"They're not the enemy." ~ Toshiharu Kuroda
Film dibuka dengan opening scene paling memorable yang pernah saya liat. Sekumpulan pelajar dari berbagai sekolah berkumpul di sebuah stasiun kereta api. Tak ada yang aneh dari mereka, mereka terlihat seperti remaja Jepang biasa. Hm, tapi tunggu dulu, saat kereta api hampir sampai di stasiun tersebut, tiba-tiba ke-54 gadis-gadis tersebut berbaris di depan rel kereta, kemudian saling berpegangan tangan, lalu berhitung dengan nada childish. Saat kereta lewat, saat itu juga kesemua pelajar tersebut tiba-tiba meloncat ke rel, dan....... "Blam!", muncratan darah, kepala pecah, potongan-potongan tubuh dan berbagai adegan sadis lainnya seketika itu juga memenuhi layar. Wow, what a beautiful way to die.
Tapi ternyata peristiwa mengerikan ini bukanlah yang terakhir. Kisah tersebut masih berlanjut. Puluhan bahkan ratusan remaja mengikuti jejak mereka tanpa alasan yang jelas. Apa yang ada dibalik ini semua?
Suicide Club atau Jisatsu Sâkuru dalam bahasa Jepang, memang merupakan film yang cerdas. Shion Sono selaku sutradara tahu betul bagaimana cara membuat film ini menjadi aneh, absurd, gila, tapi tetap membekas di hati penontonnya. Tapi, dengan satu syarat, putar otak. Jalan cerita yang disajikan Sono memang membuat penontonnya bingung (termasuk saya). Tapi, disitulah sensasinya. Kita seolah diajak untuk bermain puzzle rumit dan harus menyusunnya kembali ke tempat yang benar. Dan itu bukan hanya sekali, hampir disetiap menitnya, Sono menebarkan misteri-misteri yang bagi beberapa orang memang tak masuk diakal. Tapi, jangan disangka kita akan mengetahui seluruh kenyataan di akhir film, justru sebaliknya, ia tetep saja menebar misteri-misteri absurd. Sono ternyata memang benar-benar sinting (kali ini dalam arti sebenarnya), seolah tak mau peduli dengan keadaan penontonnya yang mungkin sedang memutar otak dengan keras. Tapi tenang, jika anda gagal, Sono masih berbaik hati kepada anda, karena ia juga telah memberikan sedikit clue kepada kita lewat Noriko's Dinner Table, sekuel sekaligus prekuel bagi Suicide Club.
Suicide Club atau Jisatsu Sâkuru dalam bahasa Jepang, memang merupakan film yang cerdas. Shion Sono selaku sutradara tahu betul bagaimana cara membuat film ini menjadi aneh, absurd, gila, tapi tetap membekas di hati penontonnya. Tapi, dengan satu syarat, putar otak. Jalan cerita yang disajikan Sono memang membuat penontonnya bingung (termasuk saya). Tapi, disitulah sensasinya. Kita seolah diajak untuk bermain puzzle rumit dan harus menyusunnya kembali ke tempat yang benar. Dan itu bukan hanya sekali, hampir disetiap menitnya, Sono menebarkan misteri-misteri yang bagi beberapa orang memang tak masuk diakal. Tapi, jangan disangka kita akan mengetahui seluruh kenyataan di akhir film, justru sebaliknya, ia tetep saja menebar misteri-misteri absurd. Sono ternyata memang benar-benar sinting (kali ini dalam arti sebenarnya), seolah tak mau peduli dengan keadaan penontonnya yang mungkin sedang memutar otak dengan keras. Tapi tenang, jika anda gagal, Sono masih berbaik hati kepada anda, karena ia juga telah memberikan sedikit clue kepada kita lewat Noriko's Dinner Table, sekuel sekaligus prekuel bagi Suicide Club.
Yang pasti, Suicide Club merupakan film yang luar biasa. Atmosfer yang dibangun Sono benar-benar kelam dan misterius. Sejalan dengan itu, plotnya pun tak mungkin bisa kita lupakan. Sinting dan absurd. Tapi, justru itulah daya tarik Suicide Club. Tapi, sekeras apapun anda memutar otak, pada akhirnya, masih banyak beberapa bagian yang masih menjadi misteri.
Entah dari mana pula datangnya ilham mengenai ide cerita super gila ini. Tak ada yang tahu apa yang ada di dalam otak Shion Sono, termasuk saya. Namun, mungkinkah Shion Sono memiliki sel otak abu-abu layaknya Hercule Poirot? Hm, mungkin saja.
0 comments:
Post a Comment