebar tanda tanya besar di setiap perisitiwa. Hasilnya, adalah sebuah anomali yang menarik dan penuh intrik, menghasilkan percabangan kisah yang penuh dengan segala kemungkinan, berlapis-lapis kejutan, dan berbagai potongan misteri yang begitu menarik. Bravo!
#23. Predestination | Directed and Written by Michael Spierig & Peter Spierig
Bagi sci-fi geek yang mengharapkan untuk dihibur semaksimal mungkin, maka Predestination tepat bagi anda. Narasinya non-linear, bergerak maju-mundur, memberikan anda sedikit demi sedikit petunjuk untuk dapat memahami misteri kisahnya. Memanfaatkan perjalanan waktu yang telah menjadi lumrah di ranah sci-fi, Predestination menawarkan lebih dari sebatas perjalanan lintas waktu. Ia memiliki lapisan kejutan yang mampu membuat time-traveling ini lebih memukau. Di inti kisah, ada Sarah Snook yang istimewa. Paruh awalnya, kita akan dikenalkan dengan karakter Snook, di mana kita akan diajak menyelami masa lalunya yang kelam dengan penampilan luar biasanya. Kemudian, di paruh sisanya, Predestination memberikan penonton berbagai kejutan, twists and turns yang mampu membalikkan kisah secara drastis, membuka lembar-lembar rahasianya, lengkap dengan intensitas tinggi yang mampu menjaga anda agar tetap setia duduk menikmatinya. Super fun!
#22. The Theory of Everything | Directed by James Marsh | Written by Anthony McCarten
Hapus kisah biopik dan segala teori fisikanya, maka The Theory of Everything adalah romansa layaknya romansa lainnya. Tapi, dengan chemistry kokoh dari dua lead-nya yang sama-sama bermain apik, kehidupan seorang Stephen Hawking, teori-teorinya, maka The Theory of Everything akan menjadi lebih dari itu. Eddie Redmayne is exceptional, arguably the best male performance of the year, ia tak hanya bergulat dengan emosi, namun juga harus menyuguhkan akting secara physical, and suceeded in both, membentuk chemistry luar biasa dengan Felecity Jones yang juga berada pada peak performance-nya. Sebuah romansa bittersweet dan sebuah biopik emosional merupakan kombinasi yang bekerja baik pada segala sisi, dan The Theory of Everything adalah contoh yang sempurna.
#21. X-Men: Days of Future Past | Directed by Bryan SInger | Written by Simon Kinberg
Lewat X-Men: Days of Future Past, X-Men kembali membuktikan eksistensinya di tengah serbuan para karakter Marvel Comics lain seperti Avengers, Guardians of the Galaxy, hingga si individualis Spider-Man. Tajam, namun menyenangkan. Garang, namun emosional. Ini jelas bukan lah kualitas Bryan Singer yang kita temukan pada Superman Returns apalagi Jack the Giant Slayer, ini adalah Bryan Singer baru yang pernah kita lihat di karya-karya terdahulunya. Didampingi departemen teknikal kelas wahid dan labelnya yang serba lebih; lebih besar hingga lebih kacau (in a good way), X-Men kali ini bukan hanya sebuah pengeruk dollar di tengah musim panas, di saat yang sama ia juga menawarkan keseruan tak terbatas dalam drama mutannya yang kompleks dan penuh pemikiran serta emosi, pacing cepat dan tepat dari Bryan Singer, sampai mega-cast bertabur bintang. Epic!
#20. Wild | Directed by Jean-Marc Vallée | Written by Nick Hornby
Dituturkan dalam perspektif seorang wanita, Wild memang memukau dari segala sisi. (Lagi-lagi) sebuah biopik, namun kali ini, ini bukan hanya sekedar menelusuri kehidupan tokoh nyata, namun lebih dari itu, Wild adalah kisah pencarian jati diri, coming of age yang bukan hanya melibatkan perjalanan fisik yang melelahkan, namun juga perjalanan emosional yang begitu kaya. Kemasannya mungkin akan mengingatkan kita pada The Iron Lady, dengan penuturan biopik secara non-linear, namun kali ini dengan pengemasan yang jauh lebih matang dan efektif. Wild memang bukan film yang nyaman untuk dipandang, ia eksplisit dan penuh penggambaran yang menyakitkan, namun dibaliknya, Wild adalah karya emosional, jujur, dan tak pernah gagal dalam menyampaikan visinya.
