Setelah The Hobbit: The Desolation of Smaug, The Conjuring, Frances Ha, Prisoners, Side Effects, hingga Blue Jasmine, masih banyak rangkuman film-film terbaik dari yang terbaik di tahun 2013 lalu. Kini, untuk melengkapi list sebelumnya, inilah film-film terbaik 2013, dari urutan 12 hingga posisi sang jawara, dari drama solid hingga dokumenter menawan, dari romansa manis hingga eksperimental imajinatif, dan dari sekuel luar biasa hingga thriller dahsyat, here they are!
#12. The Spectacular Now | Directed by James Ponsoldt | Written by Scott Neustadter and Michael H. Weber
Apa definisi kata 'spektakuler' bagi Anda? Box-oofice berlimaph efek visual? Boleh jadi, tapi itu jelas bukanlah apa yang akan kita lihat dalam The Spectacular Now. Hanya dengan membaca sinopsisnya, pasti semua sudah dapat menerka film jenis apa ini. Tapi, jangan terlalu percaya diri dulu. Dengan tema romansa coming-of-age-nya, nyatanya The Spectacular mampu membawa angin baru dalam hal pengemasannya. Ya, jelas ini bukan film tipikal yang menawarkan kisah cinta tipikal. Sebaliknya, dibalik karakternya yang bergelimpahan remaja, The Spectacular Now membawa penonton pada sebuah kisah cinta dengan tone yang lebih gelap, plus segenap pembangunan karakter matang dan konflik yang lebih berliku, dihiasi oleh chemistry kokoh Shailene Woodley dan Miles Teller. Sebuah kisah cinta tentang remaja goyah yang disajikan dengan penuh kematangan, The Spectacular Now nyatanya memang sespektakuler judulnya.
Ya, Captain Phillips adalah Argo-nya tahun ini. Dua-duanya didasari dari kisah nyata dan keduanya juga merupakan mesin pemacu adrenalin yang lincah nan efektif. Mungkin naskahnya tak penuh dialog witty tajam seperti Argo, tapi dengan pembawaanya yang lebih serius, Captain Phillips juga mampu bersinar. Sepanjang durasinya, Paul Greengrass terus menerus menyuntikkan ketegangan yang tak berujung dan mempertahankan tensi yang terbangun dengan hasil yang begitu baik, mampu membuat siapa pun tak akan mampu duduk di kursi dengan penuh ketenangan. Dengan pemimpinnya, Tom Hanks sebagai Kapten Phillips yang muncul sebagai ikon heroik dan Barkhad Abdi sebagai bajak laut Somalia yang menyimpan kegarangan di balik fisiknya, Captain Phillips menjelma menjadi sebuah thriller yang sangat sukses dalam setiap level ketegangannya.
#10. Dallas Buyers Club | Directed by Jean-Marc Vallée | Written by Craig Borten and Melisa Wallack
Diambil dari kisah nyata seorang pengidap AIDS, Ron Woodroof, Dallas Buyers Club hadir dengan naskah dan arahan kokohnya yang mampu menceritakan setiap potongan kisah hebatnya dengan baik dan tulus, yang diisi oleh karakter-karakter simpatetik dan sentuhan dialog-dialog bernuansa komedi di tengah temanya yang berat. Dengan salah satu ensemble cast terbaik tahun ini, McConaughey hadir karismatik dengan postur tubuh meyakinkan, menampilkan salah satu penampilan terpenting sepanjang karirnya. Sementara itu, Jared Leto adalah wujud scene stealer sejati, yang berhasil total dalam mengubah dirinya menjadi seorang wanita transgender pengidap AIDS. Berkharisma luar biasa, Dallas Buyers Club adalah sebuah biopik yang solid dari setiap sudut yang mengangkat kisah memikat tentang perjuangan hidup dengan kemasan penuh kehidupan.
#9. The Past/Le Passé | Directed by Asghar Farhadi | Written by Asghar FarhadiWalaupun masih 'turun kelas' dibandingkan A Separation (kalau begitu, bayangkan sebagus apa A Separation), The Past tetaplah sebuah human drama menakjubkan dari segala sisi. Ada nama Berenice Bejo di lini depan, yang walaupun hadir sebagai pengganti Marion Cotillard, ia berhasil mengalahkan ekspektasi yang dihadapkan padanya, dengan membawa sebuah performa kompleks yang dibawakan sepenuh hati. Naskah kompleksnya begitu nyata, ditulis dengan kesederhanaan, datang dari kehidupan manusia biasa yang berkembang menjadi konflik-konflik rumit yang terjadi di antara karakter-karakter yang berkembang baik. Asghar Farhadi, dengan segala kemampuan dan kesabarannya, juga sukses menghidupakan kisah manusia ini dengan misteri yang kian menit makin menjadi. Dibangun dengan lapisan-lapisan yang setiap levelnya mampu mengungkapkan kisah meyakinkan tentang lika-liku kehidupan manusia, The Past hadir sebagai suatu persona kompleksitas moral manusia yang mempesona.
