Tahun 2013 telah berakhir, dan rupanya mampu menjadi tahun penuh kebaikan bagi industri perfilman. Meski minim film superhero yang meledak di tahun-tahun sebelumnya, 2013 tetap dipenuhi film blockbuster penuh aksi, sekuel yang membawa banyak kisah gembira, komedi pengocok perut, horor yang kembali pada hakikatnya, biopik-biopik megah, drama-drama kompleks nan menyentuh, hingga thriller yang tak pernah kehabisan akal untuk memacu adrenalin. Dan, dari banyaknya film yang rilis tahun lalu, saya telah merangkum bagian 1 dari total 25 film terbaik dari yang terbaik (click here for part 2).
Namun, sebelum memasuki 25 film terbaik 2013 lalu, inilah film-film terbaik lain yang dengan sangat terpaksa, harus saya 'buang', in random order. Ada Frozen, animasi musikal dari Disney yang mampu menggebrak naratif dongeng tentang kekuatan cinta sejati, Saving Mr. Banks, di mana Walt Disney dan P. L. Travers tampil dalam 1 frame dengan Emma Thompson yang sempurna, komedi penuh petualangan menyenangkan yang dikemas dalam akhir dari trilogi Cornetto The World's End, drama southern Mud yang penuh kejujuran dan cast bertalenta, serta The Place Beyond the Pines, sebuah drama 'estafet' memukau yang mengungkap kisah masa lalu.
And, here they are!
And, here they are!
#25. The Hobbit: The Desolation of Smaug | Directed by Peter Jackson | Written by Fran Walsh, Philippa Boyens, Peter Jackson, and Guillermo del ToroMengadaptasi sebuah novel menjadi 3 film mungkin bisa dibilang hanyalah langkah untuk menggeruk dollar sebanyak-banyaknya. Memang benar, namun tak ada yang mampu menutup pesona sekuel kedua dari prekuel saga The Lord of the Rings ini. Di samping durasinya yang kelewat panjang dan beberapa keputusannya untuk berlama-lama pada bagian tertentu, Peter Jackson has done his job very well. Strategi 'menyembunyikan' sang naga untuk durasi yang sangat lama jelas berhasil, terlebih dengan karisma Benedict Cumberbatch yang bahkan tak tertutupi meski telah berubah wujud menjadi seekor naga tamak. Dengan aksi yang lebih membabi buta dan menyenangkan ketimbang The Unexpected Journey, Peter Jackson mampu membuat penonton melewati 161 menit tanpa benar-benar merasakan bahwa mereka sebenarnya telah menghabiskan waktu selama itu.
#24. The Conjuring | Directed by James Wan | Written by Chad Heayed and CareySecara cerita, The Conjuring memang tak menghadirkan jalan cerita horor modern yang out-of-the-box, sebaliknya, lewat kisahnya, ia mencoba menghidupkan kembali sentuhan-sentuhan horor klasik, dan itu berhasil! Dengan pengarahan yang mampu menyesaki ruangan dengan aroma mistis, James Wan mengarahkan penonton ke sebuah perjalanan mengerikan dan mencekam yang dibangunnya secara solid tiap waktu berlalu dengan menawarkan teror-teror kreatif dan efektif. Dengan denyutan old-school-nya yang mengalir deras, The Conjuring bukanlah hanya homage horor 1970'an untuk bernostalgia ria, tapi juga sebuah karya horor sejati sesak kengerian yang mampu melaksanakan tugas utamanya dengan sangat baik: meneror sekaligus menghibur penonton.
#23. Rush | Directed by Ron Howard | Written by Peter Morgan
Rush hidup berkat rivalitas antara James Hunt (Chris Hemsworth) dengan Niki Lauda (Daniel Bruhl) yang dibangun Ron Howard dengan begitu mantap. Dengan aksen kentalnya, Daniel Bruhl berhasil memberi nyawa pada karakternya, sekaligus menghidupkan chemistry frenemy-nya dengan Chris Hemsworth yang flamboyan. Tak berhenti di situ, setiap racing sequences mampu dieksekusi dengan penuh hentakan ketegangan yang tertata baik setiap menitnya. Rush adalah rivalitas manis yang menawarkan banyak ketegangan dan keseruan luar biasa, sebuah biopik yang tak hanya mampu menggali setiap karakternya dengan baik, namun juga membawa setiap penonton pada sebuah jalinan antar karakter yang terikat kokoh. Dengan Rush yang extremely lovable and well-executed ini, jangan pernah Anda ragukan kualitas seorang Ron Howard.