#19. Guardians of the Galaxy | Directed by James Gunn | Written by James Gunn and Nicole Perlman
Di samping sisi teknikal yang rumit, Guardians of the Galaxy juga bukanlah tipikal kisah superhero biasa, menjadikan narasinya bukanlah suatu hal yang dapat diremehkan begitu saja. Ia emosional di menit pertama, dan akan dengan mudah membuat anda tertawa berkat kekonyolannya di menit selanjutnya. Berawal dari tokoh anti-hero yang eksentrik hingga penggunaan musik yang begitu krusial, Guardians of the Galaxy meraih tawa serta 'hatinya'. Secara tak langsung James Gunn berhasil dalam menggebrak dinding film superhero, menghancurkan stereotype yang kini telah lama melekat pada film serupa, menjadikan Guardians of the Galaxy sebagai angin segar di tengah terjangan karakter pahlawan yang terlalu serius, salah satu film paling mengagumkan tahun ini. Dengan aksi memukau, lengkap dengan jajaran efek visual yang tak perlu diragukan lagi, Guardians of the Galaxy bukan hanya sebuah kisah superhero berbalut budget besar, ia juga sebuah kisah emosional sekaligus penuh tawa yang berbalut hati yang besar.
#18. Foxcatcher | Directed by Bennett Miller | Written by E. Max Frye and Dan Futterman
Apa yang paling mencolok dari Foxcatcher? Saya rasa, mungkin semua akan setuju bahwa jawabannya adalah hidung prostetik Steve Carell yang selalu dibicarakan itu. Tapi, sebenarnya tidak juga. Jangan lupakan bahwa dibaliknya, ada penampilan terbaik Steve Carell sampai saat ini, menjadi tokoh nyata, bilyuner John du Pont yang bergaya eksentrik. Diambil dari kisah nyata, Foxcatcher diisi oleh drama yang memikat, sebuah biopik lambat, yang berakhir dengan emosional, diisi bukan hanya satu penampilan mumpuni saja dari Steve Carell, tapi sebuah career defining performance dari Channing Tatum serta the oscar nominated work dari Mark Ruffallo, oh, dan tak ketinggalan penampilan kecil namun memukau dari Vanessa Redgrave. Dari awal hingga ia berakhir, Foxcatcher sukses dalam menghidupkan kembali melankoli yang tak bisa dipercaya benar-benar terjadi. Haunting, gloomy, terribly sad, and devastating, Foxcatcher will definitely leave you speechless, or probably, even breathless.
#17. The Imitation Game | Directed by Morten Tyldum | Written by Graham Moore
Di atas kertas, kisahnya sendiri sudah sangat menarik. Bagaimana jika diangkat menjadi sebuah film? Maka hasilnya adalah The Imitation Game. Ia mampu memanfaatkan star benefit dari Benedict Cumberbatch dengan sebaik mungkin, sementara Graham Moore selaku penulis berhasil menghasilkan sebuah naskah yang begitu baik, menyajikan biopik yang mampu mengajak penonton menyelami otak seorang jenius dengan segala upayanya dalam memenangkan peperangan lewat otak dan bukan otot, selagi ia berusaha melawan tekanan batin dari orientasi seksualnya yang berbeda dengan kebanyakan. The Imitation game bukan hanya berbicara tentang kisah pribadi bapak komputer modern, ia membawa penonton dalam kisah heroisme yang jauh berbeda dari apa yang selama ini kita kenal, Tentang bagaimana sekelompok orang mampu melumpukan atau bahkan membawa kemenangan besar pada satu negara, ya, dan sangat mungkin untuk mengukir sebuah sejarah besar dan penting bagi dunia. Menegangkan, menarik, emosional, serta diisi oleh akting kelas satu, skrip yang solid, hingga pengarahan yang kokoh. The Imitation Game adalah karya yang impresif, 'haram' untuk terlewatkan.