#8. Blue is the Warmest Color/La vie d'Adèle | Directed by Abdellatif Kechiche | Written by Abdellatif Kechiche and Ghalia Lacroix
Bagi kebanyakan orang, cinta itu mungkin berwarna merah, atau mungkin merah muda, namun bagi film pemenang Palme d'Or ini, cinta itu berwarna biru. Cinta mungkin merupakan hal paling sering diangkat untuk menjadi film. Tapi, film ini mengambil jalur berbeda. Dengan mengangkat kisah cinta lesbian, Blue is the Warmest Color menawarkan studi karakter luar biasa dalam kedua karakter utamanya. Karakternya terbangun dari rangkaian dialog yang sederhana serta naskah yang membumi namun menakjubkannya. Dengan mengeksplorasi dunia LGBT dengan baik, Blue is the Warmest Color adalah sebuah 'anthem' bagi kaum 'terpinggirkan', sebuah nyanyian yang penuh rasa cinta unik berbumbu asam garam kehidupan, dan semua itu mampu diungkapkan dengan penuh nyawa.
#7. Her | Directed by Spike Jonze | Written by Spike Jonze
Her boleh jadi merupakan film paling unik tahun ini. Dengan romansa yang melimpah, Spike Jonze mencoba meramunya dengan sentuhan-sentuhan fiksi sains cerdas. Hasilnya? Sebuah citra memikat berisi pemikiran akan sebuah interaksi sosial dalam masa modern. Dibalut oleh visual halus nan manis, Spike Jonze membawa kita ke sebuah kisah cinta yang mungkin terlihat aneh, namun anehnya pula, hal itu lah yang mampu menghipnotis penonton. Tanpa pernah mempertontonkan wajahnya, Scarlett Johannson mampu membuat siapapun merasa nyaman hanya dengan mendengar suaranya. Di sisi lain, ia juga membangun sebuah jalinan erat dengan Joaquin Phonix yang tampil manis sebagai potret manusia yang terperangkap dalam batas abu-abu teknologi dan penciptanya. Di tengah komedi romantis yang makin hari muncul dengan kisah basi dan penuh klise, Her tampil dengan percaya diri. Dengan kisah cintanya yang istimewa, yang tanpa sadar telah menyentil pola interaksi sosial manusia saat ini, Her melangkah gemilang dengan imaginasinya yang tak terbatas.
Setiap manusia memilik gift yang mungkin tak pernah disadari, namun sebenarnya selalu digunakan setiap waktu: memori. Mengambil hal ini, sutradrara, penulis, sekaligus aktris asal Kanada, Sarah Polley memutuskan untuk membuat sebuah dokumenter mengenai rahasia keluarganya. Memulai semua dari kisah mendiang ibunya, kisahnya mulai melebar dan membuka rentetan kejutannya dengan perlahan. Hanya dengan memori yang diungkapkan setiap anggota keluarganya, Polley berhasil menunjukkan bagaimana kekuatan sebuah memori dapat menjadi suatu hal penuh kejutan tak terduga, menyentuh setiap hati, bahkan hingga mempengaruhi kehidupan setiap manusia. Bagaikan terperangkap dalam sebuah labirin tak berujung, Stories We Tell mengajak siapa saja berkelanan ke dalam sebuah misteri pelik dengan begitu sederhana nan elegan. Sebuah dokumenter yang setiap menitnya selalu mengajukan tanda tanya dan misteri baru, bahkan hingga detik sebelum kredit bergulir, Stories We Tell muncul sebagai salah satu dokumenter yang sukses membuat setiap sel otak bekerja hanya dengan mendengarkan orang-orang yang tak pernah berhenti berbicara.
#5. Before Midnight | Directed by Richard Linklater | Written by Richard Linklater, Julie Delpy, and Ethan Hawke
Setelah selama 9 tahun tak terdengar kelanjutan kisah cinta Jesse dan Celeste, duo ini kembali ke layar perak. Konsep uniknya yang ditawarkan kedua film sebelumnya, jelas tak lekang oleh usia. Masih dengan naskah sederhana nan rapi yang diisi oleh lebih banyak 'kerikil' hidup serta dialog-dialog yang cerdas mengalir alami dan terdengar tanpa kesan scripted sama sekali, Before Midnight terbukti masih dapat hadir dengan kualitas yang tak kalah, bahkan di atas Before Sunrise dan Before Sunset. Ditambah kehangatan yang muncul dari chemistry Julie Deply dan Ethan Hawke, memang tak ada yang lebih menarik ketimbang mendengarkan dua insan ini saling berdialog. Sebuah kemasan unik mengenai perspektif cinta rumit dan berliku yang disampaikan lewat jalan penuh kesederhanaan dan nostalgia, Before Midnight adalah sebuah kekuatan magis yang ampuh dalam menyihir siapapun.