#22. Star Trek Into Darkness | Directed by J.J. Abrams | Written by Roberto Orci, Alex Kurtzman, and Damon Lindelof
Seri Star Trek kembali menunjukkan taringnya. Selepas Star Trek yang memukau, kini Star Trek Into Darkness kembali dengan hasil yang tak kalah memukaunya. Masih dengan skrip yang tertata baik, kini Spock mendapat sorotan lebih berkat kesempatannya untuk menunjukkan sisi emosionalnya, selagi membangun persahabatan manis dengan sang Kapten Kirk. Selepas semua itu, ternyata Star Trek masih belum kehilangan 'gigitannya'. Ditambah dengan Cumberbatch yang sesak akan pesona tak terbantahkan, visual yang tak usah dipertanyakan lagi, serta sekuen aksi yang penuh suntikan adrenalin, ini adalah contoh sekuel yang mampu tampil dengan cerdas sekaligus menghibur. Dan, ya, kita juga harus bersyukur, karena pada akhirnya, Star Trek Into Darkness ternyata tak membawa franchise ini ke dalam 'kegelapan' seperti judulnya.
#21. The Hunger Games: Catching Fire | Directed by Francis Lawrence | Written by Simon Beaufoy and Michael Arndt
Oke, di luar sebanyak apa 'inspirasi' film serta novel asalnya ini dari film asal Jepang, Battle Royale, seri pertamanya memang sangat menghibur. Seri kedua, kini ia memberi kejutan. Hadir dengan penceritaan yang lebih dewasa sekaligus matang, sekuel ini mampu memberi karakter yang lebih tereksplorasi, departemen akting yang lebih memukau, serta dengan drama yang lebih humanis plus kisah cinta segitiganya, walaupun ada beberapa bagian yang telah kita lihat sebelumnya di seri pertamanya. Di tengah ritme penceritaan yang lebih lambat dan kelam dibanding pendahulunya, Jennifer Lawrence kembali menunjukkan talentanya yang luar biasa sebagai heroin yang dipuja-puja. Sebuah perpaduan antara drama berbalut satir pemberontakan terhadap penguasa, action-packed, serta science fiction, jelas sudah, ini adalah pencapaian luar biasa jika dibandingkan pendahulunya.
#20. Frances Ha | Directed by Noah Baumbach | Written by Noah Baumbach and Greta Gerwig
Naratifnya yang penuh tikungan tajam mungkin berpotensi untuk membingungkan, namun dengan kesederhanaan dan keluguannya, Frances Ha rupanya mampu menjadi salah satu film terbaik tahun ini. Menceritakan sisi lain dari kehidupan New York yang jauh dari kesan glamor, Greta Gerwig tak hanya berhasil di naskah yang ia tulis, tapi sebagai Frances yang konyol, awkward, dan penuh kemalangan, rasanya tak ada yang mampu melakukan hal tersebut lebih baik darinya. Dengan banyak pengaruh Woody Allen, Frances Ha tampil unik dengan usahanya yang berhasil menjadi tontonan kocak nan sederhana, tanpa pernah berusaha terlalu keras untuk menjadi kocak. Tak banyak macam-macam, Frances Ha adalah drama komedi penuh kehangatan yang dibungkus dalam kesederhanaan, dan di saat yang sama, mampu membawa aroma nostalgia yang menyenangkan.
