"I don't want to survive. I want to live." ~ Solomon Northup
Di tahun 2013 ini, Hollywood kembali mengenang dan membuka luka lama dalam sejarah Amerika lewat perilisan 2 film tentang rasisme. Yang pertama, ada The Butler, mengambil kisah nyata seorang pelayan presiden yang mengabdi di tengah kentalnya aroma rasisme di abad 20. Yang kedua sekaligus yang akan dibahas lebih mendalam, ada 12 Years a Slave, yang mengajak kita mundur ke tahun 1840 dan menyajikan sejarah lebih kelam lagi tentang tentang kekejaman perbudakan pada masa itu.
Dengan naskah olahan John Ridley yang berdasarkan buku berjudul sama karya Solomon Northup, film ini dipegang oleh sutradara berbakat, Steve McQueen, yang kembali mengajak kolaborator setianya, Michael Fassbender, yang juga menandai kolaborasi mereka untuk ketiga kalinya, setelah biografi Hunger dan drama eksplisit Shame. Ia juga menggaet nama-nama seperti Chiwetel Ejiofor, Benedict Cumberbatch, Paul Dano, Sarah Paulson, serta aktris muda pendatang baru, Lupita Nyong'o.
Adalah Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) yang menjadi sentral film ini. Pemain biola ini adalah seorang berkulit hitam yang dilahirkan sebagai seorang merdeka di tengah maraknya perbudakan ras kulit hitam di Amerika. Ia juga merupakan suami dan ayah dari 2 anak yang tinggal di Saratoge Springs, New York. Suatu hari, ia dijebak dan diculik oleh 2 pria untuk dijadikan seorang budak. Tak hanya itu, identitas Solomon juga diganti menjadi Platt, seorang budak yang kabur dari Georgia.
Perjalanan Solomon, yang telah berganti menjadi budak dengan nama Platt akhirnya bermulai ketika ia dibeli oleh seorang pemilik perkebunan, William Ford (Benedict Cumberbatch). William Ford sendiri adalah seorang majikan yang baik hati. Namun, masalah datang ketika seorang tukang kayu, John Tibeats (Paul Dano) berseteru dengannya, yang akhirnya membuatnya hampir saja membunuh Platt. Untuk melindungi dirinya, Ford pun menjualnya ke seorang pemilik perkebunan kejam, Edwin Eeps (Michael Fassbender), yang memiliki ketertarikan dengan seorang budak wanita, Patsy (Lupita Nyong'o). Sekali lagi, ia pun terjebak dalam dunia perbudakan, dan tak tahu bagaimana ia bisa kembali ke keluarganya.
Di ranah naskah, John Ridley telah membuat keputusan sangat tepat dengan tak banyak memberikan perubahan di sana-sini dari sumber aslinya. Suatu penghormatan besar bagi sang penulis sendiri, Ridley memberikan kesempatan luas bagi Solomon Northup untuk unjuk suara mengenai kisah pedihnya, tanpa perlu modifikasi ala Hollywood yang sebenarnya tak terlalu diperlukan. Tak sampai di situ, naskah gubahan John Ridley ini juga mampu hidup berkat penceritaan tokoh utamanya yang mengalir dengan lancar dengan dialog-dialog quotable, dan mampu dengan baik mencampuradukkan segala emosi. Hasilnya, dengan drama yang mengalir secara alami, karakter-karakter simpatetik, hingga momen-momen kekerasan yang ditulis tanpa menyembunyikan fakta, naskah adaptasi ini mampu menjelma menjadi salah satu naskah terbaik tahun ini.
Sebagai sutradara, Steve McQueen punya segala cara untuk mengarahkan sebuah film menjadi karya yang menakjubkan dan tak mudah dilupakan. Dengan arahannya pula, McQueen mampu membuat original sin ini menjadi sebuah lukisan jujur nan penuh kisah pahit, dengan menciptakan penggambaran-penggambaran menyakitkan yang begitu efektif. Penggambara ini ia wujudkan salah satunya dengan tidak malu-malu mengumbar kekerasan, darah, dan adegan gory lain. Tapi, tentunya hanya dengan mengekspos kekejaman tak seketika membuat film ini layak untuk dipuja. Itu semua terletak pada bagaimana ia mengemasnya menjadi rentetan kekejaman yang hidup dan bernyawa, serta berpengaruh besar terhadap isi cerita.