Shane Carruth bukanlah sineas yang produktif, tidak sama sekali. Namun, ketika ia kembali berkarya, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ya, lewat Upstream Color, Shane Carruth kembali menunjukkan talentanya yang 'kurang ajar'. Meleburkan berbagai unsur drama, misteri, fiksi-sains, hingga romansa ke dalamnya, Carruth sukses meracik sebuah karya eksperimental yang dibungkus luar biasa dengan visual cantik, bahasa tubuh menawan, dan musik yang penuh nyawa, tak ketinggalan pula dengan Amy Seimetz yang tak pernah redup sinarnya sepanjang film. Kumpulan potongan puzzle dengan pengarahan hidup serta penulisan tanpa cela yang penuh sentuhan imaginatif, surrealisme, serta kreativitas, Upstream Color adalah salah satu contoh kegemilangan dalam segala sisi yang walaupun tidaklah mudah untuk dinikmati, namun menawarkan pengalaman sinematik tak terlupakan.
Jujur, documentary isn't really my thing, tapi The Act of Killing mampu mengubah pandangan saya itu. Lewat sebuah rekonstruksi salah satu peristiwa besar dalam sejarah kelam Indonesia tentang pembunuhan masal para pengikut komunis, The Act of Killing membawa kita ke sebuah perjalanan mengerikan, both physichally and emotionally. Tak seperti rekonstruksi adegan dalam dokumenter lain yang biasanya diperankan oleh aktor, maka di sini, semuanya diperankan oleh sang pembunuh sendiri. Bagian terbaiknya? Mereka tak pernah malu bahkan dengan bangga menceritakan semuanya, yang mampu membuat The Act of Killing menjadi film yang sama sekali tak nyaman untuk dilihat hanya dengan mendengarkan mereka berbicara, sekalipun tak pernah ada darah yang benar-benar terkucur di dalamnya. Memanfaatkan imajinasi manusia sendiri untuk membangun setiap 'rekonstruksi' adegan, The Act of Killing adalah sebuah dokumenter yang efektif, affecting, sukses dalam mempertanyakan sebuah misteri kelabu masa lalu, sekaligus mempertanyakan moral setiap manusia.
12 Years a Slave boleh dibilang merupakan wujud penyesalan atas apa yang terjadi pada masa lalu suatu bangsa. Tapi, semua itu bisa berantakan jika bukan seorang Steve McQueen yang menangani karya ini. Beruntung, hal itu tak terjadi. Secara visual, sinematografinya apiknya secara sempurna menangkap setiap kekejaman yang terjadi. Setiap cambukan, leher yang terjerat tali di pepohonan, luka yang terang-terangan diekspos, hingga botol wiski yang melayang, mampu membuat para penonton mengernyitkan dahi sekaligus merasakan kebrutalan dengan mendalam, bukan hanya secara fisik, namun secara jiwa, 12 Years a Slave mampu mempermainkan emosi dengan teramat baik. Cast-nya yang dipenuhi talenta luar biasa mampu hidup, membawa film ini ke level yang lebih tinggi lagi. Ejiofor adalah bintang sepanjang film, Fassbender adalah monster yang mampu 'mematikan' orang hanya dengan tatapan dinginnya sedangkan Nyong'o sanggup membuat siapapun tersentuh hanya karena sebatang sabun. Emotionally raw dan brutally terrifying, 12 Years a Slave memang sama sekali tak nyaman untuk dilihat, dan mungkin pula bukanlah tipe film yang akan anda tonton berkali-kali, tapi sekali anda menontonnya, anda tak akan pernah dapat melupakannya.
Luar angkasa adalah predator dari segala predator. Kosong dan tak berdinding, namun ia punya kekuatan yang bahkan dapat membuat predator terkuat di bumi hancur berkeping-keping, dan itulah yang anda lihat dari Gravity. Memang tak ada yang mampu mendeskripsikan kata 'breathtaking' sesempurna Gravity, baik secara harfiah maupun istilah. Dengan luapan tensi berkobar-kobar tanpa henti yang sanggup membuat siapapun mencengkram kursi sekuat-kuatnya bahkan hingga mengalami 'asma' sesaat sepanjang film, ia tetap sukses mengemasnya dengan 'bungkus' anggun nan cantik. Balutan sinematografi, musik, dan efek visualnya yang revolusioner bukan penyedap lagi, melainkan berubah fungsi menjadi nyawa yang amat vital. Sementara itu, Bullock hadir dengan ketakutan nyata, menjadi penentu kesuksesan perjalanan emosional seorang manusia yang menolak untuk mengalah, lebih dari sekedar kisah 'survival'. Di tangan Cuaron, Gravity bukan lagi berperan sebagai mesin teror belaka, tapi juga penyebar harapan hidup dan perjalanan manusia menaklukan ketakutannya sendiri yang dibungkus dengan visual maha indah, yang melahirkan salah satu pengalaman sinematik terpenting dalam sejarah perfilman dunia. Dan karena semua itulah, karya super ambisius ini layak untuk dapat berdiri di tempat ini.
0 comments:
Post a Comment