Kalau anda tanyakan orang-orang momen terbaik dalam film apa saja di tahun 2013 ini, maka hampir dapat dipastikan, adegan penembakan Oscar Grant akan menjadi salah satunya. Bukan hanya karena para cast yang mampu memanfaatkan setiap detik dengan begitu baik, tapi juga karena tangan Ryan Coogler yang dengan cerdas memompa setiap ketegangan ke batas maksimal. Tapi, bukan berarti itu satu-satunya momen yang mampu mengangkat Fruitvale Station. Dari awal hingga akhir, Fruitvale Station mampu menceritakan setiap detiknya yang berharga dengan mulus. Ditambah trio aktingnya yang bersinar: Michael B. Jordan yang menghidupkan kemali Oscar yang tough sekaligus gentle, Melonie Diaz yang membangun chemistry kokohnya dengan Jordan, serta Octavia Spencer yang mampu memaksimalkan kehangatannya walau dengan durasi yang tak banyak. Sebuah 'rekonstruksi adegan' yang lebih dari sekedar mengulang apa yang telah terjadi, sebaliknya memilih untuk kembali menghidupkan kembali momen-momen tersebut dengan penuh kejujuran.
#18. Prisoners | Directed by | Written by Denis Villeneuve | Written by Aaron Guzikowski
Di antara banyaknya drama yang menghiasi 2013, Prisoners adalah salah satunya yang bersinar terang. Meninggalkan setiap penonton pada labirin konflik kompleks penuh tanda tanya di antara manusia-manusia 'tak berdosa', Prisoners membawa segala tema besar tentang dendam, dilema, keputusasaan, hingga kebobrokan moral ke sebuah perjalanan menegangkan bertabur kepingan puzzle yang berteriak untuk dipecahkan. Di jajaran cast-nya, Hugh Jackman tampil bersahaja sekaligus emosional, sementara Jake Gyllenhaal hadir sebagai sang badass. Dengan membawa sedikit aroma The Vanishing yang begitu sesak akan ketragisannya, Prisoners adalah sebuah 'petualangan' emosional betabur injeksi ketegangan yang sama sekali tak melelahkan di 2 jam lebih durasinya,
#17. All is Lost | Directed by J.C. Chandor | Written by J.C. Chandor
Life of Pi? Well, mungkin punya beberapa elemen mirip, namun jelas keduanya berbeda. Tak ada Richard Parker, setumpuk pisang yang mengapung, hingga pulau penuh meerkat. Yang ada, hanyalah Robert Redford yang hampir tak pernah berbicara, dan... lautan yang terhampar luas. Bermodal dialog dan monolognya yang kalau dihitung-hitung bahkan tak mencapai 45 baris dalam durasi 100 menitnya, All is Lost hidup berkat pengarahan penuh tensi dan hati dari J.C. Chandor serta penampilan Robert Redford yang menakjubkan. All is Lost adalah ketika semuanya hilang, hingga yang tersisa adalah jiwa untuk terus hidup, dan Redrofd berhasil untuk itu. Sunyi, sederhana, namun penuh nyawa, All is Lost adalah potret sempurna tentang jiwa setiap manusia.
Diringi naskah berujung twist serta arahan David O. Russel, American Hustle melangkah dengan penuh percaya diri. Tapi, tetap saja, hal yang paling menarik hati adalah castnya yang begitu kuat. Christian Bale mampu menyajikan penampilan luar biasa plus satu lagi perubahan tubuh drastisnya. Sementara Bradley Cooper mampu membuktikan talentanya sekali lagi, tapi para pencuri scene ada di tangan sang 2 wanita, Amy Adams dan Jennifer Lawrence. Amy Adams, as usual, kembali memukau siapa saja lewat perannya sebagai penipu sensual dan Jennifer Lawrence, meski memerankan peran yang mengingatkan kita akan perannya dalam Silver Linings Playbook, ia tetap menakjubkan dengan peran penuh dialog witty ini. Sebagai sebuah film, ia memaparkan perjalanan manusia yang mendalam pada setiap karakternya, dan sebagai sebuah hiburan, ini adalah 138 menit penuh kekocakan yang energetic dan menyenangkan!