Bersama sang director of photography, Sean Bobbitt, McQueen secara sempurna menangkap setiap kekejaman yang terjadi lewat setiap angle apiknya. Setiap cambukan, leher yang terjerat tali di pepohonan, luka yang terang-terangan diekspos, hingga botol wiski yang melayang, mampu membuat para penonton mengernyitkan dahi sekaligus merasakan kebrutalan dengan mendalam. Dengan beberapa scene yang sesekali menggunakan long take shot, McQueen berhasil mengemasnya menjadi scene-scene dengan pengarahan yang kreatif, cerdas, nan artistik serta terbangun dengan begitu baik juga efektif, dan tentu saja, brutal. Saya tak ingin membocorkan apa-apa, tapi ada satu scene yang benar-benar membuat siapapun menahan nafas sedalam-dalamnya (if you haven't watched the film yet, you better stop reading), yaitu, saat di mana Patts digantung di sebuah dahan pohon, dan kakinya berusaha untuk tetap dapat menahan berat tubuhnya. Scene ini di kemas lewat long take shot berkali-kali yang berhasil menggambarkan kengerian secara efektif. Belum cukup, di latar belakang scene, diperlihatkan para budak lain yang hanya bekerja dan berlalu lalang seperti biasanya, serta Mrs. Epps yang memandanginya dari kejauhan tanpa rasa kasihan, bahkan hingga anak-anak dari budak yang bermain dengan cerianya! Dan, itu semua terlahir berkat kerja sama solid di antara keduanya. WHAT. A. SCENE!
Tentu, jangan samakan ini dengan film slasher yang menggunakan kekerasan sebanyak mungkin untuk alasan 'bersenang-senang', McQueen memberikan segenap emosi dan hati untuk setiap adegan penuh kekejaman yang ia kemas. Hasilnya, kekejaman yang dihasilkan bukanlah tempelan untuk mengumbar darah semata, tetapi memang sebagai gambaran dosa masa lalu yang hidup dan menyakitkan. Bukan hanya menyakitkan secara visual, tetapi dengan pendekatan kekerasannya, ia mampu menyentuh emosi penonton. Hebatnya lagi, tanpa perlu menjadi sebuah tayangan berbalut sentimental manipulatif yang over-the-top, 12 Years a Slave berhasil tampil emosional dengan caranya sendiri.
Sebagai sebuah kesatuan departemen akting, ia solid. Di barisan terdepan, Chiwetel Ejiofor mampu memukau dengan penampilan kaliber Oscarnya yang meyakinkan dan penuh emosi dalam memerankan sosok Solomon Northup yang haknya dirampas. Dari segala emosi yang dituangkannya, para penonton tahu seberapa menderitanya karakter Northup. Matanya kerap kali menatap langit dengan kosong, namun dengan kemampuannya, ada rasa sakit, rindu, dan harapan di dalamnya. Di sisi lain, Michael Fassbender juga bersinar, berhasil bertransformasi menjadi seorang monster berbisa yang kasar dan tangguh, namun penuh kerapuhan dalam hati dan moralnya, seorang 'monster' yang bisa menjadi gila seketika karena nafsu butanya. Saat di mana ia tak perlu membuka mulutnya pun, kita semua dapat merasakan kedinginan yang ia pancarkan. Sick monster! Someone, get him into a mental institution right now!