#16. Calvary | Directed and Written by John Michael McDonagh
Dari menit pertamanya, Calvary dibukan oleh sebuah peristiwa unexpected, menyajikan satu dari berbagai kisahnya yang berani. Banyak kisah yang ia sampaikan, yang masing-masing mengisahkan isu sosial yang berbeda. Sebuah komentar sosial yang halus namun tak malu-malu mengutarakan tiap isu, Selama itu pula, Calvary mampu memberikan sebuah dunia yang tak biasa, mengeksplorasinya lewat sebuah misteri yang mempesona, memberikan penonton sebuah suplemen otak dengan kecerdasannya mengambil banyak hal ke permukaan dan keberaniannya menertawakan isu-isu moral. Uniknya, ia bukan tipe yang terlampau berat. Banyak humor gelap di dalamnya, tak hanya sukses memberikan tawa kecil namun juga memberikan hal untuk dipikirkan setelahnya. Sebuah drama yang pilu dan menyentuh, penuh humor hitam, hingga komentar sosial yang tajam. Provokatif dan cerdas.
#15. Inherent Vice | Directed and Written by Paul Thomas Anderson
Datang dari the mastermind of Paul Thomas Anderson, adaptasi novel karya Thomas Pynchon, menghasilkan suatu kombinasi yang mengagumkan. Sebuah psychedelic noir yang eksentrik dari segala perspektif. Aneh, benar-benar aneh, dan tak mudah untuk dicerna, Inherent Vice menghadirkan sebuah komedi hitam dalam kisah kriminal yang intelijen, yang uniknya hadir dengan pengemasan yang tak terlampau serius. Sekalipun bukanlah karya yang bisa dinikmati setiap orang, namun Inherent Vice jelas menjadi salah satu yang terbaik tahun ini, meski bukanlah yang terbaik dari sang sutradara. Stylish, creative, and hypnotic with a mesmerizing mystery and a few chuckles here and there, Inherent Vice is no There Will Be Blood, but it's still a fresh take from the mastermind.
#14. Force Majeure | Directed and Written by Ruben Östlund
Datang dari negeri Skandinavia, Swedia, Force Majeure adalah satu dari sekian banyak drama berkelas yang sederhana namun begitu istimewa dari tanah Eropa. Selama 120 menit, Force Majeure menyajikan drama tentang bagaimana sebuah perisitiwa mampu mempengaruhi kehidupan manusia. Bukan hanya kehidupan seseorang, namun mampu merambat ke kehidupan orang-orang terdekatnya. Force Majeure bertumpu pada interaksi tiap orang, dan bagaimana mereka bergulat dengan masalah yang kian lama melebar. Relatif sulit untuk ditonton, namun kisahnya yang humanis dan dapat terjadi pada kapan, dimana, dan siapa saja mampu membuat Force Majeure dapat akrab dengan siapa pun. Dengan kemasan sederhana, Force Majeure berhasil menuturkan salah satu kisah paling affecting tahun ini, ia unik berkat kisahnya yang tak berfokus pada tragedi tertentu, melainkan menyorot bagaimana hubungan antar karakternya mampu goyah karenanya. Sesuai judulnya, Force Majeure nyatanya bukan hanya menuturkan kisah yang terjadi di luar kendala manusia, namun lebih dari itu, ia mengisahkan bagaimana mereka kembali untuk menata segala hal yang telah kacau balau, kembali mengendalikannya.
#13. Dawn of the Planet of the Apes | Directed by Matt Reeves | Written by Mark Bomback, Rick Jaffa, and Amanda Silver
Diawali degan Rise of the Planet of the Apes yang membuat penonton terkejut akan kualitasnya, kini ada sekuelnya, Dawn of the Planet of the Apes, yang hadir dengan kualitas yang bahkan jauh melebihi pencapaian Rise of the Planet of the Apes. Sebuah blockbuster cerdas, hadir bukan hanya dengan efek visual yang membelalakkan mata, namun dengan kisah yang emosional, sebuah pertempuran dan perebutan spesies superior yang menegangkan sekaligus cerdas. Ia menolak bermain di area aman, sebaliknya lebih memilih untuk mengawinkan unsur-unsur seimbang antara kulit dengan isi, melebur kisah intelek dengan visual megah, membawa isu kemanusiaan yang terbungkus dalam sebuah revolusi di tengah evolusi.
_____________________________________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________________________________________