#15. Side Effects | Directed by Steven Soderbergh | Written by Scott Z. BurnsDilihat dari bagaimana Steven Soderbergh mengemas Side Effects, memang banyak mengingatkan siapa saja terhadap film medical disaster-nya, Contagion. Namun, Side Effects jelas bukanlah Contagion. Dibanding Contagion yang lebih tenang, Side Effects adalah thriller psikologis yang lebih intens. Dengan lapisan-lapisan yang mampu ditata Soderbergh dengan sangat cerdas yang diisi pula oleh sentuhan kental a la Hitchcock, ini adalah sebuah bom waktu yang mampu memuntahkan segala misteri dan kejutan-kejutannya yang pintar dan kapan saja bisa mengelabui anda. Di lini depan, Rooney Mara tampil hebat, menambahkan satu lagi salah satu penampilan terbaik dalam filmografinya, bersamaan dengan performa baik yang juga ditunjukkan oleh Catherine Zeta-Jones, Jude Law, juga Channing Tatum. Penuh pompaan kejutan dan intensitas serta pendekatan psikologis maksimal, Side Effects kembali hadir sebagai salah satu karya terbaik Steven Soderbergh.
#14. The Wolf of Wall Street | Directed by Martin Scorsese | Written by Terence Winter
Jadi, apa yang dilakukan Martin Scorsese setelah drama keluarga Hugo? Sebuah biografi nakal nan provokatif inilah jawabannya. Ya, memang sangat berbanding terbalik dengan yang ia lakukan sebelumnya, tapi Scorsese memang tak akan pernah bisa berhenti mengejutkan orang. Scorsese lagi-lagi memilih DiCaprio, dan ternyata merupakan keputusan tepat. DiCaprio, dengan kharisma besarnya, adalah seorang maniak sembrono dan penuh kedinamisan, terlebih ia dipasangkan dengan Jonah Hill yang tanpa disangka mampu membangun chemistry bromance yang hangat nan kocak. Naskahnya hadir dengan sentilan-sentilan humor dan dialog-dialog tajam dengan 'bungkus' budaya hedonisme yang melimpah-ruah, sementara Scorsese berhasil mengemasnya menjadi sebuah rollercoaster penuh tawa, infeksius, serta penuh menit-menit eksplosif. Dengan 3 jam durasinya, The Wolf of Wall Street mungkin akan lebih baik lagi jika lebih ringkas dalam bercerita, namun selama 3 jam itu pula, siapapun tak bisa menolak pesonanya.
Di luar raihan 4 Oscarnya, Woody Allen sebenarnya merupakan sineas yang tak selalu konsisten dalam perjalanan karirnya. And, thank God, kali ini Blue Jasmine tak termasuk dalam salah satu karya inkonsistennya, bahkan jauh dari kata itu. Dengan kisah sederhananya, Blue Jasmine terbangun berkat naskahnya yang ditulis dengan sangat baik. Menitikberatkan masa-masa midlife crisis secara non-linear dengan sentuhan humor di sana-sini, Blue Jasmine adalah studi karakter luar biasa, yang diisi oleh cast berkualitas dan mampu dengan kokoh diarahkan oleh Woody Allen. Tapi, dari semua cast, Cate Blanchett lah yang paling bersinar. Dengan peran kompleksnya ini, ia mampu membuat dirinya dibenci, sekaligus dicintai. Penuh kebingungan dengan jiwanya yang labil, Blanchett menyajikan no-one-can-beat-her performance. Well, watch out, ladies, because Ms. Blanchett is coming to get her 2nd Oscar!
Dari sekuel penuh fantasi dan aksi menegangkan, The Hobbit: The Desolation of Samug, di posisi awal hingga kisah tentang wanita diambang kegilaan, Blue Jasmine, yang mendarat di angka 'sial', ini hanyalah segelintir film-film yang mampu menunjukkan kedahsyatannya di 2013. More is coming!
Dari sekuel penuh fantasi dan aksi menegangkan, The Hobbit: The Desolation of Samug, di posisi awal hingga kisah tentang wanita diambang kegilaan, Blue Jasmine, yang mendarat di angka 'sial', ini hanyalah segelintir film-film yang mampu menunjukkan kedahsyatannya di 2013. More is coming!
The Hunger Games: Catching Fire, Prisoners
ReplyDeleteFilmnya kagak bagus!
Menilai sebuah film itu tergantung selera masing-masing kok. Karena selera tiap orang berbeda, jadi wajarlah kalau pendapat setiap orang juga berbeda, hehe :)
Delete