Tak hanya mereka, aktris pendatang baru asal Kenya, Lupita Nyong'o juga mampu memikat setiap penonton. Menggambarkan seorang budak wanita yang tak berdaya, rapuh, sekaligus kuat dan tegar, ia sukses dalam setiap level. Berkat peran dramatik ini, tak ada salahnya jika ia mulai bersiap dengan 'hantaman' penghargaan yang akan diterimanya di awards season ini. Ada pula Sarah Paulson, yak tak kalah dinginnya dengan Michael Fassbender. Terbakar api cemburu, ia adalah majikan wanita yang dingin dan tak bermoral, bahkan tak segan-segan melempar kepala siapa saja dengan botol kaca berisi wiski.
Sinematografi cantik yang membungkus setiap kekerasan bukan satu-satunya departemen yang menonjol dalam bidang teknikal. Di bidang lain, art-direction serta costume-design mampu membentuk paduan solid dalam menghidupkan kembali Amerika di masa lalu. Tapi, jangan lupakan nama besar Hans Zimmer yang ikut memeriahkan film ini dengan alunan-alunan kesedihan tanpa banyak hentakan dinamis yang berhasil memotret zaman perbudakan yang penuh kekejaman. Jalinan musik yang anggun, tenang, namun banyak menyimpan harapan dan rasa pedih, sebuah jajaran soundtrack yang pantas dijajarkan sebagai satu dari soundtrack-soundtrack terbaik di 2013 ini.
Tak hanya mereka, aktris pendatang baru asal Kenya, Lupita Nyong'o juga mampu memikat setiap penonton. Menggambarkan seorang budak wanita yang tak berdaya, rapuh, sekaligus kuat dan tegar, ia sukses dalam setiap level. Berkat peran dramatik ini, tak ada salahnya jika ia mulai bersiap dengan 'hantaman' penghargaan yang akan diterimanya di awards season ini. Ada pula Sarah Paulson, yak tak kalah dinginnya dengan Michael Fassbender. Terbakar api cemburu, ia adalah majikan wanita yang dingin dan tak bermoral, bahkan tak segan-segan melempar kepala siapa saja dengan botol kaca berisi wiski.
Sinematografi cantik yang membungkus setiap kekerasan bukan satu-satunya departemen yang menonjol dalam bidang teknikal. Di bidang lain, art-direction serta costume-design mampu membentuk paduan solid dalam menghidupkan kembali Amerika di masa lalu. Tapi, jangan lupakan nama besar Hans Zimmer yang ikut memeriahkan film ini dengan alunan-alunan kesedihan tanpa banyak hentakan dinamis yang berhasil memotret zaman perbudakan yang penuh kekejaman. Jalinan musik yang anggun, tenang, namun banyak menyimpan harapan dan rasa pedih, sebuah jajaran soundtrack yang pantas dijajarkan sebagai satu dari soundtrack-soundtrack terbaik di 2013 ini.
Bersamaan dengan Gravity, 12 Years a Slave adalah salah satu film yang mampu memanfaatkan segala potensinya dengan benar-benar baik. Hadir dengan naskah yang sangat menghormati sumber aslinya, pengarahan Steve McQueen yang penuh kebrutalan, namun di satu sisi menampilkan penggambaran menyentuh, serta dengan ensemble cast yang tampil tanpa celah berarti, 12 Years a Slave merupakan suatu penghidupan dosa besar masa lalu bangsa Amerika yang hadir hampir tanpa cacat serta dengan sukses menangkap esensi dari perbudakan dengan mulus, tak ketinggalan dengan technical level tinggi yang memotret 12 Years a Slave sebagai karya cantik sekaligus menyakitkan. Brutal, gory, penuh kekerasan, sekaligus jujur, emosional, serta menyakitkan secara batin, Steve McQueen dan 'antek-anteknya' sukses besar dalam membawa 12 Years a Slave ke puncak tertinggi. Jujur, kisahnya penuh kepedihan, namun 12 Years a Slave bukanlah semuanya tentang itu, karena dibalik darah dan cambukan, ia juga berbicara banyak tentang pengharapan, dan betapa sebuah harapan itu bisa datang kapan saja. Truly masterpiece!
0 comments:
Post a Comment